Anda di halaman 1dari 11

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Etiologi
Tiga penyebab terbanyak demam persisten berkepanjangan yaitu penyakit
infeksi, penyakit kolagen-vaskular, dan keganasan.1,2,5,7,8 Kesulitan mencari penyebab
demam berkepanjangan disebabkan oleh banyak faktor. Terdapat lebih kurang 200
penyebab demam berkepanjangan yang menimbulkan kesulitan mendiagnosis etiologi
demam berkepanjangan dalam waktu singkat.Pencarian penyebab terkadang
dihubungkan dengan keadaan geografis tempat pasien tinggal, anamnesis yang kurang
lengkap, dan pemeriksaan fisik yang kurang teliti sehingga hal penting yang
seharusnya dapat mendukung diagnosis tidak ditemukan.
Salah satu sumber mengatakan infeksi merupakan penyebab terbanyak 58
(97%) demam berkepanjangan, dan penyakit lain 2 anak (3%), demam tifoid 21
pasien sedangkan infeksi virus didapatkan pada 10 pasien (15%). Infeksi bakteri
terbanyak pada usia 3-36 bulan dan di atas 6 tahun, sedangkan infeksi virus pada anak
usia 3-36 bulan. Pada kelompok usia 3-36 bulan penyakit infeksi tersering adalah
tuberkulosis paru dan infeksi saluran kemih, sedangkan usia >6 tahun adalah demam
tifoid. Infeksi tuberkulosis paru sering disertai gizi kurang dibandingkan penyebab
infeksi lain, sedangkan demam tifoid lebih banyak pada anak dengan status gizi
baik.1

3.2. Epidemiologi
Di Amerika Serikat demam menyumbang 10-20% kunjungan anak sakit pada
layanan kesehatan. Tidak terdapat perbedaan ras dan jenis kelamin dalam insiden
demam.3 Di Indonesia sendiri, demam pada anak merupakan 15% dari kunjungan
pasien di poliklinik dan 10% pasien Unit Gawat Darurat. Sebagian besar anak berusia
dibawah tiga tahun. Penyebab demam diidentifikasi berdasarkan anamnesa dan
pemeriksaan fisik.
Demam pada anak umumnya berasal dari virus dan dapat sembuh sendiri,
hanya beberapa berasal dari infeksi bakteri serius, seperti meningitis, bakterinemia,
pneumonia, infeksi saluran kemih, enteritis bakteri, infeksi tulang dan sendi. 6
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui angka kejadian, penyebab serta
karakteristik demam berkepanjangan pada anak, namun data tentang angka kejadian
terutama penyebabnya di Indonesia masih kurang.
3.3 Patofisiologi
Demam ditimbulkan oleh senyawa yang dinamakan pirogen. Dikenal dua jenis
pirogen yaitu pirogen eksogen dan endogen. Pirogen eksogen merupakan senyawa
yang berasal dari luar tubuh pejamu dan sebagian besar terdiri dari produk mikroba,
toksin atau mikroba itu sendiri. Bakteri gram negatif memproduksi pirogen eksogen
berupa polisakarida yang disebut pula sebagai endotoksin. Bakteri gram positif
tertentu dapat pula memproduksi pirogen eksogen berupa polipeptida yang dinamakan
eksotoksin. Pirogen eksogen menginduksi pelepasan senyawa di dalam tubuh pejamu
yang dinamakan pirogen endogen. Pirogen endogen tersebut diproduksi oleh berbagai
jenis sel di dalam tubuh pejamu terutama sel monosit dan makrofag. Senyawa yang
tergolong pirogen endogen adalah sitokin seperti interleukin (IL-1β, IL-1, IL-6),
tumor nekrosis faktor (TNF-α, TNF-β) dan interferon.4
Pirogen endogen yang dihasilkan oleh sel monosit, makrofag dan sel tertentu
lainnya secara langsung atau dengan perantaraan pembuluh limfe masuk sistem
sirkulasi dan dibawa ke hipotalamus. Di dalam pusat pengendalian suhu tubuh
pirogen endogen menimbulkan perubahan metabolik, antara lain sintesis
prostaglandin E2 (PGE2) yang mempengaruhi pusat pengendalian suhu tubuh sehingga
sel point untuk suhu tersebut ditingkatkan untuk suatu suhu tubuh yang lebih tinggi.
Pusat ini kemudian mengirimkan impuls ke pusat produksi panas untuk meningkatkan
aktivitasnya dan ke pusat pelepasan panas untuk mengurangi aktivitasnya sehingga
suhu tubuh meningkat atau terjadi demam 4

3.4 Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan
penunjang.
1. Anamnesis.
Dalam anamnesis harus diperhatikan:
a. Umur
Pada anak di bawah enam tahun sering menderita infeksi saluran kemih
(ISK), infeksi fokal (abses, osteomielitis), dan juvenile rheumatoid
arthtritis (JRA). Sedangkan pada anak yang lebih besar sering menderita
tuberkulosis, radang usus besar, penyakit autoimun dan keganasan.
b. Karakteristik demam
Saat timbul, lama dan pola/tipe dan gejala non-spesifik seperti anoreksia,
rasa lelah, menggigil, nyeri kepala, nyeri perut ringan dapat membantu
diagnosis. Pola demam dapat membantu diagnosis, demam intermitten
terdapat pada infeksi piogenik, tuberkulosis, limfoma dan JRA, sedangkan
demam yang terus-menerus dapat terjadi pada demam tifoid. Demam yang
relaps dijumpai pada malaria, rat-bite fever, infeksi borelia dan
kegananasan. Demam yang rekurens lebih dari satu tahun lamanya
mengarah pada kelainan metabolik, SSP, atau kelainan pada pusat
pengontrol temperatur dan defisiensi imun.
c. Data epidemiologi
Riwayat kontak dengan binatang (anjing, kucing, burung, tikus) atau pergi
ke daerah tertentu perlu ditanyakan, demikian pula latar belakang genetik
pasien perlu diketahui serta terpaparnya pasien dengan obat (salisilism).4

2. Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik tidak hanya dilakukan pada hari pertama, tetapi
sebaiknya diulang sampai diagnosis dapat ditegakkan. Pembesaran kelenjar
getah bening dapat timbul akibat proses infeksi lokal, sedangkan pembesaran
kelenjar getah bening umum mungkin disebabkan infeksi sistemik meliputi
keganasan dan berbagai proses inflamasi. Adanya artralgia, artritis, mialgia
atau sakit pada anggota gerak mengarah pada penyakit vaskular-kolagen.
Apabila ditemukan kelainan bunyi jantung harus dipikirkan
endokarditis, gejala gastrointestinal seperti nyeri perut, adanya darah pada
tinja, diare atau kehilangan berat badan mengarah pada inflamasi di usus
besar. Nyeri perut atau adanya massa mungkin timbul menyertai ruptur
apendiks. Ikterus mengarah kepada hepatitis, sedangkan ruam menunjukkan
penyakit vaskular-kolagen, keganasan atau infeksi. Faringitis, tonsilitis atau
abses peritonsil dapat disebabkan oleh bakteri atau infeksi mononukleosis,
CMV, atau leptospirosis.

3. Pemeriksaan Penunjang4,5
Untuk menegakkan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding demam
berkepanjangan, diperlukan pemeriksaan penunjang dengan mempertimbangkan
dugaan etiologi berdasarkan usia, iklim, epidemiologi, dan faktor pejamu. Sebaiknya
dilakukan secara bertahap dan tidak serentak dan disesuaikan dengan derajat penyakit
pasien.
Tabel 2.1 Tahapan pemeriksaan penunjang4

Tahap I  Foto toraks


 Darah perifer lengkap, hitung jenis, dan morfologi
 Hapusan darah tebal
 LED atau CRP
 Urinalisis
 Pemeriksaan mikroskopik apusan darah, urin
 Biakan darah, urin, feses, dan hapusan tenggorok
 Uji tuberkulin
 Uji fungsi hati
Tahap II  Pemeriksaan uji serologic terhadap : salmonella, toksoplasma,
leptospira, mononucleosis, CMV, histoplasma
 USG abdomen, CT-scan kepala
Tahap III  Aspirasi sumsum tulang
 Pielografi intravena
 Foto sinus paranasal
 Antinuclear antibody
 Barium enema
 Limfangiogram
 Biopsi hati

Bila anak tampak sakit berat, diagnosis harus dilakukan dengan cepat, tetapi
bila penyakit lebih kronik, pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan secara bertahap.
Pemeriksaan awal dan rutin meliputi darah tepi lengkap, termasuk hitung jenis,
trombosit, feses lengkap dan urinalisis, uji tuberkulin, laju endap darah, biakan darah,
biakan urin, kalau perlu dilakukan hapusan tenggorok.
Adanya pansitopenia,neutropenia yang tidak dapat dijelaskan sebabnya,
apalagi bila disertai dengan trombositopenia atau adanya limfoblas pada hapusan
darah perifer perlu dikonsultasikan kepada ahli hematologi/onkologi serta dilakukan
punksi sumsum tulang. Jumlah limfosit yang meningkat pada hitung jenis mengarah
pada mononukleosis atau infeksi virus sedangkan neutropenia berat pada pasien yang
sakit ringan sampai sedang bisa disebabkan oleh berbagai infeksi lain. Leukositosis
dan meningkatnya LED menunjukkan adanya penyakit vaskular kolagen dan infeksi.
Anemia hemolitik bisa terdapat pada penyakit vaskular-kolagen atau endokarditis,
sedangkan anemia non hemolitik mengarah pada penyakit kronik atau keganasan.
Piuria dan bakteriuria menunjukkan infeksi saluran kemih, hematuria menunjukkan
kemungkinan endokarditis.
Pemeriksaan foto thorax dapat dilakukan untuk semua pasien sedangkan foto
mastoid dan sinus nasalis serta traktus gastronintestinal dilakukan atas indikasi
tertentu. Uji untuk HIV she arusnya dilakukan untuk semua pasien. Uji serologi dapat
dilakukan untuk shigelosis, salmonelosis, bruselosis, tularemia, infeksi
mononukleosis, CMV, toksoplasmosis dan beberapa infeksi jamur. CT-scan
membantu identifikasi lesi di kepala, leher, dada, rongga peritoneum, hati, limpa,
KGB intraabdominal dan intrathorax, ginjal, pelvis dan mediastinum. CT-scan atau
USG membantu dalam melakukan biopsi atau aspirasi.4
Dalam pencarian etiologi penyebab demam, ESR (erythrocyte sedimentation
rate) harus dievaluasi. Adanya peningkatan ESR disertai anemia kronik sering
dihubungkan dengan giant cell arteritis atau polymyalgia rheumatica. C-reactive
protein (CRP) sebaiknya diperiksa karena merupakan indikator spesifik terhadap
respon metabolik terhadap inflamasi pada fase akut. ANA (anti nuclear antibody),
antineutrophil sytoplasmic antibody, faktor reumatoid dan krioglobulin serum harus
dinilai untuk menegakkan penyakit vaskuler kolagen lainnya dan vaskulitis.
PPD (purified protein derivative)diperiksa untuk menskrining pasien tuberculosis.
.Beberapa pemeriksaan diagnostik terbaru seperti serologi dan kultur virus, memiliki
peran penting dalam mengevaluasi penyakit ini. Namun apabila berbagai evaluasi
intensif telah dilakukan tanpa memberiksan hasil maka tes-tes yang invasif seperti
punksi lumbal maupun biopsi sumsum tulang, hepar serta kelenjar getah bening, dapat
dipertimbangkan sesuai dengan kecurigaan klinis yang ditemukan.
Keterangan tambahan:
 Urinalisis
Menghilangkan diagnosis ISK dan tumor dari traktus urinarius

 Kultur
o Kultur darah untuk patogen aerobik dan non-aerobik,
o Kultur urin,
o Kultur sputum dan feses: dapat membantu keberadaan
penyakit paru maupun gastrointestinal.
o Kultur untuk bakteri, mikobakteria, dan jamur pada jaringan
dan cairan steril; seperti dari cairan serebrospinal, cairan pleura,
cairan peritoneal, hepar, sumsum tulang, dan nodus limfe.
 Serologi
Merupakan tes yang paling membantu jika sampel menunjukkan hasil
yang signifikan, seperti adanya antibodi spesifik terhadap
mikroorganisme infeksi. Contoh penyakit yang dapat ditegakkan dari
pemeriksaan serologi adalah Brucellosis, infeksi CMV, infeksi
mononucleosis EBV, infeksi HIV, amebiasis,
toxoplasmosis, danklamidia. Kadar serum ferritin berguna untuk kasus
demam berkepanjangan akibat keganasan, dan SLE. Pemeriksaan titer
antibodi antinuklear (ANA), faktor rheumatologi, kadartiroksin, dan
LED karena sangat membantu dalam mendiagnosis kondisitertentu
yaitu lupus, RA, tiroiditis, hipertiroidisme

3.5. Diagnosis Banding


1. Infeksi bakteri
a. ISK
Keluhan :Mual, muntah, demam, nyeri perut, gangguan berkemih.
Laboratorium: Pada urin pancar tengah terdapat jumlah kuman ≥ 10 5 cfu per
mL urin, kuman > 104 cfu/mL dengan urine bag dan satu kuman pada aspirasi
supra pubik.
b. Sepsis ( SIRS (≥ 2dari suhu >38°C (100.4°F) atau < 36°C (96.8°F), nadi>90,
RR>20, Leukosit > 12,000/mm³, < 4,000/mm³) dengan sumber infeksi)
c. Enteric fever (Demam, gangguan Gastrointestinal, Pada PF hepatomegali
atau splenomegali. Pada labaoratorium leucopenia dengan IgM/IgG
salmonella typhi positif)
d. Tuberkulosis (Scoring TB>=6)
e. Endokarditis (Duke criteria)
f. Pneumonia
Batuk, demam, napas cepat,adanya leukositosis, pemeriksaan rontgen thorax
adanya infiltrate, air broncogram.
g. Pyelonefiris

2. Infeksi Virus
a. Cytomegalovirus c. HIV
b. Virus hepatitis d. Infeksius mononucleosis
3. Infeksi Parasit
a. Malaria
b. Toxoplasmosis
4. Penyakit kolagen
a. Juvenile rheumatoid arthritis
b. Systemic lupus erythematosus
5. Neoplasma
a. Hodgkin’s disease c. Leukimia mieloblastik akut
b. Leukimia limfoblastik akut d. Limfoma
6. Penyakit lain
a. Demam obat
b. Tirotoksikosis
c. Hypothalamic central fever

3.6. Penatalaksanaan3,4,8,10,11
Secara umum, perawatan harus diarahkan kepada etiologi yang mendasari, sesuai
kebutuhan, setelah diagnosis dibuat. Jika penyebab pasti belum dapat ditentukan,
beberapa penelitian menyarankan pengecualian terhadap pendekatan umum ini,
seperti:
a. Kasus yang memenuhi kriteria untuk endokarditis negatif kultur
b. Kasus di mana temuan klinis menunjukkan TB diseminata (atau, kadang-
kadang, infeksi granulomatosa lainnya)
c. Kasus-kasus dicurigai giant cell arteritis dengan gangguan penglihatan
Contoh pengobatan khusus:
 Pada pasien dengan granuloma hepatik, sekitar 50% pasien sembuh secara
spontan, sementara 50% lainnya memerlukan pengobatan kortikosteroid
(Prednison 1-2mg/kgBB/hari, max 80mg durasi terapi mulai dari beberapa
minggu hingga beberapa tahun).
 Pasien dengan giant cell arteritis harus diobati dengan steroid dosis tinggi
(Prednison 1-2mg/kgBB/hari, max 80mg), dan steroid intravena harus
diberikan jika pasien sangat kesakitan atau memiliki gangguan penglihatan
yang signifikan. Hati-hati dalam memonitor pasien, karena perawatan yang
tidak memadai dan toksisitas steroid (misalnya, hipertensi, diabetes,
dispepsia, pengeroposan tulang, psikosis, katarak) dapat menyebabkan
morbiditas yang signifikan.
 Pada polymyalgia rheumatica, perawatan terdiri dari perbaikan gejala
dengan terapi steroid (Prednison 1-2mg/kgBB/hari, max 80mg atau
prednisolon 0,1-2mg/kgBB/hari, max 80mg) dan pemantauan ketat.
 Ketika obat dicurigai, hentikan obat yang terlibat.
Konsultasi kepada ahli berdasarkan riwayat pasien, pemeriksaan fisik, data
laboratorium, dan temuan radiologis. Konsultasi kepada Spesialis penyakit menular,
hematologi / onkologi, Rheumatoid, paru, saluran pencernaan, endokrin, dan radiologi
intervensi serta bedah.10
Rekomendasi pengobatan untuk anak-anak dengan demam tanpa fokus lokasi
didasarkan pada penampilan, usia, dan suhu anak.
a. Untuk anak-anak yang tidak tampak toxic, rekomendasi perawatan adalah
sebagai berikut:
 Jadwalkan janji tindak lanjut dalam 24-48 jam dan instruksikan orang tua
untuk kembali bersama anak lebih cepat jika kondisinya memburuk.
 Masuk rumah sakit diindikasikan untuk anak-anak yang kondisinya
memburuk atau yang temuan evaluasinya menunjukkan infeksi serius.
b. Untuk anak-anak yang tampak toxic, rekomendasi perawatan adalah sebagai
berikut:

perawatan lebih lanjut; hasil kultur yang tertunda, berikan antibiotik
parenteral. Awalnya berikan ceftriaxone, cefotaxime, atau ampicillin /
sulbaktam (50 mg / kg / dosis).3

Terapi Percobaan
Risiko terapi percobaan
Menurut pendapat umum, sebaiknya terapi percobaan tidak boleh diberikan
pada saat sedang mencari penyebab demam tanpa kausa jelas. Pendapat ini
berdasarkan bahwa obat yang diberikan akan mempersulit pemeriksaan lebih
lanjut, kadang-kadang dapat sangat menganggu. Beberapa antibiotik
seringkali menyebabkan reaksi hipersensitivitas yang berakibat menimbulkan
demam, timbulnya ruam kulit, kelainan darah atau kadangkala menyebabkan
kegagalan fungsi organ tertentu. Antibiotik spektrum
luas juga dapat mengurangi kepekaan terhadap pemeriksaan biakan. Hal ini
terutama terjadi pada demam enterik (salmonelosis, shigelosis)
dan streptococcus pyogenes.
Pemberian antibiotik salep pada abses tidak dapat menyembuhkan
tanpa dilakukan drainase,sehingga demam tidak akan segera turun. Pemberian
obat anti tuberkulosis (rifampisin atau streptomisin) akan mempengaruhi hasil
biakan bakteri piogenik. Tetrasiklik dan kotrimoksazol akan menghambat
sebagian pertumbuhan parasit malaria atau protozoalain sehingga manifestasi
klinisnya menjadi tidak khas lagi. Hal lain yang penting adalah pemberian
kortikosteroid. Kortikosteroid dapat menghambat respons imun sehingga
menganggu hasil uji serologik dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat
(misalnya uji tuberkulin). Dengan menghambat respons inflamasi dan
memberikan perbaikan semu,maka kortikosteroid (Prednison) dapat
menyebabkan infeksi tetap berlangsung dan cenderungmenjadi berat sehingga
mudah terjadi penyulit seperti perforasi dan meluasnya infeksi.4

Risiko pemberian terapi percobaan:


1. Mengurangi kepekaan pemeriksaan biakan
1. Mengubah perjalanan penyakit, tetapi tidak sembuh
2. Reaksi samping obat mengecohkan penyakit dasar
3. Kortikosteroid menurunkan kepekaan uji serologic
4. Kortikosteroid menyebabkan perjalanan penyakit lain parah tanpa
gejala klinis yang jelas.

a. Kegunaan terapi percobaan


Di dalam kenyataannya, pemberian terapi percobaan tidak dapat dihindarkan.
Setelah dilakukan pemeriksaan dengan seksama (klinis dan laboratorium) kita
dapat menduga diagnosisnya, walaupun seringkali tidak terbukti. Apabila
dugaan diagnosis terhadap infeksi yang spesifik, maka terapi percobaan dapat
dibenarkan, dengan memberikan antibiotik spektrum sempit tetapi relevan
untuk mikroorganisme patogen yang diduga. Apabila dugaan diagnosis
tersebut memang benar, maka pada tindak lanjut pemberian terapi percobaan
harus sesuai dengan hasil yang diharapkan.
Pengobatan juga harus segera diberikan apabila keadaan umum pasien
sangat berat dan kritis, tetapi spesimen pemeriksaan harus diambil terlebih
dahulu sebelum pengobatan diberikan. Penting puladiingat bahwa pemberian
pengobatan harus sesuai panduan baik dosis maupun lama pemberian,
jangan sekali-kali mengganti antibiotik setiap saat tanpa panduan yang jelas.
Bagan suhu merupakan salah satu alat pemantau terpenting dari awal
keberhasilan pengobatan. Pemeriksaan penunjang lain seperti
CRP atau LED dapat dipergunakanuntuk memantau. Untuk penyakit kolagen,
LED atau kadar auto antibodi dapatdipergunakan sebagai alat pemantau.
Di samping itu, indikator non spesifik seperti perbaikan nafsu makan
atau peningkatan berat badan perlu diperhatikan.Kegagalan pengobatan pada
terapi percobaan ternyata hanya sekitar 5%, seperti yang dilaporkan oleh para
penulis. Separuh kasus tampak mengalami perbaikan klinis,walaupun demam
masih menetap tetapi keadaan umum tidak memburuk, dalam hal demikian
penyakit keganasan seringkali merupakan penyebab demam. Dapat
disimpulkan, bahwa pemeriksaan pada demam tanpa kausa jelas harus
dilakukan secara sistematik, walaupun pada umumnya pengobatan berhasil
memuaskan dan jarang berakhir dengan kegagalan. 4

Terapi simptomatik
Penggunaan obat penurun panas bertujuan untuk menurunkan suhu tubuh dan
membuat anak merasa lebih nyaman, namun tidak efektif untuk mencegah kejang
demam.
a. Parasetamol merupakan pilihan lini pertama untuk menurunkan demam dan
menghilangkan nyeri. Merupakan metabolit aktif asetanilid dan fenasetin.
Pilihan dosis 10-15 mg/kgBB/ x. Keracunan paraseetamol dapat diberikan
antidotum berupa N-asetil-sistein dosisi 300mg/kgBB IV selama 20 jam
(diberikan dalam waktu 24 jam setelah pemberian parasetamol. Dilaporkan
cukup efektif jika diberikan 140mg/kgBB PO dilanjutkan 4 jam kemudian
70mg/kgBB setiap 4 jam sampai 17 dosis)4
b. Ibuprofen.
Merupakan turunan asam propionat yang memiliki efek antiinflamasi,
analgesik dan antipiretik. Ibuprofen termasuk kedalam obat golongan NSAID
(non-steroid anti inflammatory drug) yang bekerja menghambat
siklooksigenase-1 dan siklooksigenase-2. Dosis 5-10mg/kgBB/hari
dilaporkan lebih poten dan memiliki efek supresi demam lebih lama
dibandingkan dosis parasetamol. Pemberian ibuprofen pada arthritis
rheumatoid dengan dossi 20-40mg/kgBB/hari. Tatalaksana keracunan
ibuprofen dengan pemberian obat muntah / cuci lambung. Activated charcoal
dan perawatan suportif.4

Tirah baring:
Aktifitas fisik yang tinggi dapat meningkatkan suhu tubuh anak dengan demam dan
tanpa demam. Walaupun demikian, pergerakan anak yang demam selama aktivitas
normal tidak cukup menyebabkan demam. Memaksakan anak demam untuk tirah
baring tidak efektif, tidak disenangi dan mengganggu secara psikologis. Suatu
penelitian kontrol-kasus dari 1082 anak dengan demam, ditemukan bahwa tirah
baring tidak menurunkan suhu secara signifikan.13

Kompres air hangat (tepid sponging):


Tepid merupakan suatu kompres/sponging dengan air hangat. Penggunaan kompres
air hangat di lipat ketiak dan lipat selangkangan (inguinal) selama 10-15 menit akan
membantu menurunkan panas dengan cara panas keluar lewat pori-pori kulit melalui
proses penguapan. Jika dokter dan orang tua merasa kompres diperlukan (misalnya
suhu tubuh meningkat lebih dari 40 derajat Celsius, yang tidak respon obat penurun
panas, maka penting untuk memberikan obat penurun panas terlebih dahulu untuk
menurunkan pusat pengatur suhu di susunan saraf otak bagian hipotalamus, kemudian
dilanjutkan kompres air hangat.13

3.7. Prognosis
Prognosis prolonged fever pada anak lebih baik (dubia ad bonam) daripada
pasien dewasa karena rendahnya frekuensi kasus keganasan. Banyak kasus di mana
diagnosis tak dapat ditegakkan, tetapi demam dapat sembuh secara spontan. Sebanyak
25% kasus dengan demam yang persisten, penyebab demam masih tetap tak diketahui
meskipun telah melalui evaluasi yang menyeluruh.1,5

Anda mungkin juga menyukai