Anda di halaman 1dari 14

1.1.1.

Definisi
Kortikosteroid adalah derivat hormon steroid yang dihasilkan oleh kelenjar
adrenal. Hormon ini memiliki peranan penting seperti mengontrol respon inflamasi.
Hormon steroid dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu glukokortikoid dan
mineralokortikoid. Glukokortikoid memiliki efek penting pada metabolism
karbohidrat dan fungsi imun, sedangkan mineralokortikoid memiliki efek kuat
terhadap keseimbangan cairan dan elektrolit.7,8
Penggunaan kortikosteroid di klinik mendasar pada efek metabolisme dan efek
katabolisme, antiinflamasi, imunosupresi dan juga sebagai antiproliferasi.
Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein, lemak dan mineral
pada sel yang berperan pada fungsi sistem kardiovaskular, ginjal, otot lurik dan
tulang, sistem saraf dan organ lainnya. Pertimbangan pemberian kortikosteroid tentu
mendasar pada efek positif dan efek negatif. Efek negatif bergantung pada dosis serta
lamanya penggunaan yang bisa berefek pada atrofi dari kelenjar korteks adrenal
sampai pada glaukoma, gangguan keseimbangan natrium, kalium, kalsium serta
nitrogen demikian juga sistem imunitas dan hormon-hormon lainnya seperi hormon
pertumbuhan.9
Kortikosteroid banyak digunakan untuk tatalaksana penyakit inflamasi seperti
reumathoid arthritis (RA) dan systemic lupus erythematosus (SLE). Kortikosteroid
juga diresepkan dalam berbagai pengobatan seperti replacement therapy pada
penderita insufisiensi adrenal, supresor sekresi androgen pada congenital adrenal
hyperplasia (CAH), dan terapi kelainan-kelainan non endokrin seperti penyakit ginjal,
infeksi, reaksi transplantasi, alergi, dan lain-lain.4 Kortikosteroid juga banyak
diresepkan untuk penyakit kulit, baik itu penggunaan topikal maupun sistemik.11
Penggunaan yang luas dan manfaat yang banyak, membuat kortikosteroid
menjadi obat yang digemari. Selain memiliki manfaat yang banyak, kortikoseteroid
memiliki banyak efek samping, yaitu sekitar sembilan puluh lima efek samping
pengobatan. Kortikosteroid sering disebut life saving drug karena dalam
penggunaanya sebagai antiinflamasi, kortikosteroid berfungsi sebagai terapi paliatif,
yaitu menghambat gejala saja sedangkan penyebab penyakit masih tetap ada. Hal ini
akhirnya menyebabkan kortikosteroid banyak digunakan tidak sesuai indikasi, dosis,
dan lama pemberian.10
Penggunaan yang terus menerus menyebabkan efek samping yang serius dan
bersifat merugikan. Efek samping yang ditimbulkan oleh kortikosteroid akan menjadi
semakin buruk apabila digunakan tidak sesuai dengan aturan pakainya, baik itu dosis
maupun lama pemakaian.7 Maka penting dipertimbangkan indikasi dan efek samping
pengunaan kortikosteroid sebelum memulai terapi.

2.3.2. Mekanisme Kerja Kortikosteroid


Secara umum mekanisme kerja kortikosteroid mendasar pada ikatan dengan
reseptor protein spesifik corticosteroid binding globulin (CBG), suatu α-globulin yang
disintesa di liver. Sekitar 95% kortikosteroid yang yang beredar disirkulasi akan
berikatan dengan CBG dan sisanya sekitar 5% beredar bebas dan atau terikat longgar
dengan albumin.9
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein.
Molekul hormon memasuki sel melewati membran plasma secara difusi pasif. Hanya
dijaringan target hormon ini bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam
sitoplasma sel dan membentuk kompleks reseptor-steroid. Kompleks ini mengalami
perubahan konfirmasi, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin.
Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis
protein ini yang akan menghasilkan efek fisiologik steroid.12
Diketahui bahwa kortikosteroid mempengaruhi metabolisme baik di perifer
maupun di liver. Di perifer kortikosteroid memobilisasi asam amino di sejumlah
jaringan seperti limfa, otot dan tulang. Akibatnya terjadi atrofi jaringan limfa,
menurunnya massa otot, osteoporosis. Di liver ditemukan induksi sintese de-novo dari
sejumlah enzim yang berkaitan dengan glukoneogenesis dan keseimbangan asam
amino yang nantinya berefek nyata dalam hal antiinflamasi selain efek metabolik dan
imunogenik.6

2.3.3. Efek Kortikosteroid pada Fungsi Tubuh


 Metabolisme Karbohidrat dan Protein
Kortikosteroid berperan dalam metabolisme karbohidrat dan protein dimana
berfungsi untuk mempertahankan jaringan tubuh dari kekurangan zat tersebut.
Hormon ini menstimulasi liver untuk membentuk glukosa dari asam amino dan
gliserol dan untuk menyimpan gula dalam bentuk glikogen liver.12
Di perifer, glukokortikoid berefek mengurangi pemakaian glukosa,
meningkatkan katabolisme protein dan sintesis glutamin, dan mengaktifkan lipolisis.
Hasil akhirnya akan terjadi peningkatan kadar glukosa darah dan merangsang
pelepasan insulin tambahan.7
 Metabolisme Lemak
Peningkatan kadar insulin merangsang lipogenesis dan sedikit menghambat
lipolisis sehingga hasil akhirnya adalah peningkatan deposit lemak, peningkatan
penglepasan asam lemak dan gliserol. Daerah ekstremitas tidak terlalu sensitif
terhadap insulin dan lebih sensitif terhadap reaksi lipolisis sehingga akan terjadi
penurunan cadangan lemak pada ekstremitas dan akan terjadi peningkatan cadangan
lemak pada belakang leher (bufallo hump), wajah (moon face), dan area
supraklavikular.7
 Elektrolit dan Keseimbangan Cairan
Mineralkortikoid bekerja di tubulus distal dan duktus kolektivus di ginjal untuk
meningkatkan reasobsi Na+ dari cairan tubular dan meningkatkan sekresi K + dan H+
ke urin. Dampak kelebihan pemakaian mineralkortikoid adalah peningkatan volume
ekstracelular, hipokalemia, dan alkalosis.12
Glukokortikoid memiliki efek berbeda dengan mineralkortikoid. Efek
penggunaan glukokortikoid adalah meningkatkan diuresis air, laju filtrasi ginjal, dan
aliran plasma ginjal. Glukokortikoid dalam metabolisme Ca2+ berefek untuk
menurunkan penyerapan Ca2+ di usus dan meningkatkan ekskresi Ca2+ di ginjal. Hal
ini menyebabkan tubuh kekurangan kalsium terutama berdampak pada penurunan
kepadatan tulang.13
 Kardiovaskular
Kortikosteroid dapat mempengaruhi sistem kardiovaskular secara langsung
maupun tidak langsung. Pengaruh tidak langsung ialah terhadap keseimbangan air dan
elektrolit; misalnya pada hiperkortisisme, terjadi pengurangan volume yang diikuti
peningkatan viskositas darah. Bila keadaan ini didiamkan akan timbul hipotensi dan
akhirnya kolaps kardiovaskular. Pengaruh langsung steroid terhadap sistem
kardiovaskular antara lain pada kapiler, arteriol, dan miokard.
Defisiensi kortikosteroid dapat menyebabkan permeabilitas dinding kapiler
meningkat, respons vasomotor pembuluh darah kecil berkurang, fungsi jantung
menurun dan curah jantung menurun.12
 Otot dan Tulang
Untuk mempertahankan otot rangka agar dapat berfungsi dengan baik,
dibutuhkan kortikosteroid dalam jumlah cukup. Tetapi apabila hormon ini berlebihan,
timbul gangguan fungsi otot rangka tersebut.12
Pada pemakaian mineralkortikoid berlebih akan terjadi kelemahan otot yang
disebabkan oleh hipokalemia. Sementara pada pemakaian glukokortikoid berlebih
berakibat wasting otot rangka yaitu pengurangan massa otot. Mekanisme miopati
pada pemakaian glukokortikoid, disebabkan oleh efek katabolik dan antianaboliknya
pada protein otot yang disertai hilangnya massa otot, penghambatan aktivitas
fosforilase dan adanya akumulasi kalsium otot yang menyebabkan penekanan fungsi
mitokondria.12
 Sistem Saraf Pusat
Kortikosteroid secara tidak langsung mempengaruhi sistem saraf pusat melalui
efeknya terhadap tekanan darah, kandungan glukosa darah, dan kontrol terhadap
elektrolit. Secara langsung, kortikosteroid dapat mempengaruhi mood, perilaku, dan
kepekaan otak.7
Pasien penyakit addison dapat menunjukan gejala apatis, depresi dan cepat
tersinggung bahkan psikosis. Gejala tersebut dapat diatasi dengan kortisol.
Penggunaan glukokortikol untuk waktu yang lama dapat menimbulkan serangkaian
reaksi yang berbeda-beda. Sebagian besar mengalami perbaikan mood yang mungkin
disebabkan hilangnya gejala penyakit yang sedang diobati, yang lain memperhatikan
keadaan euforia, insomnia, kegelisahan dan peningkatan aktivitas motorik, kortikol
juga dapat menyebabkan depresi.12
Pada hiperkortisme umumnya terjadi peningkatan kepekaan jaringan saraf,
nampaknya perubahn tersebut berhubungan dengan perubahan kadar elektrolit diotak.
Sebaliknya pemberian kortisol dapat meningkatkan kepekaan otak tanpa
mempengaruhi kadar Na+ dan K+ otak. Pada insufisiensi adrenal dapat terjadi
penurunan ambang rangsang untuk persepsi rasa, bau dan bunyi. Pada hiperkortisisme
terjadi keadaan sebaliknya. Perubahan ambang rangsang ini dapat diatasi dengan
kortisol. Glukokortikoid dosis tinggi dalam waktu lama dapat menimbulkan gejala
pseudotumor cerebri karena tekanan intrakranial yang meningkat.12
 Elemen Pembentuk Darah
Glukokortikoid meningkatkan kadar hemoglobin dan sel darah merah,
kemungkinan dengan memperlambat eritrofagositosis. Glukokortikoid dapat
meningkatkan jumlah leukosit polimorfonuklear karena mempercepat masuknya sel-
sel tersebut kedalam darah dari sumsum tulang dan mengurangi kecepatan
berpindahnya sel dari sirkulasi. Sebaliknya, jumlah sel limfosit, eosofil, monosit dan
basofil dalam darah dapat menurun sesudah pemberian glukokortikoid. Hal ini terjadi
4 sampai 6 jam setelah pemberian dan bertahan sekitar 24 jam. Jumlah sel kemudian
meningkat 24 sampai 72 jam setelah pemberian. Penurunan limfosit, monosit, dan
eosinofil lebih banyak disebabkan karena redistribusi sel dari pada akibat destruksi
sel.12,13
 Gastrointestinal
Glukokortikoid meningkatkan produksi kelenjar ludah, sekresi asam lambung
dan aliran darah ke mukosa lambung, sekaligus menurunkan laju proliferasi sel
lambung. Dari efek ini dapat menimbulkan peningkatan asam lambung disertai panas
pada lambung. Keadaan ini akan memperparah ulkus di saluran gastrointestinal.13
 Anti-Inflamasi dan Imunosupressan
Glukokortikoid dapat mencegah atau menekan timbulnya gejala inflamasi
akibat radiasi, infeksi zat kimia, mekanik atau alergen. Penggunaan klinik
kortikosteroid sebagai anti inflamasi merupakan terapi paliatif, yaitu hanya gejalanya
yang dihambat sedangkan penyebab penyakit tetap ada. Pada penggunaan
glukokortiroid kadang-kadang terjadi masking effect, dimana penyakit terlihat sudah
sembuh dari luar tetapi masih ada di dalam tubuh.12
Efek anti inflamasi dan imunosupressan dari pemberian glukokortikoid
disebabkan dari efek terhadap penurunan limfosit dan respon imunnya sehingga reaksi
imunitas tubuh berkurang. Glukokortikoid juga menurunkan pengeluaran pro-
inflammatory cytokines yaitu COX-2 dan NOS2.7

Gambar 2 Tabel proses anti inflamasi dan imunosupressan dari glukokortikoid


Sumber : Goodman & Gilman’s Manual of Pharmacology and Therapeutics. 2nd Ed.
 Hormon Pertumbuhan
Penggunaan glukokortikoid pada anak dalam waktu yang lama, dapat
menghambat pertumbuhan karena efek antagonisnya terhadap kerja hormon
pertumbuhan diperifer. Efek ini berhubungan dengan besarnya dosis yang dipakai.
Pada beberapa jaringan, terutama di otot dan tulang, glukokortiroid menghambat
sintesis dan menambah degradasi protein dan RNA. Hal ini lah yang menyebabkan
kegagalan fungsi hormon pertumbuhan.7
Pada tulang, glukokortikoid menghambat maturasi dan proses pertumbuhan
tulang. Hal ini terjadi karena penurunan hormon pertumbuhan menyebabkan
berkurangnya poliferasi sel di kartilago epifisis dan hambatan aktivitas osteoblas di
tulang lalu ditambah dengan rendahnya penerimaan kalsium saat pengunaan
kortikosteroid.12

 Farmakokinetik Kortikosteroid
Kortikosteroid terutama glukokortikoid mudah diserap baik oleh tubuh secara
oral. Jika diinginkan kadar tinggi dalam waktu cepat maka digunakan jalur IV, kalau
dibutuhkan lebih lambat maka digunakan jalur IM. Perubahan struktur kimia sangat
mempengaruhi kecepatan absorbsi, mulai kerja dan lama kerja karena juga
mempengaruhi afinitas terhadap reseptor, dan ikatan protein.12
Glukokortikoid dapat diabsorbsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan ruang
sinovial. Penggunaan jangka panjang pada daerah kulit yang luas dapat menyebabkan
efek sistemik, antara lain supresi korteks adrenal.12
Pada keadaan normal, 90% glukokortikoid terikat pada 2 jenis protein plasma
yaitu globulin pengikat kortikosteroid dan albumin. Anfinitas globulin tinggi tetapi
kapasitas ikatan rendah, sebaliknya afinitas albumin rendah tetapi kapasitas ikatannya
relatif tinggi. Karena itu pada kadar rendah atau normal sebagian besar kortikosteroid
terikat globulin. Bila kadar kortikosteroid meningkat jumlah hormon yang terikat
albumin dan bebas juga meningkat, sedangkan yang terikat globulin sedikt mengalami
perubahan. Kortikosteroid berkompetisi sesamanya untuk berikatan dengan globulin
pengikat kortikosteroid. Glukokortikoid mempunyai anfinitas tinggi sementara
mineralkortikoid mempunyai anfinitas rendah.12
Gambar 3 Tabel preparat kortikosteroid dan fungsinya
Sumber : Goodman & Gilman’s Manual of Pharmacology and Therapeutics. 2nd Ed.

2.3.4. Toksikologi dari Pengunaan Kortikosteroid


Ada 2 kategori toksik dari pengunaan kortikosteroid, karena penghentian
kortikosteroid secara mendadak (withdrawal of therapy) dan pemakaian
kortikosteroid yang terlalu lama atau dosis tinggi. Keduanya memiliki pengaruh besar
ke fisiologi tubuh pasien sehingga diperlukan pengunaan kortikosteroid yang tepat.7
Pada kasus withdrawal of therapy, gejala yang timbul yaitu demam, mialgia,
malaise, dan arthralgia. Terjadi pada pasien yang menerima pengobatan dalam jangka
2-4 minggu dan berhenti tanpa tappering off. Gejala akan hilang sendirinya dalam
beberapa minggu-bulan tetapi jika penderita sensitif terhadap kortikosteroid maka
bisa memanjang sampai setahun / lebih.7
Pada kasus pengunaan kortikosteroid terlalu lama atau dosis tinggi, dapat terjadi
gangguan keseimbangan elektrolit, hipertensi, hiperglikemia, peningkatan kejadian
infeksi, gangguan pertumbuhan (pada anak), osteoporosis, miopati, katarak, dan
gangguan distribusi lemak.7
Gambar 4 Tabel rangkuman singkat efek kortikosteroid pada tubuh
Sumber : http://tmedweb.tulane.edu/pharmwiki/doku.php/glucocorticoid_pharmacolog

2.4 Penggunaan Nasal Steroid dalam Penatalaksanaan Rhinitis Alergi


2.4.1 Mekanisme Kerja Nasal Steroid
Kortikosteroid bekerja mengendalikan laju sintesis protein. Saat diberikan
baik secara sistemik maupun topikal, molekul steroid bebas akan berdifusi secara
pasif ke membran sel target dan memasuki sitoplasma dan kemudian berikatan dengan
reseptor glukokortikoid. Kemudian reseptor glukokortikoid teraktivasi dan memasuki
inti sel, dan kemudian melekat sebagai dimer pada lokasi ikatan spesifik (elemen
respon glukokortikoid) pada DNA di gen 5’-upstream promotor region of steroid-
response. Efek interaksi ini menginduksi dan mensupresi transkripsi gen. Transkripsi
RNA messenger terinduksi selama proses ini kemudian diikuti proses post-
transkripsional dan ditransportasikan ke sitoplasma untuk translasi ribosom, dengan
produk sampingan protein baru. Setelah proses post-transkripsional terjadi, protein
baru dilepaskan untuk aktivitas ekstraselular atau ditahan oleh sel untuk aktivitas
intraselular. Waktu yang dibutuhkan untuk transalasi RNA messenger dan transkripsi
protein dapat terjadi pada lag phase antara pemberian dan menghasilkan aktivitas
klinis kortikosteroid.16,17
Penelitian terkini, terlihat bahwa aktivasi reseptor glukokortikoid dapat
berinteraksi langsung dengan faktor transkripsi lain di sitoplasma, yang mana dapat
sangat mempengaruhi respon steroid pada sel target.16
Efektivitas kortikosteroid dalam penatalaksanaan rhinitis alergi berkaitan
dengan beberapa aksi farmakologis. Kortikosteroid telah menunjukkan efek spesifik
dalam sel inflamasi dan mediator kimia yang terlibat dalam proses alergi. Mediator
kimia yang dipengaruhi secara langsung oleh kortikosteroid adalah leukotrien dan
prostaglandin, yang disintesa dari asam arakidonat melalui jalur enzimatik
lipoksigenase dan siklooksigenase. Kortikosteroid meningkatkan sintesis suatu protein
(lipocortin-1) yang memiliki efek fosfolipase A2 dan dapat menghambat produksi
mediator lipid. Mediator lainnya seperti histamin, platelet activating factor, kinin dan
substansi P dipengaruhi secara tidak langsung pada sel-sel inflamasi.16
Kortikosteroid mengurangi jumlah limfosit T yang bersirkulasi dan
menghambat aktivasi limfosit T, produksi IL-2, generasi reseptor IL-2, dan produksi
IL-4. Kortikosteroid juga mengurangi jumlah eosinofil yang bersirkulasi dan influks
eosinofil dalam RAFL, menghambat IL-5 yang dimediasi eosinofil, dan menghambat
produksi GM-CSF. Kortikosteroid mengurangi sel mast nasal dan kadar histamin,
mengurangi jumlah basofil di sirkulasi dan menghjambat influks netrofil setelah
paparan alergen. Kortikosteroid menyebabkan reduksi jumlah makrofag dan monosit
dalam sirkulasi dan menghambat pelepasan sitokin termasuk IL-1, IFN-1, TNF-a dan
GM-CSF.16
Steroid intranasal mempengaruhi seluruh aspek respon inflamasi nasal. Efek
inhibisi steroid intranasal pada respon alergi fase cepat dan lambat telah diteliti pada
beberapa penelitian.16
Durasi penggunan kortikosteroid pretreatment merupakan faktor yang
mempengaruhi RAFC. Pada penelitian ditemukan inhibisi signifikan dari peningkatan
resistensi jalur napas nasal pada penggunaan beclometasone. Penggunaan steroid juga
mengurangi produksi sekret nasal dan hidung tersumbat yang diukur menggunakan
rhinomanometri. Pemberian steroid pretreatment sangat efektif dalam menurunkan
symptom scores. Steroid juga mempengaruhi RAFL dengan menurunkan gejala
bersin, kadar histamin dan aktivitas TAME-esterase.16
Penelitian lain menunjukkan steroid secara signifikan menurunkan kadar
protein kationik eosinofil pada sekret nasal. Kortikosteroid juga secara signifikan
menghambat influksbasofil, eosinofil, netrofil, dan sel mononukleat pada RAFL
penderita yang terpapar alergen musiman. Pada biopsi nasal penderita rhinitis alergi
yang diberikan steroid intranasal juga tidak ditemukan peningkatan eosinofil epitelial,
submukosal dan sel mast epitelial. Penggunaannya juga mengurangi jumlah antigen-
presenting cell dan sel T di mukosa nasal pasien rhinitis alergi. Penggunaan steroid
juga menurunkan kadar chemokins (IL-8, macrophage inflammatory protein-1a, dan
RANTES) dan sitokin (IL-1b dan GM-CSF) pada sekret nasal pasien alergi setelah
paparan alergen.16,17

2.4.2 Dosis dan Sediaan Nasal Steroid


Sediaan dan dosis steroid yang sering dipergunakan ditampilkan pada tabel berikut:16

Kortikosteroid Bioavailabilitas
Dosis dan Pemberian
Merek Dagang Intranasal
Beclomethasone 1-2 spray/nostril 168-336 µg/hari Dewasa dan Belum diketahui
Beconase AQ® 2 kali sehari anak ≥ 6 tahun
42 µg per spray
Vancenase 1 atau 2 spray/ 168-336 µg/hari Dewasa dan
84AQ® nostril per hari anak ≥ 6 tahun
84 µg per spray
2 spray/nostril 200 µg/hari Dewasa ≥ 15 40%-50%
Flunisolide dua kali sehari tahun
Nasalide® / atau 300 µg/hari
Nasarel®, 25 µg 2 spray/nostril 3
per spray kali sehari 150 µg/hari Anak 6-14 tahun
1 spray/nostril 3
kali sehari atau 200 µg/hari
2 spray/nostril 2
kali sehari
256 µg/hari Dewasa dan 20%
Budesonide 2 spray/nostril 2 anak ≥ 6 tahun
Rhinocort®, 32 kali sehari
µg per spray 4 spray/nostril
per hari
200 µg/hari Dewasa dan 0,5%- 2%
Fluticasone 2 spray/nostril anak ≥ 12 tahun
Flonase®, 50 µg per hari 100-200 µg/hari Anak 4-11 tahun
per spray 1-2 spray/nostril
per hari
220-440 µg/hari Dewasa dan Belum diketahui
Triamcinolone 2-4 spray/nostril anak ≥ 12 tahun
Nasacort®, 55 µg per hari 220 µg/hari Anak 6-11 tahun
per spray 2 spray/nostril
per hari
220 µg/hari Dewasa dan
Nasacort AQ®, 55 2spray/nostril anak ≥ 12 tahun
µg per spray per hari 110-220 µg/hari Anak 6-12 tahun
1-2 spray/nostril
per hari
200 µg/hari Dewasa dan 0,1%
Mometasone 2 spray /nosreil anak ≥ 6 tahun
Nasonex®,50 µg per hari
per spray

Tabel 3. Dosis dan cara pemberian beberapa sediaan steroid intranasal


Dikutip dari Craig LaForce: Use of Nasal Steroids in Managing Allergic Rhinitis. J Allergy Clin
Immunol 1999;103:S388-94

2.4.3 Keuntungan
Penelitian efek humoral steroid intranasal menunjukkan pengaruh langsung
respon imun pada alergen musiman oleh regulasi produksi antibodi alergen spesifik.
Penggunaan steroid mengurangi gejala rhinitis dan mengantisipasi peningkatan IgE
spesifik selama paparan alergen. Penggunaan kortikosteroid intranasal juga terlihat
lebih efektif dalam mengatasi rhinitis alergika perenial dibandingkan antihistamin
generasi kedua.16
Kortikosteroid intranasal juga sering dikominasikan dengan antihistamin
untuk mengurangi gejala pada mata dengan lebih cepat. Pada suatu penelitian juga
terlihat bahwa kortikosteroid intranasal juga lebih baik dibandingkan dengan
Pollinex-R, suatu bentuk imunoterapi.17
Sediaan baru nasal steroid dengan bioavailabilitas sistemik rendah seperti mometason
dan fluticason dipertimbangkan pada penatalaksanaan rhinitis alergi pada anak.
Sediaan ini telah disetujui oleh FDA dimulai pada usia 3 tahun (mometason) dan 4
tahun (fluticason), dengan dosis yang direkomendasikan setengah dari dosis dewasa.
Mometason dan fluticason hampir tidak diabsorbsi di traktus gastrointestinal, dengan
fraksi yang diabsorbsi dimetabolisme dengan cepat di hepar.17

2.4.4 Efek Samping


Efek samping penggunaan kortikosteroid juga jarang dilaporkan. Efek
samping yang paling sering adalah iritasi nasal, yang terjadi pada 10% pasien. Hal ini
memberikan gejala berupa sensasi terbakar atau bersin-bersin. Dua persen pasien
melaporkan mengeluarkan sekret hidung bercorak darah akibat obat maupun gejala.
Perforasi septum juga pernah dilaporkan meskipun sangat jarang. Biopsi nasal setelah
penggunaan obat dalam jangka waktu lama juga tidak memperlihatkan penipisan
epitel nasal atau abnormalitas mukosa nasal. Superinfeksi mukosa oleh Candida
albicans, yang biasanya ditemukan pada penggunaan kortikosteroid topikal, inhalasi
oral pada penatalaksanaan asma, bukanlah hal yang sigifikan di hidung.16,17
Efek samping sistemik telah dipermasalahkan sejak dahulu. Deksametason,
kortikosteroid topikal pertama yang tersedia di Amerika Serikat, telah diperhitungkan
absorbsi sistemiknya menyebabkan supresi adrenal setelah penggunaan jangka
panjang. Sediaan yang lebih baru seperti yang digunaan saat ini memiliki absorbsi
sistemik yang lebih rendah dan pada dosis standar yang digunakan untuk terapi
rhinitis alergi, tidak ditemukan efek pada aksis hipotalamus-pituitari-adrenal. Katarak
retrokapsular pernah diaporkan pada terapi beklometason. Namun penelitian lebih
lanjut menujukkan efek katarak akibat penggunaan steroid ini tidak lebih tinggi
daripada efek yang ditimbulkan akibat tidak digunakannya kaca mata hitam.17
Gangguan pertumbuhan tulang pada anak juga telah diperhatikan,
sebagaimana yang diamati pada penggunaan steroid jangka panjang pada asma. Hal
ini diamati pada penggunaan beclometason. Namun penggunaan steroid dosis rendah
namun dapat mengurangi gejala rhinitis pada jangka panjang masih disarankan dan
aman. Penelitian penggunaan mometason furoat pada anak-anak dengan rhinitis alergi
parenial tidak menyebabkan retardasi pertumbuhan atau supresi aksis hipotalamus-
pituitari-adrenal. Efek jangka panjang penurunan kecepatan pertumbuhan yang
berpengaruh pada tinggi saat dewasa dan kemampuan mengejar pertumbuhan setelah
penghentian terapi steroid belum diteliti secara adekuat. Namun disarankan
pengamatan reguler setiap 3 hingga 6 bulan dengan instrumen adekuat (statiometer)
oleh staf terlatih. Lebih lanjut, perlu dipertimbangkan penggunaan sediaan baru
dengan bioavailabilitas sistemik rendah seperti mometason dan fluticason pada
penatalaksanaan rhinitis alergi pada anak. Sediaan ini telah disetujui oleh FDA
dimulai pada usia 3 tahun (mometason) dan 4 tahun (fluticason), dengan dosis yang
direkomendasikan setengah dari dosis dewasa. Mometason dan fluticason hampir
tidak diabsorbsi di traktus gastrointestinal, dengan fraksi yang diabsorbsi
dimetabolisme dengan cepat di hepar.17

Anda mungkin juga menyukai