Anda di halaman 1dari 3

Pendahuluan

Dispepsia merupakan penyakit pada saluran pencernaan atas yang menimbulkan rasa tidak
nyaman dan menganggu pelaku. Beberapa faktor yang diduga berkaitan seperti riwayat penyakit,
riwayat keluarga, pola hidup, makanan, dan psikologis. Dispepsia diklasifikasikan menjadi
organik dan fungsional. Gejala dapat berlangsung kronis dan kambuhan, sehingga berdampak bagi
kualitas hidup penderita. Setiap klasifikasi dan jenis memiliki penanganan yang berbeda pula.1

Isi

Pemeriksaan bakteri Helicobacter pylori dilakukan lebih awal sebelum melakukan


pengobatan dan penanganan infeksi. Apabila didapatkan tanda-tanda bahaya (alarming features),
yaitu gejala dispepsia yang muncul pada usia lebih dari 55 tahun, terjadinya penurunan berat badan
yang tidak jelas, anoreksia, memliki rasa cepat kenyang, muntah, disfagia progresif, odinofagia,
perdarahan, anemia, ikterus, terbentuknya massa abdomen, pembesaran kelenjar limfe, riwayat
kanker saluran cerna atas pada keluarga, ulkus peptikum, pembedahan lambung, dan keganasan
dimana diperlukannya tindakan esofagogastroduodenoskopi sebagai diagnosis awal untuk
pemilihan penanganan yang tepat.1

Bila tidak sesuai dengan kondisi di atas, terdapat 2 tindakan yang dapat dilakukan, yaitu
Test-and-treat untuk endeteksi ada tidaknya infeksi dari bakteri Helicobacter pylori secara
noninvasif yang tervalidasi, yang kemudian diberikan pemberian obat penekan asam bila eradikasi
berhasil, tetapi gejala masih tetap ada dan pengobatan empiris yang menggunakan proton-pump
inhibitor (PPI) selama 4-8 minggu. Pengobatan empiris menggunakan obat antisekresi merupakan
pengobatan utama dispepsia. Test-and-treat dianjurkan untuk mengobati populasi dengan
prevalensi infeksi H. pylori tingkat sedang sampai tinggi bernilai >10%, sedangkan pengobatan
empiris disarankan untuk digunakan pada populasi dengan prevalensi infeksi H. pylori rendah.2

Urea breath test (UBT) digunakan sebagai uji coba awal terhadap keberaadaan H. Pylori.
Namun, dalam upaya eradikasi H. Pylori, perlu diwaspadai adanya resistensi tehadap pengobatan
antibiotic yang diberikan. Ditemukan peningkatan resistensi terhadap levofloksasin yang
menyerupai tingkat resistensi terhadap klaritromisin.3
Selanjutnya, langkah yang perlu dilakukan adalah menyingkirkan kemungkinan penyebab
organik. Apabila kemungkinan tersebut telah disingkirkan, untuk makin mengoptimalkan
pengelolaan pasien dispepsia fungsional, perlu diketahui subklasifi kasi dispepsia fungsional
tersebut. Apabila ditemukan ulcer-like dyspepsia, pengobatan antasida, antagonis reseptor H2, dan
PPI sangat dianjurkan. Apabila didapatkan dysmotility-like dyspepsia, pengobatan dengan agen
prokinetik merupakan pilihan yang lebih baik.4

Terapi terbaru, seperti ekstrak herbal STW 5 atau yang lazim dikenal dengan Iberogast,
masih dalam penelitian. Efektivitas akupunktur masih dalam diuji sebagai meningkatkan motilin
plasma, frekuensi elektrogastrografi k, pengosongan lambung, dan meredakan gejala-gejala
dispepsia fungsional.4

Terapi dispepsia fungsional dibedakan untuk tipe klasfikasi yang lain, yaitu nyeri
epigastrum atau distres postprandial. Pada tipe nyeri epigastrium, pengobatan pertama terapi
bertujuan menekan asam lambung dengan menggunakan H2-blocker ataupun PPI. Pada tipe
distres postprandial pengobatan pertama dengan berbagai agen prokinetik, seperti metoklopramid
ataupun domperidon (antagonis dopamin), acotiamide (inhibitor asetilkolinesterase), cisapride
(antagonis serotonin tipe 3 /5HT3), tegaserod (agonis 5HT4), buspiron (agonis 5HT1a). Bila
pengobatan pertama gagal, tipe pengobatan dapat saling dibalikan antar klasifikasi dyspepsia
fungsional sehingga berbagai terapi dapat digunakan secara berurutan ataupun kombinasi. Namun,
pengobatan yang berhubungan dengan psikososial juga digunakan antidepresan. Antidepresan
trisiklik (amitriptilin 50 mg/hari, nortriptilin 10 mg/ hari, imipramin 50 mg/hari) selama 8-12
minggu cukup efektif untuk terapi dispepsia fungsional, SSRI atau SNRI tidak lebih efektif dari
plasebo. Dapat dilakukan tes H. pylori pada kasus dispepsia fungsional karena infeksi tersebut
umumnya asimptomatik. Terapi kondisi psikologis seperti cemas atau depresi dapat membantu
pada kasus dispepsia yang sulit dan resisten. Terapi psikologis, akupunktur, suplemen herbal,
probiotik psikologis pada dispepsia fungsional masih belum terbukti. Edukasi pasien penting untuk
menghindari faktor pencetus seperti mengurangi stress atau kecemasan, memulai pola makan
teratur porsi lebih sedikit dan menghindari makanan pemicu.5
Penutup

Tata laksana pada dyspepsia dibedakan berdasarkan kebutuhan sehingga penanangannya


sangat bergantung kondisi. Secara umum penanganan awal dibedakan tiap-tiap klasifikasinya.
Sehingga, pengobatan dispepsia organik memerlukan pengobatan yang berbeda dengan
pengobatan dyspepsia fungsional. Pemilihan tata laksana yang tepat dapat mengurangi gejala yang
bersesuaian.

Referensi

1. Halder SL, Locke GR 3rd, Schleck CD, Zinsmeister AR, Melton LJ 3rd, Talley NJ. Natural
history of functional gastrointestinal disorders: a 12-year longitudinal population-based study.
Gastroenterology. 2007;133:799-807.
2. Montalto M, Santoro L, Vastola M, Curigliano V, Cammarota G, Manna R, et al. Functional
dyspepsia: defi nition, classifi cation, clinical and therapeutic management. [Article in Italian].
AnnItal Med Int. 2004 Apr-Jun;19(2):84-9.
3. Tack J, Bisschops R, Sarnelli G. Pathophysiology and treatment of functional dyspepsia.
Gastroenterology. 2004;127:1239-55.
4. Lacy BE, Talley NJ, Camilleri M. Functional dyspepsia: Time to change clinical trial design.
Am J Gastroenterol. 2010;105:2525-9.
5. Talley NJ. Functional dyspepsia: New insights into pathogenesis and therapy. The Korean
journal of internal medicine 2016;31(3):444-56.

Anda mungkin juga menyukai