Anda di halaman 1dari 42

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Semen


Semen merupakan bahan yang bersifat hirolis yang bila dicampur air akan
berubah menjadi bahan yang mempunyai sifat perekat. Penggunaannya antara lain
meliputi beton, adukan mortar, plesteran, bahan penambal, adukan encer (grout)
dan sebagainya. Pada umumnya terdapat beberapa jenis semen dan tipe semen yang
berada dipasaran. Beberapa jenis semen diatur dalam SNI, diantaranya : SNI 15-
2049-2004 mengenai semen portland (OPC = Ordinary Portland Cement) yang
dibedakan menjadi 5 tipe yakni :
1. Tipe I yaitu semen portland untuk penggunaan umum yang tidak
memerlukan persyaratan-persyaratan khusus seperti yang disyaratkan pada
jenis-jenis lain.
2. Tipe II yaitu semen portland yang dalam penggunaannya memerlukan
ketahanan terhadap sulfat atau kalor hidrasi sedang.
3. Tipe III semen portland yang dalam penggunaannya memerlukan kekuatan
tinggi pada tahap permulaan setelah pengikatan terjadi.
4. Tipe IV yaitu semen portland yang dalam penggunaannya memerlukan
kalor hidrasi rendah.
5. Tipe V yaitu semen portland yang dalam penggunaanya memerlukan
ketahanan tinggi terhadap sulfat.
Selain itu, SNI 15-0302-2004 mengenai semen portland pozolan (PPC =
Portland pozzoland cement). Semen portland pozolan adalah semen yang dibuat
dari campuran homogen semen portland bersamaan dengan bahan yang mempunyai
sifat pozolan. Campuran beton dan mortar menggunakan PPC mempunyai sifat
pengerjaan yang mudah, namun akan terjadi perpanjangan waktu pengikatan.
Kekuatan tekan beton dengan semen pozolan pada umur awal lebih rendah tetapi
pada umur lama akan semakin tinggi karena masih terjadi reaksi antara silika aktif
pozolan dengan Ca(OH)2 membentuk senyawa CSH. Jenis semen lainnya diatur
dalam SNI 15-7064-2004 mengenai semen portland komposit (PCC = Portland

3
Composite Cement) yakni semen yang dibuat dari hasil penggilingan terak semen
portland dan gips dengan bahan anorganik.
Bahan anorganik yang dicampur dapat lebih dari satu macam misalnya terak
tanur tinggi, pozolan, senyawa silikat, batu kapur dan sebagainya. Terdapat pula
semen masonry yang diatur dalam SNI 15-3758-2004. Semen masonry
didefinisikan sebagai campuran dari semen portland atau campuran semen hidrolis
dengan bahan yang bersifat menambah keplastisan (seperti batu kapur, kapur yang
terhidrasi atau kapur hidrolis) bersamaan dengan bahan lain yang digunakan untuk
meningkatkan satu atau lebih sifat seperti waktu pengikatan (setting time),
kemampuan kerja (workability), daya simpan air (water retention), dan ketahanan
(durability).
Semen adalah bahan perekat hidrolis-anorganik berbentuk powder halus
yang mempunyai sifat pengikatan kimia (adhesif & kohesif) dan dapat membentuk
senyawa baru (pasta hingga padatan), bila direaksikan dengan air dalam waktu
tertentu. Secara fisik semen selalu merupakan bubuk halus yang berwarna keabu-
buan yang mudah sekali mengeras bila dicampur dengan air atau dibiarkan terbuka
oleh udara yang mengandung air. Secara kimiawi semen merupakan kumpulan
beberapa persenyawaan yang karakteristik semen itu sendiri.
Di dalam semen terdapat kandungan senyawa:
1. Dikalsium silikat (2CaO.SiO2) atau disingkat C2S yang berfungsi
memberikan kekuatan setelah beberapa waktu lama
2. Trikalsium silikat (3CaO.SiO2) atau disingkat C3S yang berfungsi memberi
kekuatan awal pada semen pada waktu permulaan, 1-2 bulan.
3. Trikalsium aluminat (3CaO.Al2O3) atau disingkat C3A yang berfungsi
memberi pengaruh terhadap panad hidrasi semen.
4. Tetra kalsium aluminat (4CaO.Al2O3.Fe2O3) atau disingkat C4AF yang
berfungsi memberikan kekuatan akhir semen.

2.2 Sifat – sifat Semen


2.2.1 Sifat Fisika Semen
1. Hidrasi Semen

4
Hidrasi pada semen terjadi apabila ada kontak antara mineral alam dalam
semen dengan air. Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi hidrasi antara lain:
a. Jumlah air yang ditambahkan
b. Temperatur
c. Kehalusan semen
d. Bahan tambahan.
Faktor-faktor tersebut akan mengakibatkan terbentuknya pasta semen yang
dalam jangka waktu tertentu akan mengalami pengerasan.Proses hidrasi adalah
proses kristalisasi yang dibagi dalam 3 tahap proses:
a. Secara kimia, bahan-bahan dalam semen bereaksi dengan air membentuk
senyawa hidrat.
b. Secara fisika, senyawa hidrat yang terbentuk akan membentuk kristal karena
larutannya sangat jenuh.
c. Secara mekanis, kristal yang terbentuk saling mengikat secara kohesi dan
adhesi membentuk struktur yang kokoh.
2. Panas Hidrasi
Panas hidrasi merupakan panas yang dihasilkan oleh reaksi hidrasi (reaksi
eksotermis) jika semen dicampurkan dengan air. Biasanya panas hidrasi ini
dipengaruhi oleh:
a. Tipe semen
b. Komposisi semen
c. Kehalusan semen
d. Jumlah air yang ditambahkan
Reaksi hidrasi semen adalah:
1. 3CaO.SiO2 + 5H2O CaO.3SiO2.3H2O + Ca(OH)2
2. 3CaO.SiO2 + 4H2O CaO.3SiO2.3H2O + Ca(OH)2
3. 3CaO.Al2O3 + 3H2O CaO. Al2O3.H2O
4. 3CaO. Al2O3.H2O + 3CaSO4 3CaO. Al2O3. CaSO4.H2O
5. 4CaO.Al2O3. Fe2O3 + 4H2O 3CaO. Al2O3.H2O + CaO.
3. Setting Time dan Hardening
Pengikatan semen terutama ditentukan oleh terlalu cepatnya reaksi antara
C3A yang terdapat dalam semen dan air. Maka , untuk mengatur waktu pengikat

5
perlu ditambahkan bahan penghambat untuk mencegah hidrasi, yaitu gypsum.
Setting time sangat dipengaruhi oleh temperatur dan kelembaban relatif. Setting
time akan menurun jika klinker tidak terbakar sempurna, partikel semen halus,
tingginya kandungan alumina, alkali dan soda kaustik. Setting time akan meningkat
jika klinker dibakar pada temperatur yang sangat tinggi, partikel semen kasar,
gypsum, yang ditambahkan berlebih, tingginya kadar silika, natrium klorida
(NaCl), Barium klorida, sulfida, senyawa sulfat dan air sadah.
4. False Set
False set merupakan hasil dari hidrasi gypsum yang disebabkan karena
pemanasan berlebih, dengan reaksi kimianya:
CaSO4.2H2O CaSO4 + 2H2O
False set merupakan proses pengerasan semen yang tidak normal apabila air
ditambahkan ke dalam semen, sehingga dalam beberapa menit kekuatan segera
terjadi. Pengerasan ini disebabkan oleh adanya CaSO4.1/2H2O dalam semen.
Plastisitas akan diperoleh kembali jika campuran tersebut diaduk kembali. Pada
suatu saat, meskipun tidak mengurangi kekuatan semen, hal ini akan menimbulkan
kesulitan pada waktu proses pembuatan beton. False set ini dapat dihindari dengan
mengatur temperatur semen saat penggilingan di dalam cement mill agar gypsum
tidak berubah menjadi CaSO4.1/2H2O. Selain itu gypsum yang digunakan harus
cukup dan belum dehidrasi.
5. Kuat Tekan
Kuat tekan adalah suatu kemampuan suatu material menahan beban. Kuat
tekan ini sangat diperlukan dalam menentukan mix design dari beton untuk suatu
konstruksi tertentu. Kuat tekan akan meningkat jika nilai lime saturation factor
tinggi, nilai alumina ratio rendah, nilai silica ratio tinggi, kandungan SO3 rendah,
dan tingkat kehalusan semen tinggi. C3S memberikan konstribusi yang besar
terhadap perkembangan kekuatan awal, sedangkan C2S memberikan konstribusi
kekuatan semen pada umur yang lebih lama. C3A mempengaruhi kuat tekan sampai
tingkat tertentu pada umur 28 hari dan selanjutnya, pada umur berikutnya pengaruh
komponen ini makin kecil, sedangkan C4AF tidak berpengaruh terhadap kekuatan
semen.

6
6. Kelembaban
Selama penyimpanan atau pengangkutan, semen mudah menyerap uap air
dan karbondioksida (CO2) dari udara, sehingga akan menurunkan kualitas semen.
Hal ini ditandai dengan:
a. Bertambahnya lost on ignition (LOI)
b. Terbentuknya gumpalan-gumpalan
c. Menurunnya tekanan semen
d. Bertambahnya waktu setting time dan hardening.
Untuk mengatasi hal ini, diperlukan adanya penanganan pada penyimpanan
dan transportasinya antara lain:
a. Tempat penyimpanan semen tidak tembus air atau uap air
b. Jarak penyimpanan dari atas tanah 30 cm
7. Penyusutan
Penyusutan yang terjadi pada pasta semen di dalam campuran beton terbagi
menjadi 3 macam, yaitu:
1. Hidration shrinkage
2. Drying shrinkage
3. Carbonation shrinkage
Diantara ketiga penyusutan ini, Drying shrinkage lah yang paling
mempengaruhi dalam hal keretakan beton. Penyusutan ini terjadi karena adanya
penguapan air bebas dari pasta semen selama proses setting time dan hardening.
Penyusutan ini tidak akan terjadi apabila kelembaban terjaga, sehingga keretakan
beton dapat dihindari.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyusutan tersebut adalah:
a. Kadar C3A yang terlalu tinggi atau semen yang terlalu halus
b. Jumlah mixing water
c. Komposisi semen
Untuk mengatasi penyusutan yang dapat menimbulkan keretakan tersebut
maka kadar gypsum dalam semen dapat dipertinggi.
8. Daya tahan semen terhadap asam dan sulfat
Syarat ini diperlukan hanya untuk high sulfat cement yang dimaksudkan
untuk mengontrol kekuatan semen melalui sulfat. Daya tahan beton pada asam pada

7
umumnya sangat lemah, sehingga mudah terdekomposisi atau terurai oleh asam-
asam kuat seperti asam klorida (HCl), amoniak (NH3), dan asam sulfat (H2SO4).
Umumnya, asam akan mengubah konstruksi-konstruksi semen yang tidak
larut dalam air menjadi senyawa-senyawa yang larut dalam air. Tingkat keasaman
yang dapat merusak adalah keasaman dengan pH di bawah 6. Namun apabila
keasaman air disebabkan oleh pelarutan karbondioksida, maka pH di atas 6,5 juga
dapat merusak. Jika CO2 bereaksi CaCO3 ini bereaksi kembali dengan CO2 yang
ada di dalam air membentuk Ca(OH)2 yang sifat larut dalam air.
Reaksi yang terjadi adalah:
Ca(OH)2 + CO2 CaCO3 + H2O
CaCO3 + CO2 + H2O Ca(HCO3)2
Dengan terbentuknya Ca(HCO3)2 maka akan mengurangi kekuatan semen.
9. Soundness
Agar beton mempunyai daya tahan yang lebih baik, semen juga harus
memiliki kelenturan yang baik. Selama proses hidrasi, akan terjadi ekspansi
abnormal yang dapat menyebabkan beton menjadi retak. Ekspansi yang sangat
besar terjadi di dalam semen apabila kandungan free lime, magnesium oksida,
natrium oksida dan kalium oksida sangat tinggi atau gypsum yang ditambahkan
pada penggilingan akhir terlalu banyak.
10. Kehalusan (Blaine)
Kehalusan semen merupakan salah satu syarat fisika semen, karena akan
menentukan luas permukaan partikel-partikel semen pada saat hidrasi. Semakin
halus semen, panas hidrasi, kebutuhan air per satu satuan berat semen akan semakin
tinggi, serta reaksi hidrasi akan semakin cepat. Disamping itu, hal tersebut dapat
menyebabkan semakin singkatnya setting time, serta lebih mudahnya terjadi dryng
shrinkage, sehingga dapat menimbulkan keretakan pada permukaan beton. Semen
yang memiliki kehalusan yang terlalu tinggi akan mudah menyerap air dan
karbondioksida dari udara, jika semen terlalu kasar, maka kekuatan plstisitas, dan
kestabilan akan berkurang. Oleh karena itu, untuk menjaga agar semen dapat
dipakai dengan baik, kehalusannya dijaga sekitar 3200 – 3300 cm2/gram untuk
semen OPC dan 4200 – 4600 cm2/gram untuk semen PPC.

8
2.2.2 Sifat Kimia Semen
1. Hilang Pijar (LOI)
Lost on Ignation (LOI) adalah berat yang hilang (dalam %) dari sampel pada
waktu dipijarkan pada suhu dan waktu tertentu. Hilang pijar pada semen terutama
disebabkan karena terjadinya penguapan air kristal yang berasal dari gypsum serta
penguapan karbon dioksida. Pada semen yang baru di buat, nilai LOI max 5% untuk
semen OPC dan 13,5 – 15% untuk semen PPC.
2. Silica Ratio (SR)
Harga silica ratio berkisar antara 2,42 ± 0,05. Perubahan silica ratio (SR)
dapat menyebabkan perubahan pada pembentukan coating pada burning zone dan
burnability klinker.
Jika nilai SR klinker tinggi (>3), maka:
a. Klinker sulit terbakar, sehingga pembakaran memerlukan termperatur tinggi
b. Memperlambat pengerasan tinggi
c. Kandungan fasa cair rendah, beban panas tinggi, kandungan abu klinker dan
kadar bebasnya tinggi
d. Sifat coating tidak stabil, coating yang terbentuk tidak tahan terhadap
thermal shock yang dapat merusak batu tahan api.
e. Kuat tekan semen tinggi
f. Klinker mudah digiling
g. C3S sedikit, sementara C2S banyak
h. Waktu setting time semen mudah dikontrol
i. Tahap awal kekuatan rendah, tapi lama-lama akan naik.
SR yang rendah akan menyebabkan:
a. Raw meal mudah terbakar
b. Temperatur klinkerisasi rendah
c. Cenderung membentuk ring coating dalam kiln, apabila jika lime saturated
free (LSF) juga rendah
d. Kekuatan awal tinggi, tetapi dengan pertambahan waktu sedikit sekali
kenaikannya.
e. C3S banyak
f. C2S sedikit

9
3. Alumina Ratio (AR)
Harga alumina Ratio (AR) berkisar antara 1,6, jika AR tinggi, maka akan
menurunkan SR, sehingga akan menghasilkan semen dengan waktu pengikatan
yang cepat. Pengaruh klinker terhadap AR rendah, yaitu:
a. Fasa cair mempunyai viscositas yang rendah
b. Semen yang dihasilkan tahan terhadap sulfat yang tinggi, kuat tekan
awalnya rendah, dan panas hidrasi rendah
c. Mudah dibakar
d. Temperatur klinkerisasi lebih cepat
e. Fasa cair banyak
f. Resistensi terhadap air laut dan senyawa kimia tinggi
g. Panas hidrasi selama setting lebih rendah
AR tinggi menyebabkan:
a. C3S banyak
b. Mempercepat waktu setting time, sehingga sukar dikontrol
c. Panas hidrasi selama setting
d. Resistensi terhadap senyawa kimia dan air laut rendah
e. Menaikkan kandungan C3A dan menurunkan C4AF
4. Faktor penjenuhan kapur (Lime Saturated Factor, LSF)
Lime saturated factor (LSF) adalah bagian CaO yang diperlukan untuk
mengikat satu bagian oksida-oksida yang lain (SiO2, Al2O3, dan Fe2O3). Kelebihan
CaO dari LSF akan membentuk CaO bebas di dalam klinker. Untuk menghitung
LSF yang sempurna atau maksimum dalam C3S, serta semua oksida besi dianggap
senyawa dengan jumlah yang sama dengan alumina membentuk C4AF, dan sisa
alumina harus dianggap bersenyawa dengan CaO membentuk C3A.
 Bila LSF tinggi, maka:
a. Jumlah CaO dalam raw mix akan lebih besar daripada CaO yang dibutuhkan
untuk mengikat oksida-oksida lainnya.
b. CaO bebas makin tinggi
c. Burnability dari klinker makin tinggi, sehingga kuat tekan awak dan hidrasi
semen naik

10
d. Burnability dari klinker makin tinggi (klinker sukar dibakar), sehingga akan
meningkatkan kebutuhan panas dan temperatur keluar kiln
e. Sulit untuk membentuk coating, sehingga panas radiasi hilang naik
f. C3S banyak dan C2S sedikit
g. Pembakaran keras (raw mix sedikit dibakar)
h. Kecenderungan free lime tinggi
i. Setting time lambat (rendah)
 LSF yang rendah akan menyebabkan:
a. C3S sedikit
b. C2S banyak
5. Magnesium Oksida (MgO)
Senyawa magnesium oksida (MgO) dalam sebagian besar berasal dari batu
kapur, yakni setelah proses pembakaran klinker, senyawa MgO akan terdapat dalam
bentuk glassy state atau sebagai cristaline perisclase. Apabila kadar MgO kurang
dari 2% maka MgO akan berikatan dengan senyawa klinker. Bila kadarnya lebih
dari 2% maka akan terbentuk MgO bebas yang akan memberikan ikatan dengan air
membentuk Mg(OH)2 . Dengan terbentuknya Mg(OH)2, maka akan menimbulkan
keretakan pada konstruksi beton. Semakin tinggi kandungan MgO maka:
a. Viskositas dan tegangan permukaan dari fasa cair menurun
b. Mobilitas ion meningkat
c. Membantu reaksi C2S dan CaO membentuk C3S pada suhu yang lebih
tinggi
d. Mudah membentuk ball coating yang dapat menganggu operasi kiln.
6. Sulfur trioksida (SO3)
Senyawa ini terutama berasal dari gypsum dan bahan bakar yang dipakai
pada pembentukan klinker. Fungsi utama senyawa ini adalah untuk menghambat
proses hidrasi mineral C3A dan sebagai pengatur setting time semen. Apabila
penambahan gypsum mencapai tiitik optimalnya maka senyawa ini dapat
membantu terjadinya hidrasi C3S. Hal ini memberikan keuntungan-keuntungan
sebagai berikut :
a. Kekuatan semen bertambah
b. Mengurangi terjadinya drying shrinkage

11
c. Meningkatkan kelenturan semen
d. Kadar SO3 daam klinker yang baik adalah 0,6%
e. Jika kadar SO3 di dalam klinker tinggi maka klinker akan susah digiling.
7. Alkali (Na2O dan K2O)
Dalam pembentukan semen tidak dikehendaki jumlah senyawa alkali yang
terlalu banyak digunakan agregat yang mengandung silica reaktif terhadap alkali,
sehingga terjadi reaksi sebagai berikut:, kadar alkali yang sangat banyak akan
menimbulkan keretakan pada beton apabila :
Na2O + SiO2 2NaSiO3
K2O + SiO2 2KSiO3
Untuk Na2O kadarnya dibatasi hingga 0,6%. Pada semen dengan
kandungan Na2O yang tinggi akan membutuhkan gypsum yang lebih banyak untuk
retardasi dibandingkan semen dengan kandungan K2O yang tinggi. Semakin tinggi
kandungan K2O dalam klinker akan menyebabkan klinker mudah digiling.
8. CaO bebas (Free lime)
Free lime adalah batu kapur yang tidak bereaksi selama proses pembuatan
klinker. Semen yang baik memiliki kandungan klinker di bawah 1%. Jika kadar
CaO bebas dalam klinker terlalu banyak, maka klinker akan mudah digiling, tetapi
beton yang dihasilkan akan kurang kuat.
a. C3S merupakan komponen yang berperan dalam pengerasan awal dan
mempunyai kecepatan mengeras yang sangat tinggi sebelum 28 hari.
Pengembangan kekuatan yang dihasilkan oleh reaksi C3S berjalan cukup
cepat dan berlangsung pada mingu pertama sesudah pencampuran. Kadar
C3S sebaiknya antara 52 – 62%, jika kadarnya lebih dari 65% maka raw
mill akan sukar dibakar dan sifat coatingnya buruk.
b. C2S berfungsi untuk memberikankekuatan penyokong waktu yang lebih
lama dari C3S, selain itu juga berfungsi memberikan kekuatan akhir. C2S
berperan dalam pengembangan kekuatan setelah minggu pertama setelah
pencampuran melalui reaksi lambat yang berlangsung beberapa minggu
atau bulan.
c. C3A berfungsi dalam pengerasan awal dan mempunyai kecepatan mengeras
sangat tinggi. Di dalam semen yang mengandung gypsum, maka C3A akan

12
bereaksi sangat cepat dengan air sambil mengeluarkan panas yang sangat
besar. Dengan adanya gypsum, maka reaksi hidrasi C3A terhambat
menurun melalui reaksi berikut:
C3A + 3CaSO4.2H2O + 26H2O 6CaO.Al2O3.3CaSO4.3H2O
d. Mekanisme penghambat oleh gypsum, yaitu mula-mula terbentuk kristal
yang sangat halus. Kristal ini kemudian mengendap dalam bentuk lapisan
tipis di atas permukaan butiran semen, sehingga reaksi antara C3A dan air
terhambat. Dengan bertambahnya umur adukan semen, kristal membentuk
kristal berbentuk jarum, sehingga lapisan menjadi robek dan C3A dapar
bereaksi kembali dengan air. Kadar C3A sebaiknya antara 6 – 8%. Semakin
tinggi kadar C3A maka sifat plastisitasnya akan semakin baik.
e. C4AF mempunyai sifat hidrasi sangat lambat. Kandungan besi dalam C4AF
dibutuhkan sebagai fluxing agen (zat penurun titik lebur, sehingga panas
yang dibebaskan semakin sedikit) bila C4AF tinggi maka warna semen akan
semakin gelap.
Disamping free lime sering juga litre weight dapat dipakai sebagai indikator,
hal ini dilakukan dengan menimbang berat dari klinker yang mempunyai ukuran
tertentu setelah di screen. Makin ringan klinker makin rapuh dan mutunya kurang
baik. Kualitas atau mutu semen meliputi faktor-faktor antara lain:
a. Sifat plastisitas pasta semen
b. Sifat pengembangan, serta hidrasi yang ditimbulkan akibat reaksi semen
dengan air
c. Waktu pengikatan dan sifat perekatan
d. Kekuatan tekan
e. Kekuatan tarik
f. Kekuatan moment lentur.
g. Komposisi kimia dari komponen-komponen yang terdapat di dalam beton,
seperti klinker mineral (C3S, C2S, C3A dan C4AF), oksida-oksida bebas
(CaO, MgO, Na2O), sulfat, klorida dan flourida.
h. Kehalusan dan distribusi ukuran partikel
i. Kehalusan partikel serta distribusi ukuran partikel menentukan spesifik
j. Homogenitas komposisi kimia dan ukuran partikel.

13
2.3 Jenis – jenis Proses Pembuatan Semen
Pada umumnya ada 2 macam proses pembuatan semen, yaitu:
2.3.1 Proses Basah
Disebut proses basah bila bahan mentah selain gips sebelum dibakar dalam
kiln dicampur dengan air dengan perbandingan tertentu dan digiling halus sehingga
menjadi luluhan (umpan). Proses selanjutnya sama seperti proses kering.
Keuntungan:
a. Pencampuran lebih homogen karena berbentuk buburan
b. Tak begitu banyak abu, daripada proses kering
c. Pengangkutan bahan lebih, dapat dipakai pompa
Kerugian:
a. Tanurnya lebih panjang, 90-120 m supaya pemanasan sempurna
b. Pemakaian bakar lebih banyak
c. Waktu produksi menjadi lebih lama
2.3.2 Proses Kering
Disebut proses kering bila bahan baku selain gips sebelum dibakar dalam
tanur putar (rotary kiln) digiling dalam keadaan kering. Proses ini banyak
digunakan di Eropa sebab bahan dasarnya tanah liat diambil dari batuan yang
memang kering, dan proses ini merupakan metode yang digunakn pada proses
produksi kebanyakan.
Keuntungan:
a. Tanur yang dipakai lebih pendek 35-45 m
b. Bahan bakar sedikit tak perlu penguapan air
c. Waktu produksi jadi lebih singkat
Kerugian:
a. Pencampuran masa tak begitu homogen
b. Banyak abu yang keluar, mengganggu kesehatan
c. Pencampuran tidak sempurna karena proses dalam keadaan padat

2.4 Uraian Proses Pembuatan Semen


 Block Diagram

14
Gambar Block Diagram Alir Proses Pembuatan Semen

 Flow Sheet

15
Gambar Alir Proses Pembuatan Semen

Proses pembuatan semen secara umum alur pembuatannya secara proses


kering dapat diuraikan dengan 5 tahap sebagai berikut :
2.4.1 Persiapan Bahan Baku
1. Penambangan Bahan Mentah (Quarry)
Bahan baku utama yang digunakan dalam proses pembuatan
semen adalah batukapurdan tanah liat. Kedua bahan baku tersebut diperoleh dari
proses penambangan di quarry.
Penambangan bahan baku merupakan salah satu kegiatan utama dalam
keseluruhan proses produksi semen. Perencanaan penambangan bahan baku sangat

16
menentukan pada proses – proses selanjutnya yang akhirnya bermuara pada kualitas
dan kuantitas semen. Penambangan bahan baku yang tidak terencana dan terkontrol
dengan baik akan menyebabkan gagalnya pemenuhan target untuk tahap produksi
selanjutnya yang jika dihubungkan dengan kualitas dan biaya produksi secara
keseluruhan dapat menurunkan daya saing produk terhadap produk yang sama yang
dihasilkan oleh pesaing.
Persyaratan kualitas batukapur & tanah liat dalam proses penambangan
adalah sebagai berikut :
a. Batukapur : 52% < Cao < 54% dan MgO < 18%
b. Tanah liat : 60% < SiO2 < 70% dan 14% Al2O3 < 17%

Tahapan proses penambangan adalah sebagai berikut:


a. Pengupasan tanah penutup ( Stripping )
b. Pemboran dan peledakan ( Drilling and Blasting )
c. Penggalian/Pemuatan ( Digging/Loading )
d. Pengangkutan ( Hauling )
e. Pemecahan ( Crushing )

Gambar Proses Penambangan


a. Bahan baku utama
1. Limestone (Batu Kapur)
Limestone atau batu gamping merupakan bahan baku semen, di karenakan
kandungan perekatan yang cukup baik untuk memproduksi semen yaitu
CaCO3calcium carbonat nya yang bisa mencapai 95%. Selain CaCO3 limestone
juga mengandung Silika, Alumina, dan Fero serta beberpa persenyawaan lainnya
namun dalam jumlah yang lebih kecil. Sesuai dengan namanya limestone
merupakan bebatuan keras yang hanya bisa diuraikan dengan jalan peledakkan.

17
Setelah ditambang dengan menggunakan peledakkan yang menghasilkan
bongkahan batu berukuruan ½ - 2 meter, material ini diangkut ke unit crusher yang
mampu memproduksi sampai 750 ton/jam, agar bongkahan batu tersebut
dipecahkan lagi dengan ukuran lebih kecil lagi yaitu mencapai 2-4 cm agar
mempermudah ditahap proses penggilingan nantinya, dan hasil crusher ini
disimpan di Stockpile melalui Conveyor Belt.

Gambar Batu Kapur


2. Siltstone (Batu Silika)
Siltstone merupakan sumber silika pada proses pembuatan semen
kandungan silika yang baik untuk campuran limestone agar menjadi semen yang
baik yaitu SiO3 Silika Oksidasi, pada siltstone nilainya bervariasi tergantung pada
letak geografis material yang ditambang. Mirip dengan limestone, siltstone juga
merupakan batuan keras di ambil dengan cara peledakkan. Dan sama halnya seperti
limestone setelah ditambang, siltstone juga melalui tahap crusher dan diteruskan
Stockpile untuk disimpan dan proses selanjutnya

Gambar Batu Silika


3. Shale (Tanah Kuning/liat)
Sedangkan shale ini sangat jarang digunakan dipabrik ini, akan tetapi untuk
kebutuhan tertentu, dan pemesanan semen pelanggan jika menggunakan campuran
ini, shale juga tetap dipakai untuk memenuhi kebutuhan pengikat semen diunsur
alumina yakni Al2O3 pada proses pembuatan semen, secara geologi shale juga
merupakan bebatuan, namun shale adalah batuan lunak yang tidak memerlukan
proses peledakkan. Proses pengambilan shale dilakukan dengan cara dikeruk. Shale
juga di crusher terlebih dahulu dan disimpan ke stockpile.
Komponen utama pembentuk tanah liat adalah senyawa Alumina Silikat
Hidrat. Tanah liat merupakan sumber Aluminium Oksida dan Iron Oksida.

18
Ditambang dengan excavator dan ditranportasikan ke pabrik dengan dump truck
dan kebutuhannya adalah sekitar 9-10% dari total bahan mentah.

Gambar Tanah Liat


4. Iron Sand (Pasir Besi)
Pasir besi merupakan bahan yang kaya akan Fe2O3. Proporsi penggunaan
pasir besi pada proses pembuatan semen sangatlah kecil umunnya bahan ini dipakai
1-3% dari total bahan baku pembuatan semen. Warna hasil produk semen adalah
warna kandungan pasir besi ini.

Gambar Pasir Besi

b. Bahan tambahan yang digunakan


1. Batu bara
Di dalam pembuatan semen, batu bara digunakan sebagai bahan bakar pada
kiln mill, baik pada pemanasan awal (preheater) maupun pada proses kiln itu
sendiri.

Gambar Batu bara


2. Gypsum
Gysum merupakan bahan baku yang baik untuk dipenuhi yang rata-rata
penggunaannya adalah 3- 4% pada tiap produksi. Gypsum adalah material bubuk
untuk memperlambat proses pengerasan pada semen. Dengan senyawa material
kimiawi CaSO4 2H2O. PT. Lafarge Cement Indonesia juga membeli material ini
dari Thailand.

Gambar Gypsum

19
3. Pozzolan
Pozzolan ini digunakan untuk bahan penambahan produksi semen, tapi PT.
Lafarge Cement Indonesia tetap dipersiapkan untuk kebutuhan produksi. Pozzolan
terdiri dari senyawa silika dan alumina, yang tidak memiliki sifat mengikat seperti
semen akan tetapi memiliki kekuatan yang keras setelah diproses menjadi semen.
Pozzolan ini juga dibeli dari luar pabrik di Krung Raya Banda Aceh, dikarenakan
sekitar pabrik tidak terdapat material ini. Pozzolan ini biasanya digunakan sebanyak
15-20% pada semen curah yang dipesan, penambahan ini menghasilkan beberapa
pangaruh pada sifat-sifat beton yaitu :
a) Kontruksi beton yang menumbuhkan panas hidrasi, misalnya bendungan.
b) Kontruksi beton didalam laut yang tahan terhadap sulfat.
c) Bangunan yang memerlukan kedap yang tinggi, seperti bangunan sanitasi
yang bersih.
d) Pekerjaan plasteran yang membutuhkan sifat pengerjaan adukan.
Beberapa penelitian membuktikan bahwa sifat kuat tekan akhir beton semen
produk PCC atau semen curah yang bahan additif dengan dicampur pozzolan akan
menyamai dari produk OPC.

2. Penyimpanan bahan baku


Tempat penyimpanan bahan baku terdiri dari bagian utama yaitu : Stock Pile
danBin. Umumnya, stock pile dibagi menjadi dua bagian yaitu sisi kanan dan sisi
kiri hal ini dilakukan untuk menunjang proses, jika stock pile bagian kanan sedang
digunakan sebagai masukan proses, maka sisi bagian kiri akan diisi bahan baku dari
crusher. Begitu juga sebaliknya. Untuk mengatur letak penyimpanan bahan baku,
digunakan tripper selain itu stock pile juga dilengkapi dengan reclaimer.
Reclaimer ini berfungsi untuk memindahkan atau mengambil raw matrial
dari stock pile ke belt conveyor dengan kapasitas tertentu, sesuai dengan
kebutuhan proses, alat ini sendiri berfungsi untuk menghomogenkan bahan baku
yang akan dipindahkan ke belt conveyor. Selanjutnya bahan baku dikirim dengan
menggunakan belt conveyor menuju tempat penyimpanan kedua, yang biasa
dikatakan merupakan awalan masukan proses pembuatan semen, yaitu Bin. Semua
bin dilengkapi dengan alat penditeksi ketinggian atau levelindicator sehingga

20
apabila bin sudah penuh, maka secara otomatis masukan material kedalam bin akan
terhenti.
Khusus dalam penanganan gypsum, stock pile gypsum tidak dilengkapi
dengan reclaimer. Di daerah stock pile, gypsum dimasukan kedalam hopper dengan
menggunakan truck penyodok dan dikirim ke bin dengan menggunakan belt
conveyor. Kapasitas hopper ini adalah 50 ton.

3. Penyiapan bahan baku


Persiapan bahan baku ke dalam system proses selanjutnya diatur oleh
weight feeder, yang diletakkan tepat di bawah bin. Perinsip kerja weight feeder ini
adalah mengatur kecepatan scavenger conveyor, yaitu alat untuk mengangkut
material dengan panjang tertentu dan mengatur jumlah bahan baku sehingga jumlah
bahan baku yang ada pada scavenger conveyor sesuai dengan jumlah yang
dibutuhkan. Selanjutnya bahan baku dijatuhkan ke belt conveyor dan dikirim ke
vertical roller mill untuk mengalami penggilingan dan pengeringan. Pada
beltconveyor terjadi pencampuran batu kapur, silica pasir besi dan tanah liat.

Gambar Penyiapan Bahan Baku


2.4.2 Proses Penggilingan Bahan Baku
Bahan material yang telah ditambang dan telah crusher dan disimpan pada
masing-masing stockpile tersebut. Bahan-bahan baku, limestone, siltstone, shale,
dan pasir besi. Dimasukkan ke masing-masing hopper yang dilengkapi weigh
feeder yang berfungsi untuk mengatur komposisi kebutuhan material yang akan
digiling.
Proporsi untuk limestone adalah 75 %, siltstone adalah 15 %, shale adalah
8%, pasir besi adalah 2%. Yang pengaturan ini dapat langsung diatur melalui
otomatis komputer di ruang CCR (Central Control Room). Kemampuan feed
optimal 200 ton/jam di Raw Mill.

21
Raw mill ini adalah penggilingan pertama dalam proses produksi semen
yang memiliki 3 ruangan (chamber) yang ruang tersebut dipisahkan oleh sekat
diafragma, material yang masuk ke chamber I adalah proses pemanasan material
dengan menggunakan uap gas dengan temperatur 3500C dari pembangkit Hot Gas
Generator, dimana udara panas tersebut masuk ke dalam bagian bawah raw
mill.Udara panas tersebut juga berfungsi sebagai media pembawa bahan – bahan
yang telah halus menuju alat proses selanjutnya.
Fungsi pemanasan ini bertujuan agar mempermudah penggilingan tahap
awal. chamber I lebih dikenal dengan Drying chamber yang ukurannya lebih kecil
dari pada 2 chamber lainnya, pemanasan ini dilakukan secara continou atau terus-
menerus.
Setelah dipanaskan material-material ini digiling di chamber II dengan
dibantu oleh bola-bola mill atau ball mill, ukuran bola-bola mill di ruangan ini
adalah 80, 70, 60, dan 50 cm, yang masih memiliki suhu 1100C. Material akan
digiling dari ukuran masuk sekitar 7,5 cm menjadi max 90μm. Setelah digiling di
ruangan ini, material tersebut telah menjadi bubuk, sebagian kecil material yang
sudah halus dengan kadar yang baik selanjutnya ditarik oleh udara panas (fan) raw
mill melalui bagian atas alat tersebut menuju separator. Separator berfungsi untuk
memisahkan antara partikel yang cukup halus dan partikel yang terlalu halus (debu)
dengan gaya sentifugal.
Pemisahan menggunakan gaya sentrifugal dimana material yang
diumpankan dari atas akan terlempar ke samping karena putaran table dan akan
tergerus oleh roller yang berputar karena putaran table itu sendiridan yang belum
halus sesuai standartnya masih dalam tahap penggilingan lagi. Dan sebagian
material yang sudah halus masuk chamber III, yang sebelumnya disekat oleh
diafragma.
Diafragma ini terdapat ditengah bagian tiap chamber di raw mill,
difungsikan agar tidak masuknya material yang belum halus dan tidak masuknya
bola mill dari chamber II, diafragma ini dibuat dengan celah – celah yang telah
diatur. Dan selanjutnya sebagian material yang masuk di chamber III di proses
penggilingan lagi agar benar-benar halus yang dibantu dengan bola mill yang
berukuran 40, 30, dan 20 cm. Hasil penggilingan ini dibawa ke tempat penyimpanan

22
atau Blending Silo Raw Mill melalui Bucket Elevator. Kemudian material akan
mengalami proses pencampuran (Blending) dan homogenisasi di dalam Blending
Silo. Alat utama yang digunakan untuk mencampur dan menghomogenkan bahan
baku adalah blending silo, dengan media pengaduk adalah udara.
Bahan baku masuk dari bagian atas blending silo, oleh karena itu alat
transportasi yang digunakan untuk mengirim bahan baku hasil penggilingan
blending silo adalah bucket elevator, dan keluar dari bagian bawah blending silo
dilakukan pada beberapa titik dengan jarak tertentu, dan diatur dengan
menggunakan valve yang sudah diatur waktu bukaannya. Proses pengeluarannya
dari beberapa titik dilakukan untuk menambah kehomogenan bahan baku. Blending
silo dilengkapi dengan alat pendeteksi ketinggian ( levelindicator ), sehingga jika
blending silo sudah penuh, maka pemasukan bahan baku terhenti secara otomatis.

Gambar Raw Mill Sebagai Tempat Penggilingan Awal


2.4.3 Proses Pemanasan Awal dan Proses Pembakaran
a. Proses pemanasan awal
Alat utama yang digunakan untuk proses pemanasan awal bahan baku
adalah suspension pre-heater, sedangkan alat bantunya adalah kiln feed bin. Setelah
mengalami homegenisasi di blending silo, material terlebih dahulu ditampung di
dalam kiln feed bin, bin ini merupakan tempat umpan yang akan masuk ke dalam
pre-heater. Suspension pre-heater merupakan suatu susunan empat buah cyclon
dan satu buah calsiner yang tersusun menjadi satu string.
Proses pemanasan disini adalah pemanasan awal raw mill pada unit
preheater sebelum ke tahap pembakaran di kiln. Sehingga proses pembakaran
dalam kiln berlangsung mudah, cepat dan efisien. Dengan bantuan air-slide
material hasil raw mill diumpankan ke suspension preheater setelah melalui weight
feeder.Proses pemanasan awal adalah proses penguapan air dan proses calsinasi

23
pada umpan kiln raw meal pada temperatur 600 – 800 0C.Proses ini terjadi pada
Preheater, yang terdiri dari 2 unit (2 string), masing-masing string terdiri dari 4
cyclone, salah satu string dilengkapi dengan burner precalsiner (secondary
Burner). Dengan adanya Preheater 2 string dan dilengkapi dengan Burner
Precalsiner, maka akan terjadi peningkatan / percepatan proses kalsinasidan beban
kalsinasi didalam kiln menjadi lebih ringan atau berkurang.
Menurut teori atau neraca panas pada pembakaran, bahwa panas yang
dibangkitkan dari bahan bakar sebagian besar dipakai untuk proses calsinasi di
preheater dan sebagian kecil dipakai dalam proses klinkerisasi di kiln.
b. Proses pembakaran
Tepung baku (raw meal) yang telah dihomogenisasi di dalam CF Silo
dikeluarkan dan dengan menggunakan serangkaian peralatan transport, tepung baku
di umpankan ke kiln. Tepung baku yang di umpankan ke Kiln di sebut umpan baku
atau umpan kiln (kiln feed). Proses pembakaran yang terjadimeliputi pemanbahan
awal umpan baku dipreheater (pengeringan, dehidrasi dan dekomposisi),
pembakaran di kiln (klinkerisasi) dan pendinginan di Grate cooler(quenching).
1) Proses pengeringan
Pengeringan di sini adalah proses penguapan air yang masih terkandung
dalam umpan baku. Terjadi pada saat umpan baku kontak dengan gas panas pada
temperature sampai 200 ºC.
2) Proses dehidrasi
Dehidrasi adalah proses terjadinya pelepasan air kristal (combined water)
yang terikat secara molekuler di dalam mineral – mineral umpan baku. Proses ini
terjadi temperatur 100–400ºC. Kondisi ini menyebabkan struktur mineral menjadi
tidak stabil dan akan terurai menjadi pada temperature 400 - 900ºC.
3) Proses dekomposisi dan kalsinasi
Dekomposisi adalah proses penguraian atau pemecahan mineral-mineral
umpan baku menjadi oksida – oksida yang relatif terjadi pada temperature 400 -
900ºC.
4) Proses pembakaran (Kiln)
Klinkerisasi adalah proses pembentukan senyawa-senyawa penyusun
semen Portland baik dalam fasa padat maupun dalam fasa cair. Pada

24
temperature1260 - 1310ºC mulai terjadi lelehan terutama terdiri dari komponen
Al2O3 dan Fe2O3. Pada temperatur 1450ºC, jumlah fasa cair dapat mencapai 20-30
%.Dalam fasa cair terjadi pembentukan ( C3S )3 CaO.SiO2 dengan persamaan reaksi
sebagai berikut :
2CaO.SiO2 + CaO → 3CaO.SiO2
Apabila dalam proses klinkerisasi masih terdapat CaO yang belum bereaksi
dengan oksida lainnya, maka akan terbentuk CaO bebas ( free lime ) yang bersifat
merugikan terhadap , mutu semen. Banyaknya CaO bebas pada klinker dapat di
jadikan salah satu indikator apakah proses pembakaran klinker berjalan dengan baik
atau tidak. Semakin banyak CaO berarti proses pembakaran tidak berjalan dengan
baik. Peralatan utama untuk pembakaranadalahRotary kiln yang dilengkapi
dengan Suspension Preheater.
Kiln berputar (rotary kiln) merupakan peralatan utama di seluruh unit pabrik
semen, karena didalam kiln akan terjadi semua proses kimia pembentukan klinker
dari bahan bakunya (raw mix). Kiln berbentuk silinder horizontal dengan
kemiringan 2 derajat dan panjang mencapai 68 meter yang kecepatan putarnnya 4
rpm dengan kapasiatas 200 ton/jam. Kiln dilapisi dengan batu tahan api yang
ketebalannya 0,2 m dan berfungsi menjaga ketahanan shell kiln dan mencegah
kehilangan panas selama pembakaran. Temperatur pembakaran di rotary kiln
mencapai 14500C pembakaran ini menggunakan batu bara.
 Secara garis besar, di dalam kiln terbagi menjadi 3 zone yaitu :
1. Zone Calsinasi (menaikkan suhu): Kalsinasi merupakan reaksi pelepasan
CO2 dari CaCO3 dengan temperatur 450-6000C.
2. Zone Transisi (pembentukan senyawa – senyawa): Daerah ini terjadi
pembentukan senyawa-senyawa C2S, C3S, C4AF dan C3A.
3. Zone Sintering (klinkerisasi) mengalami pendinginan: Daerah ini terdapat
pada ujung kiln, klinker ini didinginkan di cooler.
 Reaksi yang terjadi pada kiln adalah sebagai berikut :
1. Reaksi kalsinasi CaCO3 pada temperatur 450-600oC.
CaCO3CO2 + CaO
2. Pembentukan C2S pada temperatur 900-1400oC.
2CaO + SiO2 2CaO.SiO2 (C2S)

25
3. Pembentukan C3A dan C4AF pada temperatur 1100-1300oC.
3CaO + Al2O3 3CaO.Al2O3
4CaO + Al2O3 4CaO.Al2O3.Fe2O3
4. Pembentukan C3S dan pengurangan kadar kalsium monoksida bebaspada
temperatur 1400-1450oC.
2CaO.SiO2 + CaO + SiO2 3CaO.SiO2

Gambar SP Calciner & Kiln Sebagai Tempat Pembakaran


5) Proses Pendinginan (Quenching)
Material panas yang keluar dari rotary kiln disebut klinker. Klinker ini
bertemperatur 1450oC selanjutnya masukke grate cooler untuk didinginkan.
Pendinginan dilakukan secara tiba-tiba dengan menggunakan media udara yang
dihembuskan dengan enam unit (fan) pendingin, sehingga klinker turun menjadi
suhu 80-100oC untuk mempermudah penghacuran dipenghancur (hammer).
Setelah mengalami pendinginan, klinker yang ukuran besar dihancurkan
dengan breaker (hammer mill). Klinker yang hancur diangkut dengan chain
conveyor dan bucket elevator ke klinker silo. Bila pembakaran di kiln tidak
sempurna akan menghasilkan klinker yang berkualitas rendah dan hal ini harus
dipisahkan dengan klinker berkualitas baik. Klinker yang berkulitas ditempatkan
dalam main clinker silo, sedangkan klinker yang berkualitas rendah ditempatkan
dalam low burn clinker silo. Klinker ini dapat digunakan sebagai campuran dengan
kilnker berkualitas baik. Selanjutnya klinker diangkut dengan menggunakan pan
conveyer dan belt conveyor ke unit cemen mill dalam unit cemen mill ini terdapat 2
buah tube mill untuk proses penggilingan terakhir pada produksi semen yaitu
cement mill no.1 dan cemen mill no.2.
2.4.4 Proses Akhir Penggilingan (Cemen Mill)
Semen mill adalah tahap pengerjaan proses akhir penggilingan dan yang
telah menjadi produk hasil yang siap untuk pengemasan dan dipasarkan.

26
Klinker yang disimpan dalam klinker silo dikeluarkan dan diangkut
dengan chain conveyormasuk ke dalam bin klinker. Sementara gypsum dari
gerbong dibongkar dan disimpan dalam bin gypsum. Dengan perbandingan
tertentu, klinker dan gypsum dikeluarkan dari bin masing – masing dan akan
bercampur di belt conveyor. Dari beltconveyorcampuran ini kemudian dihancurkan
dengan roller press sehingga memiliki ukuran tertentu yang selanjutnya digiling
dengan menggunakan alat penggiling berupa tube mill yang berisi bola – bola besi
sehingga media penghancurnya.
Dengan menggunakan sebuah fan, material yang telah mengalami
penggilingan kemudian diangkut oleh bucket elevator menuju separator. Separator
berfungsi untuk memisahkan semen yang ukurannya telah cukup halus dengan
ukuran yang kurang halus. Semen yang cukup halus akan dibawa udara melalui
cyclone, kemudian ditangkap atau dihisap oleh bag filter dan dipisahkan dari udara
pembawanya dengan menggunakan beberapa perangkat pemisah debu yang
kemudian akan ditransfer ke dalam cement silo. Hasil penggilingan ini disimpan
dalan cement silo yang kedap udara. Semen yang dihasilkan harus memenuhi syarat
mutu fisik semen dengan kehalusan minimal 3000 cm2/g (SNI mempersyaratkan
min. 2800 cm2/g).

Gambar Finish Mill Sebagai Tempat Penggilingan Akhir


2.4.5 Pengantongan Semen (Packing)
Pengemasan semen dibagi menjadi 2, yaitu pengemasan dengan
menggunakan zak (kraft dan woven) dan pengemasan dalam bentuk curah. Semen
dalam bentuk zak akan didistribusikan ke toko-toko bangunan dan end user.
Sedangkan semen dalam bentuk curah akan didistribusikan ke proyek-proyek.
Semen yang tersimpan di cement silo dengan pengontrolan katup
menggunakan roots blower di alirkan melalui eraction box, air slide, drag chain,

27
dan bucket elevator masuk ke pembagi (by pass), untuk keperluan pengepakkan.
Semen ke packing plant mula-mula dimasukkan ke hopper packing plant, dengan
bantuan air-slide, dan diteruskan ke chute yang mempunyai katup untuk mengatur
aliran semen ke cement packer. Pengantongan semen yang dikantongi dalam
kemasan 40 kg dan 50 kg perkantongannya untuk diteruskan melalui belt conveyor
dikirim ke truck. Kapasitas pengantongan 80 ton/jam atau 2000 kg.
Sedangkan untuk keperluan semen curah dikirim ke hopper harbour yang
ada di pelabuhan melalui bucket elevator harbour, semen dipompakan ke kapal
melalui ecartion box dengan menggunakan screw.
2.4.6 Peralatan Bantu Proses Pembuatan Semen (Material Handling)
Secara sederhana material dapat diartikan merupakan kegiatan penanganan
mengangkut, mengangkat dan meletakkan material dalam proses di dalam pabrik,
kegiatan nama dimulai material masuk sampai saat menjadi produk yang
dikeluarkan pabrik.
Peralatan alat tranportasi :
1. Dump Truck, untuk transportasi pada hasil penambangan dengan kapasitas
20-35 ton.
2. Belt Conveyor, untuk transportasi bahan mentah, semen, terak dan lainnya.
3. Air Slide, untuk transportasi bahan kering dan halus seperti raw meal dan
semen dengan bantuan udara.
4. Chain Conveyor / Steel Palte Conveyor / Drag Chain, untuk transportasi
material yang panas atau material yang mudah lengket (clinker, raw meal,
batubara, tanah liat, batu kapur, dll).
5. Screw Conveyor, adalah alat transfortasi dengan sistem putar.
6. Pneumatic Lift, untuk transportasi raw meal atau semen dari bawah keatas,
misal raw meal atau semen akan dimasukkan kedalam silo.
7. Bucket Elevator, untuk membawa material dengan arah vertikal. Alat ini
untuk mengangkut material yang berupa bubuk atau bulk dengan ukuran
sampai dengan 50 mm dan temperatur sampai dengan 350oC ke arah
vertikal, kapasitasnya bisa mencapai 1300 m3/jam dengan isian maksimal
75% dan ketinggian 60 m.

28
8. Drag Chain Conveyor, untuk mengangkut material bulk secara mendatar
atau sedikit miring (maksimal 20o). Alat ini bisa tahan sampai dengan
temperatur 500oC karena semua bagiannya terdiri dari logam dengan
kapasitas ± 500 ton/jam, digunakan untuk mengangkut material klinker ke
cement mill.
9. Truck, truck Cement, dan kapal khusus semen untuk media transportasi saat
pemasaran.

Peralatan bantu alat penangkap debu proses pembuatan semen:


a. Electrostatic Precipitator (EP), untuk menyaring debu secara elektrostatik
pada proses penggilingan bahan mentah dan proses pembakaran.
b. Dust Collector, untuk menangkap atau menyaring debu pada proses
pembuatan semen.
c. Bag filter, alat untuk memisahkan partikel kering dari gas (udara)
pembawanya. Di dalam bag filter, aliran gas yang kotor akan partikel masuk
ke dalam beberapa longsongan filter (disebut juga kantong atau cloth
bag) yang berjajar secara pararel, dan meninggalkan debu
pada filtertersebut. Aliran debu dan gas dalam bag filter dapat melewati
kain (fabric) ke segala arah. Partikel debu tertahan di sisi kotor kain,
sedangkan gas bersih akan melewati sisi bersih kain.
d. Fan, untuk menghisap udara di dalam dan di lepaskan ke luar.

2.5 Dampak Negatif dan Penanganannya


2.5.1 Dampak Negatif
Salah satu dampak negatif dari industri semen adalah pencemaran udara
oleh debu. Debu yang dihasilkan oleh kegiatan industri semen terdiri dari debu
yang dihasilkan pada waktu pengadaan bahan baku, debu selama proses
pembakaran, dan debu yang dihasilkan selama pengangkutan bahan baku ke pabrik
serta bahan jadi ke luar pabrik, termasuk pengantongannya. Selain itu, pabrik semen
juga meningkatkan suhu udara dan suara yang ditimbulkan mesin-mesin dalam
pabrik juga menimbulkan kebisingan. Debu semen memiliki banyak dampak
negatif bagi kesehatan maupun lingkungan hidup.

29
1. Dampak negatif bagi kesehatan
a. Iritasi pada kulit, hal ini dapat terjadi akibat sifat semen yang abrasive
kontak dengan kulit. Prosesnya pun bisa secara langsung maupun tidak
langsung (terlindung maupun oleh keringat).
b. Alergi, hal ini dapat terjadi bergantung pada tingkat kesensitifan seseorang,
alergi yang dapat timbul akibat debu semen diantaranya: bersin-bersin,
susah bernafas bagi penderita asthma, gatal-gatal.
c. Iritasi pada mata, hal ini dapat terjadi tergantung pada banyaknya paparan
debu, iritasi yang timbul mulai gangguan mata merah sampai cidera mata
serius.
d. Gangguan pernafasan, hal – hal yang bisa menjadi faktor penyebab
diantaranya saat mengosongkan kantong semen sehingga debu semen
terhirup. Saat megaduk, menghaluskan atau memotong material campuran
semen juga dapat melepaskan sejumlah debu semen. Untuk jangka pendek
dapat menimbulkan iritasi pada saluran pernafasan, sedangkan untuk jangka
panjang dapat menyebabkan gangguan pernafasan.

2. Dampak negatif bagi lingkungan


a. Lahan
Penurunan kualitas dari segi kesuburan tanah akibat penambangan tanah
liat. Perubahan ini dari segi waktu akan meluas ke arah menurunnya kapasitas
penampungan air yang pada akhirnya akan berpengaruh juga terhadap kuantitas air
sungai. Sedangkan dari segi ruang akan mempengaruhi keseimbangan atau
keselarasan lingkungan setempat.
b. Air
Kualitas air bertambah buruk akibat limbah cair dari pabrik dalam bentuk
minyak dan sisa air dari kegiatan penambangan, yang menimbulkan lahan kritis
yang mudah terkena erosi, yang akan mengakibatkan pendangkalan dasar sungai,
yang pada akhirnya akan menimbulkan masalah banjir pada musim hujan.
c. Flora dan Fauna
Berkurangnya keanekaragaman flora karena berubahnya pola vegetasi dan
jenis endemic, dan pembentukkan klorofil serta proses fotosintesis, Sedangkan

30
berkurangnya keanekaragaman fauna (burung, hewan tanah dan hewan langka)
disebabkan karena berubahnya habitat air dan habitat tanah tempat hidup hewan-
hewan tersebut.
Selain debu, pabrik semen juga memicu kenaikan suhu udara. Sumber
utama peningkatan suhu udara adalah akibat peningkatan kadar karbon dioksida
(CO2) secara terus menerus pada atmosfer bumi, penyebabnya adalah
meningkatnya laju aktivitas industri (termasuk industri semen), dalam
mengkonsumsi energi – terutama pembakaran bahan bakar fosil – serta adanya
penebangan dan pembakaran hutan, serta penggunan bahan-bahan CFC (Chloro
Fluoro Carbon) sebagai pendingan dan pemantul panas pada industri perkantoran
dan perumahan.
Suara yang ditimbulkan oleh mesin-mesin yang beroperasi dalam pabrik
pun menimbulkan kebisingan. Udara yang bising dan berlangsung dalam waktu
yang relatif lama dapat mengakibatkan gangguan kesehatan seperti kerusakan saraf
pendengaran, tili, stress, sulit tidur dan ketegangan jiwa. Kebisingan diatas 50 dB
sudah dapat dianggap kebisingan yang perlu mendapatkan perhatian, karena sudah
menggangu kenyamanan pendengaran.
2.5.2 Penanganannya
Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Pencemaran Udara
a. Dasar-Dasar Kebijakan Pengendalian Pencemaran Udara :
b. Undang-undang No.23 tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
c. Peraturan Pemerintah No.41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian
Pencemaran Udara
d. Undang-undang No.23 tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
e. Pasal 6 ayat (1) : “setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi
lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan
perusakan lingkungan hidup”.
f. Pasal 14 ayat (1) : “untuk menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup,
setiap usaha dan/ atau kegiatan dilarang melanggar baku mutu dan kriteria
baku kerusakan lingkungan hidup”.

31
BAB III
TUGAS KHUSUS

3.1 Rotary Klin

Kiln berputar (Rotary Kiln) merupakan peralatan utama di seluruh unit pabrik
semen, karena di dalam kiln akan terjadi semua proses kimia pembentukan klinker
dari bahan bakunya (raw mix). Secara garis besar, di dalam kiln terbagi menjadi 3
zone yaitu zone kalsinasi, zone transisi, dan zone sintering (klinkerisasi).
Perkembangan teknologi mengakibatkan sebagian zone kalsinasi dipindahkan ke
suspension preheater dan kalsiner, sehingga proses yang terjadi di dalam kiln lebih
efektif ditinjau dari segi konsumsi panasnya. Proses perpindahan panas di dalam
kiln sebagian besar ditentukan oleh proses radiasi sehingga diperlukan isolator yang
baik untuk mencegah panas terbuang keluar. Isolator tersebut adalah batu tahan api
dan coating yang terbentuk selama proses. Karena fungsi batu tahan api di tiap
bagian proses berbeda maka jenis batu tahan api disesuaikan dengan fungsinya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan coating antara lain :
1. Komposisi kimia raw mix
2. Konduktivitas termal dari batu tahan api dan coating
3. Temperatur umpan ketika kontak dengan coating
4. Temperatur permukaan coating ketika kontak dengan umpan
5. Bentuk dan temperatur flame

32
Pada zone sintering fase cair sangat diperlukan, karena reaksi klinkerisasi lebih
mudah berlangsung pada fase cair. Tetapi jumlah fase cair dibatasi 20-30 % untuk
memudahkan terbentuknya coating yang berfungsi sebagai isolator kiln.
Pada kiln tanpa udara tertier hampir seluruh gas hasil pembakaran maupun untuk
pembakaran sebagian bahan bakar di calciner melalui kiln. Karena di dalam kiln
diperlukan temperatur tinggi untuk melaksanakan proses klinkerisasi, maka
kelebihan udara pembakaran bahan bakar di kiln dibatasi maksimum sekitar 20 –
30%, tergantung dari bagaimana sifat rawmeal mudah tidaknya dibakar (burnability
of the rawmix). Dengan demikian maksimum bahan bakar yang dibakar di in-line
calciner adalah sekitar 20 – 25%. Pada umumnya calciner jenis ini bekerja dengan
pembakaran bahan bakar berkisar antara 10% hingga 20% dari seluruh kebutuhan
bahan bakar, karena pembakaran di calciner juga akan menghasilkan temperatur
gas keluar dari top cyclone yang lebih tinggi yang berarti pemborosan energi pula.
Sisa bahan bakar yang berkisar antara 80% hingga 90% dibakar di kiln. Untuk
menaksir seberapa kelebihan udara pembakaran di kiln dalam rangka memperoleh
operasi kiln yang baik akan dilakukan perhitungan tersendiri. Kiln tanpa udara
tertier dapat beroperasi dengan cooler jenis planetary sehingga instalasi menjadi
lebih sederhana dan konsumsi daya listrik lebih kecil dibanding dengan sistem kiln
yang memakai cooler jenis grate.
Pada kiln dengan udara tertier, bahan bakar yang dibakar di kiln dapat dikurangi
hingga sekitar 40% saja (bahkan dapat sampai sekitar 35%), sedangkan sisanya
yang 60% dibakar di calciner. Dengan demikian beban panas yang diderita di kiln
berkurang hingga tinggal sekitar 300 kkal/kg klinker. Karena dimensi kiln sangat
bergantung pada jumlah bahan bakar yang dibakar, maka secara teoritis kapasitas
produksi kiln dengan ukuran tertentu menjadi sekitar 2,5 kali untuk sistem kiln
dengan udara tertier dibanding dengan kiln tanpa udara tertier. Sebagai contoh
untuk kapasitas 4000 ton per hari (TPD), kiln tanpa udara tertier membutuhkan
diameter sekitar 5,5 m. Sedangkan untuk kiln dengan ukuran yang sama pada sistem
dengan udara tertier misalnya sistem SLC dapat beroperasi maksimum pada
kapasites sekitar 10.000 TPD. Namun kiln dengan udara tertier harus bekerja
dengan cooler jenis grate cooler sehingga diperlukan daya listrik tambahan sekitar
5 kWh/ton klinker dibanding kiln dengan planetary cooler.

33
Peralatan utama kiln, selain shell kiln itu sendiri adalah burner dan bata tahan api
(refractory). Bentuk api yang dihasilkan oleh proses pembakaran sangat
menentukan proses perpindahan panas yang terjadi dan pada akhirnya akan
mementukan kualitas klinker. Sedangkan bata tahan api selain berfungsi untuk
melindungi shell kiln dan mengurangi panas yang mengalir ke lingkungan juga
berpengaruh terhadap pembentukan coaling. Berikut ini akan dijelaskan secara
singkat masing-masing.
3.1.1 Burner / Pembakaran
Di dalam rotary kiln selain jumlah panas yang dibutuhkan untuk pembakaran raw
mix harus terpenuhi, perlu juga diperhatikan bentuk nyala saat pembakaran bahan
bakar pada burner. Bentuk nyala ini mempengaruhi kualitas klinker yang
dihasilkan. Kedua parameter ini dipengaruhi oleh proses pembakaran saat bahan
bakar mulai keluar dari ujung burner hingga habis terbakar. Secara umum,
pembakaran terjadi melalui 4 tahapan proses, yaitu :
a. Pencampuran
b. Penyalaan
c. Reaksi Kimia
d. Penyebaran Panas/Produk Pembakaran.
Untuk mendapatkan bentuk nyala yang diinginkan merupakan pekerjaan yang
cukup kompleks sebab selain dengan mengatur aliran di burner tip, bentuk nyala
juga dipengaruhi oleh kondisi di dalam kiln itu sendiri. Ada dua kemungkinan
pengaturan bentuk nyala, yaitu :
1. Bentuk nyala cone flame
Dimana bentuk ini dihasilkan dengan komponen kecepatan aliran aksial diletakkan
di bagian dalam sedang komponen radial di bagian luar.
2. Bentuk nyala hollow cone flame
Dimana bentuk ini diperoleh dengan meletakkan komponen aksial di bagian luar
sedang komponen radialnya di bagian dalam.
Dari bentuk nyala ada beberapa hal penting yang berpengaruh terhadap kualitas
klinker yang dihasilkan, yaitu :
a. Laju pembakaran (burning rate)

34
Laju pembakaran ini sangat berpengaruh terhadap ukuran komponen alite (C3S)
yang terbentuk. Komponen alite yang berukuran kecil akan mengakibatkan klinker
yang dihasilkan tidak dusty, sehingga mempunyai potensi kuat tekan yang tinggi
dan proses penggilingannya mudah.
b. Temperatur tertinggi (maksimum temperature)
Pada temperatur tertinggi yang sesuai akan dihasilkan klinker dengan litre weight
yang baik, sehingga mempunyai potensi kuat tekan yang tinggi dan akan mudah
digiling. Tetapi pada temperatur tertinggi yang terlalu tinggi akan dihasilkan klinker
yang sifatnya berlawanan dengan sifat – sifat tersebut.
c. Waktu pembakaran (burning time)
Kondisi ini sangat berpengaruh pada ukuran belite (C2S), yaitu kenaikan waktu
pembakaran akan memperbesar ukuran belite sehingga potensi kuat tekannya akan
tinggi serta akan mudah digiling. Selain itu kenaikan waktu pembakaran akan
menurunkan kandungan CaO bebas.
d. Laju pendinginan (cooling rate)
Kondisi ini sangat berpengaruh pada warna belite yang mengindikasikan struktur
kristalnya. Pendinginan yang lambat akan menghasilkan klinker dengan kuat tekan
yang rendah.
Proses pembakaran, perhitungan kebutuhan udara pembakaran, perhitungan
kelebihan udara di setiap konfigurasi SP, dan perpindahan panas sntara gas dan
material rawmeal secara lebih mendetail diberikan dalam modul tersendiri.
Hal lain yang erat sekali kaitannya dengan proses pembakaran di kiln ini adalah
parameter yang disebut dengan beban panas kiln (thermal load). Dua parameter
yang mewakili thermal load ini antara lain:
1. Beban panas volumetrik (volumetric thermal load) didefinisikan sebagai
produksi klinker (TPD) dibagi dengan volume bersih kiln (m3), sehingga
satuan dari beban panas volumetrik adalah TPD/m3.
2. Beban panas zona pembakaran (burning zone thermal load) adalah
beban panas hasil pembakaran bahan bakar di kiln (kkal/jam atau sering
ditulis kkal/h) dibagi dengan luas penampang kiln (m2). Dengan demikian
satuan parameter beban panas zona pembakaran adalah kkal/h/m2.

35
3.1.2 Refractory Lining
Refraktori (bata tahan api) adalah material non metal yang dapat dipakai untuk
konstruksi atau melapisi tungku yang beroperasi pada temperatur tinggi dan juga
mampu untuk mempertahankan bentuk dan komposisi kimianya pada temperatur
tinggi. Fungsi refraktori pada industri semen adalah untuk melindungi bagian metal
agar tidak langsung kontak dengan nyala api atau gas/padatan yang sangat panas.
Sebagai contoh shell kiln akan sangat turun kekuatannya pada temperatur di atas
400oC sementara itu temperatur klinker berkisar 1350–1550oC, serta nyala api di
kiln bisa mencapai 1900oC. Selain itu refraktori juga berfungsi untuk mencegah
kehilangan panas sehingga berada pada kondisi yang masih bisa ditoleransi (12–
22% dari panas pembakaran). Hal ini penting untuk mempertahan kan temperatur
nyala sehingga proses yang terjadi di dalam kiln akan terjamin kualitasnya.
Konsumsi refraktori berkisar 0,05 – 0,15 kg/ton klinker. Jadi secara ringkas fungsi
refraktori adalah sebagai proteksi (pengaman operasi) kiln shell terhadap
temperatur tinggi, sebagai bahan untuk memperpanjang umur teknis shell kiln , dan
sebagai isolator panas. Perpindahan panas dan kerusakan bata tahan api akan
dibahas tersendiri.

3.2 Peralatan Pendingin Klinker (Clinker Cooler)


Pendinginan klinker diperlukan karena berpengaruh terhadap struktur, komposisi
mineralogi dan grindability klinker yang dihasilkan sehingga juga akan
berpengaruh pada produk semen pada akhirnya serta untuk kemudahan klinker
tersebut ditransport. Pendinginan klinker dilakukan dalam sebuah alat yang diberi
nama pendingin klinker (clinker cooler). Proses pendinginan klinker diperlukan
dengan alasan-alasan sebagai berikut :
a. Klinker panas sangat sulit untuk ditransportasikan.
b. Klinker panas berpengaruh tidak baik terhadap proses penggilingan
selanjutnya.
c. Recovery panas yang terkandung pada klinker panas diperlukan untuk
mengurangi biaya produksi.
d. Pendinginan klinker yang baik dapat meningkatkan kualitas dan produksi
semen.

36
Dalam proses pendinginan klinker terdapat beberapa parameter penting yang perlu
diperhatikan agar klinker yang dihasilkan memiliki sifat-sifat yang memenuhi
persyaratan di atas yaitu meningkat grinabilitynya (kemudahan digiling), mudah
ditransport, dan panas yang dimiliki dapat dimanfaatkan ulang untuk pemanasan
udara yang dibutuhkan dalam pembakaran. Berikut ini akan diuraikan parameter-
parameter yang penting dalam proses pendinginan klinker.
3.2.1 Laju Pendinginan Klinker
Laju kecepatan pendinginan klinker menentukan komposisi akhir klinker. Jika
klinker yang terbentuk selama pembakaran didinginkan perlahan maka beberapa
reaksi yang telah terjadi di kiln akan berbalik (reverse), sehingga C3S yang telah
terbentuk di kiln akan berkurang dan terlarut pada klinker cair yang belum sempat
memadat selama proses pendinginan. Dengan pendinginan cepat fasa cair akan
memadat dengan cepat sehingga mencegah berkurangnya C3S.
Fasa cair yang kandungan SiO2-nya tinggi dan cair alumino-ferric yang kaya lime
akan terkristalisasi sempurna pada pendinginan cepat. Laju pendinginan juga
mempengaruhi keadaan kristal, reaktivitas fasa klinker dan tekstur klinker.
Pendinginan klinker yang cepat berpengaruh pada perilaku dari oksida magnesium
dan juga terhadap soundness dari semen yang dihasilkan. Makin cepat proses
pendinginannya maka kristal periclase yang terbentuk semakin kecil yang timbul
pada saat kristalisasi fasa cair. Klinker dengan pendinginan cepat menunjukkan
daya spesifik yang lebih rendah. Hal ini disebabkan proporsi fasa cair yang lebih
besar dan sekaligus ukuran kristalnya lebih kecil.
3.2.2 Efisiensi Konversi Energi dalam Proses Pendinginan Klinker.
Efisiensi pendinginan klinker diukur berdasarkan jumlah energi yang dapat
dipindahkan ke udara pendingin dibanding energi total yang terkandung di dalam
klinker saat keluar dari kiln. Semakin tinggi energi yang terserap oleh udara, proses
pendinginan klinker semakin efisien. Akan lebih bagus lagi bila jumlah udara yang
dibutuhkan untuk pendinginan semakin sedikit (mendekati kebutuhan udara untuk
pembakaran bahan bakar), karena biasanya udara sisa yang tidak dipergunakan
untuk pembakaran akan dibuang kembali ke lingkungan yang dapat pula berarti
merupakan tambahan kerugian energi secara keseluruhan. Di dalam praktek
terdapat dua jenis peralatan pendinginan klinker yaitu planetary cooler dan grate

37
cooler. Berikut ini akan dijelaskan secara sepintas karakteristik masing-masing
peralatan pendingin klinker tersebut.
a. Planetary Cooler
Planetary cooler terdiri atas beberapa tabung silindrik, biasanya 10 - 11 buah,
silinder yang disusun di sekeliling ujung akhir rotary kiln sehingga menjadi bagian
utuh dari rotary kiln tersebut. Planetary cooler berputar bersama-sama dengan
rotary kiln tanpa penggerak yang terpisah. Klinker dari kiln keluar melalui lubang
yang ada pada shell di ujung akhir kiln dan langsung masuk ke planetary cooler.
Gerakan klinker di dalam planetary cooler paralel dengan gerakan klinker dalam
kiln. Untuk mendapatkan perpindahan panas yang efektif planetary cooler
dilengkapi dengan rantai metal, lifter dan sejenisnya yang berfungsi untuk
menebarkan klinker dalam aliran udara yang melalui silinder cooler ini sehingga
kontak antara klinker dengan udara berlangsung lebih efektif.
Kondisi tekanan negatif pada kiln akibat sedotan dari ID fan akan menarik udara
dari ujung planetary cooler yang terbuka sehingga terjadi aliran counter current
antara klinker dengan udara pendingin. Seluruh udara pendingin klinker pada jenis
planetary cooler ini akan digunakan untuk udara pembakaran di dalam kiln. Jika
klinker masuk ke dalam cooler bertemperatur 1100–1350oC maka klinker dingin
yang keluar bisa mencapai 120–270oC. Jumlah udara pendinginnya sama dengan
jumlah udara sekunder untuk pembakaran, yaitu untuk proses basah sekitar 1,3–1,5
Nm3/kg klinker dengan konsumsi energi spesifik 1400 kcal/kg klinker; dan proses
kering sekitar 0,8–1,0 Nm3/kg klinker dengan konsumsi energi spesifik 750 kcal/kg
klinker. Temperatur udara sekundernya bisa mencapai 840–850oC pada proses
kering dan mencapai 600–650oC pada proses basah. Temperatur klinker bisa turun
dari 1350oC menjadi 1000oC dalam waktu sekitar 10 menit, di mana kondisi ini
hampir sama dengan pendinginan di grate cooler.
b. Grate Cooler
Pada awal pengembangannya pemakaian grate cooler dimaksudkan untuk
mendapatkan laju pendinginan yang cepat untuk mengurangi pengaruh kristal
periclase sehingga diperoleh kualitas klinker yang baik. Tetapi pada kenyataannya
diperoleh juga perpindahan panas yang sangat baik sekali sehingga cooler jenis ini
bisa menerima klinker dengan temperatur sampai dengan 1360–1400oC. Dengan

38
penggunaan udara berlebih klinker yang keluar bisa mencapai temperatur sampai
dengan 65oC di atas temperatur udara sekitar sehingga bisa langsung digiling dan
efisiensi perpindahan panas dari klinker ke udara dapat berkisar 72–75%.
Perpindahan panas terjadi pada kondisi kombinasi cross current dengan
counter current antara klinker dengan udara pendinginnya. Partikel-partikel halus
akan jatuh ke dalam chamber udara yang ada di bawah grate plate dan dikeluarkan
menggunakan air sluice dan ditarik oleh drag chain conveyor, sementara klinker
yang berukuran besar dihancurkan oleh clinker breaker, berupa hammer crusher,
yang ada di ujung grate cooler. Penggunaan udaranya berkisar 1,8–2,4 Nm3/kg
klinker dengan temperatur klinker dingin bisa mencapai 120–150oC. Penggunaan
udara sirkulasi dapat dilakukan pada sistem ini sehingga mengurangi udara yang
terbuang keluar.

3.3 Pengendalian Operasi


Untuk mendapatkan jumlah produk yang maksimal, kualitas produk yang baik,
penggunaan bahan bakar yang efisien serta operasi yang aman, maka operasi
peralatan produksi yang telah diterangkan di atas harus dikendalikan. Dalam
pengendalian operasi peralatan dikenal dua jenis parameter, yaitu parameter kontrol
dan parameter variabel. Yang dimaksud dengan parameter kontrol adalah besaran
yang nilainya dapat langsung diubah oleh operator pada alat kontrol sehingga dapat
langsung mengubah kondisi operasi.
Yang termasuk parameter kontrol antara lain :
a. Speed kiln (rpm)
b. Jumlah feeding (ton/jam)
c. Jumlah bahan bakar, coal (ton/jam)
d. Bukaan damper inlet ID fan (%) atau putaran ID fan (rpm)
e. Jumlah udara pendingin pada grate cooler (m3/jam)
f. Dll.
Parameter variabel merupakan besaran yang nilainya mengindikasikan kondisi
suatu sistem. Parameter ini tidak bisa langsung diubah oleh operator pada alat
kontrol, dan untuk mengubahnya harus mengubah parameter kontrol. Jadi

39
parameter variabel ini merupakan konsekuensi proses apabila parameter kontrolnya
berubah.
Yang termasuk parameter variabel ini antara lain :
a. Torsi kiln (%)
b. Temperatur zone pembakaran
c. Kadar O2 pada inlet dan top cyclone (%)
d. Kadar CO pada inlet dan top cyclone (%)
e. Temperatur top cyclone (oC)
f. Temperatur bottom cyclone (oC)
g. Draft top cyclone (mBar)
h. Draft inlet kiln (mBar)
Dengan memperhatikan secara serius parameter variabel tersebut bagi engineer
proses akan dapat mengetahui apakah proses produksi berjalan dengan baik atau
tidak. Dengan demikian ketelitian penunjukan parameter varibel inilah yang
merupakan petunjuk utama bagi engineer proses dalam mengendalikan proses.
Beberapa parameter variabel pada pengoperasian peralatan produksi (suspension
preheater, kiln dan cooler) dapat dijelaskan berikut ini :
a. Temperatur Zona Pembakaran (Burning Zone)
Temperatur zona pembakaran merupakan hal yang menentukan proses pembakaran
di dalam kiln. Pada temperatur tinggi proses perpindahan panas secara radiasi akan
semakin efektif. Ada beberapa hal yang harus dikendalikan untuk mendapat
temperatur zona pembakaran yang tinggi, antara lain :
a. Perbandingan bahan bakar dan udara pembakaran yang cukup.
b. Momentum di burner tip cukup tinggi.
c. Temperatur udara sekunder dan primer yang tinggi.
d. Kualitas bahan bakar yang baik (nilai kalor bakar tinggi).
Untuk menentukan temperatur zona pembakaran yang akurat relatif sulit, kalaupun
tersedia alat ukurnya (pyrometer) biasanya hanya dipakai untuk mengindikasikan
trend perubahannya. Oleh sebab itu dalam operasinya penentuan temperatur zona
pembakaran ini selain menggunakan alat ukur yang ada juga menggunakan
parameter lain untuk mengindikasikannya antara lain temperatur bottom cyclone,
torsi kiln, litre weight klinker yang dihasilkan, temperatur shell kiln.

40
b. Kadar Oksigen
Oksigen dengan jumlah cukup diperlukan untuk pembakaran yang sempurna.
Untuk menentukan jumlah udara yang diperlukan pada pembakaran dapat dihitung
setelah mengetahui jumlah komponen yang dapat dibakar di dalam bahan bakar.
Dalam operasionalnya hal ini tentunya sulit untuk dilakukan sehingga untuk
menentukan udara pembakaran digunakan parameter kadar oksigen dari gas hasil
pembakaran sebagai parameter pengendali proses pembakaran.
Pada operasi yang baik kadar oksigen dalam gas buang ini berkisar 0,7–3,5%
(udara berlebih berkisar 8–19%), dengan kadar optimum 1,0–1,5%. Jika kadar
oksigen ini terlalu rendah maka pembakarannya tidak sempurna sehingga akan
terbentuk CO (panas pembakaran yang dihasilkan baru sekitar 2400 kcal/kgC;
sedangkan bila terbakar sempurna akan terbentuk CO2 dengan panas pembakaran
sekitar 8100 kcal/kgC). oleh karena itu semakin tinggi kadar CO pada gas buang
berarti kerugian energi pembakaran terjadi lebih banyak (di mana panas
pembakarannya rendah) disamping CO ini berbahaya pada proses di electrostatic
precipitator, yaitu dapat menyebabkan terjadinya ledakan.
Pada kondisi reduksi (kekurangan oksigen), C4AF bisa terurai menjadi C3A yang
mempengaruhi kualitas semen, selain itu basic brick juga bisa mengalami reduksi
sehingga magnesite akan kehilangan kuat tariknya dan coating akan lepas. Klinker
yang dihasilkan pada kondisi reduksi mempunyai kuat tekan yang rendah. Kadar
oksigen yang terlalu tinggi mengindikasikan udara pembakaran yang terlalu banyak
sehingga panas yang terbuang (untuk memanaskan kelebihan udara yang tidak
dipakai pada proses pembakaran) juga akan banyak dan tidak efisien. Alat analisis
kadar oksigen ini biasanya paling sedikit ditempatkan di dua lokasi, yaitu di inlet
kiln dan top cyclone. Posisi di inlet kiln untuk mendeteksi kondisi pembakaran di
kiln secara langsung sedang yang di top cyclone selain mendeteksi kondisi
pembakaran di kalsiner juga untuk mendeteksi adanya false air di sistem preheater
dengan membandingkan kadar oksigen di inlet kiln dengan top cyclone. False air
yang besar akan mengurangi jumlah panas yang seharusnya digunakan untuk
memanaskan raw mix pada proses perpindahan panas yang terjadi di suspension
preheater dan kalsiner.
c. Kadar Karbon Monoksida

41
Kadar CO mengindikasikan kondisi pembakaran tidak sempurna. Sebaiknya tidak
ada sama sekali karena nilai kalor yang dikeluarkan jauh lebih rendah dibandingkan
dengan pembakaran sempurna (terbentuk CO2) dan jika bereaksi lanjut dengan
oksigen akan menimbulkan panas (ledakan). Akan tetapi dalam proses normal
biasanya berada pada tingkat 0,01–0,02%. Jika sudah mencapai 1% operasi EP akan
distop untuk mencegah terjadinya ledakan di EP.
d. Kadar N0x
Pada gas hasil pembakaran N0x yang ada merupakan hasil dari dua proses, yaitu :
a. N0x thermal, di mana pembentukannya berasal dari udara yang dipanaskan
pada temperatur tinggi. Pada temperatur tinggi oksigen dan nitrogen
mengalami dissosiasi sehingga bisa terbentuk N0x. Jumlah bergantung pada
temperatur gas, waktu di mana gas mengalami temperatur tinggi dan laju
pendinginan campuran gas tersebut. Normalnya pada temperatur dalam kiln
1600–1700oC secara teoritis kadar N0x pada gas hasil sekitar 50 ppm.
b. N0x bahan bakar. Coal biasanya mengandung komponen organik nitrogen.
Komponen ini terbakar dan membentuk N0x yang bergantung pada jumlah
udara yang berlebih. Makin besar kandungan oksigennya makin banyak
pula N0x yang terbentuk.
Pengukuran N0x ini cukup cepat sehingga memberi gambaran yang segera terhadap
kondisi pembakaran di dalam kiln. Dibandingkan dengan parameter free lime dan
litre weight yang membutuhkan waktu maka parameter N0x sangat membantu
dalam pengendalian operasi pembakaran.
e. Torsi Kiln
Parameter ini merupakan modifikasi dari nilai parameter ampere motor dari
main drive kiln dan mengindikasikan kondisi material yang ada di dalam kiln.
Harganya pada kondisi normal berkisar 50-55%. Harga yang cenderung naik
mengindikasikan bertambahnya fasa cair, pembakaran yang makin keras dan
kualitas produk yang baik. Bila harganya menunjukkan penurunan, hal ini
mengindikasikan mulai turunnya temperatur zona pembakaran dan pembakaran
yang lunak.
f. Temperatur Bottom cyclone

42
Temperatur gas pada siklon yang terbawah digunakan untuk
mengindikasikan derajat kalsinasi raw mix yang masuk ke dalam kiln. Pada
temperatur 860–875oC pada kiln dengan SP-calciner mengindikasikan derajat
kalsinasi sekitar 90%. Jika derajat kalsinasi raw mix yang masuk ke kiln terlalu
rendah menyebabkan beban pembakaran dalam kiln akan tinggi dan tidak cukup
efektif. Tetapi pada derajat kalsinasi yang terlalu tinggi menyebabkan terjadinya
fasa cair sebelum masuk kiln yang dapat mengakibatkan terjadi blok di jalur raw
mix. Sifat-sifat aliran raw mix berdasarkan temperatur adalah sebagai berikut :

T = 60 0C – 900 0C free flowing


T = 900 0C –1200 0C sticky
T >1200 0C fasa cair dan free flowing
g. Temperatur Top Cyclone
Parameter ini mengindikasikan kondisi gas buang dan normalnya pada 330–340oC.
Temperatur yang terlalu tinggi mengindikasikan jumlah bahan bakar yang terlalu
banyak, tarikan udara yang terlalu banyak atau feeding yang kurang. Hal ini sangat
merugikan karena gas yang keluar merupakan panas yang terbuang. Temperatur
yang terlalu rendah bisa mengindikasikan temperatur pembakaran yang rendah atau
tarikan udara yang cukup. Hal ini juga tidak baik karena biasanya gas ini sebagian
dipergunakan untuk proses pengeringan bahan baku di raw mill. Dengan temperatur
gas buang terlalu rendah energi pengeringan kurang sehingga diperlukan jumlah
aliran gas yang banyak, yang berarti akan meningkatkan konsumsi motor listril mill
fan.
h. Temperatur Udara Sekunder dan Tersier
Parameter ini penting untuk mendapatkan kondisi pembakaran yang baik. Selain itu
mengindikasikan tingkat recovery panas yang dapat digunakan kembali sehingga
menentukan jumlah bahan bakar yang diperlukan. Untuk mendapatkan temperatur
yang tinggi maka proses pendinginan klinkernya harus dikendalikan dengan baik.
Pada grate cooler hal ini dapat dilakukan dengan menjaga ketebalan material di atas
grate juga dengan mengatur jumlah udara pendinginnya. Di samping itu kualitas
klinker yang keluar dari kiln (ukuran dan distribusinya, porositas) sangat
menentukan parameter ini.

43
i. Litre Weight Klinker
Parameter ini relatif cepat pengukurannya sehingga bisa dipakai sebagai pedoman
untuk pengendalian pembakaran di kiln dan mutu klinker yang dihasilkan.
Pengukuran dilakukan dengan menimbang klinker yang lolos ayakan 10 mm dan
residu di atas ayakan 5 mm sebanyak 1 liter. Nilai standar litre weight klinker
tergantung dari performance tiap kiln. Litre weight yang tinggi mengindikasikan
kondisi zona pembakaran yang tinggi dan pembakaran yang keras.
j. Free Lime (CaO bebas)
Parameter ini mengindikasikan kesempurnaan pembakaran raw mix.
Parameter ini dipengaruhi oleh temperatur burning zone, yang secara tidak
langsung juga dipengaruhi oleh temperatur udara sekunder yang berasal dari grate
cooler sehingga pengamatan langsung dapat dilakukan dengan mengontrol udara
pendingin (parameter kontrol). Jika harganya tinggi menunjukkan bahwa ada
sebagian CaO yang tidak bereaksi dengan SiO2 sehingga jumlah C2S dan C3S
kecil, yang tentu saja akan menurunkan kuat tekan. Jika harganya makin rendah
berarti pembakaran raw mix baik. Umumnya harganya berkisar 0,5 - 1,5 %.
k. Pressure Chamber Grate Cooler
Parameter ini menunjukkan beban klinker terhadap grate. Bila tekanan pada
chamber I naik, menunjukkan bahwa material bed di lokasi tersebut bertambah.
Dalam hal ini harus diperkirakan apakah terdapat coating jatuh atau klinker yang
berlebihan. Pressure yang tinggi mengakibatkan beban fan cooler menjadi tinggi
dan selanjutnya perpindahan panas kurang efektif, serta temperatur udara sekunder
yang diharapkan tinggi akan menurun. Hal ini akan mengakibatkan proses di dalam
kiln berlangsung kurang baik termasuk proses pembakaran bahan bakar di burner
dan kualitas kilnker yang dihasilkan.

44

Anda mungkin juga menyukai