Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

SEJARAH MATEMATIKA

“AL-BATTANI”

OLEH:

SEPTIA PRATIWI
16029051

DOSEN PEMBIMBING : Dra. JASNIWARTI, M.Pd

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam
yang telah memberikan berbagai macam nikmat, khususnya nikmat kesehatan
serta kesempatan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya. Shalawat serta salam tak lupa penulis haturkan kepada junjungan alam
yakninya Nabi besar Muhammad SAW.

Selanjutnya ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Dra.


Jazwinarti, M.Pd sebagai dosen yang telah memberikan kepercayaan serta
bimbingan kepada penulis agar dapat menyelesaikan makalah mengenai “Biografi
Al-Battani”.

Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat banyak


kesalahan dan kekurangan, baik dari segi penulisan maupun dari segi
penyusunannya. Untuk itu penulis mengharapkan kritikan dan saran yang bersifat
membangun demi kesempurnaan makalah selanjutnya.

Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih dan semoga Allah senantiasa


meridhoi segala usaha kita. Amin ya rabbal’alamin.

Padang , Februari 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah............................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Perkembangan Pendidikan Yunani..................................................... 3
B. Perkembangan Pendidikan Romawi................................................... 5
C. Tokoh-tokoh yang Berperan Dalam Pendidikan Yunani................... 10
D. Tokoh-tokoh yang Berperan Dalam Pendidikan Romawi................. 15
BAB III PENUTUP
A. Simpulan............................................................................................ 19
B. Saran.................................................................................................. 19
DAFTAR RUJUKAN

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejarah mencatat bahwa setelah Yunani runtuh, muncul era baru, yaitu era
kejayaan Islam di tanah Arab. Hal ini berakibat bahwa perkembangan kebudayaan
dan ilmu pengetahuan berpusat dan didominasi oleh umat Islam-Arab. Pada masa
kekhalifahan Harun Al-Rashid, khalifah kelima pada masa dinasti Abassiyah,
yang dimulai pada sekitar tahun 786, terjadi proses penerjemahan besar-besaran
naskah-naskah matematika (juga ilmu pengetahuan lainnya) bangsa Yunani kuno
ke dalam bahasa Arab. Pada masa kekhalifahan berikutnya, yaitu khalifah Al-
Ma’mun, beliau menerjemahkan naskah Elements (berisi kumpulan pengetahuan
matematika) yang ditulis Euclid.
Kontribusi Muslim bagi perkembangan matematika adalah terbatas pada
aktivitas penerjemahan naskah Yunani kuno ke dalam bahasa Arab. Banyak ahli
sejarah matematika yang tidak menampilkan tentang sumbangan besar Muslim
terhadap perkembangan matematika, baik karena sengaja atau ketidaktahuannya.
Namun tidak sedikit pula ahli sejarah matematika dari Barat yang lebih objektif
dalam mengemukakan fakta-fakta yang sebenarnya terjadi. Dalam satu sumber
yang ditulis oleh J. J. O’Connor dan E. F. Robertson dikatakan bahwa dunia barat
sebenarnya telah banyak berutang pada para ilmuwan/matematikawan Muslim.
Lebih lanjut bahwa perkembangan yang sangat pesat dalam matematika pada abad
ke-16 hingga abad ke-18 di dunia barat, sebenarnya telah dimulai oleh para
matematikawan Muslim berabad-abad sebelumnya.
Zaman keemasan Islam juga melahirkan pakar-pakar di bidang
trigonometri. Mereka antara lain adalah Al-Battani (850-929), Al-Biruni (973-
1050), dan Umar Khayyam. Al-Battani atau Muhammad Ibn Jabir Ibn Sinan Abu
Abdullah dikenal sebagai bapak trigonometri. Al-Battani adalah tokoh bangsa
Arab dan gubernur Syria. Dia merupakan astronom Muslim terbesar dan ahli
matematika ternama. Al-Battani melahirkan trigonometri untuk level lebih tinggi
dan orang pertama yang menyusun tabel cotangen.

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, dapat dirumuskan beberapa permasalahan
yang diantaranya sebagai berikut.
1. Bagaimana biografi Al-Battani?
2. Apa saja karya dan penemuan Al-Battani?
3. Bagaimana pandangan ilmuwan barat terhadap Al-Battani?
4. Siapa saja tokoh-tokoh yang berperan dalam pendidikan Romawikuno?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah, maka dapat ditentukan tujuan penulisan yaitu.
1. Untuk memberikan informasi mengenai perkembangan pendidikan Yunani
kuno.
2. Untuk memberikan informasi mengenai perkembangan pendidikan
Romawi kuno.
3. Untuk memberikan informasi mengenai tokoh-tokoh yang berperan dalam
pendidikan Yunanikuno.
4. Untuk memberikan informasi mengenai tokoh-tokoh yang berperan dalam
pendidikan Romawi kuno.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perkembangan Pendidikan Yunani Kuno


Yunani kuno terbagi menjadi dua yaitu Sparta dan Athena. Penduduk
Sparta disebut bangsa Doria, sedangkan penduduk Athena disebut bangsa Lonia.
Kedua negara tersebut merupakan polis atau negara kota. Sparta dengan ahli
negaranya Lycurgus, sedang Athena dengan ahli negaranya Solon. Pada kedua
negara tersebut terdapat perbedaan-perbedaan dalam dasar, tujuan, pelaksanaan
pendidikan dan pengajaran. Orang-orang Sparta mementingkan pembentukan jiwa
patriotik yang kuat dan gagah berani (Djumhur, 1976: 24)
Secara spiritual bangsa Yunani dapat dilihat dari sudut agamanya. Dewa-
dewa mereka yaitu Apolo, Poseidon, Aros, Hermes, dan sebagainya. Ini
sebenarnya sama dengan typis Timur: Brahma, Wisnu, dan sebagainya. Dewa-
dewa ini dipandang mewakili kekuatan yang besar dan memberikan pengaruh
kepada penghidupan manusia. Jadi memberikan dorongan terhadap penghidupan.
Maka bangsa Yunani mungkin terlalu mementingkan kehidupannya secara
keduniawian (Agung & Suparman, 2012: 82).
1. Sparta
Sparta adalah negara Aristokrasi-militeristis. Dasarnya Undang-Undang
Lycurgus (± 900 SM). Pendidikan di Sparta didasarkan atas dua asas yaitu anak
adalah milik Negara dan tujuan pendidikan adalah membentuk tentara pembela
negara serta warga Negara. Ciri-ciri pendidikannya adalah pendidikan
diperuntukkan hanya bagi warga negara yang merdeka (bukan budak),
mengutamakan pendidikan jasmani dan anak-anak yang telah mencapai umur
tujuh tahun diasramakan. Di Sparta sekolah untuk anak laki-laki diwajibkan,
karena dengan itu, mereka mendapatkan hak sebagai warga negara yang setara
(Kusumohamidjojo, 2012: 16).
Pelaksanaan pendidikan diantaranya: anak-anak dibiasakan menahan lapar,
tidur di atas bantal rumput, dan pada musim dingin hanya memakai mantel biasa
saja. Sifat-sifat yang harus dimiliki tentara, seperti keberanian, ketangkasan,
kekuatan, cinta tanah air, dan tunduk pada disiplin selalu mendapat perhatian.
Sebaliknya, pelajaran seperti kesenian dianggap tidak terlalu penting dan

3
diabaikan. Musik dan nyanyian hanya dijadikan alat untuk mempengaruhi jiwa
dalam melaksanakan dinas ketentaraan (Achmadi, 1987: 162).
Jadi intinya bangsa Sparta tidak mengalami kemajuan di dalam lapangan
estetika dan intelek, meskipun dalam kehidupan mempunyai “seremoni”. Sebab
titik beratnya pendidikannya pada kemiliteran. Sedangkan kedudukan wanita di
Sparta bebas, baik didalam maupun diluar rumah (Agung & Suparman, 2012: 85).
2. Athena
Athena adalah negara demokrasi. Dasar yang dipakai adalah: Undang-
undang Solon (± 594 SM). Tujuan pendidikan Athena adalah membentuk warga
negara dengan jalan pembentukan jasmani dan rohani yang harmonis. Ciri-ciri
pendidikan di Athena adalah pendidikan diselenggarakan oleh keluarga dan
sekolah, dan sekolah diperuntukkan bagi seluruh warga negara (bebas). Materi
atau bahan pelajaran terbagi atas dua bagian: gymnastis dan muzis. Gymnastis
untuk pembentukan jasmani, sedangkan muzis untuk pembentukan rohani.
Pendidikan jasmani diberikan di Palestra, tempat bergulat, lempar cakram,
melompat, lempar lembing (pentathlon atau pancalomba). Pembentukan muzis
meliputi: membaca, menulis, berhitung, nyanyian, dan musik. Dalam
perkembangannya pembentukan muzis akan dipelajari artes liberales atau “seni
bebas”, yang terdiri dari:
a. trivium (tiga ajaran), yaitu: grammatica; rhetorica (pidato); dan
dialektika yaitu ilmu mengenai cara berpikir secara logis dan bertukar
pikiran secara ilmiah;
b. quadrivium (empat ajaran), yang terdiri dari: arithmetica (berhitung);
astronomia (ilmu bintang); geometria (ilmu bumi alam dan falak); musica.
Dalam membaca, diberikan dengan metode mengeja (sintetis murni); dan
menulis dilakukan pada batu tulis yang dibuat dari lilin (Djumhur, 1976:
32).Pendidikan warga negara sangat diutamakan di Yunani, terutama di Sparta.
Segala kepentingan negara diletakkan di atas kepentingan individu. Dalam
perkembangannya muncul keinginan untuk mendapat kebebasan pribadi, terutama
dari kaum sofist. Kaum sofist adalah kelompok orang yang tidak mengakui
kebenaran mutlak dan berlaku umum. Mereka berpendapat, bahwa manusia
adalah ukuran segala sesuatu (anthroposentris, anthropos: manusia; sentris:

4
pusat). Sesuatu dianggap benar kalau itu menimbulkan keuntungan atau
kemenangan. Kebenaran bersifat relatif (tergantung kapan dan siapa yang
melihat).
Akibat dari ajaran sofisme itu menyebabkan turunnya nilai-nilai
kebudayaan, merosotnya nilai-nilai kejiwaan dan moral, pembentukan harmonis
antara jiwa dan raga akan dikesampingkan. Orang mencari pengetahuan dengan
tujuan untuk mencapai kebendaan semata (intelektual-materialistis). Kepentingan
negara harus tunduk kepada kepentingan perseorangan. Pendidikan kecerdasan
lebih penting daripada pendidikan agama dan kesusilaan (Agung & Suparman,
2012: 93).

B. Perkembangan Pendidikan Romawi Kuno


Pendidikan Romawi tampak lebih sederhana dan lebih disesuaikan dengan
kebutuhan negara jika dibandingkan dengan pendidikan Yunani. Roma yang pada
awalnya adalah negara petani, mengalami dua masa yang masing-masing berbeda
baik tujuan maupun alat-alat pendidikannya, yaitu zaman Romawi lama dan
zaman Romawi baru (Hellenisme).
Berbeda dengan bangsa Yunani yang mempunyai watak berrpikir. Bangsa
Roma ini lebih tertuju pada perbuatan dalam lapangan kesusastraan tidak
menciptakan apa-apa hanya meniru. Mereka mempunyai pesona cukup terhadap
penerimaan ilmu alam dari bangsa Yunani. Bangsa Roma mempunyai kelebihan
dari bangsa lain seperti ilmu hukum, pemerintahan dan teknik. Jadi bangsa Roma
tahu bagaimana cara memerintah, sedangkan bangsa Yunani tahu bagaimana cara
memikirkan dunia (Agung & Suparman, 2012: 104).
1. Zaman Romawi Lama
Pendidikan pada jaman ini bertujuan membentuk warga negara yang setia
dan berani, siap berkorban membela kepentingan tanah airnya. Pendidikan
semacam ini lebih diutamakan pembentukan warga negara yang cakap sebagai
tentara. Materi pelajarannya meliputi membaca, menulis, dan berhitung.
Pendidikan jasmani dan kesusilaan menjadi prioritas.
Pendidikan bersifat informal, moral dan jabatab. Sejak anak-anak
dilahirkan, anak dibawah kekuasaan orang tua mereka. Baru setelah masuknya
alfabet ke Roma anak baru mulai belajar. Mungkin pada waktu itu belum ada

5
sekolah yang formal. Tetapi orang Roma menganggap masyarakat itu merupakan
sekolah. Sampai umur 7 tahun anak diberi latihan moral oleh ibunya. Sesudah
anak berumur 7 tahun anak menncari pengalaman sesuaii dengan pekerjaan
ayahnya. Pada waktu yang sama (7 tahun ke atas) anak wanita dibimbing oleh
ibunya mengenai seluk beluk kerumahtanggaan, sosial dan religi. Suasana
kegamaan yang terdapat di rumah memeberikan sumbangan yang tidak sedikit
terhadap pembentukan watak mereka. Sebab di Roma lapangan ekonomi, sosia
dan politik terjalin dengan agama (Agung & Suparman, 2012: 105). Hasil
pendidikan seperti ini dinilai baik, karena:
a. Kebiasaan aturan dalam rumah tangga yang keras, ayah mempunyai
kekuasaan mutlak dan anak-anak patuh pada perintahnya;
b. Kedudukan ibu hampir sama dengan kedudukan ayah, ia menjadi
pemelihara rumah tangga;
c. Agama mempunyai pengaruh besar, orang romawi percaya dikelilingi
oleh dewa-dewanya;
d. Anak-anak mempelajari undang-undang negaranya, menganggapnya
sakti dan tidak melanggar.
2. Zaman Romawi Baru (Helenisme)
Hellenisme adalah aliran kebudayaan yang diciptakan oleh ahli-ahli
filsafat Yunani (Hellas). Sejak saat itu bangsa Romawi mulai menyadari arti
penting ilmu pengetahuan. Dengan demikian maka tujuan pendidikan mengalami
perubahan yaitu untuk pembentukan manusia yang harmonis. Pendidikan ratio
dan kemanusiaan (humanitas) menjadi prioritas. Organisasi sekolah yang
dibentuk meliputi:
a. sekolah rendah: pelajarannya membaca, menulis, dan berhitung. Musik
dan menyanyi tidak mendapat perhatian;
b. sekolah menengah: pelajarannya ilmu pasti, ilmu filsafat, dan
kesusasteraan klasik;
c. sekolah tinggi: diberikan keahlian pidato, hukum, dan undang-undang.
Pendidikan menjadi kehilangan sifat praktisnya dan rakyat Roma mulai
berpedoman kepada filsafat. Pada perkembangan selanjutnya Romawi terbawa
oleh arus aliran filsafat yang berdampak cukup besar bagi pendidikan Roma, yaitu

6
Epicurisme (dipelopori Epicurus 341-270 SM), dan aliran Stoa (dipelopori Zeno
336-264 SM). Aliran Epicurisme berpendapat hahwa kebahagian akan terwujud
manakala manusia menyatu dengan alam.
Aliran Stoa berpendapat bahwa tujuan hidup adalah mencapai kebajikan.
Kebajikan itu akan terwujud apabila manusia dapat menyesuaikan diri dengan
alamnya, karena manusia adalah bagian dari alam. Sedangkan alam itu sendiri
dikuasai oleh budi Ilahi. Karena manusia merupakan bagian dari alam, maka di
dalamnya terkandung sebagian dari budi ilahi itu. Jadi tidak ada perbedaan antara
alam dengan Tuhan, dan alam adalah Tuhan dan Tuhan adalah alam, yang disebut
juga panteisme (pan: seluruh, semua; theos: Tuhan). Sehingga hidup sesuai
dengan alam berarti hidup sebagai manusia berakan dan berbudi.
Dengan munculnya dua faham tersebut cita-cita atu tujuan Romawi
berubah dari membentuk manusia sehat kuat untuk membela tanah air (kebajikan
kepahlawanan) menjadi membentuk manusia yang bijaksana dan berakal budi
(Agung & Suparman, 2012: 102). Organisasi dan matapelajaran di sekolah pada
zaman Romawi baru diantaranya sebagai berikut:
a. Sekolah Rendah (Ludus)
Sekolah rendah yang baru diperkenalkan kira-kira 300 SM. Disini
diberi pelajaran seperti: Membaca, menulis, matematika dan hukum.
Yang masuk sekolah ini ialah anak-anak dari umur 7 tahun sampai 12
tahun. Sekolah ini berlangsung kira-kira 200 tahun (Agung & Suparman,
2012: 107).
b. Sekolah Gramatika (the Grammar School)
Sesudah 300 SM sekolah ini didirikan oleh guru – guru Yunani.
Adapun maksudnya yaitu untuk mempelajari kesusastraan Yunani.
Ketika kesusasteraan Yunani mulai berkembang didirikan pulase kolah
semacam oleh bangsa Yunani. Jadi kalau kita bandingkan dengan bangsa
Roma, bangsa Yunani ini inferior terhadap politik dan moral, tapi
superior dalam lapangan filsafat dan kesusasteraan. Oleh karena itu
bangsa Roma menghargai kesusasteraan Yunani lebih tinggi dari pada
kesusasteraan Latin. Mendekati abad pertengahan, Quantilanus berkata
bahwa pendidikan banggsa Roma harus dimulai dengan pelajaran bangsa

7
Yunani. Memang di Roma sendiri kecenderungan untuk memepelajari
bahasa asing lebih daripada bahasa Ibu. Bahasa yunani menjadi perantara
dalam arti kebudayaan luas. Sekolah Gramatika ini lamanya 4 tahun yang
memasuki anak unmur 12 tahun. Sekolah ini sifatnya Liberal, oleh
karena itu memberikan latihan kesusasteraan yang luas (Agung &
Suparman, 2012: 107).
c. Sekolah Retorika (the Rethoric School)
Karena ketakutan unuk selalu tinggal secara konservatif, maka
pada abad ke-2 M timbullah di Roma sekolah-sekolah Retorika. Anak
yang masuk sekolah ini kira-kira 17 tahun dan mempelajari teknik
sebagai orator. Tipe sekolah ini semacam Yunani dan mendasarkan
pandangan atas Retorika dari Aristoteles, Cicero, dan Quintilianus. Yang
menjadi pelajaran utama ialah: teori orator dan deklamasi. Sekolah-
sekolah itu umumnya swasta dan tidak ada hubungannya dengan
pemerintah (Agung & Suparman, 2012: 107).
Oleh karena pengaruh teori Plato dan Aristoteles yang menasehatkan
pengawasn pendidikan oleh Negara, maka kaisar Roma melaksanakan teori ini
didalam praktek. Misalnya saja, guru ditunjuk oleh Negara, pemerintah membayar
guru itu, guru diberi hak istimewa dan dianggap suci. Hak istimewa ini kemudian
menjadikan problema sampai abad pertengahan sampai timbulnya Universitas.
Diberika pula subsidi pada sekolah swasta.Pada 429 M diumumkan sekolah
samadengan badan Negara, barang siapa mendirikan dan memberikan pelajaran
tanpa izin Negara dianggap melanggar hukum. Jadi sejak itu sekolah mejadi suatu
sistem yang diawasi oleh Negara. (Agung & Suparman, 2012: 108)
Yunani terkenal dengan mulainya kebudayaan Barat. Dalam waktu beribu-
ribu tahun bangsa Yunani ini berdagang. Militernya mempunyai hubungan dekat
dengan Timur. Disamping itu mempunyai hubungan dengan daerah Mediterania
dengan Eropa. Dengan adanya sifat-sifat ini maka dalam bentuk yang Istimewa
yunani merupakan tempat pertemuan kebudayaan Timur dan Barat. Akibat
percampuran itulah yang menyebabkan asal dari kebanyakan cita-cita kebudayaan
dan adat bangsa Barat. Akan tetapi kesatuan daripada Yunani itu puncaknya
ketika kekaisaran Roma berkuasa.

8
Bangsa Yunani mempunyai negara yang terpencar-pencar, dikarenakan
oleh beberapa sebab mereka tidak dapat bersatu. Negara-negara ini dapat bersatu
ketika ada azaz-azaz penaklukan bangsa Macedonia 300 tahun SM dan Roma 146
SM. Sikap bangsa Roma terhadap Yunani mengandung dua kemenangan yaitu
kemenangan militer bagi bangsa Roma dan kemenangan secara spiritual bagi
bangsa Yunani. Dikatakan spiritual karena kebesaran Roma adalah pinjaman dari
kebudayaan Yunani. Bangsa Yunani spiritual kuat (kesenian, pengetahuan,
kesusasteraan) tetapi lemah didalam organisasi. Sedangkan Roma mempunyai
kemenangan politik yang bersifat ultilitaritis, oleh karena itu organisasi
kenegaraan Roma menjadi kuat sehingga dapat menerima kebudayaan baru yang
dibawa oleh golongan Kristen. Cita-cita kesatuan dan keagungan itu terus hidup
sampai reformasi, dan baru dapat hancur oleh Napoleon I. (Agung & Suparman,
2012: 80-81)

C. Tokoh – Tokoh Yang Berperan Dalam Pendidikan YunaniKuno


1. Pythagoras (580-500 SM)
Pythagoras ho Samios berasal dari Samos, dekat Miletos daerah Ionia (di
pantai barat Turki sekarang). Dia diperkirakan lahir sekitar tahu 570 SM dan
mangkat sekitar tahun 490 SM (Kusumohamidjojo, 2012: 45). Tujuan pendidikan
yaitu membentuk manusia susila dan beragama. Ajaran filsafatnya yang juga
ajaran tarekatnya merupakan “jalan” yang akan dilalui jiwa manusia menuju jiwa
Tuhan, sehinga akan manggal menjadi satu (Saifullah, 1983: 63). Beberapa cita-
cita yang menjadi dasar pendidikannya:
a. Hanya jiwa yang berharga, bukan badan;
b. Jiwa berasal dari dewa-dewa dan hidup terus jika badan telah mati;
c. Sejak kecil manusia mempunyai kecenderungan untuk berbuat jahat,
pendidikan harus membawa manusia ke arah kesempurnaan;
d. Kesempurnaan adalah kebajikan, yaitu keselarasan antara jiwa dan
raga, harmoni dalam hubungan antara manusia, harmoni pula dalam
negara.
Untuk melaksanakan cita-cita tersebut, ia mendirikan sebuah lembaga
dengan nama “Lembaga Pythagoras”. Anggotanya hidup bersama-sama dan patuh
pada aturan-aturan tertentu. Lembaga tersebut terdiri dari 3 bagian:

9
a. Bagian 1: terdiri dari calon-calon anggota dalam masa percobaan 3
tahun. Selama itu ia harus dapat mengatasi penderitaan-penderitaan
dan harus membuktikan kesanggupan dalam menempuh jalan hidup
yang saleh;
b. Bagian 2: merupakan lanjutan dari bagian 1, tetapi masih diasingkan
dari anggota – anggota penuh, dan mendapat ajaran dari pythagoras
sendiri;
c. Bagian 3: terdiri dari anggota-anggota yang dianggap sudah cukup
memenuhi syarat, mendapat hak dan kepercayaan yang penuh, mereka
mendapat ajaran dari pythagoras sendiri.
Kusumohamidjojo (2012: 54) menjelaskan bahwa ajaran Pythagoras
melopori tiga gagasan besar diantaranya:
a. Ajaran Pythagorean mengukuhkan kedudukan sentral dan matematika
dalam menjelaskan harmonei alam semesta;
b. Ajaran Pythagorean menetapkan struktur dasar musik yang kini
menjadi bagian integral dari peradaban dunia;
c. Ajaran Pythagorean mengajukan doktrin tentang metempsychosis
yang lantas menjadi soal perenial dalam theologi dan psikologi.
2. Socrates (469-399 SM)
Sokrates berasal dari distrik Alopeke di lerang Gunung Lycabettus dekat
Athena. Dia berasal dari suku Antiochis. Ketika pada tahun 399 SM menjalani
hukuman mati yang tekenal itu, usianya suddah mencapai 70 tahun
(Kusumohamidjojo, 2012: 160).
Sokrates merupakan tokoh yang melawan ajaran sofisme. Ia berpendapat
bahwa yang menjadi ukuran segala-galanya bukan manusia melainkan ke-
Tuhanan (theosentris, theo: Tuhan). Berlawanan dengan Pythagoras, Socrates
percaya bahwa manusia mempunyai pembawaan untuk berbuat baik. Socrates
berpendapat bahwa ilmu adalah sumber dari kebajikan, oleh karena itu ia
dianggap perintis kaum Philantropin: cinta pada sesama manusia. Usaha Socretes
untuk melepaskan diri dari ikatan ajaran kaum Sofis yang skeptis bahkan nihilistis
itu, dan dalam rangka menyelesaikan permasalahan adalah ajaran utama dan

10
pertamanya yang berbunyi dalam rumusannya bahwa “knowladge is virtues,”
artinya pengertian adalah kebijakan (Saifullah, 1983: 73).
Dalam melaksanakan pengajaran Socretes melakukan dialog, percakapan
dan tanya jawab dengan masyarakat di jalan-jalan, di taman, dan pasar. Socrates
selalu mengajarkan bahwa manusia itu berpengetahuan hanya dalam
prasangkanya saja, padahal yang sebenarnya mereka tidak tahu apa-apa, dan
mereka akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa mereka hanya mengetahui satu
hal, yaitu bahwa mereka tidak tahu apa-apa. Dengan begitu maka pada diri
manusia itu tumbuh keinginan untuk mengetahui yang sebenarnya. Dengan jalan
induksi, mereka dibawa kepada ilmu yang sebenarnya (menarik kesimpulan
sendiri). Bagi Socretes pengetahuan sebenarnya adalah pengetahuan yang
bersumber atau yang diperoleh melalui pembentukan konsep dan metode
ketercapainya pengetahuan dengann menggunakan metode dialektika (Saifullah,
1983: 75). Berikut merupakan jasa-jasa dari Socretes diantaranya:
a. Pelopor dari ilmu kesusilaan. Ia berpendapat bahwa filsafat
merupakan alat untuk mencapai kebajikan;
b. Pelopor dari ilmu mengenai pengertian-pengertian. Ia berusaha selalu
mencari hakikat dari benda-benda, yakni pengertian-pengertian;
c. Pythagoras dan socrates adalah peletak dasar paedagogik moral.
Pada akhir hidupnya, Socrates dijatuhi hukuman dengan disuruh minum
racun oleh hakim, apabila ia tidak bersedia menarik kembali ajarannya. Socrates
dianggap telah merusak akhlak pemuda, dan difitnah oleh kaum sofis telah
mengajarkan dewa-dewa baru dan membelakangi dewa-dewa resmi. Bisa
dikatakan bahwa Sokretes telah meremehkan pengadilan dan bahkan
memperolok-oloknya (Kusumohamidjojo, 2012: 174).
3. Plato (427-347 SM)
Plato adalah murid Socrates. Ia adalah seorang bangsawan. Saat Socrates
dijatuhi hukuman minum racun Plato melarikan diri dan mendapat perlindungan
dari keluarganya. Plato adalah satu-satunya filosof yang berhasil membangun
sistem pemikiran filsafat yang integral terdiri dari unsur-unsur ajaran filosof
pendahulunya (Saifullah, 1983: 75).

11
Sistem pendidikan yang lengkap dan merupakan bagian dari ajaran
ketatanegaraan pertama disusun oleh Plato, ia adalah seorang pengarang pertama
di Yunani. Tujuan pendidikan menurut Plato adalah membentuk warga negara
secara teoritis dan praktis. Setiap manusia bertugas untuk mengabdikan
kepentingannya kepada kepentingan negara. Oleh sebab itu pendidikan harus
diselenggarakan oleh negara dan untuk negara. Dengan prinsip tersebut Plato
disebut sebagai pencipta Pendidikan Sosial. Ia berpendapat bahwa kesulitan-
kesulitan politis dapat diatasi apabila ada keadilan. Keadilan akan terwujud bila
setiap orang melaksanakan tugas sebaik-baiknya. Dengan demikian tujuan
pendidikan itu selanjutnya adalah untuk membentuk negara susila yang
berdasarkan keadilan (Achmadi, 1987: 180).
Dalam pendidikan moral, Plato berpendapat bahwa anak-anak telah dapat
melakukan suatu perbuatan meskipun mereka belum sanggup menyadari atau
memahaminya. Sehingga pendidikan harus dimulai sejak kecil, yaitu dengan
pembiasaan dan kemudian pengajarannya. Plato membagi ilmu pengetahuan
menjadi dua tingkat yang pertama “opinion” pendapat yang diperoleh dengan
pancaindera, yang kedua yaitu “genuine knowladge” yang dianggap lebih tinggi
dan diperoleh dengan berpikir dan pikiran melalui metode dialetika sehingga
diperoleh apa yang disebut konsep (Saifullah, 1983: 77).
4. Aristoteles (384-322 SM)
Aristoteles lahir di Stageria Semenanjung Kalkidike (kawasan Yuani
Utara, sekarang kawasan Balkan pada tahun 384 SM. Dia meninggal pada usia 65
tahun di Kalkis pada tahu 322 SM (Kusumohamidjojo, 2012: 213). Ia adalah
murid dari Plato dan telah berguru selama 20 tahun. Bukunya yang terkenal
mengenai cita-cita pendidikan adalah Politica dan Anima. Seperti halnya dengan
Plato, maka Aristoteles pun menghendaki pendidikan negara.
Cita-cita pendidikannya: kebajikan itu diperoleh dengan jalan aman,
melalui pengalaman, pembiasaan-pembiasaan, akal budi, dan pengertian. Pendidik
harus mempelajari dan memimpin pembawaan dan kecenderungan anak-anak.
Menurutnya sumber pengetahuan adalah pengalaman, pengamatan, yang
menghasilkan bahan untuk berpikir. Dalam satu hal ia sepaham dengan J. Locke,
bahwa jiwa seseorang pada waktu dilahirkan tidak berisi apa-apa (tabula rasa).

12
Dengan latihan dan pembiasaan mereka diajar melakukan perbuatan yang baik
dan meninggalkan yang buruk. Masa triumvirat disebut masa pembangunan
kembali ajaran-ajaran filosof sebelumnya dengan cara menentukan perbeedaan
dan persamaannya, meneliti mana yang benar dan baik, serta membang yang salah
dan jelek (Saifullah, 1983: 80).Pendidikan formal menurutnya berakhir pada usia
21 tahun, dan periode ini terbagi menjadi 4 bagian: pendidikan sampai dengan
usia 5 tahun, pendidikan sampai dengan usia 7 tahun. pendidikan sampai dengan
usia pubertas dan pendidikan sampai pada usia 21 tahun.
Dalam prinsipnya, sebelum usia 5 tahun, hendaknya pendidikan bersifat
sewajarnya, disesuaikan dengan keadaan anak. Membaca, menulis, ilmu hitung,
gymnastic, dan musik dianggap sebagai mata pelajaran untuk latihan kejiwaan.
Gymnastic dan musik adalah yang paling penting, sebab mempunyai akibat
pembersihan jiwa, dan nafsu-nafsu yang tidak baik dan mengembangkan
perbuatan baik sesuai dengan tuntunan moral. Menurut Aristoteles, karena
pendidikan adalah soal universal, maka pendidikan dilakukan oleh negara (Agung
& Suparman, 2012: 99-100).

D. Tokoh – Tokoh Yang Berperan Dalam Pendidikan Romawi Kuno


1. Seneca
Seneca merupakan tokoh pendidik lain di zaman Romawi baru. Ia adalah
seorang kaisar Nero, juga seorang ahli filsafat dan moralis yang terkenal.
Pemikiran Seneca tentang pandidikan anak adalah belajar untuk menyikapi
kehidupan bukan legalitas, pepatah Seneca tentang pendidikan yaitu panjang jalan
menuju perintah singkat jalan menuju teladan.Jadi memulai perbuatan akan
membuat anak memahami sesuatu. Beberapa petunjuk tentang pengajaran yang
diberikan adalah:
a. Kita mengajar tidak untuk sekolah, tetapi untuk kehidupan,
b. Panjang jalan melalui perintah, singkat jalan melalui teladan,
c. Dengan mengerjakan, kita menjadi paham.
2. Quintilanus
Quintilanus adalah seorang profesor ilmu pidato yang terkenal. Ia adalah
seorang Spanyol yang tinggal di Roma. Ia menjadi terkenal karena menulis buku
“Instituo Oratorio” (pendidikan menjadi ahli pidato). Isi bukunya menjelaskan:

13
cara mendidik seseorang menjadi ahli pidato, peraturan-peraturan pendidikan
umum menjadi ahli pidato, jumlah rasio mahaguru dan mahasiswa, tahapan
praktis belajar berpidato, variasi topik berpidato, mengajar dengan gembira, dan
dilarang melakukan kekerasan atau memukul mahasiswa. Dia berpendapat bahwa
jika suatu saat seorang anak memperlihatkan kesalahan-kesalahannya, maka hal
itu adalah akibat dari pendidikan yang salah. Dalam hal ini ia sependapat dengan
J.J. Rousseau, bahwa semua manusia itu baik sejak lahir. Pendapatnya tentang
pendidikan:
a. Pendidikan harus diberikan secepatnya, sejak dari keluarga. Harus
dicari pengasuh yang berbudi baik dan berilmu dan dapat menjadi
contoh. Sebab kesan pertama yang diterima oleh anak berpengaruh
besar sekali bagi perkembangan selanjutnya,
b. Kelak anak itu harus bersekolah, karena di sana ia akan merasa lebih
bebas, dapat belajar banyak dari teman-temannya, dan ada suasana
bersaing yang sehat,
c. Guru harus dapat mempelajari sifat-sifat dan pembawaan masing-
masing anak, agar dapat mengembangkannya dengan baik,
d. Mengajar hendaknya tidak terlalu cepat, anak ibarat botol yang kecil
lehernya, jika diisi terlalu banyak akan terbuang sia-sia,
e. Pelajaran hendaknya diselingi dengan permainan, supaya guru dapat
memperoleh pandangan yang lebih baik tentang budi pekerti anak-
anak,
f. Gaya bahasa yang digunakan harus menarik perhatian anak-anak,
lebih baik agak berani dan banyak fantasi;
g. Teknik mengajar harus lunak, tidak terlalu keras, tidak banyak
mencela, tapi jangan pernah pula terlalu banyak memuji. Tidak boleh
memberi hukuman fisik, sebab dengan memukul, jiwa anak akan
rusak karena merasa malu,
h. Pada pelajaran membaca, anak-anak diberi huruf dari gading dan
mereka disuruh membuat bermacam kata dari huruf itu,
i. Pada pelajaran menulis, sebuah meja dipahat huruf timbul dan mereka
disuruh mengikuti huruf-huruf itu,

14
j. Pada pelajaran mengarang anak-anak harus mengarang seperti sedang
bercakapcakap. Bahan dan bahasa dari pengalaman pribadi anak,
k. Quintillanus menganggap daya ingat itu sangat penting, oleh sebab itu
harus dilatih dengan baik. Setiap hari anak harus menghafal di luar
kepala hal-hal yang menarik, sesudah itu hal-hal yang kurang
menarik, mula-mula mekanis, sesudah itu logis,
l. Dalam organisasi sekolah, sesudah sekolah permulaan yang
memberikan pelajaran – pelajaran pokok, anak kemudian
mengunjungi sekolah menengah, di mana diajarkan bahasa Yunani,
baru kemudian bahasa Latin. Setelah itu pelajaran dilanjutkan ke
Sekolah Tinggi. Mata pelajaran yang diberikan adalahTrivium yang
terdiri atas: gramatika (bahasa), filosofi, dan retorika; danQuadrivium
yang terdiri atas musik, geometri, arithmetika, dan astronomi. Ketujuh
mata pelajaran tersebut dinamai “Artes Liberalis yang tujuh”.
m. Teori pengajaran Quantilianus telah memberikan lukisan tentang
seluruh praktek pengajaran di Roma pada jaman kaisar. Banyak teknik
dan paham modern yang diselenggarakan oleh Quantilianus, seperti
papan meja, menuruti huruf timbul dengan jari, mengarang seperti
menulis tentang hal-hal yang dialami sendiri dan sebagainya.
3. Cicero
Cicero adalah ahli berpidato. Cicero pernah menjabat sebagai konsul.
Cicero menulis buku yang berjudul “Cita-cita Bangsa Romawi Baru Menjadi
Orator (De Oratore)”. Di dalam bukunya bahwa seorang orator harus dapat
berpidato tentang sifat-sifat saudagar dengan ahli politik, ahli negara, ahli
ekonomi. Pelajaran pidato harus diajarkan dan dikenalkan sejak Sekolah Rendah
(ludus). Sekolah menengah (gramatika) untuk melatih pemuda-pemuda belajat
gramatika/tata bahasa, mengarang, membaca buku sesuai daftar yang dibuat oleh
gurunya, latihan-latihan hafalan pidato, musik untuk belajar intotasi suara, ilmu
pasti untuk belajar menyusun bukti, pendidikan jasmani untuk belajar
mengendalikan gerakan badan pada waktu berpidato sehingga gerakan badan
(body language) dapat menyakinkan orang yang mendengarkan pidatonya.

15
Selain dari tokoh-tokoh diatas muncul juga beberapa aliran-aliran filsafat
pada zaman Romawi pada waktu yang diantaranya:

1. Epicurisme
Sebagai tokohnya Epicurus (341 – 271 SM), lahir di Samos dan
mendapatkan pendidikan di Athena. Pokok ajarannya adalah bagaimana agar
manusia itu dalam hidupnya bahagia. Epicurus mengemukakan bahwa agar
manusia dalam hidupnya bahagia terlebih dahulu harus memperoleh ketenangan
jiwa (ataraxia). Terdapat tiga ketakutan dalam diri manusia seperti berikut ini:
a. Manusia takut terhadap kemarahan dewa
b. Manusia takut terhadap kematian.
c. Manusia takut terhadap nasib.
2. Stoaisme
Sebagai tokohnya adalah Zeno (366 – 264 SM) yang berasal dari Citium,
Cyprus. Pokok ajarannya adalah bagaimana manusia dalam hidupnya dapat
bahagia. Untuk mencapai kebahagiaan tersebut manusia harus haromoni terhadap
dunia (alam) dan harmoni dengan dirinya sendiri.
3. Skeptisisme
Tokoh skeptisisme adalah Pyrrhe (360 – 270 SM). Pokok ajarannya adalah
bagaimana cara manusia agar dapat hidup berbahagia. Hal ini ia menengarai
bahwa sebagian besar manusia itu hidupnya tidak bahagia, sehingga manusia
sukar sekali mencapai kebijaksanaan. Aliran yang lain tingkatannya lebih kecil
dari ketiga aliran diatas adalah Neopythagoras (merupakan campuran dari ajaran
Plato, Aristoteles, dan Kaum Stoa).

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pendidikan merupakan usaha manusia untuk kepentingan manusia. Pada
saat manusia itu ada dan masih ada, pendidikan itu telah dan masih ada pula. Ilmu
pendidikan sendiri merupakan substansi yang penting dan mendasar dalam
kehidupan manusia. Pada era modern ini, ilmu pengetahuan sangat berkembang
pesat seiring dengan peradaban dan perkembangan zaman. Filsafat yunani kuno
merupakan periode yang sangat penting bagi sejarah peradaban manusia karena
pada waktu itu pola pemikiran manusia masih mengandalkan mitos dalam
menjelaskan fenomena alam.
Yunani kuno terbagi menjadi dua yaitu Sparta dan Athena. Penduduk
Sparta disebut bangsa Doria, sedangkan penduduk Athena disebut bangsa Lonia.
Pada kedua negara tersebut terdapat perbedaan-perbedaan dalam dasar, tujuan,
pelaksanaan pendidikan dan pengajaran. Bangsa Yunani yang mempunyai watak
berpikir. Bangsa Roma ini lebih tertuju pada perbuatan dalam lapangan
kesusastraan tidak menciptakan apa-apa hanya meniru. Bangsa Roma mempunyai
kelebihan dari bangsa lain seperti ilmu hukum, pemerintahan dan teknik. Jadi
bangsa Roma tahu bagaimana cara memerintah, sedangkan bangsa Yunani tahu
bagaimana cara memikirkan dunia.

B. Saran
Dengan mengetahui beberapa sejarah pendidikan di Yunani dan Romawi
pada masa kuno. Pembaca hendaknya mengambil sisi positifnya tentang
pendidikan pada masa itu. Bisa mengetahui hal yang baik dan buruknya
pendidikan pada masa itu. Seperti halnya pendidikan di Roma, pendidikan yang
baik haruslah dimulai dari keluarga terlebih dulu.Dengan begitu diharapkan
pembaca dapat menjadi penerus perkembangan pendidikan pasa masa era modern
ini dengan lebih bijak.

17
DAFTAR RUJUKAN

Achmadi, Asmoro. 1987. Filsafat Umum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Agung, Leo & Suparman, T. 2012. Sejarah Pendidikan. Yogyakarta: Ombak.

Djumhur, I. 1976. Sejarah Pendidikan. Bandung: CV Ilmu

Kusmohamidjojo, Budiono. 2012. Filsafat Yunani Klasik Relevansi Untuk Abad


XXI. Yogyakarta: Jalasutra.

Saifullah, Ali. 1983. Antara Filsafat dan Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.

Yuel, C.P. 2014. Romawi Kuno Filsafat, (Online), (http://inesyuelp.blogspot.


co.id/2014/03/romawi-kunofilsafat-orang-romawi-mulai.html),
diakses 23 September 2016

Violita, A. 2014. Tokoh dan Pemikiran Pendidikan Anak di Romawi Purba,


(Online), (http://anissaviolita.blogspot.co.id/2014/04/tokoh-dan-
pemikiran-pendidikan-anak-di.html), diakses pada 23 September
2016.

18

Anda mungkin juga menyukai