PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Demam tifoid adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh infeksi bakteri
Namun dapat pula disebabkan oleh Salmonella paratyphi A, Salmonella typhi B, dan
Salmonella paratyphi C.
Komplikasi dapat lebih sering terjadi pada individu yang tidak diobati sehingga
memungkinkan terjadinya pendarahan dan perforasi usus ataupun infeksi fecal seperti
visceral abses (Naveed and Ahmed, 2016). Salmonella typhi adalah bakteri gram
seperti osteomielitis atau abses (Naveed and Ahmed, 2016). Manifestasi klinis demam
tifoid dimulai dari yang ringan (demam tinggi, denyut jantung lemah, sakit kepala)
hingga berat (perut tidak nyaman, komplikasi pada hati dan limfa(Pratama dan Lestari,
2015).
Penyebab yang sering terjadi yaitu faktor kebersihan. Seperti halnya ketika makan
Salmonella thyphi dari lalat yang sebelumnya hinggap di feses atau muntah penderita
demam tifoid kemudian hinggap di makanan yang akan dikonsumsi (Padila, 2013).
Bakteri yang tertelan melalui makanan akan menembus membran mukosa epitel
usus, berkembang biak di lamina propina kemudian masuk ke dalam kelenjar getah
bening mesenterium. Setelah itu memasuki peredaran darah sehingga terjadi bakterimia
pertama yang asimtomatis, lalu bakteri akan masuk ke organ- organ terutama hati dan
sumsum tulang yang dilanjutkan dengan pelepasan bakteri dan endotoksin ke peredaran
darah sehingga menyebabkan bakterimiakedua. Bakteri yang berada di hati akan masuk
reaksi inflamasi. Respon inflamasi akut menyebabkan diare dan dapat menyebabkan
Demam tifoid sering terjadi di beberapa negara di dunia dan umumnya terjadi di
negara-negara dengan tingkat kebersihan yang rendah. Penyakit ini menjadi masalah
kesehatan publik yang signifikan (OMS, 2013). Berdasarkan data WHO (World Health
Organisation) memperkirakan angka insidensi di seluruh dunia sekitar 17 juta jiwa per
tahun, angka kematian akibat demam tifoid mencapai 600.000 dan 70% nya terjadi di
Asia. BerdasarkanWHO angka penderita demam tifoid di Indonesia mencapai 81% per
Mengingat tingginya angka kesakitan demam tifoid serta akibat yang ditimbulkan
jika penyakit ini tidak segera di tangani akan sangat membahayakan bagi manusia maka
pada literatur review ini akan dibahas kajian terapi farmakologis maupun non
farmakologis dari penyakit demam tifoid. Kajian terapi farmakologis diperlukan dalam
pemilihan jenis obat yang akan sangat menentukan kualitas penggunaan obat dalam
keberhasilan terapi. Adapun tujuan dari terapi demam tifoid secara keseluruhan adalah
mempercepat penyembuhan, meminimalkan komplikasi sekaligus untuk mencegah
penyebaran penyakit.
III. Tujuan
1. Mengenal definisi pada kasus demam tifoid.
2. Mengenal diagnosis klinis demam tifoid.
3. Mengerti tentang anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang demam
tifoid.
4. Mampu memberikan pengobatan demam tifoid serta komplikasinya
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Demam tifoid (Tifus abdominalis, enteric fever) ialah penyakit infeksi akut yang
biasanya terdapat pada saluran cerna dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai
gangguan pada saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran (Astuti, 2013).
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut pada usus halus yang
disebabkan oleh Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi) (Widodo, 2006).
Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat
menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah. Faktor- faktor yang
mempengaruhi adalah daya tahan tubuh, higienitas, umur, dan jenis kelamin. Infeksi
demam tifoid ditandai dengan bakterimia, perubahan pada sistem retikuloendotelial yang
bersifat difus, pembentukan mikroabses, dan ulserasi plaque peyeri di distal ileum (Putra,
2012). Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid dan demam
enterik. Demam paratifoid secara patologik maupun klinis adalah sama dengan demam
tifoid namun biasanya lebih ringan, penyakit ini disebabkan oleh spesies Salmonella
enteriditis, sedangkan demam enterik dipakai pada demam tifoid maupun demam
Demam tifoid terdapat di seluruh dunia tetapi lebih banyak dijumpai di negara -
negara berkembang di daerah tropis. Hal ini disebabkan karena penyediaan air bersih,
sanitasi lingkungan, dan kebersihan individu yang kurang baik (Juwono, 2002). Besarnya
angka pasti kasus demam tifoid di dunia ini sangat sukar ditentukan, sebab penyakit ini
dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinisnya sangat luas. Di Indonesia, insidensi
demam tifoid berkisar pada 900.000 kasus per tahun dengan lebih dari 20.000 kematian.
Sebanyak 91% kasus demam tifoid menyerang penduduk Indonesia yang berusia 3-19
tahun, dan angka kejadian demam tifoid kultur positif adalah 1026 per 100.000 tiap tahun.
Kurang lebih 1% sampai 5% pasien dengan infeksi akut tifoid dilaporkan menjadi karier
kronik infeksi pada kandung empedu, yang tergantung pada usia, jenis kelamin, dan aturan
DAFTAR PUSTAKA
Alba, S., Bakker M. I., Hatta, M., et al. 2016. Risk Factors of Typhoid Infection in the Indonesian
Archipelago. PLOS ONE, 11(6): 1- 14
Bula-Rudas, F.J., Rathore, M.H., and Maraqa, N.F. 2015. Salmonella Infections in Childhood.
Advances In Pediatrics, 62(1): 29-58.
Depkes RI. 2013. Sistematika Pedoman Pengendalian Penyakit Demam Tifoid. Jakarta: Direktorat
Jendral Pengendalian Penyakit & Penyehatan Lingkungan.
Naveed, A. and Ahmed, Z. 2016. Treatment of Typhoid Fever in Children: Comparison of Efficacy
of Ciprofloxacin with Ceftriaxone. European Scientific Journal, 12(6). ISSN: 1857 – 7881
(Print) e - ISSN 1857- 7431
OMS. 2013. Données épidémiologiques sur la typhoïde, rapport décembre, 89: 545-560.
Padila. 2013. Asuhan Keperawatan Penyakit Dalam. Yogyakarta: Nuha Medika.
Pratama, I. dan Lestari, A. 2015. Efektivitas Tubex sebagai Metode Diagnosis Cepat Demam
Tifoid. ISM, 2(1): 70-73.