Anda di halaman 1dari 6

Pengaruh Pemberian Triheksifenidil Dosis Bertingkat per Oral

pada Gambaran Histopatologi Ginjal Mencit (Mus Musculus)

The Effect of Graded Doses Trihexyphenidyl Orally in Mice


(Mus musculus) Renal Histopathology Picture

Devangga Kusuma, Arni Kusuma Dewi*, Bambang Hermanto**


*Departemen Anatomi dan Histologi
**Departemen Farmakologi

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Jl. Mayjend Prof Dr. Moestopo 47


Surabaya 60131
devanggakusuma@gmail.com

ABSTRAK
Triheksifenidil adalah golongan obat antikolinergik. Penyalahgunaan triheksifenidil meningkat dalam
beberapa tahun terakhir. Penggunaan triheksifenidil dosis tinggi dapat menyebabkan retensi urin. Namun,
sampai saat ini belum ada data mengenai gambaran histopatologi yang dapat terjadi pada ginjal, apabila
triheksifenidil digunakan secara berlebihan. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik
dengan post test only control group design. Sampel penelitian menggunakan hewan coba 36 mencit (Mus
musculus) yang dibagi menjadi 4 kelompok. Kelompok kontrol terdiri dari satu kelompok yang hanya diberi
pakan standar. Sedangkan kelompok perlakuan terdiri dari tiga kelompok yang diberi triheksifenidil dengan
dosis 0,0208 mg/20 gramBB/hari, 0,0416 mg/20 gramBB/hari dan 0,0624 mg/20 gramBB/hari selama 14
hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan diameter tubulus proksimal
mencit antara kelompok kontrol dan perlakuan. Pada kelompok perlakuan, diameter tubulus proksimal
menurun sebanding dengan dosis pemberian. Diameter tubulus proksimal paling rendah didapatkan pada
kelompok perlakuan 3, dibandingkan dengan kelompok lainnya.
Kata Kunci: Triheksifenidil, Histopatologi Ginjal, Tubulus Proksimal

ABSTRACT
Trihexyphenidyl is an anticholinergic drug classes. Abuse trihexyphenidyl increased in recent years. The
use of high doses trihekxyphenidyl can cause urinary retention. However, until now there is no data on
histopathology picture that can occur in the kidneys, if trihexyphenidyl overused. This research was a
laboratory experimental with post test only control group design. Samples animal studies using 36 mice
(Mus musculus) were divided into 4 groups. The control group consisted of one group were given a
standard feed. While the treatment group consisted of three groups were given a dose of trihexyphenidyl
with 0,0208 mg/20 gramBW/day, 0,0416 mg/20 gramBW/day and 0,0624 mg/20 gramBW/day for 14 days.
The results showed that there were significant differences in the diameter of the proximal tubules of mice
between control and treatment groups. In the treatment group, the proximal tubule diameter decreases
proportional to doses. The diameter of the proximal tubule lowest obtained at the third treatment groups,
compared with the other groups.
Keywords: Trihexyphenidyl, Renal Histopathology, Proximal Tubule

PENDAHULUAN
Triheksifenidil adalah obat golongan antikolinergik yang digunakan pada
gejala penyakit parkinson dan tremor 3. Triheksifenidil diindikasikan untuk
mengontrol gangguan ekstrapiramidal karena obat sistem saraf pusat seperti
reserpin dan fenotiazin. Triheksifenidil juga digunakan untuk menangani pasien
gangguan kejiwaan, yaitu pada pasien skizofrenia 9. Obat ini bekerja dengan
memblok asetilkolin pada reseptornya, sehingga menghasilkan efek
mengurangi kekakuan otot, pengeluaran air liur yang berlebihan, tremor, dan
meningkatkan kemampuan mengatur gerakan3.
Penggunaan triheksifenidil terbatas karena dapat menimbulkan efek
antikolinergik perifer seperti mulut dan hidung kering, pandangan kabur,
konstipasi dan retensi urin; serta efek antikolinergik sentral seperti mual,
muntah, agitasi, halusinasi sampai mengeksaserbasi psikosis skizofrenia,
kejang, demam tinggi, dilatasi pupil, dan gangguan kognitif seperti disorientasi
terhadap waktu, orang dan tempat. Stupor dan koma juga dapat terjadi 2.
Penyalahgunaan triheksifenidil meningkat dalam beberapa tahun
terakhir. Triheksifenidil dapat berakibat fatal pada intoksikasi 1. Penggunaan
triheksifenidil dapat menyebabkan ketergantungan (Michael, A., et al., 1984).
Konsumsi obat ini dalam dosis tinggi yaitu lebih dari 12 mg/hari pada manusia
dewasa, berpotensi menimbulkan gangguan pada sistem saraf pusat dan
retensi urin1,3.
Ginjal merupakan organ yang paling sering terjadi kerusakan oleh zat –
zat kimia4. Hal ini disebabkan banyak zat kimia yang diekskresi melalui urin.
Selain itu, ginjal juga menerima aliran darah yang besar dan glomerulus ginjal
mempunyai area permukaan luas yang memungkinkan terjadinya paparan
dengan zat kimia. Kemampuan ginjal untuk mengkonsentrasikan larutan dan
substansi juga menjadikan ginjal rentan terhadap perusakan oleh zat kimia 5,7.
Salah satu bagian ginjal yang paling sering terjadi kerusakan disebabkan
zat kimia adalah tubulus proksimal. Tubulus proksimal peka terhadap anoksia
dan mudah hancur karena keracunan akibat kontak dengan bahan-bahan yang
diekskresikan melalui ginjal6. Kerusakan yang terjadi dapat degenerasi berupa
pembengkakan dan penutupan lumen tubulus proksimal ginjal 10.
Namun, sampai saat ini belum ada data mengenai gambaran
histopatologi tubulus proksimal ginjal yang dapat terjadi, apabila triheksifenidil
digunakan secara berlebihan. Berdasarkan latar belakang tersebut maka
penelitian tentang perbedaan gambaran histopatologi tubulus proksimal ginjal
mencit antara kelompok perlakuan yang diberikan tiheksifenidil dosis tinggi
dengan kelompok kontrol merupakan tujuan penelitian kami.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik dengan


rancangan pre and post test with control group design.

Hewan Percobaan
Penelitian ini dilakukan pada populasi mencit (mus musculus) yang
memiliki kriteria inklusi, yaitu berjenis kelamin jantan, berat badan 20-35 gram
dan dalam kondisi sehat. Kriteria eksklusinya adalah mencit tampak sakit
(gerakan tidak aktif). Mencit tersebut didapatkan pada unit hewan coba
Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
Sampel
Sampel diambil secara acak (simple random sampling) dari populasi.
Mencit tersebut dibagi menjadi 4 kelompok. Besar sample pada penelitian ini
dihitung dengan rumus Federer. Dari rumus tersebut diperoleh besar sampel
untuk tiap kelompok minimal 6 ekor. Karena selama perlakuan terdapat
kemungkinan mati (f) ± 10%, maka besar sampel tersebut dikalikan 1 / 1-f,
sehingga besar sampel tiap kelompok menjadi 9 ekor. Teknik pengambilan
sampel dilakukan dengan cara random karena populasi pada penelitian ini
dianggap homogen, maka cara random yang digunakan adalah simple random
sampling.

Cara Kerja
Pada penelitian ini, sampel berjumlah 36 ekor mencit, dibuat 4 kelompok
masing-masing terdiri dari 9 ekor mencit yang dibagi berdasarkan dosis
pemberian triheksifenidil. Kelompok kontrol terdiri dari satu kelompok yang
hanya diberi pakan standar. Sedangkan kelompok perlakuan terdiri dari tiga
kelompok yang diberi triheksifenidil dengan dosis 0,0208 mg/20 gramBB/hari,
0,0416 mg/20 gramBB/hari dan 0,0624 mg/20 gramBB/hari. Mencit
diadaptasikan selama 1 minggu sebelum diberi perlakuan dengan
dikandangkan per kelompok dan diberi pakan standar dan minum yang sama.
Setelah itu pada kelompok kontrol diberi aquades 0,5 ml melalui sonde setiap
hari selama 14 hari. Pada Pada kelompok perlakuan yang berbeda yaitu diberi
triheksifenidil dengan dosis 0,0208 mg/20 gramBB/hari, 0,0416 mg/20
gramBB/hari dan 0,0624 mg/20 gramBB/hari yang diberikan melalui sonde
setiap hari selama 14 hari. Setelah diberi perlakuan, mencit dimatikan dengan
cara dekapitasi. Selanjutnya ginjal mencit akan diambil dan difiksasi dengan
buffer formalin, kemudian dibuat preparat menggunakan metode baku histologi
pemeriksaan jaringan. Mencit yang sudah diambil jaringnnya dikubur di
halaman Laboratorium Farmakologi FK UNAIR. Setelah itu dilakukan
pemeriksaan mikroskopis terhadap jaringan ginjal tersebut. Dari setiap mencit
dibuat 1 preparat ginjal dan diamati pada 4 lapangan pandang yaitu pada
keempat sudut dengan perbesaran 100x dan 400x. Pada setiap lapang
pandang dipilih 2-4 tubulus dan dihitung diameternya. Lalu pada setiap preparat
dihitung nilai rerata diameter tubulus.

Analisis Data
Data diameter lumen tubulus proksimal yang diperoleh dari percobaan
diolah secara statistik dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk sebagai uji
normalitas. Apabila distribusi datanya normal, maka akan dilajutkan dengan uji
One-Way ANOVA, kemudian dilanjutkan dengan analisis Post Hoc bila p<0,05.
Apabila distribusi datanya tidak normal, maka dilakukan uji beda dengan
menggunakan uji Kruskal Wallis, lalu dilanjutkan dengan menggunakan uji
Mann Whitney bila p<0,05.

HASIL
Jumlah hewan coba pada penelitian ini adalah 36 ekor mencit yang
didapatkan dari Laboraturium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga. Hewan coba tersebut diamati diameter tubulus proksimal setelah
mendapat perlakuan.

Tabel 1 Distribusi Frekuensi Diameter Lumen Tubulus Proksimal Mencit Berdasarkan Kelompok

Rata-rata (μm) Simpangan Baku

Kontrol 24,40 2,13

Perlakuan 1 21,12 2,98

Perlakuan 2 16,21 4,10

Perlakuan 3 11,54 0,79

Berdasarkan data pada tabel 1, didapatkan perbedaan diameter tubulus


proksimal antar kelompok. Pada kelompok perlakuan, diameter tubulus
proksimal menurun sebanding dengan dosis pemberian. Diameter tubulus
proksimal paling rendah didapatkan pada kelompok perlakuan 3, dibandingkan
dengan kelompok lainnya. Sedangkan diameter tubulus proksimal paling tinggi
didapatkan pada kelompok kontrol, dibandingkan dengan kelompok lainnya.
Selanjutnya, untuk melihat signifikansi perbedaan tersebut dilakuakn uji
statisktik.
Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa data diameter tubulus proksimal
mencit berdistribusi normal (p>0,05), sehingga selanjutnya data dianalisis
dengan uji statistik parametrik yaitu uji One-Way ANOVA. Pada uji One-Way
ANOVA diameter tubulus proksimal mencit menunjukkan p=0,000 yang berarti
terdapat perbedaan yang bermakna (p>0,05), maka dilanjutkan dengan uji
analisis Post Hoc untuk melihat perbedaan antar kelompok.
Hasil perbandingan antar kelompok dengan uji Post Hoc antara
kelompok kontrol dan perlakuan 1 menunjukkan p=0,111 yang berarti tidak
terdapat perbedaan yang signifikan. Hasil perbandingan antar kelompok
dengan uji Post Hoc antara kelompok kontrol dan perlakuan 2 menunjukkan
p=0,000 yang berarti terdapat perbedaan yang signifikan. Hasil perbandingan
antar kelompok dengan uji Post Hoc antara kelompok kontrol dan perlakuan 3
menunjukkan p=0,000 yang berarti terdapat perbedaan yang signifikan.
Hasil perbandingan antar kelompok dengan uji Post Hoc antara
kelompok perlakuan 1 dan perlakuan 2 menunjukkan p=0,009 yang berarti
terdapat perbedaan yang signifikan. Hasil perbandingan antar kelompok
dengan uji Post Hoc antara kelompok perlakuan 1 dan perlakuan 3
menunjukkan p=0,000 yang berarti terdapat perbedaan yang signifikan.
Hasil perbandingan antar kelompok dengan uji Post Hoc antara
kelompok perlakuan 2 dan perlakuan 3 menunjukkan p=0,014 yang berarti
terdapat perbedaan yang signifikan.

PEMBAHASAN
Berdasarkan penelitian ini, pemberian triheksifenidil dosis bertingkat per
oral selama 14 hari menyebabkan kerusakan tubulus proksimal ginjal mencit
secara mikroskopis berupa penyempitan lumen tubulus proksimal. Hasil analisa
menunjukan bahwa pemberian triheksifenidil dosis bertingkat per oral dapat
mengakibatkan timbulnya perbedaan tingkat kerusakan gambaran histopatologi
tubulus proksimal ginjal mencit.
Sel-sel epitel tubulus terutama sensitif terhadap kurangnya oksigen dan
juga rentan terhadap toksin. Proses ekskresi obat dapat menimbulkan
kerusakan pada ginjal6. Hal tersebut disebabkan oleh tingginya jumlah darah
yang mengalir ke ginjal yaitu 20% dari curah jantung. Selanjutnya, aliran darah
tersebut didistribusikan ke korteks ginjal melalui cabang-cabang arteri menuju
glomerulus yang melekat pada tubulus. Tingginya aliran darah yang menuju
ginjal menyebabkan obat dalam sirkulasi sistemik dikirim ke ginjal dalam jumlah
yang besar. Glomerulus berfungsi sebagai penyaring dan tubulus sebagai
tempat menampung bahan buangan dan kelebihan air. Oleh karena itu, tubulus
dan jaringan interstitium korteks ginjal lebih mudah terkena toksin yang
bersirkulasi dibandingkan dengan jaringan-jaringan 5,7.
Zat kimia disekresi secara aktif dari darah ke urin. Zat kimia terlebih
dahulu diakumulasikan dalam tubulus proksimal sebelum diekskresi melalui urin
atau pada saat substansi kimia ini direabsorbsi dari urin maka akan melalui sel
epitel tubulus dengan konsentrasi tinggi. Sebagai akibat dari proses tersebut
zat-zat toksik ini akan terakumulasi di ginjal dan menyebabkan kerusakan bagi
ginjal, terutama di tubulus proksimal berupa penyempitan lumen karena pada
tubulus proksimal ginjal merupakan tempat terjadinya proses reabsorpsi dan
ekskresi dari zat-zat toksik5,7.

KESIMPULAN
Pada dosis lebih dari 0,0208 mg/20 gramBB/hari, ternyata pada
penelitian kami dapat menimbulkan kerusakan tubulus proksimal, yaitu berupa
penyempitan lumen tubulus proksimal. Hal ini ditunjukkan pada perlakuan 2 dan
3.

DAFTAR PUSTAKA
1. Abu Shawish HM, Elhabiby M, Abu Aziz HS, Saadeh SM, Tbaza A.
Determination of Trihexyphenidyl hydrochloride drug in tablets and urine
using a potentiometric carbon paste electrode. Sensors Actuators, B Chem
[Internet]. 2016;235(52):18–26. Tersedia di:
http://dx.doi.org/10.1016/j.snb.2016.05.058
2. Bratti IM, Kane JM, Marder SR. Chronic restlessness with antipsychotics.
Am J Psychiatry. 2007;164(11):1648–54. Tersedia di:
http://doi.org/10.1176/appi.ajp.2007.07071150

3. Dipiro, JT. et al. Pharmacotherapy a Pathophysiologic Approach. 7th ed. USA:


McGraw-Hill Companies. 2008.

4. Guyton & Hall. Guyton and Hall textbook of medical physiology.


Philadelphia: Saunders Elsevier. 2011.
5. Hodgson E, Levi PE. A Textbook of Modern Toxicology. 2nd ed. New York:
The McGraw-Hill. 2001.
6. Kumar, Abbas dan Aster. Buku Ajar Patologi Robbins. 9th ed. Singapore:
Elsevier. 2013.
7. MacSween RNM. & Whaley K. Muir’s textbook of pathology. 13 th ed. Great
Britain. 1992.
8. Michael, A. et al. Trihexyphenidyl Dependence Report of Two Case. Indian J.
Psychiat. 1984. 26 (2), 178-179. Tersedia di:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3012227/pdf/IJPsy-26-
178.pdf
9. Pullen, GP. & Best, NR. Anticholinergic abuse : a common problem? 1984.
Tersedia di:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1442870/pdf/bmjcred00518-
0044.pdf
10. Putra, P.B. Pengaruh Pemberian Dextrometorfan Dosis Bertingkat Per Oral
pada Gambaran Histopatologi Ginjal Tikus Wistar. 2010. Tersedia pada:
http://eprints.undip.ac.id/23651/

Anda mungkin juga menyukai