TINJAUAN PUSTAKA
I.Tuberkulosis
A. Definisi
Definisi kasus TB terdiri dari dua, yaitu;
a. Pasien TB yang terkonfirmasi Bakteriologis:
Pasien TB yang terbukti positif pada hasil pemeriksaan contoh uji biologinya
(sputum dan jaringan) melalui pemeriksaan mikroskopis langsung, TCM TB,
atau biakan. Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:
1. Pasien TB paru BTA positif
2. Pasien TB paru hasil biakan M.tb positif
3. Pasien TB paru hasil tes cepat M.tb positif
4. Pasien TB ekstraparu terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan
BTA, biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena.
5. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.
b. Pasien TB terdiagnosis secara Klinis
Pasien yang tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi
didiagnosis sebagai pasien TB aktif oleh dokter, dan diputuskan untuk
diberikan pengobatan TB. Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:
1. Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks
mendukung TB.
2. Pasien TB paru BTA negatif dengan tidak ada perbaikan klinis setelah
diberikan antibiotika non OAT, dan mempunyai faktor risiko TB
3. Pasien TB ekstraparu yang terdiagnosis secara klinis maupun laboratoris
dan histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis.
4. TB anak yang terdiagnosis dengan sistim skoring.
Pasien TB yang terdiagnosis secara klinis dan kemudian terkonfirmasi
bakteriologis positif (baik sebelum maupun setelah memulai pengobatan) harus
diklasifikasi ulang sebagai pasien TB terkonfirmasi bakteriologis.
B. Klasifikasi TB
Selain dari pengelompokan pasien sesuai definisi tersebut datas, pasien juga
diklasifikasikan menurut:
Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit :
1. Tuberkulosis paru :
TB yang berlokasi pada parenkim (jaringan) paru. Milier TB dianggap sebagai
TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru. Pasien yang menderita TB
paru dan sekaligus juga menderita TB ekstra paru, diklasifikasikan sebagai
pasien TB paru.
2. Tuberkulosis ekstraparu:
TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya: pleura, kelenjar limfe,
abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak dan tulang. Limfadenitis
TB dirongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau efusi pleura tanpa
terdapat gambaran radiologis yang mendukung TB pada paru, dinyatakan
sebagai TB ekstra paru. Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan
berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstra
paru harus diupayakan secara bakteriologis dengan ditemukannya
Mycobacterium tuberculosis. Bila proses TB terdapat dibeberapa organ,
penyebutan disesuaikan dengan organ yang terkena proses TB terberat.
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:
1. Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan
TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan
(˂ dari 28 dosis).
2. Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya pernah
menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis).
Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir,
yaitu:
a. Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil
pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh atau
karena reinfeksi).
b. Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang pernah
diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
c. Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up): adalah
pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up. (Klasifikasi ini
sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah putus berobat /default).
Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir
pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
d. Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui. Adalah pasien
TB yang tidak masuk dalam kelompok 1) atau 2) (Kemenkes, 2016).
Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji
Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa:
a. Mono resistan (TB MR): Mycobacterium tuberculosisresistan terhadap salah
satu jenis OAT lini pertama saja.
b. Poli resistan (TB PR): Mycobacterium tuberculosisresistan terhadap lebih dari
satu jenis OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara
bersamaan.
c. Multi drug resistan (TB MDR): Mycobacterium tuberculosisresistan terhadap
Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan, dengan atau tanpa diikuti
resitan OAT lini pertama lainnya.
d. Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga
Mycobacterium tuberculosis resistan terhadap salah satu OAT golongan
fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan
(Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin).
e. Resistan Rifampisin (TB RR): Mycobacterium tuberculosisresistan terhadap
Rifampisin dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi
menggunakan metode genotip (tes cepat molekuler) atau metode fenotip
(konvensional) (Kemenkes, 2016).
Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV
a. Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB/HIV): adalah pasien TB
dengan: Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ART,
atau Hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TB.
b. Pasien TB dengan HIV negatif: adalah pasien TB dengan: Hasil tes HIV
negatif sebelumnya, atau Hasil tes HIV negative pada saat diagnosis TB.
Catatan:
Apabila pada pemeriksaan selanjutnya ternyata hasil tes HIV menjadi positif, pasien
harus disesuaikan kembali klasifikasinya sebagai pasien TB dengan HIV positif.
c. Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui: adalah pasien TB tanpa ada
bukti pendukung hasil tes HIV saat diagnosis TB ditetapkan.
Catatan:
Apabila pada pemeriksaan selanjutnya dapat diperoleh hasil tes HIV pasien, pasien
harus disesuaikan kembali klasifikasinya berdasarkan hasil tes HIV terakhir
(Kemenkes, 2016).
C. Diagnosis
Diagnosis TB ditetapkan berdasarkan keluhan, hasil anamnesis, pemeriksaan
klinis, pemeriksaan labotarorium dan pemeriksaan penunjang lainnya.
1. Keluhan dan hasil anamnesis meliputi:
Keluhan yang disampaikan pasien, serta wawancara rinci berdasar keluhan
pasien. Pemeriksaan klinis berdasarkan gejala dan tanda TB yang meliputi:
a. Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur
darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat
badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik,
demam meriang lebih dari satu bulan. Pada pasien dengan HIV positif,
batuk sering kali bukan merupakan gejala TB yang khas, sehingga gejala
batuk tidak harus selalu selama 2 minggu atau lebih.
b. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain
TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-
lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka
setiap orang yang datang ke fasyankes dengan gejala tersebut diatas,
dianggap sebagai seorang terduga pasien TB, dan perlu dilakukan
pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.
c. Selain gejala tersebut, perlu dipertimbangkan pemeriksaan pada orang
dengan faktor risiko, seperti : kontak erat dengan pasien TB, tinggal di
daerah padat penduduk, wilayah kumuh, daerah pengungsian, dan orang
yang bekerja dengan bahan kimia yang berrisiko menimbulkan paparan
infeksi paru (Kemenkes, 2016).
2. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan Bakteriologi
1. Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
Pemeriksaan dahak selain berfungsi untuk menegakkan diagnosis, juga
untuk menentukan potensi penularan dan menilai keberhasilan
pengobatan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan
dengan mengumpulkan 2 contoh uji dahak yang dikumpulkan berupa
dahak Sewaktu-Pagi (SP):
a) S (Sewaktu): dahak ditampung di fasyankes.
b) P (Pagi): dahak ditampung pada pagi segera setelah bangun tidur. Dapat
dilakukan dirumah pasien atau di bangsal rawat inap bilamana pasien
menjalani rawat inap.
2. Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM) TB
Pemeriksaan tes cepat molekuler dengan metode Xpert MTB/RIF. TCM
merupakan sarana untuk penegakan diagnosis, namun tidak dapat
dimanfaatkan untuk evaluasi hasil pengobatan.
3. Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan dapat dilakukan dengan media padat (Lowenstein
Jensen) dan media cair (Mycobacteria Growth Indicator Tube) untuk
identifikasi Mycobacterium tuberkulosis (M.tb).
Pemeriksaan tersebut diatas dilakukan disarana laboratorium yang terpantau
mutunya. Dalam menjamin hasil pemeriksaan laboratorium, diperlukan contoh uji
dahak yang berkualitas. Pada faskes yang tidak memiliki akses langsung terhadap
pemeriksaan TCM, biakan, dan uji kepekaan, diperlukan sistem transportasi contoh
uji. Hal ini bertujuan untuk menjangkau pasien yang membutuhkan akses terhadap
pemeriksaan tersebut serta mengurangi risiko penularan jika pasien bepergian
langsung ke laboratorium.
a. Pemeriksaan Penunjang Lainnya
1. Pemeriksaan foto toraks
2. Pemeriksaan histopatologi pada kasus yang dicurigai TB ekstraparu.
c. Pemeriksaan uji kepekaan obat
Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya resistensi M.tb
terhadap OAT. Uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan di laboratorium yang telah
lulus uji pemantapan mutu/Quality Assurance (QA), dan mendapatkan sertifikat
nasional maupun internasional.
d. Pemeriksaan serologis
Sampai saat ini belum direkomendasikan (Kemenkes, 2016).
3) Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas Menelan
Obat) sampai selesai pengobatan.
4) Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup, terbagi dalam dua (2) tahap
yaitu tahap awal serta tahap lanjutan, sebagai pengobatan yang adekuat untuk
mencegah kekambuhan. (Kemenkes, 2016).
c. Tahapan Pengobatan TB:
Pengobatan TB harus selalu meliputi pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan
dengan maksud:
1) Tahap Awal:
Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini adalah
dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh
pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang mungkin sudah
resistan sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal pada
semua pasien baru, harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan
pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah sangat
menurun setelah pengobatan selama 2 minggu pertama.
2) Tahap Lanjutan:
Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa sisa kuman yang masih ada
dalam tubuh, khususnya kuman persister sehingga pasien dapat sembuh dan
mencegah terjadinya kekambuhan
d. jenis Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Tabel 1. OAT Lini Pertama
Tabel 2. Pengelompokkan OAT Lini Kedua
Keterangan:
*Tidak disediakan oleh program
**Tidak termasuk obat suntik lini kedua, tetapi dapat diberikan pada kondisi tertentu
dan tidak disediakan oleh program
e. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
Paduan yang digunakan adalah ;
1) Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3 atau 2(HRZE)/4(HR).
4) Paduan OAT untuk pasien TB Resistan Obat: terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu
Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin, Etionamide, Sikloserin, Moksifloksasin,
PAS, Bedaquilin, Clofazimin, Linezolid, Delamanid dan obat TB baru lainnya serta
OAT lini-1, yaitu pirazinamid and etambutol.
Catatan:
Pengobatan TB dengan paduan OAT Lini Pertama yang digunakan di Indonesia dapat
diberikan dengan dosis harian maupun dosis intermiten (diberikan 3 kali perminggu)
dengan mengacu pada dosis terapi yang telah direkomendasikan (Tabel 3 Dosis
rekomendasi OAT Lini Pertama untuk pasien
Dewasa). Penyediaan OAT dengan dosis harian saat ini sedang dalam proses
pengadaan oleh Program TB Nasional.
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 dan
4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien.
Paduan ini dikemas dalam 1 (satu) paket untuk 1 (satu) pasien untuk 1 (satu) masa
pengobatan.
Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin
(R), Pirazinamid (Z) dan Etambutol (E) yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan
OAT ini disediakan program untuk pasien yang tidak bisa menggunakan paduan OAT
KDT.
Paduan OAT kategori anak disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap
(OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 3 jenis obat dalam satu
tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam
satu paket untuk satu pasien untuksatu (1) masa pengobatan.
Paduan OAT disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan
pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai.
Satu (1) paket untuk satu (1) pasien untuk satu (1) masa pengobatan.
Obat Anti Tuberkulosis dalam bentuk paket KDT mempunyai beberapa keuntungan
dalam pengobatan TB, yaitu:
1) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan risiko terjadinya
resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep.
2) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas
obat dan mengurangi efek samping.
3) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi
sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien (Kemenkes, 2016).
Paduan OAT TB RO disediakan dalam bentuk lepasan dengan dosis yang disesuaikan
dengan berat badan pasien.
f. Paduan OAT KDT Lini Pertama dan Peruntukannya
Pengobatan TB dengan paduan OAT Lini Pertama yang digunakan di Indonesia dapat
diberikan dengan dosis harian maupun dosis intermiten (diberikan 3 kali perminggu)
dengan mengacu pada dosis terapi yang telah direkomendasikan.
b) Dosis harian fase awal dan dosis intermiten fase lanjutan (2(HRZE)/4(HR)3)
Tabel 5. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1 (2(HRZE)/4(HR)3)
Tabel 6. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 1
2) Kategori -2
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati sebelumnya
(pengobatan ulang) yaitu:
a) Pasien kambuh.
TUBERKULOSA HEPATOBILIER
Tuberkulosis hepatobilier merupakan penyebaran dari fokal infeksi TB di paru-
paru, diperkirakan terjadi hingga 80% penderita TB paru. Tuberkulosis hepatobilier
biasanya ditandai oleh kadar SGOT & SGPT yang meningkat sebelum diberikan
pengobatan tanpa disertai gejala-gejala klinis hepatitis (Weisiger, 2002).
Hal ini penting untuk menentukan apakah obat anti-TB adalah penyebab
kerusakan hati atau apakah ada penyebab lain seperti hepatitis virus. Diferensial
diagnosa untuk anti-TB-drug induced liver adalah termasuk penyebab infeksi seperti
hepatitis virus A, B dan C, virus demam kuning, virus Epstein-Barr dan
Sitomegalovirus, penyakit kuning juga bisa disebabkan oleh infeksi bakteri, termasuk
Pneumococci dan Leptospira, dan infeksi parasit seperti Malaria, Schistosomiasis dan
sejumlah parasit lainnya, seperti Ascaris-lumbricoides, yang dapat menghambat
duktus empedu. Bahkan TBC itu sendiri dapat mempengaruhi hati. penyebab non-
infeksi yang perlu dipertimbangkan adalah penyalahgunaan alkohol dan zat-zat
hepatotoksik lainnya seperti jamur dan klorinisasi hidrokarbon (Simon, 2009).
DIAGNOSIS
Untuk mendiagnosa suatu kelainan hepar akibat obat, yang harus dinilai oleh
seorang dokter adalah dari riwayat penggunaan obat dahulu, reaksi yang timbul
selama terapi diberikan dan setelah terapi dihentikan, pengetahuan akan obat, respon
terhadap antidotum obat, hasil uji laboratorium, pengkajian obat dan penyakit.
Berdasarkan International Consensus Criteria, diagnosis hepatotoksisitas
imbas obat didasarkan atas :
1. Waktu dari mulai minum obat dan penghentian obat sampai awal reaksi (5-90
hari dari awal minum obat) atau kompatibel (kurang dari lima hari atau lebih
dari 90 hari sejak mulai minum obat dan tidak lebih dari 15 hari dari
penghentian obat untuk reaksi hepatoselular dan tidak lebih dari 30 hari untuk
reaksi kolestatik).
2. Perjalanan reaksi sesudah penghentian obat adalah sangat sugestif (penurunan
enzim paling tidak 50% dari konsentrasi di atas normal dalam 8 hari) atau
sugestif (penurunan konsentrasi enzim paling tidak 50% dalam 30 hari untuk
reaksi hepatoselular dan 180 hari untuk reaksi kolestatik).
3. Alternatif sebab lain dari reaksi telah dieksklusi dengan pemeriksaan teliti,
termasuk biopsi hati pada tiap kasus.
4. Dijumpai respon positif pada pemaparan ulang dengan obat yang sama paling
tidak kenaikan 2 kali lipat enzim hati.
Dikatakan adanya reaksi antar obat, jika semua tiga kriteria pertama terpenuhi atau
dua dari tiga kriteria pertama terpenuhi dengan respons positif pada pemaparan ulang
obat tersebut (Rusman, 2009).
II. Pneumonia
A. Definisi
III. Sepsis
Istilah sepsis berasal dari bahasa Yunani “sepo” yang artinya membusuk dan
pertama kali dituliskan dalam suatu puisi yang dibuat oleh Homer (abad 18 SM).
Kemudian pada tahun 1914 Hugo Schottmuller secara formal mendefinisikan
“septicaemia” sebagai penyakit yang disebabkan oleh invasi mikroba ke dalam aliran
darah. Walaupun dengan adanya penjelasan tersebut, istilah seperti “septicaemia:,
sepsis, toksemia dan bakteremia sering digunakan saling tumpang tindih. Oleh karena
itu dibutuhkan suatu standar untuk istilah tersebut dan pada tahun 1991, American
College of Chest Physicians (ACCP) dan Society of Critical Care Medicine (SCCM)
mengeluarkan suatu konsensusmengenai Systemic Inflammatory Response Syndrome
(SIRS), sepsis, dan sepsis berat. Sindrom ini merupakan suatu kelanjutan dari
inflamasi yang memburuk dimulai dari SIRS menjadi sepsis, sepsis berat dan septik
syok (Irfan, 2018).
Dan pada bulan Oktober tahun 1994 European Society of Intensive Care
Medicine mengeluarkan suatu consensus yang dinamakan sepsis-related organ failure
assessment (SOFA) score untuk menggambarkan secara kuantitatif dan seobjektif
mungkin tingkat dari disfungsi organ. 2 hal penting dari aplikasi dari
skor SOFA ini adalah:
1. Meningkatkan pengertian mengenai perjalanan alamiah disfungsi organ dan
Hubungan antara kegagalan berbagai organ.
2. Mengevaluasi efek terapi baru pada perkembangan disfungsi organ. Sepsis
adalah adanya respon sistemik terhadap infeksi di dalam tubuh yang dapat
berkembang menjadi sepsis berat dan syok septik.
Sepsis berat dan syok septik adalah masalah kesehatan utama dan
menyebabkan kematian terhadap jutaan orang setiap tahunnya. Sepsis Berat adalah
sepsis disertai dengan kondisi disfungsi organ, yang disebabkan karena inflamasi
sistemik dan respon prokoagulan terhadap infeksi (Irfan, 2018).
Syok Septik didefinisikan sebagai kondisi sepsis dengan hipotensi refrakter
(tekanan darah sistolik <90 mmHg, mean arterial pressure < 65 mmHg, atau
penurunan > 40 mmHg dari ambang dasar tekanan darah sistolik yang tidak responsif
setelah diberikan cairan kristaloid sebesar 20 sampai 40 mL/kg) (Irfan, 2018).
Patofisiologi
Sepsis sekarang dipahami sebagai keadaan yang melibatkan aktivasi awal
dari respon pro-inflamasi dan anti-inflamasi tubuh. Bersamaan dengan kondisi ini,
abnormalitas sirkular seperti penurunan volume intravaskular, vasodilatasi pembuluh
darah perifer, depresi miokardial, dan peningkatan metabolisme akan menyebabkan
ketidakseimbangan antara penghantaran oksigen sistemik dengan kebutuhan oksigen
yang akan menyebabkan hipoksia jaringan sistemik atau syok. Presentasi pasien
dengan syok dapat berupa penurunan kesadaran, takikardia, penurunan kesadaran,
anuria. Syok merupakan manifestasi awal dari keadaan patologis yang mendasari.
Tingkat kewaspadaan dan pemeriksaan klinis yang cermat dibutuhkan untuk
mengidentifikasi tanda awal syok dan memulai penanganan awal (Irfan, 2018).
Patofisiologi keadaan ini dimulai dari adanya reaksi terhadap infeksi. Hal ini
akan memicu respon neurohumoral dengan adanya respon proinflamasi dan
antiinflamasi, dimulai dengan aktivasi selular monosit, makrofag dan neutrophil yang
berinteraksi dengan sel endotelial. Respon tubuh selanjutnya meliputi mobilisasi dari
isi plasma sebagai hasil dari aktivasi selular dan disrupsi endotelial. Isi Plasma ini
meliputi sitokin-sitokin seperti tumor nekrosis faktor, interleukin, caspase, protease,
leukotrien, kinin, reactive oxygen species, nitrit oksida, asam arakidonat, platelet
activating factor, dan eicosanoid (Irfan, 2018).
Sitokin proinflamasi seperti tumor nekrosis faktor α, interleukin-1β, dan
interleukin-6 akan mengaktifkan rantai koagulasi dan menghambat fibrinolisis.
Sedangkan Protein C yang teraktivasi (APC), adalah modulator penting dari rantai
koagulasi dan inflamasi, akan meningkatkan proses fibrinolisis dan menghambat
proses trombosis dan inflamasi (Irfan, 2018).
Aktivasi komplemen dan rantai koagulasi akan turut memperkuat proses
tersebut. Endotelium vaskular merupakan tempat interaksi yang paling dominan
terjadi dan sebagai hasilnya akan terjadi cedera mikrovaskular, trombosis, dan
kebocoran kapiler. Semua hal ini akan menyebabkan terjadinya iskemia jaringan.
Gangguan endotelial ini memegang peranan dalam terjadinya disfungsi organ dan
hipoksia jaringan global (Irfan, 2018).
Tanda dan Gejala
Manifestasi dari respon sepsis biasanya ditekankan pada gejala dan tandatanda
penyakit yang mendasarinya dan infeksi primer. Tingkat di mana tanda dan gejala
berkembang mungkin berbeda dari pasien dan pasien lainnya, dan gejala pada setiap
pasien sangat bervariasi. Sebagai contoh, beberapa pasien dengan sepsis adalah
normo-atau hipotermia, tidak ada demam paling sering terjadi pada neonatus, pada
pasien lansia, dan pada orang dengan uremia atau alkoholisme (Munford, 2008).
Pasien dalam fase awal sepsis sering mengalami cemas, demam, takikardi,
dan takipnea (Dasenbrook & Merlo, 2008). Tanda-tanda dari sepsis sangat bervariasi.
Berdasarkan studi, demam (70%), syok (40%), hipotermia (4%), ruam
makulopapular, petekie, nodular, vesikular dengan nekrosis sentral (70% dengan
meningococcemia), dan artritis (8%). Demam terjadi pada <60% dari bayi dibawah 3
bulan dan pada orang dewasa diatas 65 tahun (Gossman & Plantz, 2008). Infeksi
menjadi keluhan utama pada pasien (Hinds et.al,2012).
Perubahan status mental yang tidak dapat dijelaskan (LaRosa, 2010) juga
merupakan tanda dan gejala pada sepsis. Adanya tanda dan gejala disseminated
intravascular coagulation (DIC) meningkatkankan angka mortalitas (Saadat, 2008).
Pada sepsis berat muncul dampak dari penurunan perfusi mempengaruhi setidaknya
satu organ dengan gangguan kesadaran, hipoksemia (PO2 <75 mmHg), peningkatan
laktat plasma, atau oliguria (≤30 ml / jam meskipun sudah diberikan cairan). Sekitar
satu perempat dari pasien mengalami sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS)
dengan infiltrat paru bilateral, hipoksemia (PO2 <70 mmHg, FiO2 >0,4), dan kapiler
paru tekanan <18 mmHg .Pada syok septik terjadi hipoperfusi organ (Weber &
Fontana, 2007).
Diagnosis sepsis sering terlewat, khususnya pada pasien usia lanjut yang
tanda-tanda klasik sering tidak muncul. Gejala ringan, takikardia dan takipnea
menjadi satu-satunya petunjuk, Sehingga masih diperlukan pemeriksaan lebih
lanjut yang dapat dikaitkan dengan hipotensi, penurunan output urin, peningkatan
kreatinin plasma, intoleransi glukosa dan lainnya (Hinds et.al, 2012).