1. Optimalisasi Sintesis Kitosan dari Cangkang Kepiting sebagai
Adsorben Logam Berat Pb (II) Populasi manusia semakin banyak sehingga memberikan keuntungan sekaligus kerugian bagi lingkungan. Pertambahan dari jumlah manusia turut mendorong pertumbuh industri-industri besar untuk memberikan lapangan pekerjaan sekaligus memenuhi kebutuhan masyarakat. Limbah industri baik yang berbentuk cair maupun asap mengandung Pb (timbal). Selain pada asap sisa pembakaran akibat penggunaan bahan bakar bernilai oktan rendah, timbal juga muncul dalam industri logam atau limbah dari pemurnian batuan tambang Timbal hingga saat ini merupakan salah satu jenis logam kategori B3 (bahan berbahaya dan beracun). Beberapa tahun terakhir, telah dilakukan penelitian untuk menggunakan bahan polimer alam yang mampu menjadi pengikat logam Pb untuk mengurangi kandungan di dalam limbah industri. Bahan polimer alam untuk keperluan tersebut adalah biopolimer kitosan. Limbah cangkang kepiting di Indonesia terutama di beberapa tempat hanya dilakukan pengolahan dengan memanfaatkan sebagai pupuk atau pakan ternak dengan nilai yang rendah. Cangkang kepiting di beberapa daerah sudah mulai diekspor sebagai kitin kotor. Kandungan organik dari cangkang kepiting berbentuk kristalin terdiri dari kitin, material anorganik dan protein. Cangkang kepiting memiliki protein (15,60- 23,90%), kalsium karbonat (53,70-78,40 %) dan kitin (18,70-32,20%). Kandungan tersebut ditentukan oleh jenis kepiting dan tempat hidup kepiting. Cangkang kepiting dan Pb memang tidak memiliki suatu korelasi apapun selain sesama limbah dengan jumlah besar dan membahayakan lingkungan. Namun mengetahui kitosan, hasil olahan cangkang kepiting, memiliki kemampuan untuk menyerap ion Pb merupakan hal sangat menggembirakan. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengoptimalisasi kitosan tersebut agar dapat memaksimalkan hasil kinerja. Kitosan untuk dijadikan adsorben, haruslah memiliki derajat deasetilasi hingga lebih dari 60%. Menjaga kualitas kitosan untuk pemakaian suhu dan konsentrasi terlampau tinggi dapat merusak kitosan yang dibuat karena akan merubah struktur kimia dari kitosan tersebut. Selain itu suhu tinggi dan waktu lama akan menaikkan derajat deasetilasi namun mengecilkan ukuran molekul dan viskositas kitosan. Penelitian ini telah menghasilkan kitosan dari cangkang kepiting. Cangkang kepiting terbukti memiliki kandungan mineral berupa kalsium fosfat yang berarti berasal dari limbah hasil laut. Cangkang kepiting masih mengandung mineral Ca 4O7P2 atau Ca4(PO3)2O. Mineral ini harus dihilangkan untuk mengambil kitin yang terdapat pada cangkang tersebut. Optimasi kitosan dilakukan pada proses deasetilasi. Proses tersebut variasikan dengan Na yang dilakukan setelah variasi waktu reaksi. Untuk menentukan berat Na optimal sebelum melakukan variasi waktu reaksi, dilakukan pengukuran derajat deasetilasi dengan menggunakan alat analisis FTIR. Adsorsi Pb yang terjadi pada konsentrasi 25 ppm dapat terserap oleh kitosan. Terserapnya Pb menunjukkan bahwa ikatan amida pada kitosan tersebut telah aktif dan juga bisa menyerap lebih banyak ion Pb. Untuk mengetahui konsentrasi Pb maksimum yang dapat diserap oleh kitosan tersebut, maka dilakukan penambahan konsentrasi untuk dapat menyerap Pb lebih banyak. Hasil adsorbsi pada konsentrasi Pb 50 dan 100 ppm menunjukkan tidak adanya Pb terserap pada reaksi tersebut. Konsentrasi yang besar membutuhkan energi besar untuk terserap kitosan. Hal ini dikarenakan konsentrasi Pb dalam suasan asam yang lebih bersar membuat larutan tersebut lebih stabil. Energi untuk proses adsorbsi ini teralihkan menjadi energi pembentukan protoinasi yaitu berikatannya ikatan amida dengan molekul H+ dari larutan HNO3 tersebut. Tingkat keasaman larutan mempengaruhi hasil adsorbsi Pb maka diakukan reaksi adsorbsi lain dengan menggunakan cairan dengan pH lebih tinggi. Seluruh Pb terserap pada konsentrasi 25 ppm, sedangkan pada konsentrasi 50 ppm terserap sekitar 45 ppm, dan pada 100 ppm terserap sekitar 93 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa gugus amida yang terbentuk telah aktif sehingga dapat menyerap Pb. Hal ini juga mendukung teori sebelumnya bahwa tingkat keasaman tinggi membuat kitosan tersebut kehilangan kemampuan adsorbsi karena telah terprotonasi. Terdapat perbedaan bahwa kitosan dapat menyerap lebih banyak Pb pada konsentrasi 100 ppm daripada 50 ppm. Hasil yang dididapat dapat dihubungkan dengan persamaan Freundlich yang akan menunjukkan bahwa nilai dari konsentrasi terserap sebanding lurus dengan konsentrasi awal Pb. 2. Pemanfaatan Kitosan dari Limbah Cangkang Bekicot (Achatin Fulica) sebagai Adsorben Logam Berat Seng (Zn) Penelitian tentang kitosan telah banyak dilakukan. Pemanfaatan kitin dan kitosan telah banyak dipelajari oleh beberapa peneliti salah satunya pemanfaatan kitosan dan kitosan sulfat daricangkang udang windu untuk bahan adsorben logam Zn (II) dan Pb (II). Bahan lain yang biasa digunakan untuk mendapatkan kitin adalah cangkang bekicot. Kandungan kitin tersebut dapat diproses lebih lanjut menghasilkan kitosan yang mempunyai banyak manfaat di bidang industri. Kitosan merupakan biopolimer yang banyak digunakan di berbagai industri kimia, antara lain dipakai sebagai koagulan dalam pengolahan limbah air, bahan pelembab, pelapis benih yang akan ditanam, adsorben ion logam. Kitin merupakan biopolimer dari unit N-asetil-D-glukosamin yang saling berikatan dengan ikatan. Kitosan yang telah dibuat, digunakan sebagai adsorben untuk mengurangi kadar Zn dalam larutan sampel ZnSO 4 dengan konsentrasi 2,59 mg/L. Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 8 varian sampel. Daya serap kitosan terhadap Zn dengan ukuran 250 micron lebih besar dari 355 micron. Bentuk perlakuan berupa variasi menimbulkan perubahan daya serap yang sistematik. Hal ini ditunjukkan dengan semakin banyak massa kitosan yang diberikan pada sampel air murni (akuades) yang telah diberikan perlakuan dengan penambahan ZnSO4, maka semakin banyak jumlah Zn yang terserap. Oleh sebab itu, kadar Zn yang didapatkan dalam akuades semakin menurun. Ukuran kitosan 250 micron dilakukan empat variasi massa kitosan yaitu 1 gram, 3 gram, 6 gram dan 9 gram. Pertama, kadar Zn pada penambahan kitosan 1 gram menurun menjadi 2,15 mg/L dari sampel awal yang konsentrasinya sebesar 2,59 mg/L. Artinya kitosan mampu menyerap logam berat Zn dengan daya serap sebesar 16,99%. Konsentrasi logam berat Zn semakin menurun dengan banyaknya jumlah kitosan yang digunakan yaitu pada penambahan kitosan 9 gram menghasilkan 0,27 mg/L. Ukuran kitosan 355 micron juga mengalami penurunan konsentrasi logam berat Zn dengan bertambahnya massa kitosan yang digunakan. Semakin banyak kitosan yang digunakan menyebabkan luas permukaan kontak adsorben semakin besar karena jumlah partikel yang turut bertambah. Rendemen kitosan yang didapat dari 100 gram cangkang bekicot untuk ukuran 250 micron adalah sebesar 43,75%, dan rendemen kitosan yang didapat dari 100 gram cangkang bekicot untuk ukuran 355 micron adalah sebesar 45,02%. Faktor yang mempengaruhi perbedaan persentase penyerapan kadar Zn dengan pemanfaatan kitosan ini ialah ukuran dari kitosan tersebut serta jumlah massa kitosan yang digunakan sebagai adsorben. Berdasarkan dari penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil bahwa untuk kitosan yang memiliki ukuran 250 micron mampu menyerap lebih banyak kadar Zn dibandingkan kitosan yang memiliki ukuran 355 micron. Hal ini terjadi dikarenakan luas permukaan kontak yang semakin besar. Semakin kecil ukuran suatu partikel maka semakin besar luas permukaan kontak tersebut sehingga meningkatkan kapasitas adsorpsi. Ukuran partikel dan luas permukaan adalah sifat penting dari kitosan yang berhubungan dengan kegunaanya sebagai adsorben. Kecepatan adsorpsi meningkat dengan ukuran partikel kitosan yang menurun sehingga daya serap kitosan meningkat. Penelitan adsorbsi Pb menggunakan kitosan hasil ekstrasi dari limbah cangkang kepiting dapat disimpulkan. Cangkang kepiting terdeteksi memiliki kandungan Ca4O9P2 atau Ca4(PO4)2O menunjukkan bahwa kepiting yang dipergunakan berasal dari hasil laut. Kitosan dari cangkang kepiting dibuat dari reaksi demineralisasi dengan HCl 1 M dan deproteinasi dengan NaOH 1 M untuk menghasilkan kitin. Deasetialsi kitin divariasikan dengan konsentrasi 30, 40, 50, 60, dan 70 %. Dengan menggunakan FTIR pada gelombang 1655 m-1 dan 3450 m-1 semua kitin telah terdeasetilasi dengan derajat deasetilasi diatas 60%. Derajat tertinggi ada pada saat penambahan konsentrasi NaOH 50%. Oleh karena itu diambil beberapa varian untuk memvariasikan lama reaksi pada 30, 45, 60, 90, dan 120 menit. Nilai tertinggi yang terjadi ada pada menit ke-30 dari lima varian waktu yang dibuat. Pada adsorbs Pb dalam suasana asam 10 ppm kesemua Pb dapat terserap namun terdapat masalah pada Pb 50 dan 100 ppm tidak ada Pb yang terserap. Sedangkan adsorpsi Pb pada suasana netral pada 25, 50 dan 100ppm. Pada 25 ppm seluruh Pb terserap, penyerapan tertinggi ada pada 100 ppm yaitu hingga 97 ppm, sedangkan pada 50 ppm hanya sebesar 45 ppm. Keadaan tersebut sesuai dengan persamaan Freundlich yang menyatakan konsentrasi Pb kesetimbangan dapat sebanding dengan konsentrasi awal Pb. DAFTAR PUSTAKA
Asni, N. 2014. Optimalisasi Sintesis Kitosan dari Cangkang Kepiting sebagai
Adsorben Logam Berat Pb (II). Jurnal Fisika dan Aplikasinya. 15(1): 18- 25. Victor, S. 2016. Pemanfaatan Kitosan dari Limbah Cangkang Bekicot (Achatina Fulica) sebagai Adsorben Logam Berat Seng (Zn). Konversi. 5(1): 22-26.
[1].Rendemen kitosan dari cangkang udang yaitu sebesar 19,08%,.
Rendemen nano kitosan dengan perlakuan pengecilan ukuran menggunakan magnetic stirrer sebesar 80,67%. Nilai derajat deasetilasi dari kitosan yang digunakan untuk membuat nano kitosan yaitu sebesar 98,65%. Nano kitosan yang terbentuk rata-rata memiliki ukuran berkisar 228,74 nm, cukup seragam, relatif stabil dan memiliki bentuk partikel yang berupa bulatan menyerupai bola.Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah limbah udang windu (P. monodon) diperoleh dari PT. Sultra Tuna, Kendari, Sulawesi Tenggara. Bahan- bahan yang digunakan untuk pembuatan kitosan dan nano kitosan terdiri dari NaOH serbuk, asam asetat (CH3COOH), aquadest, HCl, tripoliphospat (TPP), dan surfaktan (Tween 80). Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah magnetic stirrer, spraydrying (Labconco), Particle Size Analyzer (PSA) (DelsaTM Nano, Cordoun), Viscometer (Brookfield LV), Fourier Transform Infrared Spectrophotometer (FTIR) (Bruker Tensor Tipe MBQ00), Scanning Electron Microscopy (SEM) (JEOL JSM-6360-LA).Nano kitosan dibuat menggunakan metode gelasi ionik, yaitu kompleksasipolilektrolit antara kitosan yang bermuatan positif dengan tripolifosfat yang bermuatan negatif.Larutan kitosan konsetrasi 0,2% dibuat dengan cara melarutkan kitosan kedalam larutan asam asetat 1%, kemudian dihomogenkan menggunakan magnetic stirrer pada suhu ruang dalam jangka waktu 1 jam. Larutan Tripolyphosphate (TPP) konsentrasi 0,1% dibuat dengan melarutkan TPP kedalam akuades, kemudian disaring untuk menghilangkan sisa partikel tidak terlarut.Nano-kitosan dibuat dengan cara: larutan kitosan sebanyak 50 mL dituangkan ke dalam beaker, kemudian diaduk menggunakan magnetic stirrer. Larutan TPP pada pada rasio volume kitosan TPP 5:1 ditambahkan secara perlahan-lahan ke dalam larutan kitosan, sehingga terbentuk suspensi nano- partikel. Pengadukan terus dilanjutkan selama 1 jam agar proses ikatan silang berlangsung sempurna. Suspensi dari nano-partikel yang terbentuk kemudian dikarakterisasi.Penambahan Tween 80 sebagai surfaktan berfungsi untuk menstabilkan emulsi partikel dalam larutan dengan cara mencegah timbulnya penggumpalan (aglomerasi) antar partikel. Partikel-partikel kitosan di dalam larutan terselimuti dan terstabilkan satu dengan yang lain karena adanya surfaktan, sehingga proses pemecahan partikel akan semakin efektif dan tidak terjadinya aglomerasi Nano kitosan dapat dibedakan secara visual dengan menggunakan SEM. Prinsip kerja SEM adalah sifat gelombang dari elektron berupa difraksi pada sudut kecil. Nano kitosan memperlihatkan ukuran partikel yang kurang homogen. Hasil dari SEM menunjukkan bahwa nano kitosan terisi ketoprofen memiliki bentuk bulat utuh. Ukuran partikel yang tidak seragam diduga karena ketoprofen tidak hanya masuk kedalam matriks nano kitosan, tetapi menempel di permukaan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa nano kitosan dapat dibuat menggunakan metode gelasi ionik, yaitu kompleksasi polilektrolit antara kitosan yang bermuatanpositif dengan tripolifosfat yang bermuatan negatif. Rendemen kitosan dari cangkang udang yaitu sebesar 19,08%, sedangkan rendemen nano kitosan dengan perlakuan pengecilan ukuran menggunakan magnetic stirreryaitu sebesar 80,67%. Nilai derajat deasetilasi dari kitosan yang digunakan untuk membuat nano kitosan yaitu sebesar 98,65%, menunjukan bahwa kitosan yang dihasilkan merupakan kitosan murni. Nano kitosan yang terbentuk rata-rata berukuran 228,74 nm, cukup seragam, relatif stabil dan memiliki bentuk partikel yang berupa bulatan menyerupai bola. Pengecilan ukuran partikel dengan magnetic stirrer, dapat mendistribusikan ukuran partikel yang lebih homogen. Penambahan tripoliphospat (TPP) dan surfaktan (Tween 80) dapat menguatkan sifat mekanik kitosan yang mudah rapuh dan dapat membentuk ikatan silang ionik antara molekul kitosan. 1. Pemanfaatan Kitosan dari Cangkang Rajungan (Portonus sanginolentus L.) sebagai Pengawet Ikan Kembung (Rastrelliger sp) dan Ikan Lele (Clarias Batrachus) Penggunaan senyawa anti mikroba yang tepat dapat memperpanjang umur simpan suatu produk serta menjamin keamanan produk. Untuk itu dibutuhkan bahan sebagai anti mikroba yang alami supaya tidak membahayakan bagi kesehatan. Penggunaan kitosan untuk menghambat aktivitas mikroba pada ikan kembung (Rastrelliger sp) dan ikan lele (Clarias batrachus) akan diuji efektivitasnya. Pada penelitian ini kitosan yang digunakan sebagai anti mikrobia diekstraksi atau diperoleh dari bahan baku cangkang dari rajungan (Portunus sanginolentus L.). Bahan yang digunakan adalah kitosan yang di ekstraksi dari cangkang rajungan (Achatina fulica) sebagai pengawet dan ikan kembung kuring (Rastrelliger sp) serta ikan lele (Clarias batrachus) sebagai bahan yang akan diawetkan, asam asetat sebagai bahan pembantu digunakan untuk melarutkan kitosan dengan konsentrasi 1%; 1,5%;2% dan 2,5% dan variasi waktu pengawetan 10, 15, 20, dan 25 jam. Alat utama yang digunakan adalah FT-IR untuk analisa derajat deasetilasi. Tahapan pada penelitian ini terdiri atas proses ekstraksi kitin, transformasi kitin menjadi kitosan, pengawetan ikan, serta karakterisasi kitosan dan ikan. Proses ekstraksi kitin dilakukan dengan kulit kepiting rajungan yang telah dikupas tangan dicuci dan dikeringkan di dalam oven pada suhu 800C selama 24 jam lalu dihaluskan kemudian disaring dengan ayakan berukuran 50 mesh. Sebanyak 120 gram serbuk cangkang rajungan ditempatkan dalam wadah kemudian ditambahkan NaOH 3,5% sebanyak 1200 mL dengan perbandingan 1:10, kemudian campuran tersebut akan dipanaskan pada suhu 650C selama waktu 2 jam sambil dilakukan pengadukan. Setelah campuran dingin, disaring dengan menggunakan kertas saring dan dicuci dengan akuades sampai netral. Setelah kondisi netral tercapai, residu yang diperoleh kemudian dikeringkan pada suhu 600C selama 4 jam hingga kering. Kemudian residu hasil deproteinasi ditambahkan larutan HCl 1,0 N dengan nisbah 1:15 (w/v) dan dibiarkan selama 30 menit pada suhu kamar sambil diaduk. Kemudian campuran disaring dengan menggunakan kertas saring dan dicuci dengan akuades sampai netral. Setelah kondisi netral tercapai, residu yang diperoleh kemudian dikeringkan pada suhu 600C selama 4 jam hingga kering. Tahapan transformasi kitin menjadi kitosan dilakukan dengan sebanyak 50 gram kitin ditambahkan dengan 500 mL NaOH 50% denganperbandingan 1:10 dalam wadah dan diaduk sambil dipanaskan pada suhu 100 0C selama 30 menit. Setelah campuran dingin, disaring dengan menggunakan kertas saring dan dicuci dengan akuades sampai netral. Setelah kondisi netral tercapai, residu yang diperoleh kemudian dikeringkan pada suhu 600C selama 4 jam hingga kering. Produk tersebut akan deasetilasi dan kemudian menjadi produk utama ini dinamakan kitosan. Pengawetan dilakukan dengan bahan pengawet kitosan yang digunakan variasi konsentrasi dengan cara melarutkan kitosan (w/v) kedalam asam asetat 1% (v/v). Sampel ikan kembung (Rastrelliger sp) dan ikan lele (Clarias batrachus). yang diambil dari tambak, kemudian ditimbang untuk diketahuimassanya. Sampel ikan masing-masing direndam dalam larutan kitosan dengan konsentrasi yang bervariasi dengan perbandingan 1 kg ikan/1 L larutan kitosan. Penyimpanan dilakukan dengan variasi waktu dan cara pemberian larutan dalam pengawetan ikan. Kitosan hasil ekstraksi dari cangkang rajungan sebelum digunakan sebagai pengawet dilakukan pengujian kadar air, kadar abu, dan derajat deasetilasi.Ikan sebelum dan setelah pengawetan dilakukan pengujian nilai pH, organoleptik (fisik), dan TVB (Total Volatile Base). Nilai TVB dihitung dengan menggunakan metode Cawan Conway. Pada penelitian ini, ikan sebelum dan sesudah pengawetan dilakukan berbagai analisa yang berguna sebagai karakterisasi ikan seperti anaslisa TVB (Total Volatile Base), analisa pH dan analisa organoleptik. Untuk menunjang hasil analisa, peralatan yang digunakan untuk analisa sebelumnya telah di sterilisasi. Nilai pH (power of hydrogen) merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk menentukan tingkat kesegaran ikan. Pada proses pembusukan ikan, perubahan pH daging ikan sangat besar peranannya karena berpengaruh terhadap proses autolisis dan serangan bakteri.Analisa organoleptik meliputi kenampakan mata, insang, lendir permukaan badan, daging (warna dan kenampakan), bau, dan tekstur. Dari hasil penelitian yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwaperlakuan terbaik dari pengwetan ikan dengan cara perendaman yaitu penambahan kitosan 1,5%. Sedangkan perlakuan terbaik dari pengwetan ikan dengan cara penyemprotan yaitu penambahan kitosan 2,5%. Pengawetan dengan menggunakan kitosan dapat memperpanjang umur simpan ikan selama ± 5 jam. DAFTAR PUSTAKA
Hazairin, M. 2014. Produksi dan Karakterisasi Nano Kitosan dari Cangkang
Udang Windu dengan Metode Gelasi Ionik. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. 17 (2): 119-126. Silvia, R., dkk. 2014. Pemanfaatan Kitosan dari Cangkang Rajungan (Portonus sanginolentus L.) sebagai Pengawet Ikan Kembung (Rastregiller sp) dan Ikan Lele (Clarias Batrachus). Jurnal Teknik Kimia. 3 (4): 18-24.