Anda di halaman 1dari 18

PENGARUH PAPARAN UAP BENSIN TERHADAP PERUBAHAN

GAMBARAN HISTOPATOLOGI ALVEOLUS TIKUS GALUR WISTAR

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari banyak sekali paparan substansi berbahaya yang
dihadapi. Salah satu substansi yang berbahaya adalah bensin dan emisi kendaraan
bermotor (Agency for toxic subtance, 2006). Kanker dapat dipicu oleh beberapa hal
salah satunya bensin. Bensin merupakan hasil pengolahan minyak mentah yang
memiliki kandungan hidrokarbon yang kerap kali memicu kanker. Bensin memiliki
banyak kandungan diantaranya adalah benzena. Sifat benzena sendiri mudah menguap
dan larut dalam air. Sifatnya yang mudah menguap menyebabkan manusia mudah
terpapar. Benzena dapat dimetabolit dan dibuang dari dalam tubuh, meskipun demikian
benzena dapat merusak sel dan mengakibatkan kanker jika terpapar dalam tubuh secara
terus menerus dan terpapar dalam jangka waktu yang cukup lama. (Cibelem I.M, dkk.,
2006). Zat karsinogenik pada bensin ini yang dapat menimbulkan perubhan
histopatologi dari organ yang terpapar.

Bensin dibutuhkan untuk menjalankan mesin termasuk kendaraan yang


berperan dalam morbilitas manusia. Bensin merupakan hasil olahan minyak bumi yang
terdiri dari campuaran hidrokarbon, aditif, dan zat campuran lainnya. Komposisi bensin
sangat bervariasi tergantung dari bahan baku yang digunakan, pengolahan yang
dilakukan, komposisi hidrokarbon bensin pada umumnya : 4-8% alkana; 2-5% benzena;
25-40% isoalkana; 3-7 sikloalkana; 1-4% sikloalkena dan 20-50% sisanya aromatik.
(Agency for toxic subtance, 2006).

Benzena merupakan senyawa hidrokarbon aromatik yang terletak pada bensin.


Benzena adalah cairan tidak berwarna, mudah menguap dengan bau aromatik yang
khas, sedikit larut dalam air tetapi sangat mudah larut dengan pelarut organik. (Agency
for toxic subtance and disease. 2006). Kandungan benzena dalam bensin yang sedikit
dapat menimbulkan efek besar terhadap organ-organ tubuh.

Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa paparan uap bensin berbahaya


bagi tubuh. Diantaranya uap bensin memiliki substansi genitotoksik yang dapat
mempengaruhi frekuensi pembentukan mikronukleus mukosa bukal (Dharma, 2012).
Selain itu, uap bensin juga dapat menyebabkan pertumbuhan sel kanker. Penelitian ini
mengulas tentang pengaruh paparan uap bensin terhadap perubahan gambaran
histopatologi alveolus pada hewan coba.

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan judul diatas, rumusan masalah yang menjadi fokus dalam penelitian ini
adalah “Adakah pengaruh paparan uap bensin terhadap gambaran histopatologi
alveolus tikus Galur Wistar?”

3. Tujuan Penelitian
3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh paparan uap bensin terhadap gambaran histopatologi
alveolus tikus Galur Wistar
3.2 Tujuan Khusus
3.2.1 Melihat gambaran histopatologi alveolus pada tikus Galur Wistar yang diberi
kadar uap bensin yang berbeda
3.2.2 Melihat gambaran histopatologi alveolus pada tikus Galur Wistar yang diberi
paparan uap bensin dengan waktu yang berbeda

4 Manfaat Penelitian
4.1 Manfaat Toritis
Secara teeoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran atau wawasan tentang pengaruh paparan uap bensin terhadap gambaran
histopatologi alveolus.
4.2 Manfaat Praktis
Paparan uap bensin dapat mengakibatkan perubahan gambaran histopatologi
alveolus.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Alveolus
Alveolus adalah bagian dari saluran pernafasan yang berupa kantong-kantong
kecil berfungsi sebagai tempat pertukaran udara juga darah. Alveolus memiliki sel-sel
diantaranya, sel alveolus tipe 1, Setiap alveolus dikelilingi oleh anyaman kapiler
pulmonal yang berdinding dan hanya dilindungi oleh selapis sel. Diantara alveolus dan
anyaman kapiler terdapat ruang interstisium membentuk sawar yang sangat tipis untuk
mempermudah memisahkan udara di alveolus dari darah di kapiler paru. Alveolus juga
berisi sel alveolus tipe 2 yang terbenam didalam dinding alveolus berisi surfaktan paru,
yaitu suatu kompleks fosfolipoprotein yang mempermudah ekspansi paru. Selain
sulfaktan, juga ditemukan makrofag alveolus kembara di dalam lumen alveolus.
Dinding antara alveolus yang berdekatan terdapat pori Kohn yang memungkinkan
terjadinya aliran udara dari alveolus yang berdekatan atau yang disebut dengan ventilasi
kolateral. (Sherwood, 2014)

Pada paru terdapat kurang lebih 300 juta gelembung alveoli dengan setiap
gelembungnya berdiameter kurang lebih 0.3 mm yang memiliki struktur tidak stabil.
Tegangan cairan pelapis alveoli mengakibatkan gelembung kolaps yang dapat
diperbaiki dengan sulfaktan. (Djojodibroto, 2002).

2.2 Bahan Bakar Minyak (BBM) Bensin

Bensin dibutuhkan untuk menjalankan sebuah mesin termasuk mesin


kendaraan yang berperan dalam morbilitas manusia. Bensin merupakan hasil olahan
minyak bumi yang terdiri dari campuaran hidrokarbon, aditif, dan zat campuran
lainnya. Komposisi bensin sangat bervariasi tergantung dari bahan baku yang
digunakan, pengolahan yang dilakukan, komposisi hidrokarbon bensin pada umum
terdiri dari : 4-8% alkana; 2-5% benzena;25-40% isoalkana; 3-7 sikloalkana; 1-4%
sikloalkena dan 20-50% sisanya aromatik (Agency for toxic subtance, 2006).
Benzena adalah senyawa hidrokarbon aromatik yang terletak pada bensin.
Benzena sendiri merupakan cairan tidak berwarna, mudah menguap dengan bau
aromatik yang khas, sedikit larut dalam air tetapi sangat mudah larut dengan pelarut
organik, mendidih pada 80,1 oC dan membeku pada 5,5 o
C. Benzena memiliki
hidrokarbon yang memiliki rumus molekul C6H6. (Zappala RA, 2010)

Minyak bumi atau yang dikenal dengan minyak mentah merupakan sumber
terbanyak benzena dan digunakan bahan dasar dalam industri. Orang dengan paparan
uap bensin juga akan terpapar benzena dalam jumlah yang cukup besar. Paparan paling
dominan adalah paparan inhalasi karena benzena mudah diserap secara inhalasi sekitar
10-80% pada manusia. Kulit juga dapat menjadi mediator paparan benzena tetapi hanya
0.05%. Benzena tidak disimpan dalam tubuh dalam waktu lama, hanya 48 jam setelah
pajanan benzene atau bahan kimia keluar dari tubuh. (Service, 2013) Benzena diserap
dengan cepat dan didistribusikan keseluruh tubuh yang cenderung terakumulasi dalam
jaringan lemak. Bila terus terakumulasi dalam jangka panjang akan mengakibatkan
kanker organ maupun kanker darah. International Agency for cancer Research (IACR)
dan Enviromental Protection Agency (EPA) telah menemukan bahwa benzena adalah
karsinogenik untuk manusia. (Agency for Toxic Subtance and Disease Registry, 2007).
Kanker akibat benzena kemungkinan karena hubungan bertumpuk antara risiko dengan
pajanan ketika konsentrasi bebas. Pendapat lain mengungkapkan faktor tersebut karena
paparan benzena yang memicu zat karsinogenik jika penggunaannya diatas nilai
ambang batas (NAB). (Febyan, 2015)

2.3 Uap Bensin Terhadap Perubahan Histopatologi Alveolus

Kerusakan saluran pernapasan tergantung pada kelarutan gas. Gas yang cepat
terlarut akan mengiritasi saluran pernafasan terlebih dahulu dan dapat merusaknya. Gas
yang sulit terlarut akan mengakibatkan edema tanpa menunjukkan gejala pada saluran
napas atas. Uap bensin adalah cairan dari bahan bakar kendaraan bermotor yang akan
menguap dan terhirup. Pengaruh partikel yang terhirup pada tubuh tergantung dari sifat
fisik dan kimia partikel, tempat terdeposisinya partikel dalam saluran pernafasan,
semakin kecil ukuran partikel dan semakin besar konsentrasi partikel pada udara yang
terhirup akan memperbesar kemungkinan partikel akan terdisposisi di alveolus, dan
kepekaan seseorang yang terhirup partikel tersebut (Djojodibroto, 2002). Penelitian
sebelumnya membahas tentang pengaruh paparan uap bensin terhadap frekuensi
pembentukan mikronukleus mukosa bukal pada penjual bensin eceran, berdasarkan
penelitian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa paparan uap bensin pada penjual
bensin eceran meningkatkan frekuensi pembentukan mikronukleus mukosa bukal. Oleh
karena itu, pada penelitian ini ingin membuktikan apakah paparan uap bensin juga
berpengaruh terhadap histopatologi alveolus pada tikus Galur Wistar.

2.4 Kerangka Teori


Uap bensin

Benzena Metabolit Zat Karsinogenik


Benzena

Histopatologi
alveolus

2.5 Kerangka Konsep

Paparan uap Histopatologi alveolus tikus galur wistar


bensin

2.6 Hipotesis
2.6.1. Terdapat perubahan gambaran histopatologi alveoulus paru tikus Galur Wistar
setelah pemberian paparan uap bensin.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian


Ruang lingkup penelitian ini meliputi bidang histologi dan patologi anatiomi.
Jenis penelitian ini adalah True - Experimental Design laboratorium dengan
rancangan Post test only control group design.

3.2 Variabel Penelitian


3.2.1. Variabel bebas : paparan uap bensin
3.2.2. Variabel terikat : perubahan gambaran histopatologi alveolus tikus
Galur Wistar

3.3 Definisi Operasional Penelitian

N Variabel Definisi Operasional Unit Skala


o
1 Pemberian Paparan uap bensin merupakan zat Menit Nominal
paparan uap yang bersifat karsinogenik
bensin mengandung 4-8% alkana; 2-5%
benzena;25-40% isoalkana; 3-7
sikloalkana; 1-4% sikloalkena dan
20-50% sisanya aromatik. Benzena
mudah diserap secara inhalasi sekitar
10-80% pada manusia. Kulit juga
dapat menjadi mediator paparan
benzena tetapi hanya 0.05%.
paparan terhadap uap bensin didalam
masyarakat sudah sering terjadi
dengan :
1. Pemberian uap bensin
menggunakan selang yang
berada dari bawah kandang.
2. Pemberian pada masing-
masing kandang disesuaikan
dengan perlakuan

2 Alveolus Diamati dengan mikroskop cahaya Ordinal


perbesaran 400x mencakup 5 lapang
pandang pada preparat pengecatan
HE dengan melihat kerusakan
alveolus paru yang terdiri dari :
1. kriteria destruksi septum
alveolar

Destruksi septum alveolus ringan


b. Membrane alveolus utuh, berinti
dan lengkap dengan sel-sel endotel >
75%
c. Lumen alveolus membulat dengan
ukuran proporsional > 75%
d. Hubungan antar alveolus rapat >
75%

Destruksi septum alveolus sedang


a. Membrane alveolus utuh, berinti
dan lengkap dengan sel-sel endotel
25% - 75%
b. Lumen alveolus membulat dengan
ukuran proporsional 25% - 75%
c. Hubungan antar alveolus rapat
25% - 75%

Destruksi septum alveolus berat


a. Membrane alveolus utuh, berinti
dan lengkap dengan sel-sel endotel <
25%
b. Lumen alveolus membulat dengan
ukuran proporsional < 25%
c. Hubungan antar alveolus rapat <
25%34

1. Infiltrasi sel radang


Kriteria infiltrasi sel radang
T : tidak terjadi peradangan
R (ringan) : jika sel-sel radang
sedikit/lokal menginfiltrasi paru
S (sedang) : jika sel-sel yang
menginfiltrasi sedikit tapi tersebar
(multifokal)
B (berat) : jika infiltrasi sel
radang padat/difusa pada paru

Kriteria kerusakan alveolus


- Normal (0) :
tidak terdapat kerusakan
- Kerusakan Ringan (1) :
kerusakan alveolus paru > 0% - <
30% dari kerusakan maksimal
- Kerusakan Sedang (2) :
kerusakan alveolus paru > 30% - <
60% dari kerusakan maksimal
- Kerusakan Berat (3) :
kerusakan alveolus paru > 60% dari
kerusakan maksimal

3.4 Populasi dan Sampel Penelitian

3.4.1 Populasi
Penelitian adalah hewan coba Tikus Galur Wistar jantan

3.4.2 Sampel

Jumlah sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan rumus


federer yaitu (K – 1) (N – 1) ≥ 15 sehingga dapat ditentukan jumlah tikus yang
diperlukan sebanyak 24 tikus SD dalam 4 perlakuan dengan kriteria sebagai
berikut :
 Kriteria inklusi
o Tikus SD jantan
o Sehat
o Berat badan 150 – 200 gram
o Umur 12 – 16 minggu
 Kriteria ekslusi
o Tikus tampak lelah, tidak bergerak secara aktif
o Terdapat gangguan pernafasan
o Bobot tikus menurun
Sampel dibagi secara acak menjadi 4 kelompok (K, P1, P2, P3).
Kelompok K adalah kelompok kontrol tanpa perlakuan. P1 mendapatkan
paparan uap bensin selama 8 jam/hari. P2 mendapatkan paparan uap bensin
selama 12 jam/hari. P3 mendapatkan paparan uap bensin 24 jam penuh.
3.4.3 Cara Sampling
Metode pemilihan sampel dengan teknik Simple random sampling

3.4.4 Jumlah Sampel

Penentuan besar sampel dalam penelitian ini menggunakan rumus


jumlah sampel eksperimental dari Federer, yaitu:
(N-1) (K-1) ≥ 15
(n-1) (4-1) ≥ 15
(n-1) 3 ≥ 15
3n-3 ≥ 15
3n ≥ 18
n≥6
Cadangan = 10% x n
= 10% x 6
= 0,6 ~ 1 (pembulatan)
Total sampel = 6 + 1 = 7 ekor
“K” adalah jumlah perlakuan
“N” adalah jumlah sampel tiap kelompok perlakuan
Pada penelitian ini terdapat tiga kelompok perlakuan dan satu kelompok
kontrol. Berdasarkan ketentuan diatas didapatkan jumlah sampel keseluruhan
adalah 4 kelompok dengan masing-masing kelompok dilakukan pengulangan
sebanyak 4 kali sehingga penelitian ini membutuhkan sebanyak 6 ekor tikus
jantan Sprague Dawley. Untuk mengantisipasi kemungkinan tejadinya
kematian pada tikus, maka di tambahkan 1 ekor tikus pada tiap-tiap
kelompok. Jadi, pada penelitian ini dibutuhkan 24 ekor tikus jantan Sprague
Dawley. Kelemahan dari rumus ini adalah semakin sedikitnya kelompok
maka akan semakin banyak jumlah sampel yang dibutuhkan serta sebaliknya,
maka untuk mengatasi hal tersebut perlu adanya penggunaan design statistik
yang tepat agar didapatkan hasil penelitian yang shahih (Shawet al, 2002).

3.5 Kriteria Inklusi dan Eklusi Penelitian


3.5.1 Kriteria inklusi
 Tikus SD jantan
 Sehat
 Berat badan 150 – 200 gram
 Umur 12 – 16 minggu

3.5.2 Kriteria Ekslusi


 Tikus tampak lelah, tidak bergerak secara aktif
 Terdapat gangguan pernafasan
 Bobot tikus menurun

3.6 Instrumen Penelitian


3.6.1 Alat Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kandang hewan
percobaan, timbangan, selang, spuit, plastik putih transparan, perlengkapan
bedah hewan (pinset, gunting, scalpel, meja lilin, jarum), alat pembuatan
preparat histologi, dan mikroskop.

3.6.2 Bahan penelitian


Tikus Galur Wistar jantan, makanan hewan percobaan, aquadest,
buffer formalin 10%, bahan pembuatan preparat, rokok konvensional bermerk
Sampoerna Mild, bensin pertalite dan HE (Hematoksilin dan Eosin, untuk
pewarnaan preparat).

3.7 Metode Penelitian


3.7.1 Perlakuan Terhadap Sampel
3.7.1.1 Adaptasi
Mengadaptasi tikus Galur Wistar sebanyak 24 ekor di Laboratorium
selama 7 hari dengan kelembapan dan suhu dijaga serta memberi pakan
standar dan minum secukupnya.
3.7.1.2 Randomisasi
Tikus Galur Wistar yang diadaptasi dipisah menjadi 4 kelompok
perlakuan secara acak, yaitu perlakuan kontrol (K) terdiri dari 6 tikus, P1
mendapatkan paparan uap bensin selama 8 jam/hari terdiri dari 6 tikus. P2
mendapatkan paparan uap bensin selama 12 jam/hari terdiri dari 6 tikus. P3
mendapatkan paparan uap bensin terdiri dari 6 tikus.
3.7.1.3 Prosedur Pengambilan Organ
Pada hari ke-28, tikus Galur Wistar diterminasi dan diambil organ
paru dengan cara mematikan hewan coba yang belum mati dengan cara
dislokasi leher, kemudian membaringkannya telentang. Membuat irisan
kecil pada kulit menggunakan gunting pada medial thorax. Mengambil
organ paru, membersihkan dari jaringan ikat maupun pembuluh darah yang
tersisa, kemudian diletakkan pada tabung kaca berisi cairan pengawet
formalin 10% buffer. Selanjutnya dilakukan pemrosesan jaringan dan blok
parafin.
3.7.1.4 Pembuatan Preparat dengan Pewarnaan Hematoksilin dan Eosin (HE)
Pembuatan preparat histologi paru dilakukan dengan langkah
sebagai berikut:
3.7.1.4.1 Tahap Fiksasi
Pada tahap ini, paru difiksasi pada larutan formalin 10% selama
12-18 jam sebaiknya diulang sebanyak 2 kali pada larutan yang
berbeda.

3.7.1.4.2 Tahap Dehidrasi


Pada tahap ini, paru yang telah difiksasi kemudian didehidrasi
pada larutan etanol 70% selama 1 jam, kemudian dipindahkan dalam
larutan etanol 80%, dilanjutkan kedalam larutan 95% sebanyak 2 kali
dan dalam etanol absolut selama 1 jam dan diulang sebanyak 2 kali
pada etanol absolut yang berbeda.
3.7.1.4.3 Tahap Clearing (penjernihan)
Pada tahap ini, paru yang telah didehidrasi kemudian diclearing
untuk menarik kadar etanol dengan menggunakan larutan xylol 1
selama 1 jam dan dilanjutkan ke larutan xylol II selama 1 jam.
3.7.1.4.4 Tahap Infiltrasi
Penyisipan cairan parafin ke dalam jaringan. Tujuan dari proses
ini adalah untuk mengadaptasikan dengan media parafin. Caranya
adalah masukkan organ ke dalam larutan xylol: parafin (1:1) selama 1
jam di dalam oven dengan suhu 55°-60°C. Jika infiltrasi dilakukan di
bawah suhu 55°C maka parafin cair akan cepat membeku dan jika
dilakukan pada suhu di atas 60°C maka organ dapat matang. Setelah
itu, organ dimasukkan ke dalam larutan parafin I, parafin II, dan
parafin III masing-masing selama 30 menit. Pemindahan harus
dilakukan secara cepat agar parafin tidak membeku.
3.7.1.4.5 Tahap Embedding
Pada tahap ini, paru dimasukkan kedalam kaset dan diinfiltrasi
dengan menuangkan parafin yang dicairkan pada suhu 56-58℃,
kemudian parafin dibiarkan mengeras dan dimasukkan ke dalam
freezer selama 2 jam.
3.7.1.4.6 Tahap Sectioning (pemotongan)
Pada tahap ini, paru yang sudah mengeras dilepaskan dari kaset
dan dipasang pada mikrotom kemudian dipotong setebal 5 micron
dengan pisau mikrotom. Hasil potongan dipotong dimasukkan ke
dalam water bath bersuhu 40℃ untuk merentangkan hasil potongan,
hasil potongan kemudian diambil dengan objek glass dengan posisi
tegak lurus dan keringkan.

3.7.1.4.7 Tahap Staining (Pewarnaan Hematoxyilin dan Eosin (HE)


Hasil potongan diwarnai dengan hematoxyilin eosin
(pewarnaan HE) melalui tahapan sebagai berikut:
3.7.1.4.7.1 Preparat direndam dalam larutan xylol 1 selama 2 menit.
3.7.1.4.7.2 Preparat diambil dari xylol I dan direndam dalam larutan xylol II
selama 2 menit.
3.7.1.4.7.3 Preparat diambil dari xylol II dan direndam dalam ethol absolut
selama 1 menit.
3.7.1.4.7.4 Preparat diambil dari etanol absolut dan direndam dalam etanol 95%
selama 1 menit.
3.7.1.4.7.5 Preparat diambil dari etanol 95% dan direndam etanol 50% selama 30
detik.
3.7.1.4.7.6 Preparat diambil dari etanol 95% dan direndam dalam running tap
water selama 5 menit.
3.7.1.4.7.7 Preparat diambil dari tap water dan direndam dalam mayer’s
haematoksilin (Haematoksilin kristal 1 g, aquadestilata 1000 ml,
sodium iodate 0,20 g, amonium 50 g, asam sitrat 1 g, chloral hydrat
50 g) selama 15 menit.
3.7.1.4.7.8 Preparat diambil dari larutan meyer dan direndam dalam running tap
water selama 2-3 menit.
3.7.1.4.7.9 Preparat diambil dari running tap water dan direndam dalam pewarna
eosin 1% selama 2 menit.
3.7.1.4.7.10 Preparat diambil dari larutan eosin kemudian dimasukkan
dalam etanol 95% selama 2 menit, kemudian dimasukkan ke dalam
etanol absolut selama 2 menit diulang 3 kali pada etanol absolut yang
berbeda.
3.7.1.4.7.11 Preparat diambil dan direndam dalam xylol III selama 2 menit,
kemudian dipindahkan dalam xylol IV selama 2 menit dan terakhir
dipindahkan dalam xylol V selama 2 menit.
3.7.1.4.7.12 Tahap Mounting dengan Entelan dan Deckglass
3.7.1.4.7.13 Slide dibiarkan kering pada suhu ruang.
3.7.1.4.7.14 Setelah slide kering siap untuk diamati
3.7.1.5 Pengamatan Histopatologi Paru Tikus

Mengamati gambaran histologi dari setiap preparat paru dengan


menggunakan miskroskop cahaya perbesaran 400 kali. Pada perbesaran 400
kali ini, setiap preparat diambil 5 lapang pandang secara acak untuk melihat
destruksi septum alveolar.

Jika pada dalam 1 lapang pandang terdapat gambaran membran


alveolus utuh, berinti dan lengkap dengan sel-sel endotel >75%, lumen
alveolus membulat dengan ukuran proporsional > 75% dan hubungan antar
alveolus rapat > 75% maka diberi skor 1 yang berarti terdapat destruksi ringan
ringan pada alveolus akibat pemaparan uap bensin atau normal.

Jika pada dalam 1 lapang pandang terdapat gambaran membran


alveolus utuh, berinti dan lengkap dengan sel-sel endotel 25% - 75%, lumen
alveolus membulat dengan ukuran proporsional 25% - 75% dan hubungan
antar alveolus rapat 25% - 75% maka diberi skor 2 yang berarti terdapat
destruksi septum sedang pada alveolus akibat pemaparan asap rokok
konvensional maupun kendaraan.

Jika pada dalam 1 lapang pandang terdapat gambaran membrane


alveolus utuh, berinti dan lengkap dengan sel-sel endotel < 25%, lumen
alveolus membulat dengan ukuran proporsional < 25% dan hubungan antar
alveolus rapat < 25% maka diberi skor 3 yang berarti terdapat destruksi
septum berat pada alveolus akibat pemaparan asap rokok konvensional
maupun kendaraan. Setelah didapat hasil dari 5 lapang pandang maka akan
dilakukan hitung persen dari seluruh lapang pandang untuk 1 preparat dengan
jumlah total dalam persen(%) dibagi 5 dan dikalikan. Sebagai contoh untuk 1
preparat didapatkan hasil total dari seluruh lapang pandang yaitu 250%, hasil
total 250 dibagi keseluruhan jumlah lapang pandang yaitu 5 maka hasil yang
didapat adalah 50%. Jadi 50% termasuk dalam destruksi septum alveolar
sedang.
Mengamati gambaran histologi dari setiap preparat paru dengan
menggunakan miskroskop cahaya perbesaran 400 kali. Pada perbesaran 400
kali ini, mengambil 5 lapang pandang secara acak. Hitung jumlah infiltrasi sel
radang menggunakan persentase dengan jumlah yang ada sel radang dibagi
jumlah keseluruhan sel yang normal lalu dikali 100% akan didapati hasil
berupa tidak ada peradangan atau terdapat sedikit infiltrasi sel radang pada
paru atau terdapat infiltrasi sel radang yang sedikit namun tersebar pada paru
atau infiltrasi sel radang padat / difusa pada paru.

Setelah didapati hasil dari destruksi septum alveolar dan infiltrasi sel
radang maka akan diambil kesimpulan untuk kerusakan alveolus meliputi :

1. normal atau tidak terdapat kerusakan, kerusakan ringan dimana terdapat


kerusakan alveolus paru < 30% dari kerusakan maksimal,
2. kerusakan sedang dimana terdapat kerusakan alveolus paru 30 % - 60%
dari kerusakan maksimal dan
3. kerusakan berat terdapat kerusakan alveolus paru> 60% dari kerusakan
maksimal.
Kesimpulan ini diambil dengan menggunakan nilai rata-rata dari destruksi
septum alveolar dan infiltrasi sel radang yang didapat pada masing-masing
preparat.
3.7.2 Alur Penelitian
Hari 18 ekor
1 tikus
Adaptasi

Hari Randomi
8 sasi

P1
Diberi P2 P3
K
makanan dan Diberi Diberi
Tidak
minuman makanan makanan
dipapapar secara ad dan dan
hanya libitum dan minuman minuman
diberi dipapar uap secara ad secara ad
makanan bensin 8 libitum dan libitum dan
dan jam/hari dipapar uap dipapar uap
minuman bensin 12 bensin 24
secara ad jam/hari jam/hari
Hari Termin
libitum
28 asi

Pengambila
n organ
paru untuk
pembuatan
Pengamatan dan identifikasi paru tikus
preparat
Galur Wistaryang meliputi destruksi
septum alveolar dan infiltrasi sel radang

Menganalisis perbandingan
kerusakan alveolus paru tikus
3.8 Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat : Laboratorium UNNES dan Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas
Kedokteran UNISSULA
Waktu : Juli 2018 – September 2018
3.9 Analisis Data
Data hasil penghitungan kerusakan alveolus paru kemudian dilakukan pengolahan
dengan program komputer.
Tahapan pengolahan :
3.9.1. Editing
Data hasil pengamatan dilakukan editing, yaitu pengecekan kembali data yang
diperoleh dari hasil pengamatan.
3.9.2. Coding
Setelah dilakukan pengeditan, selanjutnya merubah data kualiatif menjadi numerik
(angka) dengan cara pengkodean.
3.9.2.1. Perlakuan
Kode 1 : Kontrol (K)
Kode 2 : perlakuan rokok konvensional (P1)
Kode 3 : perlakuan asap kendaraan (P2)
3.9.2.2. Kriteria kerusakan alveolar
Kode 1 : kerusakan ringan
Kode 2 : kerusakan sedang
Kode 3 : kerusakan berat
3.9.3. Processing
Selanjutnya data dimasukkan kedalam program komputer untuk dilakukan
pemrosesan.
3.9.4. Cleaning
Setelah data dimasukkan kedalam program komputer dan diproses, dilakukan
pengecekan kembali meliputi ketidaklengkapan data, ataupun kesalan saat
memasukkan kedalam program komputer, selanjutnya dikoreksi.
Analisis data dengan menggunakan program komputer meliputi:
3.9.1 Analisis Univariat
Menghitung jumlah sampel dan rata-rata pada kerusakan alveolar dan infiltrasi sel
radang.
3.9.2 Analisis Bivariat
Data yang diperoleh akan dianalisis secara statistika dengan mengggunakan uji
Kruskal Wallis untuk mengetahui perbedaan yang bermakna dari keseluruhan
kelompok perlakuan, kemudian untuk mengetahui perbedaan diantara dua kelompok
perlakuan menggunakan uji statistika Mann Withney. Derajat kemaknaan yang
digunakan adalah 0,05.

Anda mungkin juga menyukai