Anda di halaman 1dari 21

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Tuberkulosis adalah (TB) adalah suatu penyakit menular yang paling sering mengenai parenkim paru,
biasanya yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. TB dapat menyebar hampir kesetiap bagian
tubuh, termasuk meningen, ginjal, tulang, dan nodus limfe. Infeksi awal biasanya terjadi dalam 2 sampai
10 minggu setelah pajanan.pasien kemudian dapat membentuk penyakit aktif karena respon sistem
imun menurun atau tidak adekuat.

TB ditularkan ketika seorang penderita penyakit paru aktif mengeluarkan organisme. Individu yang
rentan menghirup droplet dan menjadi terinfeksi. Bakteria di transmisikan ke alveoli dan memperbanyak
diri. Reaksi inflamasi menghasilkan eksudat di alveoli dan bronkopneumonia, granuloma, dan jaringan
fibrosa.

Saat ini Tuberkulosis masih meningkat meskipun banyak yang masih meyakini bahwa ini merupakan
masalah pada waktu lampau. Meskipun palng sering terlihat sebagai penyakit paru, TB dapat mengenai
selain paru (16%) dan mempengaruhi organ dan jaringan lain. Insiden lebih tinggi pada laku-laki, bukan
kulit putih, dan lahir dinegara asing. Selain itu, orang pada resiko paling tinggi termasuk yang dapat
terpajan pada basilus pada waktu lalu dan yang tidak mampu atau mempunyai kekebalan rendah karena
kondisi kronis, seperti AIDS, kanker, usia lanjut, malnutrisi, dan sebagainya.

TB merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia yang erat kaitannya dengan kemiskinan,
malnutrisi, kepadatan penduduk, perumahan dibawah standar, dan tidak memadainya layanan
kesehatan.

1.2 RUMUSAN MASALAH

a. Apa landasan teori atau teoritik yang dapat mendukung dalam pemberian asuhan keperawatan
dengan TB Paru?

b. Bagaimana penatalaksanaan untuk penderita TB Paru?

c. Bagaimana asuhan keperawatan pada penderita TB Paru?

1.3 TUJUAN

a. Tujuan umum

Agar mahasiswa memahami dan mampu mengetahui landasan teori pada penyakit TB Paru serta Asuhan
Keperawatan yang dapat muncul pada penderita TB Paru.

b. Tujuan Khusus

1. untuk mengetahui landasan teori atau teoritik yang mendukung pada asuhan keperawatan untuk TB
Paru.
2. Untuk memahami cara pembuatan asuhan keperawatan dengan penyakit TB Paru.

3. Untuk menentukan pengkajian pada pasien dengan penyakit TB Paru.

4. Untuk menentukan diagnosa pada pasien dengan

penyakit TB Paru.

5. Untuk menentukan rencana penatalaksanaan pada pasien

penyakit TB Paru.

1.4 MANFAAT

a. Untuk Mahasiswa

Dengan adanya penulisan ini

diharapkan dapat bermanfaat

serta sebagai bahan pembandingan tugas serupa.

b. Untuk masyarakat

Sebagai bahan informasi untuk menambah pengetahuan kesehatan

c. Untuk tenaga kesehatan

Penulisan ini diharapkan bisa dijadikan sebagai bahan

referensi untuk melakukan tindakan asuhan keperawatan pada kasus yang serupa.

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 DEFINISI

Tuberculosis paru-paru merupakan penyakit infeksi yang menyerang parenkim paru-paru yang
disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis.

Penyakit ini dapat juga menyebar ke bagian tubuh lain seperti meningen, ginjal, tulang, dan nodus limfe
(Irman Somantri, 2008).

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Tuberkulosis
(Mycobacterium tuberculosa) yang ditularkan melalui udara (droplet nuclei) saat seorang pasien
Tuberkulosis batuk dan percikan ludah yang mengandung bakteri tersebut terhirup oleh orang lain saat
bernapas (Widoyono, 2008)

Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi yang menyerang pada saluran pernafasan yang disebabkan
oleh bakteri yaitu mycobacterium tuberculosis, (Smeltzer, 2002).

Tuberkulosis merupakan infeksi paru akut atau kronis yang ditandai dengan infiltrasi paru dan
pembentukan granulasi dengan perkijuan, fibrosis, dan kavitasi. prognosis penyakit ini sangat bagus
dengan program pengobatan yang benar dan lengkap.

2.2 ETIOLOGI

Mycobacterium tuberkulosis

merupakan jenis kuman berbentuk batang berukuran panjang 1-4 mm dengan tebal 0,3-0,6 mm.
sebagian besar komponen M. tuberkulosis

adalah berupa lemak atau lipid sehingga kuman mampu tahan terhadap asam serta sangat tahan
terhadap zat kimia dan faktor fisik. Mikroorganisme ini adalah bersifat aerob yakni menyukai daerah
yang banyak oksigen. oleh karena itu, M. tuberkulosis senang tinggal di daerah apeks paru-paru yang
kandungan oksigennya tinggi. daerah tersebut menjadi tempat yang kondusif untuk penyakit
tuberkulosis.

2.3 MANIFESTASI KLINIS

Gejala utama TB paru adalah batuk lebih dari 4 minggu dengan atau tanpa sputum, malaise, gejala flu,
demam derajat rendah, nyeri dada, dan batuk darah.

Pasien TB Paru menampakkan gejala klinis, yaitu :

a. Tahap asimtomatis.

b. Gejala TB Paru yang khas, kemudian stagnasi dan regresi.

c. Eksaserbasi yang memburuk

d. Gejala berulang dan menjadi kronik.

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda :

a. Tanda-tanda infiltrate (redup, bronchial, ronki basah, dan lain-lain)

b. Tanda-tanda penarikkan paru, diafragma, dan mediatinum.

c. Secret di saluran napas dan ronkhi.

d. Suara napas amforik karena adanya kavitas yang berhubungan langsung dengan bronkus.
2.4 FAKTOR PENCETUS ATAU RESIKO

a. Kontak dekat dengan seseorang yang menderita TB aktif.

b. Riwayat terpajan TB sebelumnya.

c. Status gangguan imun (missal: lansia, kanker, HIV)

d. Penggunaan obat injeksi dan alkoholisme.

e. Masyarakat yang kurang mendapat pelayanan kesehatan yang memadai (missal : gelandangan,
penduduk miskin, minoritas, dll)

f. Kondisi medis yang sudah ada, termasuk diabetes, gagal ginjal kronis, silicosis, dan malnutrisi).

g. Imigran dari Negara dengan insidensi TB yang tinggi (misal:Asia Tenggara)

h. Institusionalisasi (misal: penjara)

i. Tinggal di lingkungan padat penduduk bawah standar.

j. Pekerjaan (misal: tenaga kesehatan)

2.5 PATOFISIOLOGI

Ketika seorang klien TB Paru batuk, bersin, atau berbicara, maka secara tidak sengaja keluarlah droplet
nuclei dan jatuh ke tanah, lantai, dan tempat lainnya. Akibat terkena sinar matahari atau suhu udara
yang panas, droplet nuclei menguap. Menguapnya bakteri droplei ke udara dibantu dengan pergerakan
angin akan membuat bakteri tuberculosis yang mengandung dalam droplet nuclei terbang ke udara.
Apabila bakteri ini dihirup oleh orang sehat, maka orang itu berpotensi terkena infeksi bakteri
tuberculosis. Penularan bakteri lewat udara disebut dengan istilah air borne infection. Bakteri yang
terhisap akan melewati pertahanan mukosilier saluran pernapasan dan masuk hingga alveoli. Pada titik
lokasi dimana terjadi implantasi bakteri, bakteri akan menggandakan diri (multiplying) . Bakteri
tuberculosis dan focus ini disebut focus primer, lesi primer, atau focus Ghon. Reaksi juga terjadi pada
jaringan limfe regional, yang bersama dengan focus primer disebut sebagai kompleks primer. Dalam
waktu 3-6 minggu, inang yang baru terkena infeksi akan menjdi sensitive terhadap protein yang dibuat
bakteri tuberculosis dan bereaksi positif terhadap tes tuberculin atau tes Mantoux.

Berpangkal dari komples primer, infeksi dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui berbagai jalan, yaitu :

1. Percabangan bronkus

Penyebaran infeksi lewat percabangan bronchus dapat mengenai area paru atau melalui sputum
menyebar ke laring (menyebabkan ulserasi laring), maupun ke saluran pencernaan.

2. Sistem saluran limfe


Penyebaran lewat saluran limfe menyebabkan adanya regional limfadenopati atau akhirnya secara tak
langsung mengakibatkan penyebaran lewat darah melalui duktus limfatikus dan menimbulkan
tuberculosis milier.

3. Aliran darah

Aliran vena pulmonalis yang melewati ke paru dapat membawa atau mengangkat material yang
mengandung bakteri tuberculosis dan bakteri ini dapat mencapai berbagai organ melalui aliran darah,
yaitu tulang, ginjal, kelenjar adrenal, otak, dan meningen.

4. Reaktivasi infeksi primer (infeksi pasca-primer)

Jika pertahanan tubuh (inang) kuat, maka infeksi primer tidak berkembang lebih jauh dan bakteri
tuberculosis tak dapat berkembang biak lebih lanjut dan menjadi dorman (tidur). Ketika suatu saat
kondisi inang melemah akibat sakit keras atau memakai obat yang dapat melemahkan daya tahan tubuh
terlalu lama, maka bakteri tuberculosis yang dorman dapat aktif kembali. Inilah yang disebut sebagai
reaktivasi infeksi primer atau infeksi pasca primer. Infeksi ini dapat terjadi bertahun-tahun setelah infeksi
primer terjadi. Selain itu, infeksi pasca primer juga dapat diakibatkan oleh bakteri tuberculosis baru.
Biasanya infeksi pasca primer terjadi didaerah apeks paru.

Tuberkulosis Primer

Tuberculosis primer adalah infeksi penderita TB dari penderita yang belum mempunyai reaksi spesifik
terhadap bakteri TB. Bila banteri TB terhirup dari udara melalui saluran pernapasan dan mencapai alveoli
atau bagian terminal saluran pernapasan, maka bakteri akan ditangkap dan dihancurkan oleh makrofag
yang berada di alveolar. Jika pada proses ini bakter ditangkap oleh makrofag lemah, maka bakteri akan
berkembang biak dalam tubuh makofag yang lemah dan menghancurkan makrofag. Dari proses ini
dihasilkan bahan kemoktasis yang menarik monosit dan aliran darah membentuk tuberkel.

Bakteri TB menyebar melalui saluran pernapasan ke kelenjar getah bening regional (hilus) membentuk
epiteloid granuloma. Granuloma mengalami nekrosis sentral sebagai akibat timbulnya hipersensitivitas
seluler ( delayed hipersensitivitas) terhadap bakteri TB. Hal ini terjadi sekitar 2-4 minggu dan akan
terlihat pada tes tuberkulin.

Bakteri TB yang berada di alveoli akan membentuk focus Ghon, sedangkan focus inisial bersama-sama
dengan limfadenopati bertempat di hilus dan disebut juga TB Primer. Bakteri menyebar lebih lanjut
melalui saluran limfe atau aliran darah dan akan tersangkut pada

berbagai organ. Jadi TB Primer merupakan infeksi yang bersifat sistematis.

Tuberculosis Sekunder

Setelah terjadi resolusi dari infeksi primer, sejumlah kecil bakteri TB masih hidup dalam keadaan dorman
di jaringan parut. Sebanyak 90% di antaranya tidak mengalami kekambuhan. Reaktivasi penyakit TB
terjadi bila daya tahan tubuh menurun.
Berbeda dengan TB Primer, pada TB sekunder kelenjar limfe regional dan organ lainnya jarang

terkena. Lesi lebih terbatas dan terlokalisasi. Reaksi imunologis terjadi dengan adanya pembentukan
granuloma. Nekrosis jaringan lebih mencolok dan menghasilkan lesi kaseosa (perkijuan) yang luas dan
disebut tuberkuloma. Protease yang dikeluarkan oleh makrofag aktif akan menyebabkan pelunakan
bahan kaseosa. Secara umum dapat dikatakan bahwa, pembentukan kavitas dan manifestasi lainnnya
dari TB Sekunder adalah akibat dari reaksi nekrotik yang dikenal sebagai hipersensitivitas seluler (delayed
hipersensitivitas).

TB Paru pasca primer dapat disebabkan oleh infeksi lanjutan dari sumber eksogan, terutama pada usia
tua, yang semasa mudanya pernah mempunyai riwayat terkena TB. Lesi sekunder berkaitan dengan
kerusakan paru, kerusakan paru diakibatkan oleh produksi sitokin yang berlebihan. Kavitas yang terjadi
diliputi oleh jaringan fibrotic yang tebal dan berisi pembuluh darah pulmonal. Kavitas yang kronis diliputi
oleh jaringan fibrotic yang tebal. Masalah lain pada kavitas yang kronis adalah kolonisasi jamur seperti
aspergillus yang menumbuhkan mycetoma (Isa,2001).

2.6 PATHWAYS

2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Pemeriksaan Rontgen Thoraks sangat berguna untuk mengevaluasi hasil pengobatan dan ini
tergantung pada tipe keterlibatan dan kerentanan bakteri tuberkel terhadap OAT, apakah sama baiknya
dengan respon dari klien. Penyembuhan yang lengkap sering kali yang terjadi di beberapa area dan ini
adalah observasi yang dapat terjadi pada penyembuhan yang lengkap.

b. CT scan atau MRI memperlihatkan adanya gangguan meluasnya kerusakan paru.

c. Radiologis TB Paru Milier

Pemeriksaan Laboratorium

Diagnostic terbaik dari penyakit TB diperoleh dengan pemeriksaan mikrobiologi melalui isolasi bakteri.
Bahan pemeriksaan untuk isolasi Mycobacterium Tuberculosis berupa :

a. Sputum, diambil pada pagi hari / sputum yang baru keluar.

b. Urine. Urine pertama di pagi hari

c. Cairan kumbah lambung. Pemeriksaan ini digunakan jika klien tidak dapat

mengeluarkan sputum.

d. Bahan-bahan lain, misalnya pus.

2.8 KOMPLIKASI

· Kerusakan jaringan paru yang masif


· Gagal napas

· Fistula bronkopleural

· Pneumotoraks

· Efusi Pleura

· Pneumonia

· Infeksi organ tubuh lain oleh focus mikrobakterial kecil

· Penyakit hati terjadi sekunder akibat terapi obat

2.9 PENATALAKSANAAN

Zain (2001) membagi penatalaksanaan tuberculosis paru menjadi tiga bagian yaitu pencegahan,
pengobatan, dan penemuan penderita (active case finding).

Pencegahan TB Paru

1. Pemeriksaan kontak yaitu pemeriksaan terhadap individu yang bergaul erat dengan penderita TB BTA
positif. Pemeriksaan meliputi : tes tuberculin, klinis, dan radiologis. Bila tes tuberculin positif maka
pemeriksaan radiologis foto thoraks diulang pada 6 dan 12 bulan mendatang. Bila masih negative
diberikan BCG vaksinasi.

2. Mass chest X-ray, yaitu pemeriksaan terhadap kelompok-kelompok populasi tertentu, misal : penghuni
rumah tahanan, petugas kesehatan, siswa-sisiwi pesantren.

3. Vaksinasi BCG

4. Kemoprofilaksis dengan menggunakan INH 5 mg/kgBB selama 6-12 bulan dengan tujuan
menghancurkan atau mengurangi populasi bakteri yang masih sedikit.

5. Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) tentang penyakit tuberculosis kepada masyarakat di tingkat
puskesmas maupun di tingkat rumah sakit.

Pengobatan Tuberkulosis Paru

Berikut penatalaksanaan pengobatan tuberkulosisi. Mekanisme Kerja Obat anti-Tuberkulosis (OAT).

a. Aktivitas bakterisidal, untuk bakteri yang membelah cepat

· Ekstraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Rifampisin (R) dan Streptomisin (S).

· Intraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Rifampisin (R) dan Isoniazid (INH).

b. Aktivitas sterilisasi, terhadap


the persisters (bakteri semidormant).

· Ekstraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Rifampisin (R) dan Isoniazid (INH).

· Intraseluler, untuk slowly growing bacilli digunakan Rifampisin dan Isoniazid. Untuk very slowly growing
bacilli, digunakan Pirazinamid (Z).

c. Aktivitas bakteriostatis, obat-obatan yang mempunyai aktivitas bakteriostatis terhadap bakteri


terhadap asam.

· Ekstraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Etambutol (E), asam pra amino salisilik (PAS), dan
sikloserine.

· Intraseluler, kemungkinan masih dapat dimusnahkan oleh Isoniazid dalam keadaan telah terjadi
resistensi sekunder.

Pengobatan TB terbagi dalam dua fase yaitu fase intensif ( 2-3 bulan ) dan fase lanjutan ( 4-7 bulan ).
Paduan obat yang digunakan terdiri atas obat utama dan obat tambahan. Jenis obat utama yang
digunakan sesuai rekomendasi WHO adalah Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid, Streptomisin, dan
Etambutol. (Depkes RI, 2004).

Disamping itu, perlu pemahaman tentang strategi penanggulangan TB yang dikenal dengan Directly
Observed Treatment Short Course (DOTSC). Lima komponen DOTSC yang direkomendasikan WHO yaitu :

1. Adanya komitmen politis berupa dukungan para pengambil keputusan dalam penanggulangan TB.

2. Diagnosis TB melalui pemeriksaan sputum secara makroskopik langsung, dan pemeriksaan penunjang
lainnya seperti pemeriksaan radiologis dan kultur.

3. Pengobatan TB dengan panduan OAT jangka pendek di bawah pengawasan langsung oleh PMO,
khususnya dalam dua bulan pertama di mana penderita harus minum obat setiap hari.

4. Kesinambungan ketersediaan panduan OAT jangka pendek yang cukup.

5. Pencatatan dan pelaporan yang baku.

Penemuan penderita. Terdapat empat kategori yaitu : kategori I,II,III, dan IV. Kategori ini didasarkan pada
urutan kebutuhan pengobatan.

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN TUBERKULOSIS PARU

3.1 PENGKAJIAN

Anamnese

A. Biodata
Nama, umur, kuman TBC menyerang semua umur, jenis kelamin, tempat tinggal (alamat), pekerjaan,
pendidikan dan status ekonomi menengah kebawah dan satitasi kesehatan yang kurang ditunjang
dengan padatnya penduduk dan pernah punya riwayat kontak dengan penderita TB patu yang lain. (dr.
Hendrawan Nodesul, 1996)

B. Keluhan Utama

· Keluhan Respiratorik, meliputi batuk, batuk darah, sesak napas, nyeri dada.

· Keluhan sistemis, meliputi demam, hilang timbul, dan keluahn sistemis lainnya seperti anoreksia,
penurunan BB, malaise, dan keringat malam.

C. Riwayat penyakit sekarang

Meliputi keluhan atau gangguan yang sehubungan dengan penyakit yang di rasakan saat ini. Dengan
adanya batuk, nyeri dada, keringat malam, nafsu makan menurun dan suhu badan meningkat
mendorong penderita untuk mencari pengonbatan. Perlu juga ditanyakan mulai kapan keluhan itu
muncul. Apa tindakan yang telah dilakukan untuk menurunkan atau menghilangkan keluhan-keluhannya
tersebut.

D. Riwayat Penyakit dahulu

Pengkajian yang mendukung adalah dengan mengkaji apakah sebelumnya klien pernah menderita TB
Paru, keluhan batuk lama pada masa kecil, pembesaran getah bening, dan penyakit lain yang
memperberat TB seperti diabetes mellitus.

E. Riwayat Penyakit Keluarga

Secara patologi TB Paru tidak diturunkan, tapi hal ini perlu ditanyakan sebagai factor predisposisi
penularan di dalam rumah

F. Pemeriksaan

a. Pemeriksaan Umum

Klien dengan TB paru biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh secara signifikan, frekuensi napas
meningkat apabila disertai sesak, denyut nadi meningkat, hipertensi.

b. Pemeriksaan Fisik

B1 (Breathing)

1. Inspeksi :

Bentuk dada dan gerakan pernapasan. Adanya penurunan proporsi diameter bentuk dada antero-
posterior dibandingkan proporsi diameter lateral. Gerakan pernapasan tidak simetris, sehingga terlihat
pada sisi sakit pergerakan dadanya tertinggal. Batuk dan sputum.
2. Palpasi : palpasi trachea dan gerakan dinding thoraks anterior / ekskrusi pernapasan.

3. Perkusi : terdapat bunyi sonor pada seluruh lapang paru.

4. Auskultasi : terdapat bunyi tambahan ronkhi.

B2 (Blood)

1. Inspeksi : inspeksi tentang adanya parut dan keluhan kelemahan fisik.

2. Palpasi : denyut nadi perifer melemah.

3. Perkusi : batas jantung mengalami pergeseran.

4. Auskultasi : TD normal, tidak terdapat bunyi jantung tambahan.

B3 (Brain)

Kesadaran compos mentis.

B4 (Bladder)

Dibiasakan dengan urine yang berwarna jingga pekat dan berbau yang menandakan fungsi ginjBal masih
normal sebagai ekskresi karena minum OAT.

B5 (Bowel)

Biasanya mengalami mual, muntah, anoreksia, penurunan BB.

B6 (Bone)

Gejala yang muncul antara lain kelemahan, kelelahan, insomnia, pola hidup menetap, dan jadwal
olahraga tidak teratur.

3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Bersihan jalan napas tidak efektif b/d secret kental dan mengandung nanah, Fatigue,

kemampuan batuk kurang, edema trachea/faring

2. Ketidakefektifan pola pernapasan b/d menurunnya ekspansi paru sekunder terhadap penumpukkan
cairan dalam rongga pleura.

3. Gangguan pertukaran gas b/d penurunan jaringan efektif paru, atelektasis, kerusakan membrane
alveolar-kapiler, dan edema bronchial.

4. Ketidakseimbangan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh b/d perasaan mual, batuk produktif.
5. Risiko penyebaran infeksi b/d tidak adekuatnya mekanisme pertahanan diri, kerusakan jaringan,
malnutrisi, paparan lingkungan, kurangnya pengetahuan untuk mencegah paparan kuman pathogen.

6. Risiko gangguan harga diri b/d image negative tentang penyakit, perasaan malu.

7. Kurangnya pengetahuan mengenai kondisi, aturan pengobatan b/d kurangnya informasi tentang
proses dan penatalaksanaan perawatan di rumah.

3.3 INTERVENSI

INTERVENSI KEPERAWATAN

No. Diagnosa

Keperawatan

Intervensi

Tujaun/KH Intervensi Rasional

1. Bersihan jalan napas tidak efektif b/d

- Sekret kental atau mengandung darah

- Fatigue

- Kemampuan batuk kurang

- Edema trakea / faring

Jalan napas bersih dan efektif setelah….hari perawatan

KH :

a. Pasien menyatakan bahwa batuk berkurang, tidak ada sesak dan secret berkurang.

b.suara napa normal

(vesikuler)

c.frekuensi napas 16-20

kali permenit (dewasa)

d. tidak ada dispnea

Independen

a. Mengkaji fungsi respirasi antara lain suara, jumlah, irama, dan kedalaman napas serta catatan pula
mengenai penggunaan otot napas tambahan.
b.Mencatat kemampuan untuk

mengeluarkann secret/batuk

secara efektif.

c.Mengatur posisi tidur semi

atau high fowler. Membantu

pasien untuk berlatih batuk

secara efektif dan menarik

napas dalam

d. membersihkan secret dari

dalam mulut dan trachea,

suction jika memungkinkan.

e. Memberikan minum kurang lebih 2.500 ml/hari, menganjurkan untuk minum dalam kondisi hangat
jika tidak ada kontra indikasi.

Kolaborasi

a. Memberikan O2 udara inspirasi yang lembap.

b. Memberikan pengobatan atas indikasi :

1) Agen mukolitik, misal: Acetilcystein (mucomyst)

2) Bronkodilator misal: Theophyline, Oxtriphyline

3) Kortikosteroid (prednisone), misal: Dexamethason.

c. Memberikan agen anti infeksi , misal :

1) Obat primer : Isoniazid (INH), Ethambutol (EMB), Rifampisin (RMP).

2) Pyrazinamide (PZA), Para Amino Slicilic (PAS), Streptomycin.

3) Monitor pemeriksaan Laboratorium (sputum)

a. Adanya perubahan fungsi respiasi dan penggunaan otot tambahan menandakan kondisi penyakit yang
masih dalam kondisi penanganan penuh.

b. Ketidakmampuan mengeluarkan secret menjadikan timbulnya penumpukan berlebihan pada saluran


pernapasan.
c. posisi semi/high fowler memberikan kesempatan paru-paru berkembang secara maksimal akibat
diafragma turun ke bawah. Batuk efektif mempermudah ekspektorasi mucus.

d. Pasien dalam kondisi sesak cenderung untuk bernapas melalui mulut yang jika tidak ditindaklanjuti
akan mengakibatkan stomatitis.

e. Air digunakan untuk menggantikan keseimbangan cairan tubuh akibat cairan banyak keluar melalui
pernapasan. Air hangat akan mempermuda pengenceran secret melalui proses konduksi yang
mengakibatkan arteri pada area sekitar leher vasodilatasi dan mempermudah cairan dalam pembuluh
darah dapat diikat oleh mucus/secret.

a. Berfungsi meningkatkan kadar tekanan parsial O2 dan saturasi O2 dalam darah.

b. Berfungsi untuk mengencerkan dahak

Meningkatkan/ memperlebar saluran udara.

Mempertebal dinding saluran udara (bronchus)

c. Menurunnya keaktifan dari mikroorganisme akan menurunkan respons inflamasi sehingga akan
berefek pada berkurangnya produksi secret.

2. Ketidakefektifan pola pernapasan b/d menurunnya ekspansi paru sekunder terhadap penumpukkan
cairan dalam rongga pleura.

Tujuan : dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan intervensi pola napas kembali efektif.

KH :

a. Klien mampu melakukan batuk efektif.

b. Irana, frekuensi, dan kedalaman pernapasan berada pada batas normal, pada pemeriksaan rontgen
dada tidak ditemukan adanya akumulasi cairan, bunyi napas terdengar jelas.

a. Identifikasi factor penyebab.

b. Kaji fungsi pernapasan, catat kecepatan pernapasan, dispnea, sianosis, dan perubahan tanda vital.

c. Berikan posisi fowler/semifowler tinggi dan miring pada sisi yang sakit, bantu klien latihan napas
dalam dan batuk efektif.

d. Auskultasi bunyi napas

e. Kaji pengembangan dada sdan posisi trachea.

f. Kolaborasi untuk tindakan thorakosentesis atau WSD

g. Bila dipasang WSD : periksa mengontrol pengisap dan jumlah isapan yang benar.
h. Periksa batas cairan pada botol pengisap dan pertahankan pada batas yang ditentukan.

i. Observasi gelembung udara dalam botol penampung

j. An Setelah WSD dilepas, tutup sisi lubang masuk dengan kassa steril dan observasi tanda yang dapat
menunjukkan berulangnya pneumothorak seperti napas pendek keluhan nyeri.

a. Dengan mengidentifikasikan penyebab, kita dapat menentukan jenis efusi pleura sehingga dapat
mengambil tindakan yang tepat.

b. Distress

pernapasan dan perubahan tanda vital dapat terjadi sebagai akibat stress fisiologi dan nyeri atau dapat
menunjukkan terjadinya syok akibat hipoksia.

c. Posisi fowler memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya bernapas. Ventilasi maksimal
membuka area atelektasis dan meningkatkan gerakan secret ke jalan napas besar untuk dikeluarkan.

d. Bunyi napas dapat menurun atau tidak ada pada area kolaps yang meliputi satu lobus, segmen paru,
atau seluruh area paru.

e. Ekspansi paru menurun pada area kolaps. Deviasi trakea kea rah sisi yang sehat pada tension
pneumothorak.

f. Bertujuan sebagai evakuasi cairan atau udara dan memudahkan ekspansi paru secara maksimal.

g. Bertujuan sebagai evakuasi cairan atau udara dan memudahkan ekspansi paru secara maksimal.

h. Air dalam botol penampung berfungsi sebagai sekat yang mencegah udara atmosfer masuk kedalam
pleura.

i. Gelembung udara selama ekspirasi menunjukkan keluarnya udara dari pleura sesuai dengan yang
diharapkan. Gelembung biasanya menurun seiring dengan bertambahnya ekspansi paru. Tidak adanya
gelembung udara dapat menunjukkan bahwa ekspansi paru sudah optimal atau tersumbatnya selang
drainese.

j. Deteksi dini terjadinya komplikasi penting seperti berulangnya pneumothoraks.

3. Gangguan pertukaran gas b/d penurunan jaringan efektif paru, atelektasis, kerusakan membrane
alveolar-kapiler, dan edema bronchial.

Tujuan : dalam waktu 2x24 jam setelah diberikan gangguan pertukaran gas tidak terjadi.

KH :

a. Melaporkan penurunan dispnea.

b. Klien menunjukkan tidak ada gejala distres pernapasan.


c. Menunjukkan perbaikan ventilasi dan kadar oksigen jaringan adekuat gas darah arteri dalam rentang
normal.

Mandiri

a. Kaji dispnea, takipnea, bunyi napas, peningkatan upaya pernapasan, ekspansi thoraks, dan kelemahan.

b.Evaluasi perubahan tingkat

kesadaran, catat sianosis, dan

perubahan warna kulit,

termasuk membrane mukosa

dan kuku.

c.Tunjukkan dan dukung

pernapasan bibir selama

ekspirasi khusunya untuk

klien dengan fibrosis dan

kerusakan parenkim paru.

d.Tingkatkan tirah baring,

batasi aktivitas, dan bantu

kebutuhan perawatan diri

sehari-hari sesuai keadaan

klien.

Kolaborasi

a. Pemeriksaan AGD

b. Pemberian oksigen sesuai kebutuhan tambahan.

c. Kortikosteroid.

d. TB paru mengakibatkan efek luas pada paru dari bagian kecil bronchopneumonia sampai inflamasi
difus yang luas, nekrosis, efusi pleura, dan fibrosis yang luas. Efeknya terhadap pernapasan bervariasi
dari gejala ringan, dispnea berat, sampai distress pernapasan.

b.Akumulasi secret dan


berkurangnya jaringan paru yang

sehat dapat mengganggu

oksigenasi organ vital dan

jaringan tubuh.

c.Membuat tahanan melawan udara

luar untuk mencegah kolaps atau

penyempitan jalan napas sehingga

membantu menyebarkan udara

melalui paru dan mengurangi

napas pendek.

d.Menurunkan konsumsi oksigen

selama periode penurunan

pernapasan dan dapat

menurunkan beratnya gejala.

a. Penurunan kadar O2 atau saturasi dan peningkatan PCO2 menunjukkan kebutuhan untuk intervensi
atau perubahan program terapi.

b. Terapi oksigen dapat mengoreksi hipoksia yang terjadi akibat penurunan ventilasi atau menurunnya
permukaan alveolar kapiler.

c. Kortikosteroid berguna dengan keterlibatan luas pada hipoksemia dan bila reaksi inflamasi
mengancam kehidupan.

4. ketidakseimbangan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh b/d perasaan mual, batuk produktif.

Tujuan : keseimbangan nutrisi terjaga setelah….. hari perawatan dengan

KH :

a. Perasaan mual hilang/berkurang.

b.Pasien mengatakan nafsu

makan meningkat.

c.Berat badan pasien tidak


mengalami penurunan

drastic dan cenderung

stabil.

d.Pasien terlihat dapat

menghabiskan porsi

makan yang disediakan.

e.Hasil analisis

laboratorium menyatakan

protein darah / albumin

darah dalam rentang

normal.

Independen

a.

Mendokumentasikan status nutrisi pasien, serta mencatat turgor kulit, berat badan saat ini, tingkat
kehilangan berat badan, integritas mukosa mulut, tonus perut, dan riwayat nausea atau diare.
Memonitor intake-output dan berat badan secara maksimal.

b. Memberikan oral care sebelum dan sesudah penatalaksanaan respiratory.

c. Menganjurkan makan sedikit, tapi sering dengan diet TKTP.

d. Menganjurkan keluarga untuk membawa makanan dddari rumah terutama yang disukai pasien dan
kemudian makan dengan pasien jika tidak ada kontraindikasi.

Kolaborasi

a. Mengajukan kepada ahli gizi untuk menentukan komposisi diet.

b. Memonitor pemeriksan laboratorium, misal : BUN, serum protein, dan albumin.

c. Memberikan vitamin sesuai indikasi.

a. Menjadi data focus untuk menetukan rencana tindakan selanjutnya.

b. Meningkatkan kenyamanan daerah mulut sehingga akan meningkatkan perasaan nafsu makan.

c. Meningkatkan
intake makanan dan nutrisi pasien, terutama kadar protein tinggi yang dapat meningkatkan mekanisme
tubuh dalam proses penyembuhan.

d. Merangsang pasien untuk bersedia meningkatkan

intake makanan yang berfungsi sebagai sumber energi bagi penyembuhan.

a. Menentukan kebutuhan nutrisi yang tepat bagi pasien.

b. Mengontrol keefektifan tindakan terutama dengan kadar protein darah.

c. Meningkatkan komposisi tubuh akan kebutuhan vitamin dan nafsu makan pasien.

5. Risiko penyebaran infeksi b/d tidak adekuatnya mekanisme pertahanan diri, kerusakan jaringan,
malnutrisi, paparan lingkungan, kurangnya pengetahuan untuk mencegah paparan kuman pathogen.

Tujuan : penyebaran infeksi tidak terjadi selama perawatan dengan

KH :

a. Pasien dapat memperlihatkan perilaku sehat (menutup mulut saat batuk dan bersin)

b.Tidak muncul tanda-

tanda infeksi lanjutan.

c.Tidak ada anggota

keluarga/orang terdekat

yang tertular penyakit

seperti penderita.

Independen

a. Me-kajian patologi penyakit (fase aktif dan inaktif) dan potensial penyebaran infeksi melalui airborne

droplet selama batuk, bersin, meludah, berbicara, tertawa, dll.

b. Mengidentifikasi risiko penularan kepada orang lain seperti anggota keluarga dan teman dekat.
Menginstruksikan kepada pasien jika batuk/ bersin, maka ludahkan ke tissue.

c. Menganjurkan penggunaan tissue untuk membuang sputum. Me-review pentingnya mengontrol


infeksi, misalnya dengan menggunakan masker.

a. Untuk mengetahui kondisi nyata dari masalah pasien fase inaktif tidak berarti tubuh pasien sudah
terbebas dari kuman tuberculosis.
b. Mengurangi resiko anggota keluarga untuk tertular dengan penyakit yang sama dengan pasien.

c. Penyimpanan sputum pada wadah yang terdesinfeksi dan penggunaan masker dapat meminimalkan
penyebaran infeksi melalui droplet.

6. Risiko gangguan harga diri b/d image negative tentang penyakit, perasaan malu.

Tujuan : harga diri pasien dapat terjaga atau tidak terjadi gangguan harga diri dengan,

KH :

a. Pasien mendemonstrasikan/ menunjukkan aspek positif dari dirinya.

b.Pasien mampu bergaul

dengan orang lain tanpa

merasa malu.

Independen

a. Mengkaji ulang konsep diri pasien.

b. Memberikan penghargaan pada setiap tindakan yang mengarah kepada peningkatan harga diri.

c. Menjelaskan tentang kondisi pasien.

d. Melibatkan pasien dalam setiap kegiatan.

a. Mengetahui aspek diri yang negative dan positif, memungkinkan perawat menentukan rencana
lanjutan.

b. Pujian dan perhatian akan meningkatkan harga diri pasien.

c. Pengetahuan tentang kondisi diri akan menjadi dasar bagi pasien untuk menentukan kebutuhan bagi
dirinya.

d. Perlibatan pasien dalam kegiatan akan meningkatkan mekanisme koping pasien dalam menangani
masalah.

7. Kurangnya pengetahuan mengenai kondisi, aturan pengobatan b/d kurangnya informasi tentang
proses dan penatalaksanaan perawatan di rumah.

Tujuan : dalam waktu 1x24 jam klien mampu melaksanakan apa yang telah diinformasikan.

KH : klien terlihat mengalami penurunan potensi menularkan penyakit yang ditunjukkan oleh kegagalan
kontak klien.
a. Kaji kemampuan klien untuk mengikuti pembelajaran (tingkat kecemasan, kelelahan umum,
pengetahuan klien sebelumnya dan suasana yang tepat).

b. Jelaskan tentang dosis obat, frekuensi pemberian, kerja yang diharapkan, dan alasan mengapa
pengobatan TB berlangsung dalam waktu lama.

c. Ajarkan dan nilai kemampuan klien untuk mengidentifikasi gejala/tanda reaktivasi penyakit
(hemoptisis, demam, nyeri dada, kesulitan bernapas, kehilangan pendengaran, dan vertigo).

d. Tekankan pentingnya mempertahankan intake nutrisi yang mengandung protein dan kalori yang tinggi
serta intake cairan yang cukup setiap hari.

a. Keberhasilan proses pembelajaran dipengaruhi oleh kesiapan fisik, emosional, dan lingkungan yang
kondusif.

b. Meningkatkan partisipasi klien dalam program pengobatan dan mencegah putus obat karena
membaiknya kondisi fisik klien sebelum jadwal terapi selesai.

c. Dapat menunjukkan pengaktifan ulang proses penyakit dan efek obat yang memerlukan evaluasi
lanjut.

d. Diet TKTP dan cairan yang adekuat memenuhi peningkatan kebutuhan metabolic tubuh. Pendidikan
kesehatan tentang hal itu akan meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan penyakitnya.

BAB IV

PENUTUP

5.1 KESIMPULAN

Tuberculosis paru-paru merupakan penyakit infeksi yang menyerang parenkim paru-paru yang
disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis.

Penyakit ini dapat juga menyebar ke bagian tubuh lain seperti meningen, ginjal, tulang, dan nodus limfe
(Irman Somantri, 2008).

Pada pemeriksaan fisik dengan penderita TB Paru dapat ditemukan tanda-tanda :

a. Tanda-tanda infiltrate (redup, bronchial, ronki basah, dan lain-lain)

b. Tanda-tanda penarikkan paru, diafragma, dan mediatinum.

c. Secret di saluran napas dan ronkhi.

d. Suara napas amforik karena adanya kavitas yang berhubungan langsung dengan bronkus.
Keluhan utama yang sering terjadi pada penderita TB Paru yaitu Keluhan Respiratorik, meliputi batuk,
batuk darah, sesak napas, nyeri dada. Keluhan sistemis, meliputi demam, hilang timbul, dan keluahn
sistemis lainnya seperti anoreksia, penurunan BB, malaise, dan keringat malam.

5.2 SARAN

Laporan pendahuluan serta asuhan keperawatan pada tugas ini masih perlu penyempurnaan supaya bisa
digunakan sebagai acuan untuk melakukan tindakan asuhan keperawatan. Oleh karena itu kami berharap
atas sumbangan

kritk dan saran untuk perbaikan kedepannya.

DAFTAR PUSTAKA

· Doenges, 2000. “ Rencana Asuhan Keperawatan, edisi 3.” Jakarta : EGC.

· Kapita Selekta Penyakit Nurse’s Quick Check. edisi 2, alih bahasa Dwi Widiarti, 2011. Jakarta : EGC

· Mansjoer, Arif, Kartini, dkk. 1999. “ Kapita Selekta Kedokteran.”

Fakultas Kedokteran UI : Media Aesculapius.

· Muttaqin, Arif, 2008. “ Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Pernapasan.” Jakarta :
Salemba Medika.

· Smeltzer, S.C., 2013. “Keperawatan Medikal Bedah Brunner and Suddarth, edisi 12”. Jakarta : EGC,

· Somantri, Irman, 2008. “ Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan.”
Jakarta: Salemba Medika.

· Wilkinson Judith M, Ahern Nancy R, 2011. “ Buku Saku Diagnosis Keperawatan, edisi 9,Diagnosis
NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC.” Jakarta : EGC

Diposting 28th December 2014 oleh Fatimatus Zahro

28

DEC LAP

Anda mungkin juga menyukai