Anda di halaman 1dari 23

VARICELLA ATAU CACAR AIR

A. Gambaran Umum
Varicella merupakan infeksi akut primer oleh virus varisela zoster yang
menyerang kulit dan mukosa. Disebut juga cacar air atau chicken pox. Transmisi
terjadi melalui udara (Mansjoer, 2014). Cacar (varisela) adalah infeksi yang
sangat menular oleh virus varicella zoster yang menyerang kulit serta mukosa
yang ditandai dengan adanya vesikel-vesikel. Penyakit ini umum dan sangat
menular dan mempengaruhi hampir semua anak rentan sebelum masa remaja.
Infeksi varisela pada individu hanya sekali. Pada saat pertama kali terinfeksi
(penyakit primer dimanifestasikan sebagai cacar air) banyak penderita akan
mengalami sakit secara umum dengan ruang, demam dan lemah. Periode inkubasi
sekitar 2 minggu (dalam rentang 10-21 hari). Semua prodoma dengan kelemahan
imun (sering diketahui sekitar 2 hari sebelum kemerahan muncul). (Robert, dkk.,
2007).
Cacar air biasanya merupakan penyakit yang tidak parah pada anak-anak,
dan hampir semua anak sembuh tanpa kesulitan. Penyakit ini bersifat self limiting
disease dengan komplikasi yang jarang. Varicella dikaitkan dengan respon imun
humoral. Respon ini menginduksi sistem imun untuk membentuk sel memori.
Varicella pada anak mempunyai tanda yang khas berupa masa prodromal yang
pendek dengan adanya bercak gatal disertai dengan papul, vesikel, pustula, dan
pada akhirnya, crusta, walaupun banyak juga lesi kulit yang tidak berkembang
sampai vesikel (Djuanda, dkk., 2011 dan Kirsten, dkk, 2012).

B. Insidensi
Varisela merupakan penyakit yang berdistribusi luas di seluruh dunia.
Sebelum pemakaian vaksin varicella meluas, 4 juta kasus cacar dilaporkan setiap
tahun. Data prevalensi nasional untuk 1988-1994 menunjukkan bahwa 95,5%
orang dewasa berusia 20-29 tahun, 98,9% orang dewasa berusia 30-39 tahun, dan
lebih dari 99,6% orang dewasa yang lebih tua dari 40 tahun yang kebal terhadap
varicella. Insiden maksimum varicella pada populasi yang tidak divaksinasi
adalah pada anak usia 1-6 tahun. Anak berusia lebih 14 tahun berjumlah 10% dari
kasus varicella. Penyakit ini mencatat kasus 11.000 rawat inap setiap tahun dan
sekitar 50-100 kematian. Di negara barat kejadian varisela terutama meningkat
pada musim dingin danawal musin semi, sedangkan di Indonesia virus menyerang
pada musimperalihan antara musim panas ke musim hujan atau sebaliknya.
(Saavedra, 2008).
Berdasarkan data yang di peroleh di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado periode Januari-Desember 2012 ditemukan insidens varisela sebesar
2,68%. Varisela ditemukan terbanyak pada kelompok umur dewasa muda yaitu 15
sampai 24 tahun, yaitu 9 kasus (33,3%), kasus pada perempuan lebih banyak
dibanding laki-laki, dengan jumlah 16 kasus (59,3%), dan laki-laki dengan 11
kasus (40,7%). Musim kejadian tersering adalah musim panas yaitu bulan April
sampai September, dengan jumlah 15 kasus (55,6%), dan musim hujan terdapat
12 kasus (44,4%). Sumber penularan varisela tidak diketahui (tidak ada data
lengkap), dan terapi yang paling sering diberikan adalah terapi kombinasi antara
antivirus dan antibiotik (topikal atau sistemik), dengan jumlah 15 kasus (55,6%).
Antivirus tropikal dengan 10 kasus (37,0%) dan antibiotik tropikal 2 kasus
(7,4%).

C. Etiologi
Infeksi varicella disebabkan oleh Varicella Zoster Virus (VZV), VZV ini
adalah virus herpes manusia neurotropik dengan kemiripan dengan virus herpes
simpleks, yang juga α-virus herpes. Virus ini memiliki diameter kira-kira 150-200
nm. Inti virus disebut capsid, Virus ini terbungkus dengan genom DNA beruntai
ganda yang menyandikan lebih dari 70 protein, termasuk protein yang merupakan
target imunitas seluler dan humoral. Rantai ganda, yaitu terdiri dari rantai pendek
(S) dan rantai panjang (L) dan membentuk suatu garis dengan berat molekul 100
juta yang disusun dari 162 kapsomir dan sangat infeksius. Varicella Zoster Virus
(VZV) dapat ditemukan dalan cairan vesikel dan dalam darah penderita varisela
sehingga mudah dibiakkan dalam media yang terdiri dari fibroblas paru embrio
manusia. VZV ini dapat menginfeksi sel epidermal, sel neuron, sel T, dan
fibroblas. (Kirsten, dkk, 2012).
Normalnya, varisela merupakan penyakit ringan. Tetapi dapat
menimbulkan komplikasi yang serius, termasuk Pneumonia, Encephalitis, dan
infeksi bakteri serius pada Vesikel Varisela. Setelah menyebabkan serangan
Varisela, VZV tinggal dalam tubuh. Tetapi dormant yang tinggal dalam sel saraf
dapat aktif kembali di saat mendatang untuk menyebabkan shingles / herpes
zoster. Varicella Zoster Virus menyebabkan infeksi primer dan serangan kembali.
Infeksi primer dimanifestasikan sebagai varicella (cacar air) dan berakibat pada
pembentukan infeksi laten seumur hidup pada neuron ganglion sensorik.
Reaktivasi infeksi laten menyebabkan herpes zoster (shingles). Meskipun sering
sakit ringan pada masa kanak-kanak, cacar air dapat menyebabkan morbiditas dan
mortalitas pada anak-anak yang sehat (Burns, dkk, 2007).

D. Manifestasi Klinis

Masa inkubasi Varicella bervariasi antara 10 hinga 21 hari, rata-rata 10


hingga 14 hari. Penyebaran varicella terutama secara langsung melalui udara
dengan perantaraan percikan liur. Pada umumnya tertular dalam keluarga atau
sekolah (Wolff, dkk 2008 dan Johnson, dkk, 2009).
Menurut Wolff, dkk (2008) dan Johnson, dkk, (2009) perjalanan penyakit
ini dibagi menjadi 2 stadium, yaitu:
1. Stadium Prodromal: 24 jam sebelum kelainan kulit timbul, terdapat gejala
panas yang tidak terlalu tinggi, perasaan lemah (malaise), sakit kepala,
anoreksia, rasa berat pada punggung dan kadang-kadang disertai batuk
keringdiikuti eritema pada kulit dapat berbentuk scarlatinaform atau
morbiliform. Panas biasanya menghilang dalam 4 hari, bilamana panas
tubuh menetap perlu dicurigai adanya komplikasi atau gangguan imunitas.
2. Stadium erupsi: dimulai saat eritema berkembang dengan cepat (dalam
beberapa jam) berubah menjadi macula kecil, kemudian papula yang
kemerahan lalu menjadi vesikel. Vesikel ini biasannya kecil, berisi cairan
jernih, tidak umbilicated dengan dasar eritematous, mudah pecah serta
mongering membentuk krusta, bentuk ini sangat khas dan lebih dikenal
sebagai “tetesan embun”/”air mata”.

Lesi kulit mulai nampak di daerah badan dan kemudian menyebar secara
sentrifugal ke bagian perifer seperti muka dan ekstremitas. Dalam perjalanan
penyakit ini akan didapatkan tanda yang khas yaitu terlihat adanya bentuk papula,
vesikel, krusta dalam waktu yang bersamaan, dimana keadaan ini disebut
polimorf. Erupsi kelamaan atau terlambatnya berubah menjadi Bila terjadi infeksi
sekunder, sekitar lesi akan tampak kemerahan dan bengkak serta cairan vesikel
yang jernih berubah menjadi pus disertai limfadenopati umum. Vesikel tidak
hanya terdapat pada kulit, melainkan juga terdapat pada mukosa mulut, mata, dan
faring (Wolff, dkk 2008 dan Johnson, dkk, 2009).

E. Patofisiologis

Virus Varicella Zoster masuk dalam tubuh manusia melalui mukosa nafas
atau orofaring, kemudian terjadi replikasi virus menyebar melalui pembuluh darah
dan limfe (viremia primer) kemudian berkembang biak di sel retikuloendotelial
setelah itu menyebar melalui pembuluh darah (viremia kedua) maka timbul
demam dan malaise (Kirsten, dkk, 2012)

Pada sebagian besar individu replikasi virus dapat mengatasi pertahanan


tubuh yang belum berkembang sehingga dua minggu setelah infeksi terjadi
viremia sekunder dalam jumlah yang lebih banyak . Permulaan bentuk lesi pada
kulit mungkin adalah infeksi dari kapiler endotelial pada lapisan papila dermis
menyebar ke sel epitel pada epidermis, folikel kulit dan glandula sebasea dan
terjadi pembengkakan. Lesi pertama ditandai dengan adanya makula yang
berkembang cepat menjadi papula, vesikel dan akhirnya menjadi krusta. Jarang
lesi yang menetap dalam bentuk makula dan papula saja. Vesikel ini akan berada
pada lapisan sel dibawah kulit. Dan membentuk atap pada stratum korneum dan
lusidum, sedangkan dasarnya adalah lapisan yang lebih dalam. Degenarasi sel
akan diikuti dengan terbentuknya sel raksasa berinti banyak, dimana kebanyakan
dari sel tersebut mengandung inclusion body intranuclear Virus dapat menetap
dan laten pada sel saraf. Lalu dapat terjadi reaktivitas maka dapat terjadi herpes
zoster. Sel mediasi imunitas untuk VZV juga berkembang selama varicella,
berlangsung selama bertahun-tahun, dan melindungi terhadap terjadinya resiko
infeksi yang berat. (Burns, dkk, 2007 dan Kirsten, dkk, 2012)

F. Manifestasi Oral
Pada penderita varicella diawali dengan lesi pada daerah wajah dan scalp,
kemudian akan meluas ke daerah dada dan ekstremitas. Lesi ini juga dapat mucul
pada mukosa mulut sehingga terdapat benjolan berair, mulut terasa kering dan
sakit, kemudian dapat terdapat banyak sariawan muncul di dalam mulut. Lesi
akan terasa gatal dan memiliki gambaran yang khas yang terdaat pada stadium lesi
(Murray, dkk, 2008).

G. Terapi
Terapi Varisela bersifat terapi simptomatik, namun pada kondisi tertentu
misalnya pada penderita yang mengalami imunosupresi atau pada komplikasi
berat sebaiknya digunakan obat antivirus. Obat antivirus yang bisa digunakan
adalah Asiklovir 800 mg 3 kali sehari untuk 5-7 hari. Asiklovir oral yang
digunakan dengan dosis tinggi untuk 800 mg, 5 kali sehari untuk 7-10 hari dapat
memperpendek waktu penyakit dan mengurangi sedikit nyeri bagi orang dewasa.
Bagi anak, dosis yang sering digunakan adalah 20 mg/kgBB 4 kali sehari untuk 5
hari. Asiklovir termasuk kedalam golongan antivirus yang disebut synthetic
nucleoside analogues yang bekerja dengan cara menghentikan penyebaran virus
di dalam tubuh dan acsiklovir diberikan sedini mungkin setelah gejala-gejala
mulai muncul. Analgetik dan antipiretik untuk mengatasi keluhan gatal, bedak
untuk menghilangkan gatal dan mencegah vesikel pecah, antibiotik untuk
mencegah infeksi sekunder (Mansjoer, 2014).

H. Daerah Endemik di Indonesia


walaupun belum pernah dilakukan penelitian agaknya penyakit virus
menyerang pada musim peralihan antara musim panas ke musim hujan atau
sebaliknya. Angka kejadian di negara kita belum pernah diteliti, tetapi diAmerika
dikatakan kira-kira 3,1-3,5 juta kasus dilaporkan tiap tahun (Narkeviciute, 2012).
Data Dinas Kesehatan Kab.Banyumas menyebutkan, selama periode
Januari hingga November 2007, sedikitnya 671 warga terkena penyakit cacar air.
Jumlah penderita terbanyak pada Kec. Kembaran dengan 155 pasien, kemudian
kecamatan Kalibagor 79 penderita, dan kecamatan Karanglewas 75 orang. Kepala
Bidang pemberantasan penyakit menular dan penyehatan Lingkungan Dinkes
mengatakan terdapat lebih dari lima ratus penderita, akan tetapi jumlah tersebut
menurun dibandingkan tahun 2006. Data Dinkes 2006 mencatat jumlah penderita
cacar air sebanyak 1.771 orang. (Timreck dan Thomas, 2004).
Varisella di poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado periode Januari-Desember 2012 ditemukan insidens varisela sebesar
2,68%. Varisela ditemukan terbanyak pada kelompok umur dewasa muda yaitu 15
sampai 24 tahun, yaitu 9 kasus (33,3%), kasus pada perempuan lebih banyak
dibanding lakilaki, dengan jumlah 16 kasus (59,3%), musim kejadian tersering
adalah musim panas yaitu bulan April sampai September, dengan jumlah 15 kasus
(55,6%), sumber penularan varisela tidak diketahui (tidak ada data lengkap), dan
terapi yang paling sering diberikan adalah terapi kombinasi antara antivirus dan
antibiotik (topikal atau sistemik), dengan jumlah 15 kasus (55,6%).

I. Daerah Endemik di Luar Indonesia

Kejadian tahunan diperkirakan pada 80-90 juta kasus. Sebagian besar


negara berkembang memiliki tingkat imunisasi rendah karena biaya yang
dibutuhkan, dan penyakit varicella adalah risiko bagi wisatawan ke negara-negara
tersebut. Di Eropa dan Amerika Utara kasus terjadi 90% pada anak dengan usia <
10 tahun dan sebesar 5% pada individu >15 tahun dan untuk daerah tropis lebih
sering menyerang remaja. Varisela sangat menular dan memiliki attact rate 87%
pada orang yang serumah dengan penderita. (Saavedra, 2008). Amerika Serikat,
usia puncak sekarang 9-11 tahun. Dalam iklim tropis, varicella lebih sering terjadi
pada anak-anak. Sebagian besar kasus di Jepang adalah pada anak muda dari 6
tahun. Sekitar 9,6% dari kasus melibatkan anak-anak muda dari 1 tahun, dan
hampir sepertiga dari mereka bayi kurang dari 5 bulan. Varicella tidak memiliki
predileksi ras atau kebiasaan seperti seks (Djuanda, dkk., 2011 dan Kirsten, dkk,
2012).

PAROTITIS ATAU MUMPS

A. Gambaran Umum

Parotitis atau mumps adalah infeksi virus akut sistemik yang terutama
mengenai anak usia sekolah dan dewasa muda dengan manifestasi klinis utama
pembesaran kelenjar parotis. Mumps disebut sebagai parotitis epidemika. Infeksi
ini umumnya bersifat ringan dan dapat sembuh sendiri, sepertiga orang terinfeksi
tidak menunjukan gejala klinis. Pada orang dewasa dan usia tua manisfestasi
klinis biasanya lebih berat. Penyakit Gondongan (Mumps atau Parotitis) adalah
suatu penyakit menular dimana sesorang terinfeksi oleh virus (Paramyxovirus)
yang menyerang kelenjar ludah (kelenjar parotis) di antara telinga dan rahang
sehingga menyebabkan pembengkakan pada leher bagian atas atau pipi bagian
bawah. (Mansjoer, 2014).
Penyakit gondongan tersebar di seluruh dunia dan dapat timbul secara
endemik atau epidemik, Gangguan ini cenderung menyerang anak-anak dibawah
usia 15 tahun (sekitar 85% kasus). Virus menyebar dari reservoir manusia
melalui kontak langsung, percikan ludah, bahan yang tercemar oleh saliva yang
terinfeksi dan mungkin juga melalui urin. Virus parotitis masih dapat diisolasi dari
saliva selama 6-9 hari setelah terjadinya pembengkakan kelenjar. Virus dapat
diisolasi dari faring 2-6 hari setelah terjadi pembesaran kelenjar parotis. Virus
dapat ditemukan dalam urin sejak hari 1-14 setelah terjadi pembesaran kelenjar
(Mansjoer, 2014).

B. Insidensi
Penyakit gondongan tersebar di seluruh dunia dan dapat timbul secara
endemik atau epidemik, gangguan ini cenderung menyerang anak-anak dibawah
usia 15 tahun (sekitar 85%kasus). Penyebaran virus terjadi dengan
kontak langsung, percikan ludah, bahan muntah,mungkin dengan urin. Bayi
sampai umur 6–8 bulan tidak dapat terjangkit parotits epidemikakarena dilindungi
oleh anti bodi yang dialirkan secara transplasental dari ibunya.3 Insidentertinggi
pada umur antara 5 sampai 9 tahun, kemudian diikuti antara umur 1 sampai 4
tahun,kemudian umur antara 10 sampai 14 tahun. Insidensi parototis epidemika
dengan ketulian adalah 1:15.000. Meningitis yang terjadi berupa Meningitis
aseptik. Insidensi atau komplikasi dari parotitis Meningoencephalitis sekitar
250/100.000 kasus. Sekitar 10% dari kasus ini penderitanya berumur kurang dari
20 tahun. Angka rata-tata kematian akibat parotitis Meningoencephalitis adalah
2% (Mansjoer, 2014).

C. Etiologi
Penyakit parotitis epidemika disebabkan oleh anggota dari kelompok
paramyxovirus. Virus mumps merupakan famili Paramyxoviridae. Famili ini
mencakup: Rubulavirus ( virus mumps, virus New Castle disease, virus
parainfluenza tipe 2, 4a, 4b), paramyxovirus ( virus parainfluenza tipe 1 dan 3),
Morbilivirus (measles) dan Pneumavirus (Human respiratory syncytial virus).
Virus mumps berbentuk sferis iregular dengan diameter 90-300 nm. Virus telah
diisolasi dari ludah, cairan serebrospinal, darah, urin, otak dan jaringan terinfeksi
lain. Genom virus mengkode 8 protein: hemaglutinin-neuraminidase (HN), fusion
protein (F), nucleocapsid protein (NP), phosphoprotein (P), matrix protein (M),
hydrophobic protein (SH), L protein. Protein F dan HN tampaknya merupakan
determinasi utama imunitas. Terdapat 13 genotipe (A sampai M) virus diketahui,
namun jangan dikenal satu serotipe virus mumps. Virus ini juga memiliki dua
komponen yang sanggup memfiksasi, yaitu : antigen S atau yang dapat larut
(soluble) yang berasal dari nukleokapsid dan antigen V yang berasal dari
hemaglutinin permukaan. Pada suhu 4oC virus dapat bertahan selama beberapa
hari, namun pada suhu -65oC virus dapat hidup berbulan-bulan sampai bertahun-
tahun (Mansjoer, 2014).

D. Manifestasi Klinis
Pada saat masa tunas atau masa inkubasi terjadi sekitar 12-24 hari dengan
rata-rata 17-18 hari. Masa prodromal (1-2 hari) penderita mengalami demam
(suhu badan 38.5 – 40o C) , perasaan lesu, rasa nyeri pada otot terutama otot
daerah leher, sakit kepala, nafsu makan menurun, dan diikuti oleh pembesaran
cepat satu atau kedua kelenjar parotis serta kelenjar ludah yang lain. Pembesaran
kelenjar disertai perasaan sakit dan akan membengkak secara khas yaitu dimulai
dengan pengisian ruangan di antara batas belakang tulang rahang bawah dan
tulang mastoid, kemudian meluas dalam bentuk bulan sabit ke bawah dan depan,
karena perluasan ke arah atas dibatasi oleh tulang zigomatikus. Pembengkakan
akan mereda perlahan-lahan dalam waktu 3-7 hari, tetapi kadang-kadang dapat
berlangsung lebih lama. Selanjutnya terjadi pembengkakan kelenjar di bawah
telinga (parotis) yang diawali dengan pembengkakan salah satu sisi kelenjar
kemudian kedua kelenjar mengalami pembengkakan. Pembengkakan biasanya
berlangsung sekitar 3 hari kemudian berangsur mengempis. Kadang terjadi
pembengkakan pada kelenjar di bawah rahang (submandibula) dan kelenjar di
bawah lidah (sublingual). Pada pria terjadi pembengkakan buah zakar (testis)
karena penyebaran melalui aliran darah. Manifestasi klinis ensefaltis mumps
meliputi demam tinggi, penurunan kesadaran, kejang, paresis, afasia, gerakan
involunter. Kematian terjadi pada 1,4% kasus dan biasanya pada fase awal invasi
virus ke susunan saraf pusat (Mansjoer, 2014).
E. Patofisiologi
Transmisi virus terjadi melalui kontak langsung, droplet nuclei, muntahan
yang masuk melalui hidung atau mulut. Penularan virus mumps tidak sesudah
virus measles atau varisela. Masa puncak penularan terjadi sesaat sebelum atau
saat timbul parotitis. Diperkirakan pada masa inkubasi, virus berpoliferasi pada
epitel saluran napas bagian atas dan terjadi viremia, pada tahap selanjutnya
terlokalisasi pada kelenjar dan jaringan saraf. Terdapat dua teori patogenesis
parotitis epidemika, yaitu pertama, virus masuk melalui mulut ke dalam duktus
Stensen kelenjar parotis dan terjadi multiplikasi pertama pada kelenjar ini,
kemudian diikuti oleh viremia umum, dan lokalisasi yang dituju adalah testis,
ovarium, pankreas, tiroid, ginjal, jantung atau otak. Teori kedua adalah replikasi
primer terjadi dalam epitel permukaan saluran nafas kemudian diikuti oleh
viremia umum dan lokalisasi serentak dalam kelenjar saliva dan alat tubuh lainnya
(Mansjoer, 2014).
Virus tersebut masuk tubuh bisa melalui hidung atau mulut. Biasanya
kelenjar yang terkena adalah kelenjar parotis. Infeksi akut oleh virus mumps pada
kelenjar parotis dibuktikan dengan adanya kenaikan titer IgM dan IgG secara
bermakna dari serum akut dan serum konvalesens. Semakin banyak penumpukan
virus di dalam tubuh sehingga terjadi proliferasi di parotis/epitel traktus
respiratorius kemudian terjadi viremia (ikurnya virus ke dalam aliran darah) dan
selanjutnya virus berdiam di jaringan kelenjar/saraf yang kemudian akan
menginfeksi glandula parotid. Keadaan ini disebut parotitis (Mansjoer, 2014).
Akibat dari terjadinya infeksi pada kelenjar parotis maka dalam 1-2 hari
akan terjadi demam, anoreksia, sakit kepala dan nyeri otot. Kemudian dalam
waktu 3 hari terjadilah pembengkakan kelenjar parotis yang mula-mula unilateral
kemudian bilateral, disertai nyeri rahang spontan dan sulit menelan. Pada manusia
selama fase akut, virus mumps dapat diisoler dari saliva, darah, air seni dan
liquor. Pada pankreas kadang-kadang terdapat degenerasi dan nekrosis jaringan
(Mansjoer, 2014).
F. Manifestasi Oral
Kadang terjadi pembengkakan pada kelenjar di bawah rahang
(submandibula) dan kelenjar di bawah lidah (sublingual). Nyeri rahang bagian
belakang saat mengunyah dan kaku rahang yang mengakibatkan sulit membuka
mulut. (Mansjoer, 2014).

G. Terapi
Terapi parotis mumps ini bersifat simptomatik dan suportif. Analgesik-
antipiretik diberikan untuk mengurangi nyeri karena pembengkakan parotis dan
menurunkan demam. Pada pasien meningitis atau pankreatitis dengan intake yang
kurang atau muntah muntah diperlukan pemberian cairan intravena. Sebuah
penelitian melaporkan bahwa pemberian interferon-alfa 2b pada 4 pasien dengan
orkitis mumps bilateral menunjukan perbaikan gejala yang cepat dan tidak terjadi
atrofi testis atau oligospermia selama pemantauan. Gellis dkk melaporkan bahwa
pemberian 20 ml imunoglobulin mumps pada pasien pria dewasa, mengurangi
kejadian orkitis dari 27,4% menjadi 7,8%. Penyakit gondongan sebenarnya
tergolong dalam “self limiting disease” (penyakit yg sembuh sendiri tanpa
diobati). Penderita penyakit gondongan sebaiknya menghindarkan makanan atau
minuman yang sifatnya asam supaya nyeri tidak bertambah parah, diberikan diet
makanan cair dan lunak. (Mansjoer, 2014).

H. Daerah Endemik di Indonesia


Di Indonesia, tidak didapatkan adanya data mengenai insidens
terjadinya parotitis epidemika. Di Departemen Ilmu Kesehatan Anak (IKA)
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), sejak tahun1997-2008 terdapat 205
kasus parotitis epidemika. Jumlah kasus tersebut semakin berkurang tiap
tahunnya, dengan jumlah 11-15 kasus/tahun sebelum tahun 2002 dan 1-5
kasus/tahun setelah tahun 2000. Selama tahun 2008 hanya didapatkan satu kasus
parotitis epidemika di RSCM (Pudjiadi dan Hadinegoro, 2009).
I. Daerah Endemik di Luar Indonesia
Mumps endemis di seluruh dunia. Di Skandinavia pada tahun 1977-1979
sebelum ada program vaksinasi, kejadian mumps mencapai 200-700/100.000
penduduk per tahun. Di Amerika Serikat, kejadian mumps menurun drastis sejak
dimulainya vaksinasi tahun 1967 (pada tahun 1968 dilaporkan 185.691 kasus dan
tahun 2001 hanya 266 kasus). Di Amerika Serikat mumps dapat di temukan
sepanjang tahun, namun insidensi puncak terjadi antara bulan Januari sampai Mei.
Pada bulan Juni 2009 sampai Januari 2010 dilaporkan outbreak mumps di New
York dan New Jersey yang mencapai 1.521 kasus, dimana 91% pasien berusia >6
tahun dan 85% pernah mendapat vaksin MMR ( Measles, Mumps, Rubella) 2
dosis. Epidemi mumps dilaporkan pada barak militer, penjara, asrama m, sekolah,
dan kapal. Mumps jarang terjadi pada bayi di bawah satu tahun dan di Amerika
Serikat 49% infeksi dilaporkan terjadi pad orang ber-usia > 15 tahun. Tidak ada
perbedaan kejadian parotis antara pria dan wanita. Manusia merupakan satu
satunya hospes alamiah virus Inu dan tidak dikenal kondisi carrier (Mansjoer,
2014).
MORBILI ATAU CAMPAK

A. Gambaran Umum
Morbili atau campak adalah organisme yang sangat menular ditularkan
melalui rute udara dari seseorang yang terinfeksi pada orang lain yang rentan.
Campak merupakan penyakit infeksi virus akut, menular yang ditandai dengan
tiga stadium, yaitu stadium kataral, stadium erupsi, dan stadium konvalesensi.
Nama lain penyakit ini adalah campak, measles, atau rubeola. Campak timbul
karena terpapar droplet yang mengandung virus campak (Dubey, 2013).
Campak adalah suatu penyakit infeksi virus akut menular, ditandai oleh
tiga stadium: (1) stadium masa tunas sekitar 10-12 hari, (2) stadium prodromal
dengan gejala pilek dan batuk yang meningkat dan ditemukan enantem pada
mukosa pipi (bercak Koplik), faring dan peradangan mukosa konjungtiva, dan (3)
stadium akhir dengan keluarnya ruam mulai dari belakang telinga menyebar ke
muka, badan, lengan dan kaki (Soedarmo, 2012).

B. Insidensi
Campak merupakan salah satu penyakit penyebab kematian tertinggi pada
anak, sangat infeksius, dapat menular sejak awal masa prodromal (4 hari sebelum
muncul ruam) sampai lebih kurang 4 hari setelah munculnya ruam. Campak
adalah endemik pada sebagian besar dunia. Transmisi campak terjadi melalui
udara, kontak langsung maupun melalui droplet dari penderita saat gejala yang
ada minimal bahkan tidak bergejala. Penderita masih dapat menularkan
penyakitnya mulai hari ke-7 setelah terpajan hingga 5 hari setelah ruam muncul.
Biasanya seseorang akan mendapat kekebalan seumur hidup bila telah sekali
terinfeksi oleh campak. Campak sangat menular, sekitar 90% kontak keluarga
yang rentan mendapat penyakit. Campak jarang subklinis. Sebelum penggunaan
vaksin campak, puncak insiden pada umur 5-10 tahun, kebanyakan orang dewasa
imun. Penyakit campak bersifat endemik di seluruh dunia, pada tahun 2013 terjadi
145.700 kematian yang disebabkan oleh campak di seluruh dunia (berkisar 400
kematian setiap hari atau 16 kematian setiap jam) pada sebagian besar anak
kurang dari 5 tahun (Dubey, 2013 dan Rampengan, 2007).

C. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh golongan paramyxovirus (Anonim), yaitu
virus RNA dari famili Paramixoviridae, genus Morbillivirus. Genus Morbilivirus
terdiri dari virus campak (rubeola) pada manusia dan virus canine distemper, virus
rindepest pada lembu, dan morbilivirus akuatik yang menginfeksi mamalia laut.
Virus tersebut secara antigen terkait satu sama lain tetapi tidak dengan anggota
genus lain. Hanya satu tipe antigenik yang mirip dengan virus Parainfluenza dan
Mumps. Selama masa prodromal dan selama waktu singkat sesudah ruam tampak,
virus ditemukan dalam sekresi nasofaring, darah dan urin. Virus dapat tetap aktif
selama sekurang-kurangnya 34 jam dalam suhu kamar. Virus campak dapat
diisolasi dalam biakan embrio manusia. Perubahan sitopatik, tampak dalam 5-10
hari, terdiri dari sel raksasa multinukleus dengan inklusi intranuklear. Antibodi
dalam sirkulasi dapat dideteksi bila ruam muncul (Gillespie, 2009).
Penyebaran virus maksimal adalah dengan tetes semprotan selama masa
prodromal (stadium kataral). Penularan terhadap kontak rentan sering terjadi
sebelum diagnosis kasus aslinya. Orang yang terinfeksi menjadi menular pada
hari ke 9-10 sesudah pemajanan (mulai fase prodromal), pada beberapa keadaan
awal. Protein F banyak terdapat pada morbilivirus, sedangkan protein H
menunjukkan variabilitas yang lebih luas. Virus campak mempunyai hemaglutinin
tapi tidak memiliki aktivitas neuramidase. Virus campak menginduksi
pembentukan inklusi intranuklear, sedangkan paramiksovirus yang lain tidak
(Brooks, 2008).

D. Manifestasi Klinis
Infeksi pejamu yang tidak kebal hampir selalu simptomatik. Setelah masa
inkubasi sekitar 8-12 hari, penyakit campak biasanya berlangsung selama 7-11
hari (dengan fase prodromal 2-4 hari diikuti oleh fase erupsi 5-8 hari) (Brooks,
2008).
Gejala klinis terjadi setelah masa inkubasi, terdiri dari tiga stadium:
Stadium prodromal, stadium ini berlangsung kira-kira selama 3 hari
(kisaran 2-4 hari), ditandai dengan demam secara bertahap dan meningkat yang
dapat mencapai 39,5 oC ± 1,1 oC. Selain demam, dapat timbul gejala berupa
malaise, coryza (peradangan akut membrane mukosa rongga hidung),
konjungtivitis (mata merah), dan batuk. Gejala-gejala saluran pernapasan
menyerupai gejala infeksi saluran pernapasan yang disebabkan oleh virus-virus
lain. Konjungtivitis dapat disertai mata berair dan sensitif terhadap cahaya
(fotofobia). Tanda patognomonik berupa enantema mukosa buccal yang disebut
Koplik spots yang muncul pada hari ke-2 atau ke-3 demam (Maldonado, 2012 dan
Cherry, 2014). Bercak ini berbentuk tidak teratur dan kecil berwarna merah
terang, di tengahnya didapatkan noda putih keabuan. Timbulnya Koplik’s spot
hanya berlangsung sebentar kurang lebih 12 jam, sehingga sukar terdeteksi dan
biasanya luput pada waktu dilakukan pemeriksaan klinis (Soegijanto, 2011).
Stadium eksantem, pada stadium ini timbul ruam makulopapular dengan
penyebaran sentrifugal yang dimulai dari batas rambut di belakang telinga,
kemudian menyebar ke wajah, leher, dada, ekstremitas atas, bokong, dan akhirnya
ekstremitas bawah. Ruam ini dapat timbul selama 6-7 hari. Demam umumnya
memuncak (mencapai 400C) pada hari ke 2-3 setelah munculnya ruam.1,5,7 Jika
demam menetap setelah hari ke-3 atau ke-4 umumnya mengindikasikan adanya
komplikasi ( Khuri, 2012).
Stadium penyembuhan (konvalesens), setelah 3-4 hari umumnya ruam
berangsur menghilang sesuai dengan pola timbulnya. Ruam kulit menghilang dan
berubah menjadi kecoklatan yang akan menghilang dalam 7-10 hari (Dubey,
2013)

E. Patofisiologi
Penyebaran infeksi terjadi jika terhirup droplet di udara yang berasal dari
penderita. Virus campak masuk melalui saluran pernapasan dan melekat di sel-sel
epitel saluran napas. Setelah melekat, virus bereplikasi dan diikuti dengan
penyebaran ke kelenjar limfe regional. Setelah penyebaran ini, terjadi viremia
primer disusul multiplikasi virus di sistem retikuloendotelial di limpa, hati, dan
kelenjar limfe. Multiplikasi virus juga terjadi di tempat awal melekatnya virus.
Selama 5-7 hari infeksi terjadi viremia sekunder yang ekstensif dan menyebabkan
terjadinya infeksi campak secara umum. Kulit, konjungtiva, dan saluran nafas
adalah tempat yang jelas terkena infeksi, tetapi organ lainnya dapat terinfeksi
pula. Dari hari ke-11 hingga 14 infeksi, kandungan virus dalam darah, saluran
nafas, dan organ lain mencapai puncaknya dan kemudian jumlahnya menurun
secara cepat dalam waktu 2 hingga 3 hari. Selama infeksi, virus bereplikasi di sel-
sel endotelial, sel-sel epitel, monosit, dan makrofag. Daerah epitel yang nekrotik
di nasofaring dan saluran pernafasan memberikan kesempatan serangan infeksi
bakteri sekunder berupa bronkopneumonia, otitis media, dan lainnya. Dalam
keadaan tertentu, adenovirus dan herpes virus pneumonia dapat terjadi pada kasus
campak (Cherry dan Feign, 2008).

F. Manifestasi Oral
Pada stadium prodormal dapat ditemukan enantema di mukosa pipi dan
palatum mole yang merupakan tanda patognomonis morbili yaitu bercak koplik.
Koplik’s spotyang merupakan suatu bintik berbentuk tidak teratur dan kecil
berwarna merah terang, pada pertengahannya didapatkan noda berwarna putih
keabuan. Timbulnya Koplik’s spot hanya berlangsung sebentar kurang lebih 12
jam, sehingga sukar terdeteksi dan biasanya luput pada waktu dilakukan
pemeriksaan klinis (Soegijanto, 2011).

G. Terapi
Tatalaksana bersifat simptomatis dan suportif. Simtomatik yaitu
antipiretika bila suhu tinggi, sedativum, obat batuk, dan memperbaiki keadaan
umum. Tatalaksana ini terdiri dari tirah baring, antipiretik bila demam
(parasetamol 10-15 mg/kgBB/dosis), pemberian cairan yang cukup, suplemen
nutrisi, antibiotik diberikan bila terjadi infeksi sekunder, anti konvulsi apabila
terjadi kejang, dan vitamin A 100.000 Unit untuk anak usia 6 bulan hingga 1
tahun dan 200.000 Unit untuk anak usia >1 tahun. Vitamin A diberikan untuk
membantu pertumbuhan epitel saluran nafas yang rusak, menurunkan morbiditas
campak juga berguna untuk meningkatkan titer IgG dan jumlah limfosit total.
Vitamin A dapat menurunkan angka kejadian komplikasi seperti diare dan
pneumonia (Cherry, 2014).
1. Tatalaksana campak tanpa komplikasi
Tatalaksana campak tanpa komplikasi ini umumnya tidak memerlukan
indikasi rawat inap, sehingga terapi vitamin A sangat diperlukan. Dosis yang
diberikan, yaitu 50.000 IU (< 6 bulan), 100.000 IU (6-11 bulan), atau 200.000
IU (12 bulan – 5 tahun) yang diberikan secara oral pada semua anak. Jika
anak kekurangan vitamin A atau dalam keadaan gizi buruk, vitamin A
diberikan 3 kali (hari 1, hari 2, dan 2-4 minggu setelah dosis kedua) (WHO,
2008).
Apabila terjadi konjungtivitis ringan diberi cairan mata yang jernih, tidak
perlu diberikan pengobatan. Jika mata bernanah, bersihkan mata dengan kain
katun yang telah direbus dalam air mendidih, Oleskan salep mata
kloramfenikol atau tetrasiklin, 3 kali sehari selama 7 hari. Jangan
menggunakan salep steroid. Kemudian jaga kebersihan mulut, beri obat
kumur antiseptic bila pasien dapat berkumur (WHO, 2008).
2. Tatalaksana campak dengan komplikasi
Seseorang yang mengalami bronkopneumonia diberi antibiotik ampisilin
100 mg/kgBB/hari dalam dosis intravena dikombinasikan dengan
kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari intravena dalam 4 dosis, sampai gejala sesak
berkurang dan pasien dapat minum obat peroral. Pada keadaan berat anak
mudah dehidrasi. Pemberian cairan intravena dapat dipertimbangkan apabila
terdapat enteritis + dehidrasi. Otitis media seringkali disebabkan oleh infeksi
sekunder, sehingga perlu diberikan antibiotik kotrimoksazol-sulfametoksazol
(TMP 4 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis). Apabila terjadi Ensefalopati
perlu reduksi jumlah pemberian cairan hingga ¾ kebutuhan untuk
mengurangi edema otak, disamping pemberian kortikosteroid. Perlu
dilakukan koreksi elektrolit dan gangguan gas darah (Soedarmo, 2012).
H. Daerah Endemik di Indonesia
Angka kejadian campak di Indonesia sejak tahun 1990 sampai 2002 masih
tinggi sekitar 3000-4000 per tahun demikian pula frekuensi terjadinya kejadian
luar biasa tampak meningkat dari 23 kali per tahun menjadi 174. Namun case
fatality rate telah dapat diturunkan dari 5,5% menjadi 1,2%. Menurut Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) campak menduduki tempat ke-5 dalam urutan
10 macam penyakit utama pada bayi (0,7%) dan tempat ke-5 dalam urutan 10
macam penyakit utama pada anak usia 1- 4 tahun (77%). Menurut kelompok umur
kasus campak yang rawat inap di rumah sakit selama kurun waktu 5 tahun (1984-
1988) menunjukkan proporsi yang terbesar dalam golongan umur balita dengan
perincian 17,6% berumur < 1 tahun, 15,2% berumur 1 tahun, 20,3% berumur 2
tahun, 12,3% berumur 3 tahun dan 8,2% berumur 4 tahun (Soedarmo, 2012).
Campak menyebabkan penurunan daya tahan tubuh secara umum,
sehingga mudah terjadi infeksi sekunder atau penyulit. Penyulit yang sering
dijumpai adalah bronkopneumonia (75,2%), gastroenteritis (7,1%), ensefalitis
(6,7%) dan lain-lain (7,9%) (Soedarmo, 2012). Berdasarkan laporan DirJen
PP&PL DepKes RI (2014), masih banyak kasus campak di Indonesia dengan
jumlah kasus yang dilaporkan mencapai 12.222 kasus. Frekuensi KLB sebanyak
173 kejadian dengan 2.104 kasus. Sebagian besar kasus campak adalah anak-anak
usia pra-sekolah dan usia SD. Selama periode 4 tahun, kasus campak lebih banyak
terjadi pada kelompok umur 5-9 tahun (3591 kasus) dan pada kelompok umur 1-4
tahun (3383 kasus).

I. Daerah Endemik di Luar Indonesia


Sekarang di Amerika Serikat, campak terjadi paling sering pada anak
umur sekolah yang belum di imunisasi dan pada remaja dan orang dewasa muda
yang telah di imunisasi. Di Amerika Serikat, timbul KLB (Kejadian Luar Biasa)
dengan 147 kasus sejak awal Januari hingga awal Februari 2015 (Soedarmo,
2012). Berdasarkan data kasus campak selama Juni – November 2014, terdapat
tjuh negara di benua Afrika dan Asia yang memiliki kasus campak lebih dari 1000
kasus. Selain itu, terdapat 28 negara yang memiliki kasus campak berkisar antara
100-999 kasus. Cakupan imunisasi campak yang mencapai lebih dari 90 %
umumnya pada negara maju seperti benua Eropa, Australia dan Amerika.
Kematian akibat campak berkurang lebih dari tiga perempat di semua wilayah
WHO kecuali Asia Tenggara. (WHO, 2015).
DAFTAR PUSTAKA

Burns, T, Breathnach, S, Cox, N, Griffiths C, 2007, Chapter 33. Virus Infection;


dalam Rook’s Textbook of Dermatology, 8th Ed., Wiley Blackwell.
United Kingdom, P.1512.

Brooks, Geo F, Janet S. Butel, et al, 2008, Jawetz, Melnick, and Adelberg
Mikrobiologi Kedokteran, Edisi 23, Jakarta: EGC.

Cherry, J.D., 2014, Measles Virus. In: Cherry JD, Harrison GJ, Kaplan SL, Hotez
PJ, Steinbach WJ, 2014, editors. Feigin & Cherry’s textbook of
pediatric infectious diseases, 7th ed, Philadelphia: Elsevier Inc, Vol 2,
p. 2373-94.

Christa C. Sondakh, 2015, Profil Varisela Di Poliklinik Kulit Dan Kelamin Rsup
Prof. Dr. R.D Kandou Manado Periode Januari – Desember 2012.
Jurnal E-Clinic (Ecl), Volume 3, Nomor 1.

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2015,


Profil pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan tahun 2014,
Jakarta; p. 25-7.

Djuanda, A., dkk, 2011, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi 6, Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, p. 3-4, 7-8.

Dubey, A.P, 2013, Measles. In: Parthasarathy A, Menon PSN, Gupta P, Nair
MKC, Agrawal R, Sukumaran TU, editor, IAP Textbook of Pediatrics,
5th ed, New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd,p. 250-
1.
Feign, R.D, Cherry, J.D., 2008, Texbook of pediatric infectious disease, 4th
edition, WB Saunders, Philadepia, hal 1889-1891.

Gillespie, Stephen, Kathleen Bamford, 2009, At a Glance Mikrobiologi Medis dan


Infeksi, Edisi 3, Erlangga Medical Series.
Johnson, R.A,. Wolff. K, 2009, Fitzpatrick’s color Atlas & Synopsis of Clinical
Dermatology, 6th edition, McGraw Hill Medical. USA.

Khuri, Bulos N, 2012, Measles. In: Elzouki AY, Harfi HA, Nazer HM, Stapleton
FB, Oh W, Whitley RJ, editors. Textbook of clinical pediatrics. 2nd ed.
Berlin: Springer;p. 1221-7.

Kirsten, A, Bechtel, 2012, Pediatric Chickenpox; dalam Medscape Drugs,


Diseases & Procedures Reference.

Maldonado, Y.A., 2012, Rubeola virus (measles and subacute sclerosing


panencephalitis). In: Long SS, Pickering LK, Prober CG, editors.
Principles and practice of pediatric infectious diseases. 4th ed. Churchill
Livingstone: Elsevier Inc.; p. 1137-44.

Mansjoer, A. 2014, Kapita Selekta Kedokteran Jilid II, Edisi 4. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI.

Murray, R.K, Granner, D.K., Rodwell, V.W., 2009, Biokimia Harper (27ed),
Jakarta, EGC.

Narkeviciute. I, Bernatoniene J.,2012, Varicella zoster virus infection in pregnanc


y. In :Magel GD. Herpesviridae A look into this unique family of viruses. Croatia:
IntechEurope, 174-92.
Rampengan, T.H., 2007, Penyakit Infeksi Tropis pada Anak. Edisi 2. Jakarta:
EGC.

Robert, M. Kliegman, Richard, E, Behrman, Hal B. Jenson, Bonita F. Stanton,


2007, Varicella Zoster Virus; dalam Nelsen Textbook of Pediatrics 18th
Edition. United States of America.

Saavedra A,Weinberg AN, Swartz MN, Johnson RA, 2008, Chapter 179 Soft
Tissue Infections : Erysipelas, Cellulitis, Gangrenous Cellulitis, and
Myonecrosis. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI. Varicella and Herpes
Zoster; dalam Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th Ed.
McGraw Hill Medical. United State of America, P.1885-1994.

Soedarmo, Sumarmo, S., Poorwo, Herry, Garna, et al, 2012, Buku Ajar Infeksi
dan Pediatri Tropis. Edisi 2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI

Soegijanto S, Salimo H, 2011, Campak. In: Ranuh IGNG, Suyitno H, Hadinegoro


SRS, Kartasasmita CB, Ismoedijanto, Soedjatmiko. Pedoman imunisasi
di Indonesia. 4th ed. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; p. 341-5.

Timmreck, Thomas C, 2004, Epidemiologi Suatu Pengantar. Edisi 2, EGC,


Jakarta.

Wolff, K., Goldsmith, L., Katz, S., et al., 2008, Fitzpatrick’s in General Medicine.
7th edition. McGrawHill Medical. USA. 2008.

World Health Organisation, 2008, Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit,


Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Anda mungkin juga menyukai

  • Alvogyl
    Alvogyl
    Dokumen3 halaman
    Alvogyl
    Putri Silvia
    Belum ada peringkat
  • SGD 2
    SGD 2
    Dokumen14 halaman
    SGD 2
    Putri Silvia
    Belum ada peringkat
  • Cs Unit Cost
    Cs Unit Cost
    Dokumen22 halaman
    Cs Unit Cost
    Putri Silvia
    Belum ada peringkat
  • TMJ
    TMJ
    Dokumen13 halaman
    TMJ
    Putri Silvia
    100% (1)
  • Dental Material
    Dental Material
    Dokumen12 halaman
    Dental Material
    Putri Silvia
    Belum ada peringkat
  • Anomali
    Anomali
    Dokumen11 halaman
    Anomali
    Putri Silvia
    Belum ada peringkat
  • Analisis SWOT SGD
    Analisis SWOT SGD
    Dokumen14 halaman
    Analisis SWOT SGD
    Putri Silvia
    Belum ada peringkat
  • Dental Simulator
    Dental Simulator
    Dokumen8 halaman
    Dental Simulator
    Putri Silvia
    Belum ada peringkat
  • SGD 1
    SGD 1
    Dokumen17 halaman
    SGD 1
    Putri Silvia
    Belum ada peringkat
  • Dental Simulator
    Dental Simulator
    Dokumen8 halaman
    Dental Simulator
    Putri Silvia
    Belum ada peringkat
  • SGD 3
    SGD 3
    Dokumen17 halaman
    SGD 3
    Putri Silvia
    Belum ada peringkat
  • Oklusi SGD 1
    Oklusi SGD 1
    Dokumen8 halaman
    Oklusi SGD 1
    Putri Silvia
    Belum ada peringkat