Anda di halaman 1dari 17

PENYELESAIAN SENGKETA MEDIS

I. Definisi, Fungsi, dan Peran


1. Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI)
Menurut Keputusan Nomor: SKEP/035/PB PDGI/V/2008 pasal 3,
Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) adalah satu-satunya organisasi
profesi yang menghimpun Dokter Gigi di Indonesia. Susunan organisasi
PDGI ini terdiri dari: (1) Badan Pengurus: Pengurus Besar, Pengurus
Wilayah, dan Pengurus Cabang; (2) Dewan Pertimbangan; (3) Badan
Kelengkapan: MKKGI, MKEKG, BPAA, Badan Fungsional. PDGI
berpedoman pada Sumpah Dokter Gigi serta Kode Etik Kedokteran Gigi
Indonesia. Menurut AD-ART PDGI (2008), Persatuan Dokter Gigi
Indonesia dibentuk pada tanggal 22 Januari 1950 di Bandung.
Pengurus Besar PDGI berkedudukan di Ibukota Negara Republik
Indonesia. PDGI telah memiliki 14 pengurus wilayah di tingkat provinsi dan
188 pengurus cabang ditingkat kabupaten/kota ditambah 3 calon pengurus
wilayah dan 10 calon pengurus cabang PDGI yang baru. Berdasarkan
pendataan dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), jumlah dokter gigi yang
teregistrasi sampai dengan Februai 2009 mencapai kurang lebih 19.000
orang. PDGI memiliki fungsi sebagai berikut: (1) Sebagai wadah untuk
menangani permasalahan kedokteran gigi baik yang dirasakan pasien
maupun dokter; (2) Dapat memperjelas kasus yang terjadi dengan cara
memanggil dan meminta keterangan dokter yang bersangkutan;
(3) Menindak lanjuti kasus tersebut; (4) Senantiasa melakukan seminar atau
pelatihan kepada anggota-anggotanya jika terdapat disiplin ilmu baru
dibidang kedokteran gigi.
Berdasarkan AD-ART (Anggaran Dasar-Anggaran Rumah
Tangga) tahun 2008, terdapat tujuan dan upaya PDGI dalam menjalankan
tugas dan wewenangnya, antara lain:

1
A. Tujuan PDGI (Pasal 7)
1. Menyumbangkan darma baktinya demi kepentingan bangsa
dan negara.
2. Meningkatkan derajat kesehatan gigi dan mulut serta kesehatan
umum dalam rangka menunjang kesejahteraan rakyat Indonesia.
3. Memajukan ilmu kedokteran gigi dalam arti yang seluas-luasnya.
4. Meningkatkan kesejahteraan anggota.
B. Upaya (pasal 8)
1. Membina dokter gigi yang berjiwa Pancasila, berwawasan
Nasional, profesional, dan etis
2. Memelihara dan membina terlaksananya Sumpah Dokter Gigi dan
Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia
3. Meningkatkan rasa kesejawatan dan kesetiakawanan antar sesama
anggota
4. Mengembangkan potensi kreatifitas anggota dalam bidang ilmiah,
organisasi, dan sosial
5. Meningkatkan mutu profesi kedokteran gigi
6. Meningkatkan peran serta masyarakat untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan gigi dan mulut
7. Menjalin, memelihara, dan meningkatkan hubungan antara
lembaga pemerintah/swasta dan organisasi profesi lainnya, baik di
dalam maupun luar negeri
8. Menjadi mitra kerja pemerintah untuk membantu melancarkan
pelaksanaan program-programnya.
9. Usaha lain sepanjang tidak bertentangan dengan asas, dasar dan
tujuan PDGI
C. Tugas dan Wewenang
1. Melakukan pembinaan pelaksanaan etika profesi.
2. Mengadakan hubungan kerjasama dengan badan-badan lainnya
yang mempunyai tujuan yang sama atau selaras, pemerintah
maupun swasta.

2
3. Melaksanakan atau mengembangkan usaha untuk meningkatkan
kesejahteraan anggotanya.
4. Menangani berbagai masalah di wilayah melalui PDGI wilayah.

Tugas dan Wewenang Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI)


berdasarkan badan pengurusnya, yaitu:
a. Pengurus Pusat
1. Melaksanakan keputusan Kongres
2. Melaksanakan amanat AD/ART dan pokok-pokok pedoman
kegiatan PDGI yang tertuang dalam renstra PDGI
3. Menyelenggarakan Kongres
4. Menyelenggarakan Rapat Kerja
5. Melaksanakan pengukuhan Pengurus Wilayah dan Pengurus
Cabang
6. Melindung dan membela anggota PDGI sesuai dengan hukum
peraturan yang berlaku dan Etik Kedokteran Gigi Indonesia
7. Membina hubungan dengan pemerintah maupun swasta baik
dalam dan luar negeri, khususnya yang berhubungan dengan
dunia kesehatan dan kedokteran gigi
8. Menyampaikan pertanggungjawaban kepada cabang-cabang, 1
(satu) bulan sebelum Kongres
9. Bertanggungjawab kepada Kongres
b. Pengurus Wilayah
1. Pengurus Wilayah merupakan perpanjangan tangan PB PDGI di
tingkat wilayah.
2. Mengkoordinasikan kegiatan cabang-cabang dalam wilayahnya.
3. Melaksanakan program kerja PB PDGI di wilayahnya dan
melaksanakan amanat Rapat Wilayah.
4. Menyelenggarakan Rapat Wilayah.
5. Membina hubungan dengan seluruh pihak di wilayahnya yang
berkaitan dengan profesi.

3
6. Pengurus Wilayah memberikan laporan kepada Pengurus Besar
sekurang-kurangnya sekali dalam waktu 1 (satu) tahun.
7. Melaksanakan P3KGB.
c. Pengurus Cabang
1. Mengimplementasikan program kerja PB PDGI dan
melaksanakan amanat Rapat Umum Anggota.
2. Menyelenggarakan Rapat Umum Anggota.
3. Memperjuangkan hak dan kepentingan serta kedudukan anggota
sesuai dengan harkat dan martabat profesi kedokteran gigi.
4. Melakukan pembinaan dan pengawasan kepada anggota.
5. Menerbitkan dan mencabut Rekomendasi Surat Izin Praktik.
6. Melaksanakan atau mengembangkan usaha-usaha bagi
peningkatan kesejahteraan anggota.
7. Mewakili PDGI dalam berbagai upaya pemecahan masalah di
daerah.
8. Menjalin dan membina hubungan dengan seluruh pihak yang
terkait.
9. Melaksanakan P3KGB.
2. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Gigi (MKEKG)
Menurut Keputusan Nomor: SKEP/035/PB PDGI/V/2008 tentang
Pedoman Kerja Majelis Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia – Pengurus
Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia, Majelis Kehormatan Etik
Kedokteran Gigi (MKEKG) adalah Badan Kelengkapan PDGI yang
dibentuk secara khusus untuk melaksanakan tugas pembinaan, pengawasan,
dan penilaian Etik Kedokteran Gigi. Status MKEKG dalam organisasi PDGI
adalah sebagai badan otonom dengan maksud menjamin kenetralan sikap
dan keputusannya sehingga pengelolaan harus terpisah dari berbagai
kelengkapan organisasi PDGI lainnya. Menurut pasal 4, terdapat 3
pembentukan MKEKG, antara lain: (1) MKEKG dibentuk pada tingkat
pusat, tingkat Propinsi, dan tingkat kabupaten/kota berturut-turut disebut
MKEKG Pusat, MKEKG Wilayah, MKEKG Cabang; (2) MKEKG Wilayah

4
dapat dibentuk, bila di Propinsi tersebut telah ada Pengurus PDGI Wilayah;
(3) MKEKG Cabang dapat dibentuk, bila di Kabupaten/ Kota tersebut telah
ada PDGI Cabang.

MKEKG memlki tugas dan wewenang yang diatur sesuai dengan


Keputusan Nomor: SKEP/035/PB PDGI/V/2008 tentang Pedoman Kerja
Majelis Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia – Pengurus Besar Persatuan
Dokter Gigi Indonesia, antara lain:
A. Wewenang MKEKG (pasal 11)
1. Menyampaikan pertimbangan dan usul secara lisan maupun tertulis,
diminta maupun tidak diminta, tentang pelaksanaan Etik
Kedokteran Gigi kepada Pengurus PDGI.
2. Meninjau dan memutuskan kembali suatu pertimbangan atau usul
yang dinilai kurang tepat oleh pengurus PDGI dengan
memperhatikan pertimbangan pengurus PDGI.
3. Melaksanakan tugas bimbingan,pengawasan, penilaian pelaksanaan
Etik Kedokteran Gigi untuk seluruh Dokter Gigi yang berada di
wilayah kerjanya.
4. Melaksanakan tugas bimbingan dan pengawasan pelaksanaan Etik
Kedokteran Gigi dilakukan bersama Pengurus PDGI lainnya.
5. Melaksanakan tugas penilaian pelaksanaan Etik Kedokteran Gigi
dilakukan melalui masing-masing MKEKG.
6. Memberikan pertimbangan atau usul kepada yang berwenang atas
Pelanggaran Etika melalui PDGI.
7. Mengadakan konsultasi timbal balik dengan instansi terkait
sehubungan dengan pembinaan pelaksanaan dan pengawasan Etik
Kedokteran Gigi.
B. Tugas dan Wewenang Anggota MKEKG (pasal 12)
1. Menyampaikan pendapat serta usulan, tentang pelaksanaan Etik
Kedokteran Gigi kepada MKEKG.
2. Melaksanakan seluruh tugas dan wewenang MKEKG.

5
3. Menghadiri sidang MKEKG.
3. Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI)
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia adalah
lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia yang berwenang untuk
menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik
kedokteran, yaitu penegakan aturan-aturan dan atau ketentuan penerapan
keilmuan kedokteran dalam pelayanan medis yang seharusnya diikuti oleh
dokter dan dokter gigi. Menurut Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia
Nomor 15/KKI/Per/VIII/2006, Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia adalah lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya
kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin
ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi. MKDKI
dalam menjalankan tugasnya bersifat indepent.
MKDKI dapat menerima pengaduan dari masyarakat mengenai
LSM, Tenaga Kesehatan, Institusi seperti Departemen Kesehatan, Dinas
Kesehatan, Rumah Sakit, Organisasi Profesi, dan sebagainya. Menurut UU
No 29 tahun 2004 pasal 59 keanggotaan Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia terdiri atas 3 (tiga) orang dokter dan 3 (tiga) orang
dokter gigi dari organisasi profesi masing-masing, seorang dokter dan
seorang dokter gigi mewakili asosiasi rumah sakit, dan 3 (tiga) orang
sarjana hukum. Anggota Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia ditetapkan oleh Menteri atas usul organisasi profesi. Tujuan
penegakan disiplin adalah : (1) Memberikan perlindungan kepada pasien;
(2) Menjaga mutu dokter/dokter gigi; (3) Menjaga kehormatan profesi
kedokteran dan kedokteran gigi.
Berdasarkan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor
15/KKI/Per/VIII/2006, pada pasal 3 terdapat Fungsi, Tugas, dan Wewenang
MKDKI, antara lain:

6
A. Fungsi (Pasal 3)
(1) Fungsi MKDKI dan MKDKI-P adalah untuk penegakan disiplin
kedokteran dan kedokteran gigi dalam penyelenggaraan praktik
kedokteran.
(2) Penegakan disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
penegakan aturan-aturan dan/atau penerapan keilmuan dalam
pelaksanaan pelayanan yang harus diikuti oleh dokter dan dokter
gigi.
B. Tugas (Pasal 4)
(1) Tugas MKDKI
a. Menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus
pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi yang diajukan; dan
b. Menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus
pelanggaran disiplin dokter atau dokter gigi.
(2) Tugas MKDKI-P
Menerima pengaduan, memeriksa, memutuskan ada tidaknya
kasus pelanggaran disiplin kedokteran dan kedokteran gigi dan
menentukan sanksi yang diajukan di provinsi.
C. Wewenang (Pasal 5)
(1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1) MKDKI mempunyai wewenang :
a. menerima pengaduan pelanggaran disiplin dokter dan dokter
gigi;
b. menetapkan jenis pengaduan pelanggaran disiplin atau
pelanggaran etika atau bukan keduanya;
c. memeriksa pengaduan pelanggaran disiplin dokter dan dokter
gigi;
d. memutuskan ada tidaknya pelanggaran disiplin dokter dan
dokter gigi;
e. menentukan sanksi terhadap pelanggaran disiplin dokter dan
dokter gigi;

7
f. melaksanakan keputusan MKDKI;
g. menyusun tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin
dokter dan dokter gigi;
h. menyusun buku pedoman MKDKI dan MKDKI-P;
i. membina, mengkoordinasikan dan mengawasi pelaksanaan
tugas MKDKI-P;
j. membuat dan memberikan pertimbangan usulan
pembentukan MKDKI-P kepada Konsil Kedokteran
Indonesia; dan
k. mengadakan sosialisasi, penyuluhan, dan diseminasi tentang
MKDKI dan dan MKDKI-P mencatat dan
mendokumentasikan pengaduan, proses pemeriksaan, dan
keputusan MKDKI.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (2), MKDKI-P mempunyai wewenang :
a. menerima pengaduan pelanggaran disiplin dokter dan dokter
gigi di tingkat provinsi;
b. menetapkan jenis pengaduan pelanggaran disiplin atau
pelanggaran etika atau bukan keduanya;
c. memeriksa pengaduan pelanggaran disiplin dokter dan dokter
gigi di tingkat provinsi;
d. meminta keterangan saksi ahli jika diperlukan;
e. memutuskan pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi di
tingkat provinsi;
f. menentukan sanksi terhadap pelanggaran disiplin dokter dan
dokter gigi di tingkat provinsi melaksanakan keputusan
MKDKI-P;
g. melaksanakan keputusan MKDKI-P.
Pada Pasal 6 dalam menjalankan fungsi, tugas, dan
wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5,
MKDKI harus memperhatikan peraturan perundang-undangan di

8
bidang kesehatan serta peraturan perundang-undangan lain yang
terkait dan yang berlaku.

II. Penyelesaian Sengketa Medik


Sengketa Medis adalah sengketa yang terjadi antara pasien atau
keluarga pasien dengan tenaga kesehatan atau antara pasien dengan rumah
sakit / fasilitas kesehatan. Biasanya yang dipersengketakan adalah hasil atau
hasil akhir pelayanan kesehatan dengan tidak memperhatikan atau
mengabaikan prosesnya. Padahal dalam hukum kesehatan diakui bahwa
tenaga kesehatan atau pelaksana pelayanan kesehatan saat memberikan
pelayanan hanya bertanggung jawab atas proses atau upaya yang dilakukan
(Inspanning Verbintennis) dan tidak menjamin/ menggaransi hasil akhir
(Resultalte Verbintennis).
Ada dua jalur penyelesaian kasus sengketa medis yaitu jalur Litigasi
dan jalur Non Litigasi. Dari ke-2 (dua) jalur tersebut ada 5 (lima) lembaga
penyelesaian. Ke 5 (lima) lembaga penyelesaian sengketa medik tesebut
adalah: Lembaga Peradilan Hukum Perdata, Lembaga Peradilan Hukum
Pidana, Majelis Kehormatan etika kedokteran Indonesia(MKEK), Panitia
Pertimbangan dan Pembinaan etik kedokteran (P3EK), serta melalui Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia(MKDKI).
Pasal 16 UU No. 4 Tahun 2004 menyatakan bahwa Pengadilan tidak
boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang
diajukan, dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan
wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Dengan demikian sengkata medik
dapat diselesaikan melalui lembaga peradilan umum.
Pada dasarnya, dibutuhkan adanya altematif lembaga penyelesian
sengketa Yang dimaksudkan sebagai alternatif adalah penyelesaian sengketa
yang ditempuh tidak melalui lembaga peradilan sebagaimana dimaksud
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004. Walaupun lembaga penyelesaian
sengketa di luar pengadilan di lndonesia cukup banyak, namun tidak semua
lembaga tersebut akan dikupas, melainkan hanya alternalif penyelesaian

9
sengketa menurut UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
A. Jalur Penyelesaian
1. Nonlitigasi
Penyelesaian sengketa melalui non-litigasi, kita telah
mengenal adanya penyelesaian sengketa alternatif atau Alternative
Dispute Resolution (ADR), yang dalam perspektif Undang-Undang
Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, Alternative Dispute Resolution adalah suatu pranata
penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan kesepakatan
para pihak dengan mengesampingkan penyelesaian sengketa secara
litigasi di pengadilan. Nonlitigasi adalah untuk menyelesaikan
sengketa di luar pengadilan melalui perdamaian dan penangkalan
sengketa dengan perancangan perancangan kontrak yang baik.
Menurut Asyhadie dan Sudiarto (2004), selain jalur litigasi,
terdapat alternatif penyelesaian sengketa (non litigasi) dengan cara-
cara sebagai berikut:
a. Konsiliasi
Konsiliasi adalah suatu penyelesaian perkara, dimana para
pihak berupaya aktif mencari penyelesaian dengan bantuan pihak
ketiga yang bertindak netral-berperan secara aktif maupun pasif.
Cara ini diperlukan apabila pihak yang bersengketa tidak mampu
menyelesaikan sendiri perselisihannya.
b. Negosiasi
UU Nomor 30 Tahun 1999 tiak merumuskan pengertian
negosiasi. Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 1999
menyatakan: "Penyelesaian sengketa atau beda pcndapat
melalui altematif penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud
dalam ayat (l) diselesaikan dalam penemuan langsung para
pihak...dst".

10
Diantara semua metode altematif penyelesaian sengketa,
negosiasi ditempatkan oleh undang-undang sebagai metode yang
pertama untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi. Hak ini
berguna untuk menghindari atau mengatasi suatu sengketa, karena
merupakan cara yang paling dasar dan tertua, namun negosiasi
memiliki kelemahan-kelemahan, diantaranya:
1. Manakala kedudukan para pihak tidak seimbang ;
2. Sering lambat dan membutuhkan waktu yang lama ;
3. Manakala terdapal pihak yang kaku.
Proses Negosiasi berarti "pertemuan langsung para pihak':
dalam pengertian negosiasi adalah pertemuan para pihak sendiri
atau wakilnya termasuk kuasa hukum mewakili kepentingan para
pihak. Sehingga dengan demikian penggunaan istilah "pertemuan
langsung para pihak" hanya sekedar untuk membedakan negosiasi
dengan metode penyelesaian sengketa yang lain.
Baik dalam UU Nornor 30 Tahun 1999, maupun dalam
hukum intemasional tidak ada prosedur khusus ysng mengatur
mekanisme negosiasi, namun dalam hukum internasional tidak
berarti bahwa para pihak bebas tanpa batas menentukan sendiri
melainkan dibatasi oleh berikut.
Beberapa sifat dari negosiasi :
a. pelaksanaan negosiasi bergantung sepenuhnya kepada
kehendak para pihak, karenanya tidak ada prosedur khusus
tentang pelaksanaan negosiasi ;
b. para pihak bebas untuk menentukan pada tahap mana
negosiasi telah menyelesaikan sengketa yang mereka alami ;
c. para pihak juga bebas untuk menentukan daya ikat hasil
kesepakatan dari negosiasi.
c. Mediasi
Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa dengan
melibatkan pihak ketiga sebagai penghubung (mediator) untuk

11
mencapai kesepakatan penyelesaian di antara para pihak atas
sengketa yang terjadi. Sangat mungkin mediasi dilakukan setelah
para pihak sulit mencapai kesepakatan melalui negosiasi. Para
pihak tidak mungkin bertemu disebabkan faktor lokasi tempat
tinggal yang berjauhan atau memang para pihak tidak mau
bertemu dikarenakan hambatan-hambatan psikologis. Mediator
harus bersifat independen dan netral serta mampu menciptakan
suasana yang kondusif. Kesepakatan untuk mengakhiri sengketa
tetap berada pada kewenangan dan kehendak para pihak.
Teknis dalam menjalankan tugasnya, antara lain: (1)
mediator bertemu dcngan atau mempertemukan para pihak untuk
mengetahui duduk persoalan sengketa yang sebenarnya; (2)
selanjutnya ia dapat saja membuat catatan-catatan tentang fakla-
fakta yang disampaikan para pihak sambil memberikan pendapat
hukumnya tentang kelemahan dan kekuatan kedudukan hukum
masing-masing pihak. Atas dasar itu kemudian membuat rumusan
usulan tentang penyelesaian sengketanya agar dapat dijadikan
pertimbangan para pihak.
Membaca ketentuan Pasal 6 ayat (4) dapat dikatakan bahwa
Undang-Undang membedakan mediator ke dalam :
a. Mediator yang ditunjuk secara bersama oleh para pihak
b. Mediator yang ditunjuk oleh lembaga arbitrase atau
lembaga alternatif penyelesaian yang ditunjuk para pihak.
c. Pengertian lembaga arbitrase sebagai dimaksud ketentuan
diatas tentunya adalah lembaga arbitase permanen, sebab
arbitrase adhoc hanya diadakan untuk menyelesaikan
sengketa bukan untuk memberikan pendapat.
d. Arbitrase
Arbitrase merupakan suatu bentuk lain dari ajudikasi privat,
tetapi mirip dengan ajudikasi publik, melibatkan litigasi
sengketa pribadi yang membedakannya dengan litigasi melalui

12
pengadilan. Penyelesaian melalui arbitrase umumnya dipilh
untuk sengketa kontraktual (baik yang bersifat sederhana
maupun kompleks ) yang dapat digolongkan menjadi : Quality
Arbitration, yang menyangkut permasalahan kontraktual, yang
dengan sendirinya memerlukan para arbitrator dengan
kualifikasi teknis yang tinggi, Technical Arbitration, yang tidak
menyangkut permasalahan factual sebagaimana halnya dengan
masalah yang timbul dalam penyusunan dokumen atau aplikasi
ketentuan-ketentuan kontrak, dan Mixed Arbitration, sengketa
baik mengenai permasalahan faktual maupun hukum.
2. Litigasi
Litigasi yaitu suatu penyelesaian sengketa yang
dilaksanakan dengan proses beracara di pengadilan di mana
kewenangan untuk mengatur dan memutuskannya dilaksanakan oleh
hakim. Litigasi merupakan proses penyelesaian sengketa di
pengadilan, di mana semua pihak yang bersengketa saling
berhadapan satu sama lain untuk mempertahankan hak-haknya di
muka pengadilan. Hasil akhir dari suatu penyelesaian sengketa
melalui litigasi adalah putusan yang menyatakan win-lose solution.
Prosedur dalam jalur litigasi bersifat lebih formal dan teknis,
menghasilkan kesepakatan yang bersifat menang kalah, cenderung
menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya,
membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif dan menimbulkan
permusuhan diantara para pihak yang bersengketa (Amriani, 2012)
Sekalipun penyelesaian sengketa lewat pengadilan kurang
disukai, namun penyelesaian sengketa tersebut tidak menutup
kemungkinan para pihak menyelesaikannya dcngan cara mediasi di
pengadilan. Berkaitan dengan ini Mahkarnah Agung dengan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008, Tanggal 3l Juli
2008 telah menerbitkan peraturan tcntang Prosedur Mediasi di
Pengadilan:

13
(l) Pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua
belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh
mediasi.
(2) Ketidakhadiran pihak turut tergugat tidak menghalangi
pelaksanaan mediasi
(3) Hakim melalui kuasa hukum atau langsung kepada para pihak,
mendorong para pihak untuk berperan langsung atau aktif dalam
proses mediasi.
(4) Kuasa hukum para pihak berkewajiban mendorong para pihak
sendiri berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi,
(5) Hakim wajib menunda proses persidangan perkara untuk
memberikan kesempatan kepada para pihak menempuh proses
mediasi.
(6) Hakim wajib menjelaskan prosedur mediasi dalam Perma ini
kepada para pihak yang bersengketa.
a. Penyelesaian di tangan Penyidik.
Supreme Court of Justice menyatakan perkara yang dapat
diadukan ke polisi yaitu malpraktek medis berat meliputi kealalaian
berat (gross neglinence) dan perkara yang bersifat kriminal atau
adanya kesengajaan yang dilakukan oleh tenaga medis dalam
pelayanan kesehatan. Ada 4 alat bukti yang harus diperhatikan untuk
membuktikan kelalaian yaitu: (1) apakah tindakan medis tersebut
sudah sesuai dengan standar profesi, (2) bagaimana data medis yang
tertuang dalam rekam medis pasien, apabila talh dibuat visum et
repertum, dan (3) bagaimana pendapat ahli terhadap masalah yang
terjadi. Pihak penyidik akan mengeluarkan SP3 (Surat Perintah
Penghentian Penyelidikan) dan masalah dianggap selesai jika telah
ditangani dan tidak terbukti adanya kelalaian (Anna, 2000).
b. Penyelesaian melalui Peradilan.
Perkara hukum di Pengadilan diperlukan penasehat hukum,
saksi ahli, dan saksi a de charge (yang meringankan) agar tercapai

14
keputusan yang seadil-adilnya. Penyelesaian melalui MKDKI
ditujukan untuk menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi dalam
menyelenggarakan praktik kedokteran. MKDKI merupakan lembaga
peradilan profesi yang independen bagi tenaga kesehatan yang
berdiri 5 berdasarkan UU, bertugas menerima pengaduan,
memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara medis (Budi, 2010).
Pelanggaran disiplin adalah pelanggaran terhadap aturan
atau ketentuan penerapan keilmuan, dikelompokkan dalam 3 hal
yaitu melaksanakan praktik kedokteran yang tidak kompeten, tugas
dan tanggung jawab professional pada pasien tidak dilaksanakan
dengan baik, serta berperilaku tercela yang merusak martabat dan
kehormatan profesi kedokteran.
c. Penyelesaian melalui Peran Organisasi Profesi
Dalam ADRT tahun 2008 Pasal 7menjelaskan mengenai
Penyelesaian Sengketa Kesehatan, PDGI membentuk Badan
Pembelaan dan Pembinaan Anggota (BPPA) yang mempunyai tugas
dan wewenang untuk membela dan membina pelaksanaan etik
kedokteran gigi, disiplin dan hukum; memberi pertimbangan atau
usul kepada pihak yang berwenang atas pelanggaran etika, disiplin
dan hukum; mengadakan konsultasi timbal balik dengan instansi
terkait pembelaan dan pembinaan anggota. Adanya pelaporan
tuntutan perkara dokter gigi-pasien, maka PDGI bersama MKEKG
dan BPPA akan melakukan verifikasi kesalahan berdasarkan
pelanggaran dan memanggil pasien beserta keluarga untuk
memperjelas persoalan yang sebenarnya sehingga diperoleh kerugian
yang diderita pasien. Pada sengketa medis, BPPA akan memberikan
bantuan mencarikan konsultan hukum yang memahami aspek hukum
kesehatan, mediasi, dan apabila sengketa medis menjadi perkara
hukum maka BPPA akan mendampingi dalam sidang pengadilan dan
mengadakan konsultasi timbal balik dengan instansi terkait.

15
Berdasarkan Peraturan KKI pasal 6(3) No.16
/KKI/PER/VIII/2006 tentang tata cara penanganan dugaan
pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi, MKDKI mengangkat
Majelis Pemeriksa Awal (MPA) yang terdiri 3 orang dan bekerja
dalam 14 hari. Tugas MPA antara lain memeriksa keabsahan aduan,
keabsahan alat bukti, menetapkan pelanggaran etik atau disiplin,
menolak pengaduan karena tidak memenuhi sayarat pengaduan atau
tidak termasuk dalam wewenang MKDKI, dan melengkapi seluruh
alat bukti. Berdasarkan pasal 7(1), selambat-lambatnya 14 hari
setelah laporan MPA tentang adanya pelanggaran disiplin, MKDKI
membentuk Majelis.Pemeriksa Disiplin (MPD) yang terdiri 3- 5
orang dan bekerja selambat-lambatnya 28 hari.Tugas MPD
mengadakan sidang untuk memeriksa, pembuktian dan menetapkan
sangsi terhadap pelanggaran disiplin yang dilakukan dokter gigi.
Dalam sidang peradilan profesi dihadiri oleh pasien atau keluarga
dan kuasa hukum, saksi, dokter gigi yang bersangkutan. Bilamana
diperlukan MPD dapat 6 meminta keterangan tenaga ahli agar
memperoleh keputusan yang seadil-adilnya. (KKI, 2006)

DAFTAR PUSTAKA

Amriani, N.,2012, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata Di


Pengadilan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), 2008, AD/ART


Persatuan Dokter Gigi Indonesia.

16
Anna, H.A., 2000, Masalah Etik dan Hukum Kedokteran di Rumah Sakit.
Sarasehan Penanganan Terpadu Masalah Etik dan Hukum
Kedokteran, Surabaya: 50 tahun IDI.

Asyhadie, Zaeni., Sudiarto, H., 2004, “Mengenal arbitrase”, Raja Grafindo


Persada. Jakarta.

Budi AT. 2010. Upaya bantuan hukum dokter gigi dalam menghadapi sengketa
medis. Jurnal PDGI, Vol. 59, No. 1:1-7

Departemen Kesehatan RI, 2004, UU No. 29 tahun 2004 Tentang Praktek


kedokteran.

Keputusan Nomor: SKEP/035/PB PDGI/V/2008, 2008, tentang Pedoman Kerja


Majelis Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia – Pengurus Besar
Persatuan Dokter Gigi Indonesia

Konsil Kedokteran Indonesia. 2006. Himpunan Peraturan Tentang Majelis


Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Jakarta. h. 23 – 45.

Undang-Undang Republik Indonesia, 1999, UU Nomor 30 Tahun 1999. tentang


Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,

17

Anda mungkin juga menyukai