Anda di halaman 1dari 31

I.

LAPORAN PENDAHULUAN
A. KONSEP DASAR
1. Pengertian
Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) merupakan perbesaran
kelenjar prostat, memanjang ke atas kedalam kandung kemih dan
menyumbat aliran urin dengan menutupi orifisium uretra akibatnya
terjadi dilatasi ureter (hidroureter) dan ginjal (hidronefrosis) secara
bertahap (Smeltzer dan Bare, 2002). BPH merupakakan
pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat,
pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai
proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar
normal yang tersisa, prostat tersebut mengelilingi uretra dan, dan
pembesaran bagian periuretral menyebabkan obstruksi leher
kandung kemih dan uretra parsprostatika yang menyebabkan aliran
kemih dari kandung kemih (Price dan Wilson, 2006).
BPH merupakan suatu keadaan yang sering terjadi pada pria
umur 50 tahun atau lebih yang ditandai dengan terjadinya perubahan
pada prostat yaitu prostat mengalami atrofi dan menjadi nodular,
pembesaran dari beberapa bagian kelenjar ini dapat mengakibatkan
obstruksi urine ( Baradero, Dayrit, dkk, 2007). Berdasarkan
pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Benigna Prostat
Hiperplasi (BPH) merupakan penyakit pembesaran prostat yang
disebabkan oleh proses penuaan, yang biasa dialami oleh pria
berusia 50 tahun keatas, yang mengakibatkan obstruksi leher
kandung kemih, dapat menghambat pengosongan kandung kemih
dan menyebabkan gangguan perkemihan.
2. Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti
etiologi/penyebab terjadinya BPH, namun beberapa hipotesisi
menyebutkan bahwa BPH erat kaitanya dengan peningkatan kadar
dehidrotestosteron (DHT) dan proses menua. Terdapat perubahan
mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40 tahun.
Bila perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan
patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun, dan angka
kejadiannya sekitar 50%, untuk usia 80 tahun angka kejadianya
sekitar 80%, dan usia 90 tahun sekiatr 100% (Purnomo, 2011)
Etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa
yang diduga menjadi penyebab timbulnya Benigna Pros at, teori
penyebab BPH menurut Purnomo (2011) meliputi, Teori
Dehidrotestosteron (DHT), teori hormon (ketidakseimbangan antara
estrogen dan testosteron), factor interaksi stroma dan epitel-epitel,
teori berkurangnya kematian sel (apoptosis), teori sel stem.
a. Teori Dehidrotestosteron (DHT)
Dehidrotestosteron/ DHT adalah metabolit androgen yang sangat
penting pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Aksis
hipofisis testis dan reduksi testosteron menjadi
dehidrotestosteron (DHT) dalam sel prostad merupakan factor
terjadinya penetrasi DHT kedalam inti sel yang dapat
menyebabkan inskripsi pada RNA, sehingga dapat menyebabkan
terjadinya sintesis protein yang menstimulasi pertumbuhan sel
prostat. Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT
pada BPH tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat
normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim 5alfa –reduktase
dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini
menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih sensitive terhadap
DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan
dengan prostat normal.
b. Teori hormone ( ketidakseimbangan antara estrogen dan
testosteron)
Pada usia yang semakin tua, terjadi penurunan kadar testosterone
sedangkan kadar estrogen relative tetap, sehingga terjadi
perbandingan antara kadar estrogen dan testosterone relative
meningkat. Hormon estrogen didalam prostat memiliki peranan
dalam terjadinya poliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara
meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan
jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Meskipun
rangsanganterbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan
testosterone meningkat, tetapi sel-sel prostat telah ada
mempunyai umur yang lebih panjang sehingga masa prostat jadi
lebih besar.
c. Faktor interaksi Stroma dan epitel epitel.
Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak
langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator
yang disebut Growth factor. Setelah sel-sel stroma mendapatkan
stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis
suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel
stroma itu sendiri intrakrin dan autokrin, serta mempengaruhi
sel-sel epitel parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya
poliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma. Basic Fibroblast
Growth Factor (bFGF) dapat menstimulasi sel stroma dan
ditemukan dengan konsentrasi yang lebih besar pada pasien
dengan pembesaran prostad jinak. bFGF dapat diakibatkan oleh
adanya mikrotrauma karena miksi, ejakulasi atau infeksi.
d. Teori berkurangnya kematian sel (apoptosis)
Progam kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah
mekanisme fisiologik untuk mempertahankan homeostatis
kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi kondensasi dan
fragmentasi sel, yang selanjutnya sel-sel yang mengalami
apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di sekitarnya, kemudian
didegradasi oleh enzim lisosom. Pada jaringan normal, terdapat
keseimbangan antara laju poliferasi sel dengan kematian sel.
Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai pada prostat
dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang
mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel
prostat baru dengan prostat yang mengalami apoptosis
menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi
meningkat, sehingga terjadi pertambahan masa prostat.
e. Teori sel stem
Sel-sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan sel-sel
baru. Didalam kelenjar prostat istilah ini dikenal dengan suatu
sel stem, yaitu sel yang mempunyai kemampuan berpoliferasi
sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung pada
keberadaan hormone androgen, sehingga jika hormone androgen
kadarnya menurun, akan terjadi apoptosis. Terjadinya poliferasi
sel-sel BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel
stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel stroma
maupun sel epitel.
3. Patofisiologi
Hiperplasi prostat adalah pertumbuhan nodul-nodul
fibroadenomatosa majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut
dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan
tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa. Jaringan
hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar dengan stroma fibrosa dan
otot polos yang jumlahnya berbeda-beda. Proses pembesaran prostad
terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran
kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah
terjadi pembesaran prostad, resistensi pada leher buli-buli dan daerah
prostad meningkat, serta otot destrusor menebal dan merenggang
sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan destrusor
disebut fase kompensasi, keadaan berlanjut, maka destrusor menjadi
lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi
untuk berkontraksi/terjadi dekompensasi sehingga terjadi retensi
urin. Pasien tidak bisa mengosongkan vesika urinaria dengan
sempurna, maka akan terjadi statis urin. Urin yang statis akan
menjadi alkalin dan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri (
Baradero, dkk 2007).
Obstruksi urin yang berkembang secara perlahan-lahan dapat
mengakibatkan aliran urin tidak deras dan sesudah berkemih masih
ada urin yang menetes, kencing terputus-putus (intermiten), dengan
adanya obstruksi maka pasien mengalami kesulitan untuk memulai
berkemih (hesitansi). Gejala iritasi juga menyertai obstruksi urin.
Vesika urinarianya mengalami iritasi dari urin yang tertahan tertahan
didalamnya sehingga pasien merasa bahwa vesika urinarianya tidak
menjadi kosong setelah berkemih yang mengakibatkan interval
disetiap berkemih lebih pendek (nokturia dan frekuensi), dengan
adanya gejala iritasi pasien mengalami perasaan ingin berkemih
yang mendesak/ urgensi dan nyeri saat berkemih /disuria ( Purnomo,
2011).
Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan
obstruksi, akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik
menyebabkan refluk vesiko ureter, hidroureter, hidronefrosis dan
gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi.
Pada waktu miksi penderita harus mengejan sehingga lama
kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu
terdapat sisa urin, dapat menyebabkan terbentuknya batu endapan
didalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi
dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat juga menyebabkan
sistitis dan bila terjadi refluk akan mengakibatkan pielonefritis
(Sjamsuhidajat dan De jong, 2005).
4. Manifestasi Klinis
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih
maupun keluhan diluar saluran kemih. Menurut Purnomo (2011) dan
tanda dan gejala dari BPH yaitu : keluhan pada saluran kemih bagian
bawah, gejala pada saluran kemih bagian atas, dan gejala di luar
saluran kemih.
a. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
1) Gejala obstruksi meliputi : Retensi urin (urin tertahan
dikandung kemih sehingga urin tidak bisa keluar), hesitansi
(sulit memulai miksi), pancaran miksi lemah, Intermiten
(kencing terputus-putus), dan miksi tidak puas (menetes
setelah miksi)
2) Gejala iritasi meliputi : Frekuensi, nokturia, urgensi
(perasaan ingin miksi yang sangat mendesak) dan disuria
(nyeri pada saat miksi).
b. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat hiperplasi prostat pada sluran kemih bagian atas
berupa adanya gejala obstruksi, seperti nyeri pinggang, benjolan
dipinggang (merupakan tanda dari hidronefrosis), atau demam
yang merupakan tanda infeksi atau urosepsis.
c. Gejala diluar saluran kemih
Pasien datang diawali dengan keluhan penyakit hernia inguinalis
atau hemoroid. Timbulnya penyakit ini dikarenakan sering
mengejan pada saan miksi sehingga mengakibatkan tekanan
intraabdominal. Adapun gejala dan tanda lain yang tampak
padanpasien BPH, pada pemeriksaan prostat didapati membesar,
kemerahan, dan tidak nyeri tekan, keletihan, anoreksia, mual
dan muntah, rasa tidak nyaman pada epigastrik, dan gagal ginjal
dapat terjadi dengan retensi kronis dan volume residual yang
besar.
5. Pemeriksaan penunjang
a. Urinalisa
Analisis urin dan mikroskopik urin penting untuk melihat
adanya sel leukosit, sedimen, eritrosit, bakteri dan infeksi. Bila
terdapat hematuri harus diperhitungkan adanya etiologi lain
seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran
kemih, walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan hematuri.
Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan
informasi dasar dari fungsi ginjal dan status metabolik.
Pemeriksaan prostate spesific antigen (PSA) dilakukan sebagai
dasar penentuan perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini
keganasan. Bila nilai PSA < 4 ng/ml tidak perlu biopsi.
Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml, dihitung Prostate specific
antigen density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan volume
prostat. Bila PSAD > 0,15, sebaiknya dilakukan biopsi prostat,
demikian pula bila nilai PSA > 10 ng/ml
b. Pemeriksaan darah lengkap
Karena perdarahan merupakan komplikasi utama pasca operatif
maka semua defek pembekuan harus diatasi. Komplikasi
jantung dan pernafasan biasanya menyertai penderita BPH
karena usianya yang sudah tinggi maka fungsi jantung dan
pernafasan harus dikaji. Pemeriksaan darah mencakup Hb,
leukosit, eritrosit, hitung jenis leukosit, CT, BT, golongan darah,
Hmt, trombosit, BUN, kreatinin serum.
c. Pemeriksaan radiologis
Biasanya dilakukan foto polos abdomen, pielografi intravena,
USG, dan sitoskopi. Tujuan pencitraan untuk memperkirakan
volume BPH, derajat disfungsi buli, dan volume residu urin.
Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius,
pembesaran ginjal atau buli-buli. Dapat juga dilihat lesi
osteoblastik sebagai tanda metastase dari keganasan prostat serta
osteoporosis akibat kegagalan ginjal. Dari Pielografi intravena
dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal, hidronefrosis dan
hidroureter, gambaran ureter berbelok-belok di vesika urinaria,
residu urin. Dari USG dapat diperkirakan besarnya prostat,
memeriksa massa ginjal, mendeteksi residu urin dan batu ginjal.
BNO /IVP untuk menilai apakah ada pembesaran dari
ginjal apakah terlihat bayangan radioopak daerah traktus
urinarius. IVP untuk melihat /mengetahui fungsi ginjal apakah
ada hidronefrosis. Dengan IVP buli-buli dapat dilihat sebelum,
sementara dan sesudah isinya dikencingkan. Sebelum kencing
adalah untuk melihat adanya tumor, divertikel. Selagi kencing
(viding cystografi) adalah untuk melihat adanya refluks urin.
Sesudah kencing adalah untuk menilai residual urin.
(Purnomo, 2011)
6. Penatalaksanaan
a. Observasi
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Pasien
dianjurkan untuk mengurangi minum setelah makan malam
yang ditujukan agar tidak terjadi nokturia, menghindari obat-
obat dekongestan (parasimpatolitik), mengurangi minum kopi
dan tidak diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering
miksi. Pasien dianjurkan untuk menghindari mengangkat barang
yang berat agar perdarahan dapat dicegah. Ajurkan pasien agar
sering mengosongkan kandung kemih (jangan menahan kencing
terlalu lama) untuk menghindari distensi kandung kemih dan
hipertrofi kandung kemih. Secara periodik pasien dianjurkan
untuk melakukan control keluhan, pemeriksaan laboratorium,
sisa kencing dan pemeriksaan colok dubur (Purnomo, 2011).
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat menurut Purnomo
(2011) dapat diperkirakan dengan mengukur residual urin dan
pancaran urin:
1) Residual urin, yaitu jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin
dapat diukur dengan cara melakukan kateterisasi setelah
miksi atau ditentukan dengan pemeriksaan USG setelah
miksi.
2) Pancaran urin (flow rate), dapat dihitung dengan cara
menghitung jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi
berlangsung (ml/detik) atau dengan alat urofometri yang
menyajikan gambaran grafik pancaran urin.
b. Terapi medikamentosa
Menurut Baradero dkk (2007) tujuan dari obat-obat yang
diberikan pada penderita BPH adalah :
1) Mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-otot
berelaksasi untuk mengurangi tekanan pada uretra
2) Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan
golongan alfa blocker (penghambat alfa adrenergenik)
3) Mengurangi volum prostat dengan menentuan kadar
hormone testosterone/ dehidrotestosteron (DHT).
Adapun obat-obatan yang sering digunakan pada pasien BPH,
menurut Purnomo (2011) diantaranya : penghambat
adrenergenik alfa, penghambat enzin 5 alfa reduktase,
fitofarmaka.
1) Penghambat adrenergenik alfa
Obat-obat yang sering dipakai adalah prazosin,
doxazosin,terazosin,afluzosin atau yang lebih selektif alfa
1a (Tamsulosin). Dosis dimulai 1mg/hari sedangkan dosis
tamsulosin adalah 0,2-0,4 mg/hari. Penggunaaan antagonis
alfa 1 adrenergenik karena secara selektif dapat mengurangi
obstruksi pada buli-buli tanpa merusak kontraktilitas
detrusor. Obat ini menghambat reseptor-reseptor yang
banyak ditemukan pada otot polos di trigonum, leher
vesika, prostat, dan kapsul prostat sehingga terjadi relakasi
didaerah prostat. Obat-obat golongan ini dapat memperbaiki
keluhan miksi dan laju pancaran urin. Hal ini akan
menurunkan tekanan pada uretra pars prostatika sehingga
gangguan aliran air seni dan gejala-gejala berkurang.
Biasanya pasien mulai merasakan berkurangnya keluhan
dalam 1-2 minggu setelah ia mulai memakai obat. Efek
samping yang mungkin timbul adalah pusing, sumbatan di
hidung dan lemah. Ada obat-obat yang menyebabkan
ekasaserbasi retensi urin maka perlu dihindari seperti
antikolinergenik, antidepresan, transquilizer, dekongestan,
obatobat ini mempunyai efek pada otot kandung kemih dan
sfingter uretra.
2) Pengahambat enzim 5 alfa reduktase
Obat yang dipakai adalah finasteride (proscar) dengan dosis
1X5 mg/hari. Obat golongan ini dapat menghambat
pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar akan
mengecil. Namun obat ini bekerja lebih lambat dari
golongan alfa bloker dan manfaatnya hanya jelas pada
prostat yang besar. Efektifitasnya masih diperdebatkan
karena obat ini baru menunjukkan perbaikan sedikit/ 28 %
dari keluhan pasien setelah 6-12 bulan pengobatan bila
dilakukan terus menerus, hal ini dapat memperbaiki keluhan
miksi dan pancaran miksi. Efek samping dari obat ini
diantaranya adalah libido, impoten dan gangguan ejakulasi.
3) Fitofarmaka/fitoterapi
Penggunaan fitoterapi yang ada di Indonesia antara lain
eviprostat. Substansinya misalnya pygeum africanum, saw
palmetto, serenoa repeus dll. Afeknya diharapkan terjadi
setelah pemberian selama 1-2 bulan dapat memperkecil
volum prostat.
c. Terapi bedah
Pembedahan adalah tindakan pilihan, keputusan untuk dilakukan
pembedahan didasarkan pada beratnya obstruksi, adanya ISK,
retensio urin berulang, hematuri, tanda penurunan fungsi ginjal,
ada batu saluran kemih dan perubahan fisiologi pada prostat.
Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung pada
beratnya gejala dan komplikasi. Menurut Smeltzer dan Bare
(2002) intervensi bedah yang dapat dilakukan meliputi :
pembedahan terbuka dan pembedahan endourologi.
1) Pembedahan terbuka, beberapa teknik operasi prostatektomi
terbuka yang biasa digunakan adalah :
a) Prostatektomi suprapubik
Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui
insisi abdomen. Insisi dibuat dikedalam kandung
kemih, dan kelenjar prostat diangat dari atas. Teknik
demikian dapat digunakan untuk kelenjar dengan segala
ukuran, dan komplikasi yang mungkin terjadi ialah
pasien akan kehilangan darah yang cukup banyak
dibanding dengan metode lain, kerugian lain yang dapat
terjadi adalah insisi abdomen akan disertai bahaya dari
semua prosedur bedah abdomen mayor.
b) Prostatektomi perineal
Adalah suatu tindakan dengan mengangkat kelenjar
melalui suatu insisi dalam perineum. Teknik ini lebih
praktis dan sangat berguan untuk biopsy terbuka. Pada
periode pasca operasi luka bedah mudah terkontaminasi
karena insisi dilakukan dekat dengan rectum.
Komplikasi yang mungkin terjadi dari tindakan ini
adalah inkontinensia, impotensi dan cedera rectal.
c) Prostatektomi retropubik
Adalah tindakan lain yang dapat dilakukan, dengan cara
insisi abdomen rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu
antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki
kandung kemih. Teknik ini sangat tepat untuk kelenjar
prostat yang terletak tinggi dalam pubis. Meskipun
jumlah darah yang hilang lebih dapat dikontrol dan
letak pembedahan lebih mudah dilihat, akan tetapi
infeksi dapat terjadi diruang retropubik.
2) Pembedahan endourologi, pembedahan endourologi
transurethral dapat dilakukan dengan memakai tenaga
elektrik diantaranya:
a) Transurethral Prostatic Resection (TURP)
Merupakan tindakan operasi yang paling banyak
dilakukan, reseksi kelenjar prostat dilakukan dengan
transuretra menggunakan cairan irigan (pembilas) agar
daerah yang akan dioperasi tidak tertutup darah.
Indikasi TURP ialah gejala-gejala sedang sampai berat,
volume prostat kurang dari 90 gr.Tindakan ini
dilaksanakan apabila pembesaran prostat terjadi dalam
lobus medial yang langsung mengelilingi uretra.
Setelah TURP yang memakai kateter threeway. Irigasi
kandung kemih secara terus menerus dilaksanakan
untuk mencegah pembekuan darah. Manfaat
pembedahan TURP antara lain tidak meninggalkan atau
bekas sayatan serta waktu operasi dan waktu tinggal
dirumah sakit lebih singkat.Komplikasi TURP adalah
rasa tidak enak pada kandung kemih, spasme kandung
kemih yang terus menerus, adanya perdarahan, infeksi,
fertilitas (Baradero dkk, 2007).
b) Transurethral Incision of the Prostate (TUIP)
Adalah prosedur lain dalam menangani BPH. Tindakan
ini dilakukan apabila volume prostat tidak terlalu besar
atau prostat fibrotic. Indikasi dari penggunan TUIP
adalah keluhan sedang atau berat, dengan volume
prostat normal/kecil (30 gram atau kurang). Teknik
yang dilakukan adalah dengan memasukan instrument
kedalam uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada
prostat dan kapsul prostat untuk mengurangi tekanan
prostat pada uretra dan mengurangi konstriksi uretral.
Komplikasi dari TUIP adalah pasien bisa mengalami
ejakulasi retrograde (0-37%) (Smeltzer dan Bare,
2002).
7. Komplikasi
Menurut Sjamsuhidajat dan De Jong (2005) komplikasi BPH adalah
a. Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi
dekompensasi
b. Infeksi saluran kemih
c. Involusi kontraksi kandung kemih
d. Refluk kandung kemih
e. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin
terus berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi
menampung urin yang akan mengakibatkan tekanan intravesika
meningkat.
f. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi
g. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat
terbentuk batu endapan dalam buli-buli, batu ini akan
menambah keluhan iritasi. Batu tersebut dapat pula menibulkan
sistitis, dan bila terjadi refluks dapat mengakibatkan
pielonefritis.
h. Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan
pada waktu miksi pasien harus mengedan.

B. KONSEP KEPERAWATAN
1. Fokus Pengkajian
Pengkajian fokus keperawatan yang perlu diperhatikan pada
penderita BPH merujuk pada teori menurut Smeltzer dan Bare
(2002) , Tucker dan Canobbio (2008) ada berbagai macam,meliputi :
a. Demografi
Kebanyakan menyerang pada pria berusia diatas 50 tahun. Ras
kulit hitam memiliki resiko lebih besar dibanding dengan ras
kulit putih. Status social ekonomi memili peranan penting dalam
terbentuknya fasilitas kesehatan yang baik. Pekerjaan memiliki
pengaruh terserang penyakit ini, orang yang pekerjaanya
mengangkat barang-barang berat memiliki resiko lebih tinggi.
b. Riwayat penyakit sekarang Pada pasien BPH keluhan keluhan
yang ada adalah frekuensi , nokturia, urgensi, disuria, pancaran
melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, hesistensi ( sulit
memulai miksi), intermiten (kencing terputus-putus), dan waktu
miksi memanjang dan akhirnya menjadi retensi urine
c. Riwayat penyakit dahulu Kaji apakah memilki riwayat infeksi
saluran kemih (ISK), adakah riwayat mengalami kanker prostat.
Apakah pasien pernah menjalani pembedahan prostat / hernia
sebelumnya.
d. Riwayat kesehatan keluarga Kaji adanya keturunan dari salah
satu anggota keluarga yang menderita penyakit BPH.
e. Pola kesehatan fungsional
1) Eliminasi
Pola eliminasi kaji tentang pola berkemih, termasuk
frekuensinya, ragu ragu, menetes, jumlah pasien harus
bangun pada malam hari untuk berkemih (nokturia),
kekuatan system perkemihan. Tanyakan pada pasien apakah
mengedan untuk mulai atau mempertahankan aliran kemih.
Pasien ditanya tentang defikasi, apakah ada kesulitan seperti
konstipasi akibat dari prostrusi prostat kedalam rectum.
2) Pola nutrisi dan metabolism
Kaji frekuensi makan, jenis makanan, makanan pantangan,
jumlah minum tiap hari, jenis minuman, kesulitan menelan
atau keadaan yang mengganggu nutrisi seperti anoreksia,
mual, muntah, penurunan BB.
3) Pola tidur dan istirahat
Kaji lama tidur pasien, adanya waktu tidur yang berkurang
karena frekuensi miksi yang sering pada malam hari (
nokturia ).
4) Nyeri/kenyamanan
Nyeri supra pubis, panggul atau punggung, tajam, kuat,
nyeri punggung bawah
5) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Pasien ditanya tentang kebiasaan merokok, penggunaan
obatobatan, penggunaan alkhohol.
6) Pola aktifitas
Tanyakan pada pasien aktifitasnya sehari – hari, aktifitas
penggunaan waktu senggang, kebiasaan berolah raga.
Pekerjaan mengangkat beban berat. Apakah ada perubahan
sebelum sakit dan selama sakit. Pada umumnya aktifitas
sebelum operasi tidak mengalami gangguan, dimana pasien
masih mampu memenuhi kebutuhan sehari – hari sendiri.
7) Seksualitas
Kaji apakah ada masalah tentang efek kondisi/terapi pada
kemampuan seksual akibat adanya penurunan kekuatan
ejakulasi dikarenakan oleh pembesaran dan nyeri tekan
pada prostat.
8) Pola persepsi dan konsep diri
Meliputi informasi tentang perasaan atau emosi yang
dialami atau dirasakan pasien sebelum pembedahan dan
sesudah pembedahan pasien biasa cemas karena kurangnya
pengetahuan terhadap perawatan luka operasi.
2. Pathway
3. Nursing Care Plan (Rencana Asuhan Keperawatan)
a. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada penyakit BPH menurut Carpenito
(2007) dan Tucker dan Canobbio (2008) adalah :
1) Pre Operasi
a) Retensi urin akut/kronis
b) Nyeri akut
c) Ansietas/cemas
d) Kurang pengetahuan tentang kondisi dan kebutuhan
pengobatan
2) Post Operasi
a) Retensi urin
b) Nyeri akut
c) Resiko perdarahan
d) Resiko infeksi
e) Resiko terhadap disfungsi seksual
f) Gangguan pola tidur
b. Rencana Keperawatan (NIC,NOC)
Intervensi keperawatan pada penyakit BPH menurut Carpenito
(2007), dan Tucker dan Canobbio (2008) adalah:
1) Pra operasi
a) Retensi urin akut/kronis berhubungan dengan
obstruksi mekanik, pembesaran prostat, dekompensasi
otot destrusor, ketidakmampuan kandung kemih untuk
berkontraksi dengan adekuat.
Tujuan : Tidak terjadi retensi urine
Kriteria hasil : Pasien menunjukkan residu pasca
berkemih kurang dari 50 ml,
dengan tidak adanya tetesan atau
kelebihan cairan.
Intervensi :
(1) Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam atau
bila tiba-tiba dirasakan
Rasional : meminimalkan retensi urin distensi
berlebihan pada kandung kemih.
(2) Observasi aliran urin, perhatikan ukuran dan
kekuatan.
Rasional : berguna untuk mengevaluasi obstruksi
dan pilihan intervensi
(3) Awasi dan catat waktu tiap berkemih dan jumlah
tiap berkemih perhatikan penurunan haluaran urin
dan perubahan berat jenis.
Rasional : retensi urine meningkatkan tekanan
dalam saluran perkemihan atas, yang dapat
mempengaruhi fungsi ginjal. Adanya deficit
aliran darah keginjal menganggu kemampuanya
untuk memfilter dan mengkonsentrasi substansi.
(4) Lakukan perkusi/palpasi suprapubik
Rasional : distensi kandung kemih dapat
dirasakan diarea Suprapubik
(5) Dorong masukan cairan sampai 3000 ml sehari
Rasional : peningkatan aliran cairan
mempertahankan perfusi ginjal dan
membersihkan ginjal dan kandung kemih dari
pertumbuhan bakteri
(6) Kaji tanda-tanda vital, timbang BB tiap hari,
pertahankan pemasukan dan pengeluaran yang
akurat Rasional : kehilangan fungsi ginjal
mengakibatkan penuruna eliminasi cairan dan
akumulasi sisa toksik, dapat berlanjut kepenuruan
ginjal total
(7) Lakukan rendam duduk sesuai indikasi
Rasional : meningkatkan relaksasi otot, penuruan
edema, dan dapat meningkatkan upaya berkemih.
(8) Kolaborasi pemberian obat :
(a) Supositorial rectal
Rasional : supositorial dapat diabsorbsi
dengan mudah melalui mukosa kedalam
jaringan kandung kemih untuk menghasilkan
relaksasi otot/menghilangkan spasme
(b) Antibiotic dan antibakteri
Rasional : digunakan untuk melawan infeksi
(c) Fenoksibenzamin (Dibenzyline)
Rasional : diberikan untuk mempermudah
berkemih dengan merelaksasi otot polos
prostat dan menurunkan tahanan terhadap
aliran urine.
b) Nyeri akut berhubungan dengan peregangan dari
terminal saraf, distensi kandung kemih, infeksi
urinaria, efek mengejan saat miksi sekunder dari
pembesaran prostat dan obstruksi uretra.
Tujuan : nyeri hilang, terkontrol
Kriteria hasil : pasien melaporkan nyeri hilang dan
terkontrol pasien tampak rileks,
mampu untuk tidur dan istirahat
dengan tepat
Intervensi :
(1) Kaji tipe nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala
0-10) lamanya.
Rasional : memberikan informasi untuk
membantu dalam menentukan pilihan/keefektifan
intervensi
(2) Pertahankan tirah baring bila diindikasikan
Rasional : tirah baring mungkin diperlukan pada
awal selama fase retensi akut. Namun ambulasi
dini dapat memperbaiki pola berkemih normal
dan menghilangkan nyeri kolik
(3) Berikan tindakan kenyamanan, distraksi selama
nyeri akut seperti, pijatan punggung : membantu
pasien melakukan posisi yang nyaman:
mendorong penggunaan relaksasi/latihan nafas
dalam: aktivitas terapeutik
Rasional : meningkatkan relaksasi, memfokuskan
kembali perhatian dan dapat meningkatkan
kemampuan koping
(4) Dorong menggunakan rendam duduk, gunakan
sabun hangat untuk perineum
Rasional : meningkatkan relaksasi otot
(5) Kolaborasi pemberian obat pereda nyeri (
analgetik)
Rasional : menurunkan adanya nyeri, dan kaji 30
menit kemudian untuk mengetahui
keefektivitasnya.
c) Ansietas/cemas berhubungan dengan krisis situasi,
perubahan status kesehatan, kekhawatiran tentang
pengaruhnya pada ADL atau menghadapi prosedur
bedah.
Tujuan : pasien tampak rileks.
Kriteria Hasil : menyatakan pengetahuan yang akurat
tentang situasi, menunjukkan rentang
tepat tentang perasaan dan penurunan
rasa takut
Intervensi :
(1) Damping pasien dan bina hubungan saling
percaya
Rasional : menunjukkan perhatian dan keinginan
untuk membantu.
(2) Berikan informasi tentang prosedur tindakan
yang akan dilakukan
Rasional : Membantu pasien dalam memahami
tujuan dari suatu tindakan.
(3) Dorong pasien/orang terdekat untuk menyatakan
masalah/perasaan
Rasional : Memberikan kesempatan pada pasien
dan konsep solusi pemecahan masalah
(4) Beri informasi pada pasien sebelum dilakukan
tindakan
Rasional : memungkinkan pasien untuk
menerima kenyataan dan menguatkan
kepercayaan pada pemberi perawatan dan
pemberian informasi.
d) Kurang pengetahuan tentang kondisi dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan kurangnya
informasi.
Tujuan : Menyatakan pemahaman tentang proses
penyakit dan prognosisnya.
Kriteria Hasil: Melakukan perubahan pola hidup dan
berpartisipasi dalam program
pengobatan
Intervensi :
(1) Dorong pasien menyatakan rasa takut perasaan
dan perhatian.
Rasional : Membantu pasien dalam mengalami
perasaan.
(2) Kaji ulang proses penyakit, pengalaman pasien
Rasional : memberi dasar pengetahuan dimana
pasien dapat membuat pilihan terapi
(3) Berikan informasi tentang penyakit yang diderita
pasien
Rasional : meningkatkan pengetahuan pasien
terhadap penyakit yang dideritanya
(4) Berikan penjelasan tentang tindakan/pengobatan
yang akan dilakukan
Rasional : meningkatkan pengetahuan pasien
terhadap tindakan untuk menyembuhkan
penyakitnya.
2) Post operasi
a) Retensi urin berhubungan dengan obstruksi mekanik:
bekuan darah, edema, trauma, prosedur bedah,
tekanan dan iritasi kateter.
Tujuan : Pasien berkemih dengan jumlah normal
tanpa retensi
Kriteria Hasil: Menunjukkan perilaku yang
meningkatkan control kandung
kemih/urinaria, pasien
mempertahankan keseimbangan
cairan : asupan sebanding dengan
haluaran.
Intervensi :
(1) Kaji haluaran urine dan system drainase,
khususnya selama irigasi berlangsung
Rasional : retensi dapat terjadi karena edema area
bedah, bekuan darah dan spasme kandung kemih.
(2) Bantu pasien memilih posisi normal untuk
berkemih
Rasional : mendorong pasase urine dan
menngkatkan rasa normalitas.
(3) Perhatikan waktu, jumlah berkemih dan ukuran
aliran setelah kateter dilepas.
Rasional : kateter biasa lepas 2-5 hari setelah
bedah, tetapi berkemih dapat berlanjut sehingga
menjadi masalah untuk beberapa waktu karena
edema uretral dan kehilangan tonus.
(4) Dorong pemasukan cairan 3000 ml sesuai
toleransi, batasi cairan pada malam hari setelah
kateter dilepas
Rasional : mempertahankan hidrasi adekuat dan
perfusi ginjal untuk aliran urine “penjadwalan”
masukan cairan menurunkan kebutuhan
berkemih/gangguan tidur selama malam hari.
(5) Pertahankan irigasi kandung kemih continue
(continous bladder irrigation)/CBI sesuai indikasi
pada periode pascaoperasi
Rasional : mencuci kandung kemih dari bekuan
darah dan debris untuk mempertahankan patensi
kateter
b) Nyeri akut berhubungan dengan spasmus kandung
kemih dan insisi sekunder pada pembedahan, dan
pemasangan kateter.
Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil :
(1) Pasien mengatakan nyeri berkurang
(2) Ekspresi wajah pasien tenang
(3) Pasien akan menunjukkan ketrampilan relaksasi.
(4) Pasien akan tidur / istirahat dengan tepat.
(5) Tanda – tanda vital dalam batas normal.
Intervensi :
(1) Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-
10)
Rasional : nyeri tajam, intermitten dengan
dorongan berkemih sekitar kateter menunjukkan
spasme kandung kemih.
(2) Jelaskan pada pasien tentang gejala dini spasmus
kandung kemih.
Rasional : Kien dapat mendeteksi gajala dini
spasmus kandung kemih.
(3) Pertahankan patensi kateter dan system drainase.
Pertahankan selang bebas dari lekukan dan bekuan
Rasional : mempertahankan fungsi kateter dan
drainase system. Menurunkan resiko
distensi/spasme kandung kemih
(4) Berikan informasi yang akurat tentang kateter,
drainase, dan spasme kandung kemih
Rasional : menghilangkan ansietas dan
meningkatkan kerjasama.
(5) Kolaborasi pemberian antispasmodic contoh :
(a) Oksibutinin klorida (Ditropan), supositoria
Rasional : merilekskan otot polos, untuk
memberikan penurunan spasme dan nyeri
(b) Propantelin bromide (pro-bantanin)
Rasional : menghilangkan spasme kandung
kemih oleh kerja antikolinergik.
c) Resiko perdarahan berhubungan dengan insisi area
bedah vaskuler (tindakan pembedahan) , reseksi
bladder, kelainan profil darah
Tujuan : Tidak terjadi perdarahan
Kriteria Hasil :
(1) Pasien tidak menunjukkan tanda – tanda
perdarahan
(2) Tanda – tanda vital dalam batas normal .
(3) Urine lancar lewat kateter
Intervensi :
(1) Jelaskan pada pasien tentang sebab terjadi
perdarahan setelah pembedahan dan tanda –
tanda perdarahan .
Rasional : Menurunkan kecemasan pasien dan
mengetahui tanda – tanda perdarahan.
(2) Irigasi aliran kateter jika terdeteksi gumpalan
dalm saluran kateter.
Rasional : Gumpalan dapat menyumbat kateter,
menyebabkan peregangan dan perdarahan
kandung kemih
(3) Sediakan diet makanan tinggi serat dan
memberi obat untuk memudahkan defekasi .
Rasional : Dengan peningkatan tekanan pada
fosa prostatic yang akan mengendapkan
perdarahan
(4) Mencegah pemakaian termometer rektal,
pemeriksaan rectal atau huknah, untuk sekurang
– kurangnya satu minggu .
Rasional : Dapat menimbulkan perdarahan
prostat
(5) Pantau traksi kateter: catat waktu traksi di
pasang dan kapan traksi dilepas .
Rasional : Traksi kateter menyebabkan
pengembangan balon ke sisi fosa prostatik,
menurunkan perdarahan. Umumnya dilepas 3 –
6 jam setelah pembedahan
(6) Observasi tanda – tanda vital tiap 4 jam,
masukan dan haluaran Warna urine
Rasional : Deteksi awal terhadap komplikasi,
dengan intervensi yang tepat mencegah
kerusakan jaringan yang permanen.
d) Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif:
alat selama pembedahan, kateter, irigasi kandung
kemih sering
Tujuan : Pasien tidak menunjukkan tanda – tanda
infeksi
Kriteria Hasil :
(1) Pasien tidak mengalami infeksi.
(2) Dapat mencapai waktu penyembuhan.
(3) Tanda – tanda vital dalam batas normal dan
tidak ada tanda – tanda syok.
Intervensi :
(1) Pertahankan sistem kateter steril, berikan
perawatan kateter dengan steril.
Rasional : Mencegah pemasukan bakteri dan
infeksi.
(2) Anjurkan intake cairan yang cukup ( 2500 –
3000 ) sehingga dapat menurunkan potensial
infeksi.
Rasional : Meningkatkan output urine sehingga
resiko terjadi ISK dikurangi dan
mempertahankan fungsi ginjal
(3) Pertahankan posisi urinebag dibawah
Rasional : Menghindari refleks balik urine yang
dapat memasukkan bakteri ke kandung kemih.
(4) Observasi tanda – tanda vital, laporkan tanda –
tanda shock dan demam.
Rasional : Mencegah sebelum terjadi shock.
(5) Observasi urine: warna, jumlah, bau.
Rasional : Mengidentifikasi adanya infeksi.
(6) Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat
antibiotic
Rasional :Untuk mencegah infeksi dan
membantu proses penyembuhan.
e) Resiko terhadap disfungsi seksual berhubungan
dengan ketakutan impoten akibat dari pembedahan.
Tujuan : Tampak rileks dan melaporkan ansietas
menurun sampai tingkat dapat diatasi
Kriteria Hasil : Menyatakan pemahaman situasional
individu, menunjukan pemecahan masalah dan
menunjukkan rentang yang tepat tentang perasaan dan
penurunan rasa takut.
Intervensi :
(1) Dampingi pasien dan bina hubungan saling
percaya
Rasional : Menunjukka perhatian dan keinginan
untuk membantu
(2) Berikan informasi yang tepat tentang harapan
kembalinya fungsi Seksual
Rasional : impotensi fisiologis terjadi bila syaraf
perineal dipotong selama prosedur radikal.
(3) Diskusikan ejakulasi retrograde bila pendekatan
transurethral/suprapubik digunakan
Rasional : cairan seminal mengalir kedalam
kandung kemih dan disekresikan melalui urine,
hal ini tidak mempengaruhi fungsi seksual tetapi
akan menurunkan kesuburan dan menyebabkan
urine keruh
(4) Anjurkan pasien untuk latihan perineal dan
interupsi/continue aliran urinRasional :
meningkatkan peningkatan control otot
kontinensia urin dan fungsi seksual.
f) Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri
sebagai efek pembedahan
Tujuan : Kebutuhan tidur dan istirahat terpenuhi.
Kriteria hasil :
(1) Pasien mampu beristirahat / tidur dalam waktu
yang cukup.
(2) Pasien mengungkapan sudah bisa tidur
(3) Pasien mampu menjelaskan factor penghambat
tidur .
Intervensi :
(1) Jelaskan pada pasien dan keluarga penyebab
gangguan tidur dan kemungkinan cara untuk
menghindari.
Rasional : meningkatkan pengetahuan pasien
sehingga mau kooperatif dalam tindakan
perawatan
(2) Ciptakan suasana yang mendukung, suasana
tenang dengan mengurangi kebisingan
Rasional : Suasana tenang akan mendukung
istirahat
(3) Beri kesempatan pasien untuk mengungkapkan
penyebab gangguan tidur.
Rasional : Menentukan rencana mengatasi
gangguan
(4) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat
yang dapat mengurangi nyeri/analgetik.
Rasional : Mengurangi nyeri sehingga pasien
bisa istirahat dengan cukup .
DAFTAR PUSTAKA

Johnson, M; Maas, M; Moorhead, S. 2000. Nursing Outcomes Classification


(NOC). Mosby: Philadelphia
Mansjoer, A, et all, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid I, Media Aesculapis,
Jakarta
McCloskey, J dan Bulechek, G. 2000. Nursing Interventions Classification (NIC).
Mosby: Philadelphia
Nanda (2000), Nursing Diagnosis: Prinsip-Prinsip dan Clasification, 2001-2002,
Philadelphia, USA.
Smeltzer, S.C, 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth, Vol 2, EGC, Jakarta
Anonim. 2012. Diakses 5 Mei 2012 pada
http://www.scribd.com/doc/54979478/ASKEP-BPH
Anonym. 2010. http://asuhankeperawatans.blogspot.com/2010/10/asuhan-
keperawatan-benigna-prostat.html
LAPORAN PENDAHULUAN BPH (BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA)
DI RUANG CEMPAKA 2 RUMAH SAKIT UMUM
DAERAH Dr. LOEKMONO HADI KUDUS

DISUSUN OLEH :

Nama : Ike Diah Ayu Larasati

NIM : 14.02.09.40

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

AN NUR PURWODADI

2017

Anda mungkin juga menyukai