BAB I
PENDAHULUAN
1
Sinusitis maksilaris dapat terjadi akut, berulang atau kronis. Sinusitis
maksilaris akut berlangsung tidak tanpa adanya residu kerusakan jaringan
mukosa. Sinusitis berulang terjadi lebih sering tapi tidak terjadi kerusakan
signifikan pada membran mukosa. Sinusitis kronis berlangsung selama 3 bulan
atau lebih dengan gejala yang terjadi selama lebih dari dua puluh hari (lebih dari
tiga minggu). Sinusitis akut dapat sembuh sempurna jika diterapi dengan baik. 1,2
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sinus frontal kanan dan kiri, sinus ethmoid kanan dan kiri (anterior dan
posterior), sinus maksila kanan dan kiri (antrum highmore) dan sinus sfenoid
kanan dan kiri. Semua sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan
mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui
ostium masing-masing.3
Pada meatus medius yang merupakan ruang di antara konka superior dan
konka inferior rongga hidung terdapat suatu celah sempit yaitu hiatus semilunaris
sebagai muara dari sinus maksila, sinus frontalis dan ethmoid anterior. Pada
meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media
terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.3
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga
hidung dan terbentuk pada fetus usia bulan III atau menjelang bulan IV dan tetap
3
berkembang selama masa kanak-kanak, jadi tidak heran jika pada foto anak-anak
belum ada sinus frontalis karena belum terbentuk.4
Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Sinus maksila
berbentuk seperti piramid. Dinding anterior sinus maksila dibentuk oleh
permukaan fasial os maksila (fosa kanina), dinding posterior terbentuk oleh
permukaan infra-temporal maksila, bagian medial sinus maksila adalah dinding
lateral rongga hidung, dinding superior terbentuk oleh dasar orbita, dan dinding
inferior terbentuk oleh prosesus alveolaris dan palatum.4
Secara klinis, yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah
dasar dari sinus maksila (dinding inferior) sangat berdekatan dengan akar gigi
rahang atas, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas dan menyebabkan
terjadinya sinusitis. Sinusitis maksila dapat menimbulkan terjadinya komplikasi
orbita karena dinding superior sinus maksila dibenuk oleh dasar orbita. Ostium
sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya
tergantung dari pergerakan silia.3,4
2.2. Definisi
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Sesuai anatomi sinus yang
terkena, dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal
dan sinusitis sfenoid.1,2,3 Yang paling sering ditemukan ialah sinusitis maksila dan
sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusuitis sfenoid lebih jarang.
4
Sinus maksila disebut juga dengan antrum highmore, merupakan sinus
yang sering terinfeksi, oleh karena (1) merupakan sinus paranasal yang terbesar,
(2) letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret atau drainase
dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia, (3) dasar sinus maksila
adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi gigi dapat
menyebabkan sinusitis maksila, (4) ostium sinus maksila terletak di meatus
medius, di sekitar hiatus semilunaris yang sempit, sehingga mudah tersumbat.1
Sinusitis maksilaris dapat terjadi akut, berulang atau kronis. Sinusitis
maksilaris akut berlangsung tidak tanpa adanya residu kerusakan jaringan
mukosa. Sinusitis berulang terjadi lebih sering tapi tidak terjadi kerusakan
signifikan pada membran mukosa. Sinusitis kronis berlangsung selama 3 bulan
atau lebih dengan gejala yang terjadi selama lebih dari dua puluh hari (lebih dari
tiga minggu). Sinusitis akut dapat sembuh sempurna jika diterapi dengan baik. 1,2,5
2.3 Patofisiologi
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara
lain (1) sebagai pengatur kondisi udara, (2) sebagai penahan suhu, (3) membantu
keseimbangan kepala, (4) resonansi suara, (5) peredam perubahan tekanan udara
dan (6) membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung.1,3
Fungsi sinus paranasal dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
pertahanan mukosilier, ostium sinus yang tetap terbuka dan pertahanan tubuh baik
lokal maupun sistemik.2,3,5 Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga
terdapat mukosa bersilia dan palut lendir di atasnya. Di dalam sinus silia bergerak
secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti
jalur-jalur yang sudah tertentu polanya.
5
Gambar 3. Perubahan silia pada sinusitis
6
Gambar 4. Perubahan mukosa pada sinus yang terinfeksi
7
Ada tiga kategori utama pada mekanisme terjadinya sinusitis kronis, yaitu:5
1. Sinusitis yang berhubungan dengan hiperplasia karena peradangan.
2. Sinusitis sebagai bagian dari alergi umum saluran napas.
3. Sinusitis karena salah satu diatas disertai infeksi sekunder.
8
2.4 Etiologi dan Faktor Predisposisi
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,
bermacam rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita hamil,
polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka,
sumbatan kompleks osteo-meatal, infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik,
diskinesia silia seperti pada sindroma Kartegener, dan di luar negeri adalah
penyakit fibrosis kistik.
Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis
sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan
menyembuhkan rhinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan
foto polos leher posisi lateral. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah
lingkungan yang berpolusi, udara dingin dan kering, serta kebiasaan merokok.
Keadaan ini lama-lama menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia.
9
Gambar 7. Pus pada meatus medius
10
Mayor Minor
Nyeri atau rasa tertekan pada wajah Sakit kepala
Sekret nasal dan post nasal purulen Batuk
Demam (fase akut) Rasa lelah
Kongesti nasal Halitosis (bau mulut)
Obstruksi nasal Nyeri gigi
Hiposmia atau anosmia Nyeri atau rasa tertekan /penuh pada
telinga
11
Gambar 9. Foto posisi Caldwell
sama lain.11
Gambar 10. Foto lateral menunjukkan gambaran air fluid level di sinus maksila
foto ini, secara ideal piramid tulang petrosum diproyeksikan pada dasar sinus maksilaris sehingga kedua sinus maksilaris dapat dievaluasi
sepenuhnya. Foto Water’s umumnya dilakukan pada keadaan mulut tertutup. Pada posisi mulut terbuka akan dapat menilai dinding posterior
12
Gambar 11. Foto posisi Waters Gambar 12. Foto posisi
mulut terbuka Waters
Pemeriksaan foto polos kepala air fluid level merupakan gambaran yang
paling umum pada sinusitis bakteri akut dan umumnya tidak terlihat dalam bentuk
lain dari sinusitis. Pemeriksaan ini paling baik dan paling utama untuk
mengevaluasi sinus paranasal. Karena banyaknya unsur-unsur tulang dan jaringan
lunak yang tumpang tindih pada daerah sinus paranasal, kelainan-kelainan
jaringan lunak, erosi tulang kadang-kadang sulit dievaluasi. Pemeriksaan ini dari
sudut biaya cukup ekonomis dan pasien hanya mendapat radiasi yang minimal.11
13
Pemeriksaan CT-Scan
CT scan sinus bidang koronal telah menjadi metode pencitraan standar
internasional untuk mengevaluasi sinus paranasal yang terkena sinusitis.
Pemeriksaan harus mencakup penilaian terhadap pola, batas, dan kemungkinan
penyebab penyakit, serta rincian anatomi yang relevan dan diperlukan untuk
perencanaan penatalaksanaan.6,9
Pada sinusitis akut dapat dilihat tingkat air-fluid, penebalan mukosa, dan
completeopacification sinus. Apabila terdapat darah di sinus karena trauma ini
mungkin dapat meniru air fluid level dalam sinus, namun mudah dibedakan
dengan pengukuran kepadatan. 11
Dalam sinusitis kronis, sinus etmoid umumnya terlibat. Temuan meliputi penebalan mukosa, completeopacification, remodeling
Gambar 14. Foto CT scan posisi Gambar 15. Foto CT scan posisi
coronal menggambarkan Sinusitis coronal menggambarkan sinusitis
jamur. Jaringan lunak menempati pada sisi kanan sinus spenoethmodal.
sinus maksilaris kanan dan ethmoid
dengan daerah hyperattenuating
pusat khas jamur sinusitis. Dinding
medial sinus yang terkena terkikis.
Pemeriksaan MRI
Meskipun CT scan tetap menjadi modalitas utama untuk kriteria standar
diagnosis sinusitis, tetapi MRI diindikasikan pada kasus-kasus klinis yang
dicurigai dapat menjadi komplikasi, terutama pada pasien dengan komplikasi
intrakranial dan infeksi yang besifat extension atau pada mereka yang suspek
superior sagittal venous thrombosis. 9
MRI meningkatkan diferensiasi jaringan lunak, tetapi itu tidak membantu
dalam mengevaluasi tulang. MRI jelas menggambarkan tumor dari inflamasi pada
14
jaringan sekitar dan sekresi pada sinus. Pada MRI T2-weighted, membran edema
dan lendir jelas terlihat hiperintens.9
Pemeriksaan USG
Secara umum, ultrasonografi belum dianggap berguna dalam diagnosis
sinusitis. Namun, beberapa karya yang diterbitkan telah menunjukkan bahwa
USG menjadi lebih akurat daripada MRI atau radiografi polos dalam
15
mendiagnosis sinusitis maksilaris. Ultrasonografi telah menjadi alat yang handal
dalam diagnosis sinusitis maksilaris akut. Namun, kontroversi masih ada
mengenai keandalan ultrasonografi dalam mendeteksi retensi cairan atau
pembengkakan mukosa pada pasien dengan rinosinusitis polypous kronis atau
dalam transantrally operated-on maxillary sinuses.9
Ultrasonografi memiliki beberapa keterbatasan dalam diagnosis sinusitis
tetapi ultrasonografi juga dapat menunjukkan hasil diagnosa positif dengan
adanya cairan antral, tapi sonogram tidak mendefinisikan penyebab cairan.
Sonogram tidak bisa memberikan informasi tentang detil tulang, dan sulit
mendiagnosis sinus apa yg terkena. Ultrasonografi juga tidak dapat digunakan
untuk membedakan penyakit sinus dari bakteri, virus, jamur, dan penyebab alergi.
2.8 Penatalaksanaan
Terapi sinusitis maksilaris umumnya terdiri dari : 9,10
1. Istirahat
2. Antibiotika
Antibiotika yang dipilih adalah antibiotika spektrum luas yang relatif murah
dan aman. Lama pemberian antibiotika yang disarankan oleh beberapa
kepustakaan juga bervariasi tergantung kondisi penderita. Pada kasus akut,
antibiotika diberikan selama 5-7 hari sedangkan pada kasus kronik diberikan
selama 2 minggu hingga bebas gejala selama 7 hari. Antibiotika yang dapat
diberikan antara lain :
a. Amoksisilin 3 kali 500 mg
b. Ampicillin 4 kali 500 mg
c. Eritromisin 4 kali 500 mg
d. Sulfametoksasol – TMP
e. Doksisiklin
2. Dekongestan lokal (tetes hidung) atau sistemik (oral) merupakan Alpha
adrenergik agonis menyebabkan vasokontriksi, sehingga memperlancar drainase
sinus.
a. Sol Efedrin 1-2 % sebagai tetes hidung
b. Sol Oksimetasolin HCL 0,05% (semprot hidung untuk dewasa)
c. Oksimetasolin HCL 0,025% (semprot hidung untuk anak-anak)
16
d. Tablet pseudoefedrin 3 kali 60 mg (dewasa)
3. Analgetika dan antipiretik: parasetamol atau metampiron
4. Antihistamin
Antagonis histamine H1 yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada
reseptor H1 sel target. Bekerja dengan menghambat hipersekresi kelenjar mukosa
dan sel goblet dan menghambat peningkatan permeabilitas kapiler sehingga
mencegah rinore dan sebagai vasokontriksi sinusoid untuk mencegah hidung
tersumbat. Antihistamin berguna untuk mengurangi obstruksi KOM pada pasien
alergi yang menderita sinusitis akut. Terapi antihistamin ini tidak
direkomendasikan untuk penggunaan rutin pada pasien dengan sinusitis akut,
karena dapat menimbulkan komplikasi melalui efeknya yang mengentalkan dan
mengumpulkan sekresi sinonasal.
5. Mukolitik
Secara teori, mukolitik seperti bromehexin atau ambroxol hidroklorida
memiliki kelebihan dalam mengurangi sekresi dan memperbaiki drainase. Namun
tidak biasa digunakan dalam praktek klinis untuk mengobati sinusitis akut.
6. Tindakan operatif
a. Pungsi dan Irigasi sinus maksilaris (antrum wash out)
Tujuan dilakukan Irigasi antrum adalah 1) sebagai tindakan diagnostik
untuk memastikan ada tidaknya sekret pada sinus maksilaris, 2) untuk
mengeluarkan sekret yang terkumpul didalam rongga sinus maksilaris, 3)
memperbaiki aliran mukosiliar, 4) jika dalam waktu 10 hari, penderita tidak
menunjukkan tanda-tanda perbaikan dengan terapi konservatif, atau telah
didapatkan adanya air fluid level dalam antrum, 5) untuk memperoleh material
yang dapat digunakan untuk kultur dan tes sensitifitas.
17
dengan menempatkan ujung trokar pada bagian atas dari meatus nasi inferior,
kearah kanthus lateralis 1-1/2 inch dari lobang hidung atau tepi atas daun
telinga. Trokar didorong masuk dengan arah sedikit memutar sampai terasa
menembus tulang. Trokar dicabut dengan meninggalkan kanul.
Dilakukan irigasi antrum dengan larutan salin steril hangat ke dalam antrum
maksilaris. Selanjutnya mengalirkan larutan saline hangat, akan mendorong
pus ke luar melalui ostium alami ke rongga hidung atau mulut. cairan irigasi
ditampung dan dikirim untuk pemeriksaan bakteriologi dan uji kepekaan
kuman.
Antrum wash out dilakukan lima-enam kali dengan selang waktu 4- 5 hari (2
kali dalam seminggu). Bila tidak ada perbaikan dan klinis masih tetap banyak
sekret purulen, berarti mukosa sinus tidak dapat kembali normal (perubahan
irreversible), maka perlu dilakukan operasi radikal.
Antibiotika diberikan sesuai dengan pemeriksaan bakteriologi dan tes uji
kepekaan.
8. Pembedahan radikal
Indikasi pembedahan radikal ini adalah 1) kegagalan respon terapi konservatif
yakni sinusitis kronik refrakter terhadap terapi medis yang maksimal terhadap
terapi antibiotik, 2) tindakan irigasi terutama pada sinusitis kronik dan persisten
dengan mukosa sinus yang irreversible. Sinusitis akut jarang membutuhkan
pembedahan, kecuali jika terjadi komplikasi seperti bentukan mukopiokele
dengan kecurigaan penyebaran ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang
hebat karena ada sekret tertahan oleh sumbatan.
Terapi radikal dilakukan dengan pembedahan Caldwel-luc, yaitu dengan
mengangkat mukosa yang patologis dan membuat drainasesinus.
9. Pembedahan tidak radikal
Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) atau Functional Endoscopic Sinus
Surgery (FESS) merupakan tehnik penanganan terkini dari sinusitis oleh karena
pembedahan dengan metode Caldwel-luc sudah jarang dipakai. Prinsipnya ialah
membuka dan membersihkan daerah KOM yang menjadi sumber penyumbatan
dan infeksi, sehingga ventilasi sinus dan drainase sinus dapat lancer kembali
18
melalui ostium alami dan mengembalikan fungsi mukosilier. Pendekatan
terdahulu untuk membuat saluran nasoantral dalam sinus maksilaris (untuk
memfasilitasi gravitasi drainase) adalah tidak efektif, karena pembersihan normal
mukosilier adalah satu arah dan melawan gravitasi. Oleh karena itu, pembersihan
normal mukosilier tidak akan berubah walaupun telah dibuatkan saluran
nasoantral.
19
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Hidung tersumbat
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan hidung tersumbat sejak 4 minggu SMRS.
Awalnya pasien bersin-bersin disertai pengeluaran cairan bening dari kedua
hidung. Setelah itu lama-kelamaan sekret menjadi kuning-kehijauan, kental, dan
bau. Hal ini disertai dengan sumbatan jalan nafas yang juga dirasakan di kedua
lubang hidung pasien. Sering terasa ada cairan yang turun dari belakang hidung ke
tenggorokan. Pada 2 minggu SMRS pasien merasakan penurunan penciuman pada
kedua hidung. Pasien merasakan nyeri di bawah mata kiri disertai nyeri tekan di
pipi sebelah kiri. Pasien juga mengeluhkan nyeri kepala seperti ditusuk-tusuk
yang hilang timbul. Keluhan demam dan batuk disangkal.
20
Riwayat Pengobatan:
Pasien mengaku sering mengkonsumsi obat warung untuk menghilangkan
sakit kepalanya.
Status Generalis
Kepala& Leher : normochepali, conjungtiva anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-)
Telinga/Hidung/Tenggorok : status lokalis
Thoraks
Cor :
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : S1 S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo :
Inspeksi : gerakan simetris saat statis dan dinamis
Palpasi : stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor
Auskultasi: vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen :
Inspeksi : distensi (-)
Palpasi : soepel, organomegali (-)
Perkusi : timpani (+)
Auskultasi : bising usus (+) normal
21
Ektremitas : edema (-/-), varises (-/-), akral hangat
TELINGA
Aurikula Radang (-), nyeri tekan tragus (-) Radang (-), nyeri tekan tragus (-)
Retroaurikula Radang (-), nyeri tekan (-) Radang (-), nyeri tekan (-)
Meatus
akustikus Mukosa hiperemi (-) Mukosa hiperemi (-)
eksternus
Membran Utuh, hiperemis (-), reflex cahaya Utuh, hiperemis (-), reflex cahaya
timpani jam 5, warna putih mengkilat jam 7, warna putih mengkilat
HIDUNG
Vestibulum Sekret (+), massa (-), hiperemis (+) Sekret (+), massa (-), hiperemis (+)
Konka
Hipertrofi (+), hiperemis (+) Hipertrofi (+), hiperemis (+)
inferior
Meatus nasi
Pus (-), polip (-) Pus (-), polip (-)
media
Kavum nasi Lapang Lapang
Mukosa Hiperemis (+) Hiperemis (+)
Sekret Deviasi (-) Deviasi (-)
Septum Normal normal
FARING
Arkus faring Simetris Simetris
T1, hiperemi (-), kripta (-), T1, hiperemi (-), kripta (-),
Tonsil
detritus (-), permukaan rata detritus (-), permukaan rata
Uvula Simetris, hiperemi (-), oedem (-)
Palatum mole Simetris, hiperemi (-)
Dinding faring Mukosa halus, hiperemi (-), refleks muntah (+/+)
Regio Fasialis:
Inspeksi : pembengkakan pipi (-), deformitas wajah (-)
Palpasi : nyeri tekan maksila dextra (-), nyeri tekan maksila sinistra (+)
Perkusi : nyeri ketok maksila dextra (-), nyeri tekan maksila sinistra (+)
Pemeriksaan Gigi : Lengkap , caries gigi (-)
Pemeriksaan tambahan
Transiluminasi : Sulit dinilai
22
3.5 Diagnosis
Sinusitis Maksilaris Kronis Sinistra Hipertrofi Konka Inferior Bilateral
3.6 Penatalaksanaan
Terapi:
1. Cefixime 2 x 200 mg
2. Paracetamol 3x500 mg
3. Dexamethasone 3 x 0,5 mg
4. Bromhexine syr 3 x CI
3.8 Prognosa
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad Fungsionam : dubia ad bonam
Quo ad Sanactionam : dubia ad bonam
23
BAB IV
PEMBAHASAN
24
variasi anatomi. Gejala berupa kongesti atau obstruksi hidung, nyeri kepala
setempat, sekret di hidung, sekret pasca nasal (post nasal drip), gangguan
penciuman dan pengecapan.
Pada rinoskopi anterior ditemukan sekret kental purulen dari meatus
medius. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring. Pengobatan
sinusitis kronik dilakukan secara konservatif dengan antibiotik selama 10 hari,
dekongestan lokal dan sistemik, juga dapat dilakukan diatermi gelombang pendek
selama 10 hari di daerah sinus maksila, pungsi dan irigasi sinus.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan diantaranya:
1. Transluminasi: pemeriksaan ini akan memberikan hasil yang bermkna apa
bila hanya salah satu sinus yang terkena. Hasil pemeriksaan transluminasi
positif menunjukkan adanya adanya perbedaan cahaya antara sinus yang
normal dan sinus ang sakit
2. Foto water: merupakan salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat
membantu dalam penegakan siagnosa sinusitis. Hasil pemeriksaan foto waters
menunjukkan adanya gambaran perselubungan dengan gambaran penebalan
dari mukosa atau dapat ditemukan adanya gambaran air fluid level.
3. CT Scan merupakan tes yang paling sensitive dalam mengungkapkan
kelainan anatomis selain melihat adanya cairan dalam sinus. tetapi karena
mahal, CT scan jarang dipakai sebagai skrining awal dalam menegakan
diagnose sinusitis.
Penatalaksanaan lini pertama pada sinusitis maksilaris menggunakan
dekongestan nasal topikal dan irrigasi saline dari cavum nasi. Dekongestan topikal
seperti ephedrine atau xylometazoline dapat melebarkan ostium sinus paranasal
yang akan melancarkan drainase dengan aktivitas siliaris. Kebanyakan
dekongestan berbentuk spray sehingga penghantaran zatnya lebih efektif.
Penggunaan dekongestan berlebihan dapat menyebabkan nasal discomfort dan
rebound mucosal swelling sehingga penggunaannya dianjurkan tidak lebih dari
tujuh hari. Namun pada sinusitis kronik, penggunaan dekongestan nasal lebih
lama namun dibatasi pengunaanya satu kali dalam sehari.
25
BAB V
SIMPULAN
1. Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Sesuai anatomi sinus yang
terkena, dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal
dan sinusitis sfenoid.
2. Pasien Tn.K, laki-laki, usia 51 tahun mengeluh hidung tersumbat sejak 4 minggu
SMRS. Awalnya pasien bersin-bersin disertai pengeluaran cairan bening dari
kedua hidung. Setelah itu lama-kelamaan sekret menjadi kuning-kehijauan, kental,
dan bau. Hal ini disertai dengan sumbatan jalan nafas yang juga dirasakan di
kedua lubang hidung pasien. Pada 2 minggu SMRS pasien merasakan penurunan
penciuman pada kedua hidung. Pasien merasakan nyeri di bawah mata kiri disertai
nyeri tekan di pipi sebelah kiri.
3. Terdapat beberapa permasalahan yang didapatkan pada pasien, dimana salah satu
permasalahan utamanya adalah pengetahuan pasien yang kurang terhadap
penyakitnya, sehingga pasien tidak dapat melakukan tindakan pencegahan untuk
penyakitnya.
4. Kehidupan sosial dan spiritual pasien disini tergolong cukup baik karena pasien
mendapatkan dukungan penuh dari keluarga dan tetangga sekitarnya untuk
melakukan pengobatan. Selain itu keluarga juga tidak pernah berhenti
mengingatkan pasien untuk lebih meningkatkan diri kepada Tuhan Yang Maha
Esa.
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Hall dan Collmans Sinusitis. Disease of The Nose, Throat and Ear. Head and Neck
Surgery. Fourtheenth ed, 2005, 49 – 53.
2. Dykewicz MS, Hamilos DL February 2010. Rhinitis and Sinusitis. The Journal of
Allergy and Clinical Immunology. 125: S103–15.
3. Mangunkusumo, Endang dan Nusjirwan Rifki. Sinusitis. In: Soepardi EA, Iskandar N
(eds). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. 6 th Ed.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008.pp.150-154.
4. Hilger, Peter A. Penyakit pada Hidung. In: Adams GL, Boies LR. Higler PA, editor.
Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC; 1997.p.200.
5. Kennedy E. Sinusitis. Available from: http://www.emedicine.com/emerg/topic536.htm
6. Rosenfeld RM. Picirrilo JF. Chandrasekhar SS. Brook I. Kumar KA. Kramper M.
Orlandi RR. Et al. 2015. Clinical Practice Guideline (Update): Adult Sinusitis.
Otolaryngology Head and Neck Surgery. 2015. 152 : (2S).p.1-24.
7. Pracy R, Siegler Y. Sinusitis Akut dan Sinusitis Kronis. Editor Roezin F, Soejak S.
Pelajaran Ringkas THT . Cetakan 4. Jakarta: Gramedia; 1993.p.81-91.
8. Desrosiers M. Evans GA. Keith PK. Wright ED, Kaplan A, Ciavarella A. Doyle PW,
Javer AR, et al. Canadian clinical practice guidelines for acute and chronic
rhinosinusitis. Allergy, Asthma & Clinical Immunology. 2011. 7:2.p.1-38.
9. Boies ET. Sinusitis. In: Harwood-Nuss A, Wolfson AB, Linden CA, Shepherd SM,
Stenklyft PH. The Clinical Practice of Emergency Medicine. 3rd ed. Philadelphia, PA:
Lippincott Williams & Wilkins Publishers; 2001.
10. Laszlo I. Radiologi Daerah Kepala dan Leher. Dalam: Penyakit Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepal & Leher Jilid 2. Edisi 13. Jakarta: Binarupa Aksara; 1997. p 2-9
11. Bell GW, Joshi BB and Macleod RI.Maxillary sinus disease: diagnosis and treatment.
British Dental Journal. 2011. 210: (3). 113-118.
27