Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

ETIKOLEGAL DALAM PRAKTIK KEBIDANAN “ADOPSI ANAK”

Disusun Oleh :
1. Siti Zulaikah
2. Purwati Utami
3. Asih Harini
4. Sri rahayu
5. Erni Puji
6. Sri Sumartini

PROGRAM STUDI DIV KEBIDANAN


POLTEKES SURAKARTA
TAHUN 2016
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga kami dapat menyusun
makalah ini dengan baik dan benar, serta tepat pada waktunya. Dalam makalah ini
kami akan membahas mengenai “Etikolegal Dalam Praktik Kebidanan “Adopsi
Anak”.
Makalah ini telah dibuat dengan berbagai observasi dan beberapa bantuan
dari berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan
selama mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada
makalah ini. Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran
serta kritik yang dapat membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat
kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Penulis

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Proses hidup manusia secara kodrati diawali dengan kelahiran dan
berakhir dengan suatu kematian. Setiap proses atau tahapan itu bagi manusia
merupakan peristiwa biasa namun kadang terdapat peristiwa biasa justru
menimbulkan akibat hukum tertentu. Salah satu tahapan dalam proses hidup
adalah adanya suatu perkawinan yang bahagia. Suatu perkawinan diharapkan
memperoleh keturunan yang baik sehingga dapat meneruskan silsilah hidup
dari orang tuanya. Akan tetapi tidak jarang suatu pernikahan tidak dikaruniai
keturunan atau anak.
Tujuan utama dari perkawinan bukanlah untuk mendapatkan anak,
melainkan untuk hidup bersama dan membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, seperti yang tercantum dalam
Undang- Undang No.1 Tahun 1974 pasal 1 yang menyebutkan tentang
definisi perkawinan sebagai berikut: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin
antar seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pada umumnya berbagai usaha dilakukan untuk untuk mendapatkan
keturunan, salah satu usaha mereka adalah mengangkat anak atau “adopsi”.

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian adopsi
2. Untuk mengetahui dasar hukum adopsi
3. Untuk mengetahui pihak yang dapat mengajukan adopsi
4. Untuk mengetahui tata cara adopsi
5. Untuk mengetahui isi permohonan adopsi
6. Untuk mengetahui tinjauan hukum adopsi
7. Untuk mengetahui peran bidan dalam adopsi

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Adopsi
Adopsi menurut bahasa berasal dari bahasa inggris ‘ adoption ‘, yang
berarti pengangkatan atau pemungutan sehingga sering dikatakan “ adoption
of child “ yang artinya pengangkatan atau pemungutan anak. Hal ini itu
dilakukan untuk memberi kasih sayang, nafkah, pendidikan dan keperluan
lainnya.
Adopsi ( mengangkat anak ) adalah suatu perbuatan pengambilan anak
orang lain kedalam keluarga sendiri sedemikian rupa sehingga antara orang
yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hukum
kekeluargaan yang sama, seperti yang ada diantara orang tua dan anak.
B. Dasar hukum adopsi
1. Pasal 39-41 UU No 23 Tahun 2002 tentang “ Pengangkatan Anak”
a. Pasal 39
1) Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang
terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan
setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
2) Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak
memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang
tua kandungnya.
3) Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut
oleh calon anak angkat.
4) Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan
sebagai upaya terakhir.
5) Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak
disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat.

2
3

b. Pasal 40
1) Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya
mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya.
2) Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan
kesiapan anak yang bersangkutan.
c. Pasal 41
1) Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan
terhadap pelaksanaan pengangkatan anak.
2) Ketentuan mengenai bimbingan dan pengawasan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2. Undang– undang no.4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak
disebutkan bahwa pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah
antara anak dengan orang tuanya dan keluarga orang tuanya berdasarkan
hukum yang berlaku bagi anak yang bersangkutan
3. Permenkes RI 1464 Menkes PER/X/2010 Tentang Izin Dan
Penyelenggaraan Praktek Bidan
Bab IV Pencatatan Dan Pelaporan
Pasal 20
1) dalam melakukan tugasnya bidan wajib melakukan pencatatan dan
pelaporan sesuai dengan pelayanan yang diberikan
2) Pelaporan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) ditujukan kepada
puskesmas wilayah tempat praktik.
3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 untuk
bidan yang bekerja difasilitas pelayanan kesehatan
4. Undang-Undang No.23 Tahun 1992
Bab VI Tentang Sumber Daya Kesehatan
a. Pasal 50 Ayat 1 & 2
1) Tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan
kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan atau
kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan.
4

2) Ketentuan mengenai kategori, jenis dan kualifikasi tenaga


kesehatan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
b. Pasal 53 Ayat 1, 2, 3 Dan 4
1) Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam
melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya
2) Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk
mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien
3) Tenaga kesehatan untuk kepentingan pembuktian dapat melakukan
tindakan medis terhadap seseorang dengan memperhatikan
kesehatan dan keselamatan yang bersangkutan
4) Ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah
c. Pasal 54 Ayat 1, 2 Dan 3
1) Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau
kelalaian dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan
disiplin
2) Penentuan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga
Kesehatan
3) Ketentuan mengenai pembentukan tugas, fungsi dan tata kerja
Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan ditetapkan dengan Keputusan
Presiden
d. Pasal 55 Ayat 1 & 2
1) Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian
yang dilakukan tenaga kesehatan
2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
5

C. Pihak Yang Dapat Mengajukan Adopsi


1. Pasangan Suami Istri
Ketentuan mengenai adopsi anak bagi pasangan suami istri diatur dalam
SEMA No.6 tahun 1983 tentang penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2
tahun 1979 tentang pemeriksaan permohonan pengesahan/pengangkatan
anak. Selain itu Keputusan Menteri Sosial RI No. 41/HUK/KEP/VII/1984
tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak juga
menegaskan bahwa syarat untuk mendapatkan izin adalah calon orang tua
angkat berstatus kawin dan pada saat mengajukan permohonan
pengangkatan anak, sekurang-kurangnya sudah kawin lima tahun.
Keputusan Menteri ini berlaku bagi calon anak angkat yang berada dalam
asuhan organisasi sosial.
2. Orang tua tunggal
1) Staatblaad 1917 No. 129
Staatblaad ini mengatur tentang pengangkatan anak bagi orang-orang
Tionghoa yang selain memungkinkan pengangkatan anak oleh yang
terikat perkawinan, juga bagi yang pernah terikat perkawinan (duda
atau janda). Namun bagi janda yang suaminya telah meninggal dan
sang suami meninggalkan wasiat yang isinya tidak menghendaki
pengangkatan anak, maka janda tersebut tidak dapat melakukannya.
Pengangkatan anak menurut Staatblaad ini hanya dimungkinkan untuk
anak laki-laki dan hanya dapat dilakukan dengan Akte Notaris. Namun
Yurisprudensi ( Putusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta) tertanggal
29 Mei 1963, telah membolehkan mengangkat anak perempuan.
2) Surat Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun 1983
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 tahun 1983 ini mengatur tentang
pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia (WNI). Isinya selain
menetapkan pengangkatan yang langsung dilakukan antara orang tua
kandung dan orang tua angkat (private adoption), juga tentang
pengangkatan anak yang dapat dilakukan oleh seorang warga negara
6

Indonesia yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah/belum


menikah (single parent adoption).

D. Tata cara adopsi


Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.6/83 yang mengatur tentang cara
mengadopsi anak menyatakan bahwa untuk mengadopsi anak harus terlebih
dahulu mengajukan permohonan pengesahan/pengangkatan kepada
Pengadilan Negeri di tempat anak yang akan diangkat itu berada.
Bentuk permohonan itu bisa secara lisan atau tertulis, dan diajukan ke
panitera. Permohonan diajukan dan ditandatangani oleh pemohon sendiri atau
kuasanya, dengan dibubuhi materai secukupnya dan dialamatkan kepada
Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat
tinggal/domisili anak yang akan diangkat.

E. Isi permohonan
Adapun isi Permohonan yang dapat diajukan adalah:
1. Motivasi mengangkat anak, yang semata-mata berkaitan atau demi masa
depan anak tersebut.
2. Penggambaran kemungkinan kehidupan anak tersebut di masa yang akan
datang.
Untuk itu dalam setiap proses pemeriksaan, harus membawa dua orang
saksi yang mengetahui seluk beluk pengangkatan anak tersebut. Dua orang
saksi itu harus pula orang yang mengetahui betul tentang kondisi anda
(baik moril maupun materil) dan memastikan bahwa akan betul- betul
memelihara anak tersebut dengan baik.

F. Tinjauan Hukum
1. Perwalian
Dalam hal perwalian, sejak putusan diucapkan oleh pengadilan, maka orang
tua angkat menjadi wali dari anak angkat tersebut. Sejak saat itu pula, segala
hak dan kewajiban orang tua kandung beralih pada orang tua angkat.
7

Kecuali bagi anak angkat perempuan beragama Islam, bila dia akan
menikah maka yang bisa menjadi wali nikahnya hanyalah orangtua
kandungnya atau saudara sedarahnya.
2. Waris
Khazanah hukum kita, baik hukum adat, hukum Islam maupun hukum
nasional, memiliki ketentuan mengenai hak waris. Ketiganya memiliki
kekuatan yang sama, artinya seseorang bisa memilih hukum mana yang
akan dipakai untuk menentukan pewarisan bagi anak angkat.
a. Hukum Adat
Bila menggunakan lembaga adat, penentuan waris bagi anak angkat
tergantung kepada hukum adat yang berlaku. Bagi keluarga yang
parental, Jawa misalnya, pengangkatan anak tidak otomatis memutuskan
tali keluarga antara anak itu dengan orangtua kandungnya. Oleh
karenanya, selain mendapatkan hak waris dari orangtua angkatnya, dia
juga tetap berhak atas waris dari orang tua kandungnya. Berbeda dengan
di Bali, pengangkatan anak merupakan kewajiban hukum yang
melepaskan anak tersebut dari keluarga asalnya ke dalam keluarga
angkatnya. Anak tersebut menjadi anak kandung dari yang
mengangkatnya dan meneruskan kedudukan dari bapak angkatnya.
b. Hukum Islam
Dalam hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum
dalam hal hubungan darah, hubungan wali-mewali dan hubungan waris
mewaris dengan orang tua angkat. Ia tetap menjadi ahli waris dari orang
tua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah
kandungnya
c. Peraturan Per-Undang-undangan
Dalam Staatblaad 1917 No. 129, akibat hukum dari pengangkatan anak
adalah anak tersebut secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat,
dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat
dan menjadi ahli waris orang tua angkat. Artinya, akibat pengangkatan
tersebut maka terputus segala hubungan perdata, yang berpangkal pada
8

keturunan karena kelahiran, yaitu antara orang tua kandung dan anak
tersebut.

G. Peran bidan dalam adopsi


1. Dengan banyaknya kasus pengilegalan identitas bayi, seorang bidan
hendaknya mensiasati dengan cara meminta surat nikah dan kartu keluarga
supaya tidak terjadi pemalsuan Identitas Orang Tua dan bayinya.
2. Memberikan KIE kepada masyarakat umum tentang masalah maraknya
Pemalsuan Identitas bayi, beserta sanksi yang didapat sesuai dengan
hokum yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
3. Mengikutsertakan masyarakat untuk Pro-aktif dalam pencegahan
Terjadinya Pemalsuan Identitas bayi Adopsi
4. Bidan dalam Melakukan Tugas sesuai dengan kewenangannya.
5. Bidan Taat Hukum serta bekerja sesuai dengan etika dan kode etik
kebidanan
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari makalah yang kami susun dapat kami simpulkan sebagai berikut :
1. Adopsi ( mengangkat anak ) adalah suatu perbuatan pengambilan anak
orang lain kedalam keluarga sendiri sedemikian rupa sehingga antara
orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu
hukum kekeluargaan yang sama, seperti yang ada diantara orang tua dan
anak.
2. Dasar hukum adopsi adalah Pasal 39-41 UU No 23 Tahun 2002 tentang “
Pengangkatan Anak”, Undang– undang no.4 tahun 1979 tentang
kesejahteraan anak, Permenkes RI 1464 Menkes PER/X/2010 Tentang Izin
Dan Penyelenggaraan Praktek Bidan, Undang-Undang No.23 Tahun 1992
3. Pihak yang dapat mengajukan adopsi adalah pasangan suami istri dan
orang tua tunggal
4. Tata cara adopsi diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.6/83.
5. Isi permohonan yang diajukan adalah motivasi mengangkat anak, yang
semata-mata berkaitan atau demi masa depan anak tersebut dan
penggambaran kemungkinan kehidupan anak tersebut di masa yang akan
datang.
6. Tinjauan Hukum yang perlu diperhatikan adalah tentang perwalian dan
waris
7. Peran bidan dalam adopsi adalah melakukan Tugas sesuai dengan
kewenangannya yaitu dengan melakukan pencatatan terhadap identitas
bayi dengan lengkap sesuai surat nikah dan kartu keluarga

9
DAFTAR PUSTAKA

Guwandi, S.H. 2002. Hospital Law. FKUI : Jakarta

Lavendina.2011.http://lavendina.wordpress.com/2010/09/26/aspek-hukum-aborsi-
bayi-tabung-dan-adopsi/.

Anonymous.20011.http://artikelterbaru.com/kesehatan/kebidanan/konsep-
dokumentasi-kebidanan-2011134.html.

10

Anda mungkin juga menyukai