Breathing :
Untuk menilai pernapasan korban dilakukan 3 cara:
- Look: lihat gerakan dada apakah mengembang atau tidak.
- Listen: dengarkan suara napas korban ada atau tidak
- Feel: rasakan hembusan napas korban pada mulut/hidung ada atau tidak.
Berikan ventilasi sebanyak 2 kali. Pemberian ventilasi dengan jarak 1 detik
diantara ventilasi. Perhatikan kenaikan dada korban untuk memastikan volume
tidal yang masuk adekuat. Untuk pemberian mulut ke mulut langkahnya
sebagai berikut :
- Pastikan hidung korban terpencet rapat
- Ambil nafas seperti biasa (jangan terelalu dalam)
- Buat keadaan mulut ke mulut yang serapat mungkin
- Berikan satu ventilasi tiap satu detik
- Kembali ke langkah ambil nafas hingga berikan nafas kedua selama satu
detik.
- Jika tidak memungkinkan untuk memberikan pernafasan melalui mulut
korban dapat dilakukan pernafasan mulut ke hidung korban.
- Untuk pemberian melalui bag mask pastikan menggunakan bag mask
dewasa dengan volume 1-2 L agar dapat memeberikan ventilasi yang
memenuhi volume tidal sekitar 600 ml.
- Setelah terpasang advance airway maka ventilasi dilakukan dengan
frekuensi 6 – 8 detik/ventilasi atau sekitar 8-10 nafas/menit dan
kompresi dada dapat dilakukan tanpa interupsi.
- Jika pasien mempunyai denyut nadi namun membutuhkan pernapasan
bantuan, ventilasi dilakukan dengan kecepatan 5-6 detik/nafas atau
sekitar 10-12 nafas/menit dan memeriksa denyut nadi kembali setiap 2
menit.
- Untuk satu siklus perbandingan kompresi dan ventilasi adalah 30 : 2,
setelah terdapat advance airway kompresi dilakukan terus menerus
dengan kecepatan 100 – 120 kali/menit dan ventilasi tiap 6-8 detik/kali.
Circulation :
- Meraba dan menetukan denyut nadi karotis. Jika ada denyut nadi maka
dilanjutkan dengan memberikan bantuan pernafasan, tetapi jika tidak
ditemukan denyut nadi, maka dilanjutkan dengan melakukan kompresi
dada.
- Untuk penolong non petugas kesehatan tidak dianjurkan untuk
memeriksa denyut nadi korban.
- Pemeriksaan denyut nadi ini tidak boleh lebih dari 10 detik.
- Lokasi kompresi berada pada tengah dada korban (setengah bawah
sternum). Penentuan lokasi ini dapat dilakukan dengan cara tumit dari
tangan yang pertama diletakkan di atas sternum, kemudian tangan yang
satunya diletakkan di atas tangan yang sudah berada di tengah sternum.
Jari-jari tangan dirapatkan dan diangkat pada waktu penolong
melakukan tiupan nafas agar tidak menekan dada.
- Petugas berlutut jika korban terbaring di bawah, atau berdiri disamping
korban jika korban berada di tempat tidur
- Kompresi dada dilakukan sebanyak satu siklus (30 kompresi, sekitar 18
detik)
- Kecepatan kompresi diharapkan mencapai sekitar 100 – 120
kompresi/menit.
- Kedalaman kompresi untuk dewasa minimal 2 inchi (5 cm) dan tidak
lebih dari 2,4 inchi (6 cm), sedangkan untuk bayi minimal sepertiga dari
diameter anterior-posterior dada atau sekitar 1 ½ inchi (4 cm) dan untuk
anak sekitar 2 inchi (5 cm).
B. ADVANCED LIFE SUPPORT (Bantuan Hidup Lanjut)
1. Definisi : bantuan hidup lanjut adalah usaha yang dilakukan setelah dilakukan usaha
hidup dasar dengan memberikan obat-obatan yang dapat memperpanjang hidup pasien.
Bantuan hidup lanjut merupakan bantuan hidup dasar ditambah dengan penggunaan
peralatan seperti; jalur infus intravena, obat-obatan, defibrilasi, monitoring jantung,
kontrol aritmia dan perawatan pasca resusitasi.
2. Tujuan :
Memulihkan sirkulasi spontan
Memperbaiki ventilasi dan oksigenasi
3. Cara :
Drugs and Fluids :
Tanpa menunggu hasil EKG dapat diberikan :
a. Adrenalin : 0,5 – 1,0 mg dosis untuk orang dewasa, 10 mcg/ kg pada anak-
anak.
Cara pemberian : iv, intratrakeal lewat pipa trakeal (1 ml adrenalin
diencerkan dengan 9 ml akuades steril, bukan NaCl, berarti dalam 1 ml
mengandung 100 mcg adrenalin).
Jika keduanya tidak mungkin : lakukan intrakardial (hanya oleh tenaga yang
sudah terlatih). Di ulang tiap 5 menit dengan dosis sama sampai timbul
denyut spontan atau mati jantung.
b. Natrium Bikarbonat : dosis mula 1 mEq/ kg (bila henti jantung lebih dari 2
menit) kemudian dapat diulang tiap 10 menit dengan dosis 0,5 mEq/ kg
sampai timbul denyut jantung spontan atau mati jantung.
Penggunaan natrium bikarbonat tidak lagi dianjurkan kecuali pada
resusitasi yang lama, yaitu pada korban yang diberi ventilasi buatan yang
lama dan efisien, sebab kalau tidak asidosis intraseluler justru bertambah
dan tidak berkurang. Penjelasan untuk keanehan ini bukanlah hal yang baru.
CO2 yang tidak dihasilkan dari pemecahan bikarbonat segera menyeberangi
membran sel jika CO2 tidak diangkut oleh respirasi.
c. Sulfat Atropin: Mengurangi tonus vagus memudahkan konduksi
atrioventrikuler dan mempercepat denyut jantung pada keadaan sinus
bradikardi. Paling berguna dalam mencegah “arrest” pada keadaan sinus
bradikardi sekunder karena infark miokard, terutama bila ada hipotensi.
Dosis yang dianjurkan ½ mg, diberikan iv. Sebagai bolus dan diulang dalam
interval 5 menit sampai tercapai denyut nadi > 60 /menit, dosis total tidak
boleh melebihi 2 mg kecuali pada blok atrioventrikuler derajat 3 yang
membutuhkan dosis lebih besar.
d. Lidokain: Meninggikan ambang fibrilasi dan mempunyai efek antiaritmia
dengan cara meningkatkan ambang stimulasi listrik dari ventrikel selama
diastole. Pada dosis terapeutik biasa, tidak ada perubahan bermakna dari
kontraktilitas miokard, tekanan arteri sistemik, atau periode refrakter
absolut. Obat ini terutama efektif menekan iritabilitas sehingga mencegah
kembalinya fibrilasi ventrikel setelah defibrilasi yang berhasil, juga efektif
mengontrol denyut ventrikel prematur yang mutlti fokal dan episode
takhikardi ventrikel. Dosis 50-100 mg diberikan iv sebagai bolus, pelan-
pelan dan bisa diulang bila perlu. Dapat dilanjutkan dengan infus kontinu
1-3 mg.menit, biasanya tidak lebih dari 4 mg.menit, berupa lidocaine 500
ml dextrose 5 % larutan (1 mg/ml).
Fibrillation Treatment :
- Pastikan telah terjadi henti jantung – periksa tanda-tanda kehidupan atau
jika terlatih, lakukan pemeriksaan napas dan denyut secara simultan
- Panggil bantuan tim resusitasi
- Lakukan kompresi dada yang tak terinterupsi sambil memasang alat
defibrilasi sekaligus alat pemantau jantung – satu di bawah klavikula
kanan dan satunya di posisi lead V6 di garis midaksilaris
- Rencanakan tindakan dengan baik sebelum menghentukan CPR untuk
menganalisis ritme jantung dan berkomunikasi dengan anggota tim
resusitasi lainnya
- Hentikan kompresi dada: konfirmasi tanda-tanda VF dari EKG
- Lakukan lagi kompresi dada; pada waktu yang bersamaan, anggota
lainnya melakukan pemasangan defibrilator lalu menaikan energi kejut
bifasik sekitar 200 J untuk kejutan yang pertama, lalu 150-360 J bifasik
untuk kejutan berikutnya, kemudian tekan lagi tombol isi ulang/charge
atau kejutan monofasik sebesar 360 J.
- Ketika defibrilator diisi ulang, peringatkan ke semua penolong kecuali
yang sedang melakukan kompresi dada, agar melakukan “stand clear”
dan melepaskan semua peralatan penghantar oksigen. Memastikan
bahwa penolong yang mengompresi dada merupakan satu-satunya
orang yang menyentuh pasien
- Ketika defibrilator telah terisi penh, beritahu penolong yang sedang
mengompresi dada untuk minggir/stand clear; jika sudah aman, maka
berikan kejutan
- Tanpa memeriksa ulang ritme jantung atau tanpa mengecek denyut nadi,
CPR diulangi kembali dengan rasio 30:2, yang diawali dengan kompresi
dada
- Lanjutkan CPR selama 2 menit; pemimpin tim menyiapkan tim untuk
jeda CPR
- Hentikan kompresi sesaat untuk mengecek monitor
- Jika pada monitor terlihat VF/VT, maka ulangi langkah 1-6 lalu berikan
kejutan kedua
- Jika VF/VT tetap bertahan, maka ulangi langkah 6-8 lalu berikan kejtan
ketiga. Lanjutkan kompresi dada sesegera mungkin lalu berikan
adrenaline 1 mg IV dan amiodarone 300 mg IV ketika sedang
melakukan CPR selama 2 menit.
- Ulangi CPR 2 menit – cek ritme/denyut – ulangi defibrilasi jika VF/VT
berlanjut
- Berikan adrenaline tambahan 1 mg IV tiap akhir kejutan (tiap 3-5 menit)
- Jika aktivitas elektrik yang teratur serta curah jantung mulai terdeteksi,
maka segera cari tanda-tanda return of spontaneous circulation (ROSC):
Periksa denyut sentral dan jejak end-tidal CO2 jika tersedia
Jika terdapat bukti ROSC, segera mulai perawatan pasca-
resusitasi
Jika tidak ada tanda-tanda ROSC, lanjutkan CPR dan segera
mulai algoritma untuk kasus henti jantung non-shockable (ritme
jantung yang tak dapat diberi kejut listrik)
- Jika terdapat tanda-tanda asistol, maka lanjutkan CPR dan segera mulai
algoritma untuk kasus henti jantung non-shockable (ritme jantung yang
tak dapat diberi kejut listrik)
- Interval antara penghentian kompresi dan pemberian kejut listrik harus
diminimalisasi dan kalau bisa tidak lebih dari beberapa detik (idealnya
kurang dari 5 detik). Semakin lama interupsi pada kompresi dada, maka
semakin rendah kesempatan untuk mengembalikan sirkulasi spontan.
- Jika ritme yang teratur telah terlihat selama CPR 2 menit, jangan
interupsi kompresi dada untuk mempalpasi denyut kecuali pasien telah
menunjukkan tanda-tanda kehidupan (seperti peningkatan end-tidal
CO2 [ETCO2]) yang menandakan ROSC. Jika ada keraguan telah
timbul denyutan, maka tetap lanjutkan CPR. Jika pasien telah
mengalami ROSC, segera mulai perawatan pasca-resusitasi.
SUMBER :
1. Guidelines American Heart Associoation. Fokus Utama Pembaruan Pedoman AHA 2015
untuk CPR dan ECC. 2015.
2. Maroju, RS. Cardiopulmonary Resuscitation. Clinical Pathways in Emergency Medicine
dalam Suresh S. David editor. Volume I. India. 2016:31-44.
3. Leung J, Hicks D. Fluid Resuscitation. Clinical Pathways in Emergency Medicine dalam
Suresh S. David editor. Volume I. India. 2016:57-72.
4. BLS Algorithms and Training 2018. Diakses pada : 7 Agustus 2018. Diunduh dari :
https://www.acls-pals-bls.com/algorithms/bls/