Anda di halaman 1dari 1

Saya kurang gembira melihat situasi bangsa dan negara setelah 20 tahun menjalankan reformasi.

Memang potret kebebasan menyatakan pendapat dan kebebasan pers kita hebat sekali. Tapi,
kebebasan itu cenderung kebablasan. Maraknya hoax dan konten media sosial yang ”gila-gilaan”
adalah ”anak haram” yang lahir dari era reformasi. Sampai sekarang masih banyak rakyat kita,
termasuk mahasiswa-mahasiswa saya, yang mengartikan ”demokrasi” sebagai kebebasan
ngomong.
Penegakan hukum juga semakin memprihatinkan. Hukum kerap dipermainkan kekuasaan dan uang.
Banyak sekali orang Indonesia, termasuk akademisi, yang lupa atau tidak tahu bahwa demokrasi
tanpa law enforcement yang tegas, konsisten, dan berkeadilan sesungguhnya bukan demokrasi.
Demokrasi, menurut para kampiunnya sejak ratusan tahun lalu, sesungguhnya ditopang tujuh atau
delapan pilar.
Penegakan hukum yang bagus salah satu pilar amat penting. Di Indonesia, yang salah bisa bebas di
luar; sebaliknya, yang benar masuk bui. Di Indonesia, aparat penegak hukum tidak jarang takut
mengusut perkara pidana yang jelas-jelas ditopang bukti awal kuat. Di Indonesia, aparat kadang
tidak punya keberanian menuntaskan satu perkara. Perkara dibiarkan mengambang terus dengan
jawaban klise ”masih terus kami selidiki” jika ditanya wartawan.
Perpolitikan kita juga kacau-balau sebagai salah satu ekses dari demokrasi yang bernuansa
democrazy. Pilkada dan pemilu kadang hanya bagus di kemasan, tapi isinya ….. ?!! Penuh pat-
gulipat, permainan kotor, dan money politics. Tak heran jika pemimpin yang terpilih tidak jarang
”crook” alias bajingan, tukang keruk uang rakyat. Kok bisa seseorang yang moralnya jelek terpilih
dalam pemilu? Di mana media massa yang menjalankan tugas watchdog? Orangorang media,
rupanya, kadang juga sudah disuap politisi.
Tapi, ”buah” yang paling pahit dari reformasi adalah ancaman terorisme. Di era Orde Baru, para
teroris hengkang ke luar negeri menghindari kejaran aparat keamanan kita. Serangan teror jarang
terjadi, juga tidak dalam skala besar ala bom Bali I dan II. Presiden Soeharto tidak pernah
kompromistis terhadap gerakan terorisme. Aman negara kita! Namun, setelah kita memasuki era
reformasi, orang-orang radikal, juga terduga teroris, diam-diam hijrah kembali ke tanah air,
menyusun kekuatan untuk meneruskan perjuangan mengubur Pancasila dan menggantinya dengan
ideologi lain.
Bukan hanya itu, puluhan, mungkin juga ratusan, anak muda kita tergiur dengan ideologi jihad, lalu
berangkat ke beberapa negara Timur Tengah untuk membantu perjuangan ISIS atau menjalani
latihan militer di sana. Setelah itu mereka kembali ke tanah air. Untuk apa? Buahnya, antara lain,
serangan bom tiga gereja di Surabaya, juga Markas Polrestabes Surabaya dan Polda Riau, setelah
pada Januari 2016 mereka berhasil mengebom Starbucks di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat. Lokasi
serangan bom itu hanya 2 kilometer dari Istana Kepresidenan Jakarta.
Pimpinan Badan Intelijen Negara (BIN) baru saja memperingatkan kita semua bahwa serangan bom
yang lebih besar bukan tidak mungkin terjadi lagi. Mengapa? Karena aparat keamanan dan aparat
hukum kita tidak tegas. Aparat intelijen juga sudah dipotong kaki dan tangannya dengan UU Intelijen
yang baru. Di Malaysia, pemerintah langsung menangkap dan menjebloskan ke penjara warga
negaranya yang kembali ke Malaysia setelah melakukan aktivitas misterius di Syria. Aparat kita tidak
berani. Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan, Polri tidak punya payung hukum untuk
bertindak tegas terhadap orang-orang yang diduga kuat menyebarluaskan radikalisme atau terduga
teroris. Kenapa? Lho, mereka belum berbuat tindak kejahatan ……. !
Dua puluh tahun masih terlalu dini untuk menilai satu rezim. Jangan terlalu bangga, apalagi
gembira, dengan capaian pemerintah selama 20 tahun terakhir. Hasil reformasi ada di segala sektor
memang harus diakui. Namun, kerugian atau bahkan nestapanya juga luar biasa memprihatinkan.
Dari plus-minus 20 tahun reformasi, tentu kita sekali-kali tidak boleh kembali ke era otoritarian. Tidak
boleh! Yang harus dilakukan semua pemangku kepentingan bangsa adalah berani melakukan
koreksi besar-besaran.

Anda mungkin juga menyukai