Anda di halaman 1dari 2

Rekonstruksi Hubungan Antar Agama dalam Menepis Konflik

Pada prinsipnya bahwa dialog adalah cara beragama yang harus dihidupkan. Karena
hanya dengan dialog, agama-agama bisa melakukan sharing pengalaman terhadap menglola
kehidupan bersama. Pengalaman untuk mengelola kehidupan bersama selalu ada dalam setiap
agama, seperti pengajaran tentang saling menghormati orang lain. Dasar pengalaman ini
merupakan titik tolak dalam mengembangkan dialog yang menyejukan.
Penyejukan tersebut bisa terjadi apabila tema yang diusung adalah kehidupan
manusia. Artinya bahwa keberpihakan terhadap manusia menjadi titik tolak, maka perbedaan
akan memperkaya pemahaman terhadap kemanusiaan itu sendiri, dan juga akan menemukan
pola kerja dialog yang meniscayakan semua perbedaan, seperti halnya pendapat Paul Kniter
bahwa hanya isu kemanusiaan yang dapat merekonstruksi model dialog yang membebaskan.
Karena nilai manusia adalah taruhan agama-agama dalam membangun pola hidup bersama.
Dengan rekonstruksi tema dialog seperti itu, hal berikut yang harus tetap dihidupkan
adalah toleransi beragama. Toleransi beragama tidak berarti bahwa seseorang yang telah
mempunyai keyakinan kemudian berpindah atau merubah keyakinan- nya untuk mengikuti
dan berbaur dengan keyakinan atau peribadatan agama-agama lainnya (sinkretisme); tidak
pula dimaksudkan untuk mengakui kebenaran semua agama/ kepercayaan; melainkan bahwa
ia tetap pada suatu keyakinan yang diyakini kebenarannya, serta memandang benar
keyakinan orang lain, sehingga dalam dirinya terdapat kebenaran yang diyakininya sendiri
menurut suara hatinya sendiri yang tidak diperoleh atas dasar paksaan orang lain atau
diperoleh dari pemberian orang lain.
Masyarakat multikultural terpola oleh keragaman budaya termasuk keragaman agama.
Di dalam perjalanannya, agama-agama yang muncul dalam masyarakat multikultural
kemudian dipahami oleh umatnya. Di antara mereka, ada yang memahaminya secara rasional
an sich dan ada pula yang memahami- nya secara irrasional atau mistis. Dampak
heterogenitas agama ini bisa menmunculkan konflik di antara umat berbeda agama. Toleransi
sangat dibutuhkan untuk menciptakn keseimbangan dan kohesi sosial dalam masyarakat
multikutral.
Toleransi beragama merupakan realisasi dari ekspresi pengalaman keagamaan dalam
bentuk komunitas. Ekspresi pengalaman keagamaan dalam bentuk kelompok ini, merupakan
tanggapan manusia beragama terhadap realitas mutlak yang diwujudkan dalam bentuk jalinan
sosial antar umat seagama ataupun berbeda agama, guna membuktikan bahwa bagi mereka
realitas mutlak merupakan elan vital kebera-gamaan manusia dalam pergaulan sosial, dan ini
terdapat dalam setiap agama, baik yang masih hidup bahkan yang sudah punah.
Analisis UU Pesantren dalam Kaitannya dengan Pemberlakuan Pasal 66 dan 67

Bila tidak ada muatan dan kepentingan tertentu dalam dua pasal di RUU tentang
Pesantren dan Pendidikan Keagamaan, maka di sana ada salah kaprah tentang pendidikan
sekolah minggu yang diselenggarakan di setiap gereja, baik gereja sangat kecil maupun
gereja besar. Artinya, ada misunderstanding tentang hakekat dari sekolah minggu itu sendiri
yang sesungguhnya tidak sama dan tidak setara dengan apa yang disebut dengan Pesantren.
Sesungguhgnya sekolah minggu atau sering disingkat SM, atau dalam bahasa
inggrisnya Sunday School, hanyalah sebuah istilah saja dan bukan "SEKOLAH" yang
dipahami seperti SD, SMP, SMU atau Pesantren sekaligus. Karena di dalam sekolah minggu
itu, pada dasarnya sama dengan "ibadah" yang dilakuan oleh gereja setiap minggu yang
dihadiri oleh umat, baik pagi, siang dan sore atau malam hari.
Sebagai ibadah, maka di sana akan ada liturgi atau urut-urutan melaksanakan ibadah
itu. Ada doa, ada nyanyi, ada pemberitaan firman tuhan, ada pemberian persembahan atau
kolekte, ada koor atau paduan suara, ada salaman dan seterusnya disesuaikan dengan
kebutuhan ibadah itu sendiri.
Sekolah Minggu pun demikian. Di dalamnnya ada doa, ada nyanyi, ada penyampaian
firman Tuhan sesuai usia anak, ada tepuk tangan, ada saling berbagi. Semuanya dilakukan
disesuaikan dengan anak-anak yang hadir. Jadi sekolah minggu itu sama saja dengan ibadah
anak-anak sesuai ketegori usianya.
Jadi, hanya namanya saja yang disebut Sekolah Minggu, dan isinya adalah ibadah
untuk anak-anak. Jadi, di sana tidak ada ujian, atau tes. Juga di sana tidak ada ijazah atau
wisuda. Juga tidak ada uang sekolah. Dan jumlahnya juga tidak selalu sama. Bisa hanya dua
orang, bisa juga banyak. Tergantung waktu anak-anak dan keluarga. Sama dengan ibadah, ada
orang atau tidak ada orang ibadah tetap berjalan oleh para petugas dan pelayan. Demikian
juga dengan Sekolah Minggu. Satu anak atau dua anak saja pelayanan tetap berjalan.
Ketika membahas tentang pendidikan dan pembinaan di kalangan umat Kristen,
tampaknya RUU ini tidak memahami konsep pendidikan keagamaan Kristen di mana ada
pendidikan formal, melalui sekolah-sekolah yang didirikan oleh gereja-gereja dan ada
pendidikan nonformal melalui kegiatan pelayanan di gereja.
Pendidikan Sekolah Minggu dan Katekisasi, yang juga hendak diatur dalam RUU ini
pada Pasal 69 – 70, sesungguhnya adalah proses interaksi edukatif, yang dilakukan oleh
gereja-gereja di Indonesia, yang merupakan pendidikan nonformal dan masuk dalam kategori
pelayanan ibadah bagi anak-anak dan remaja.
Dengan melihat syarat pendirian pendidikan keagamaan dengan memasukkan syarat
peserta didik paling sedikit 15 (lima belas) orang, serta harus mendapat izin dari kanwil
kementerian agama kabupaten/kota, maka hal tersebut tidak sesuai dengan model pendidikan
anak dan remaja gereja-gereja di Indonesia, sebagaimana kandungan RUU yang hendak
menyetarakan Sekolah Minggu dan Katekisasi dengan model pendidikan pesantren.
Sejatinya, pendidikan Sekolah Minggu dan Katekisasi merupakan bagian hakiki dari
peribadahan gereja, yang tidak dapat dibatasi oleh jumlah peserta, serta mestinya tidak
membutuhkan izin, karena merupakan bentuk peribadahan.
Penyusunan RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan adalah kecenderungan
membirokrasikan pendidikan nonformal khususnya bagi pelayanan anak-anak dan remaja,
yang sudah dilakukan sejak lama oleh gereja-gereja di Indonesia. Kecenderungan ini
dikhawatirkan beralih pada model intervensi negara pada agama.

Anda mungkin juga menyukai