TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bioplastik
Bioplastik atau yang sering disebut plastik biodegradable, merupakan
salah satu jenis plastik yang hampir keseluruhannya terbuat dari bahan yang dapat
diperbaharui, seperti pati, minyak nabati, dan mikrobiota( Marbun, 2012).
Menurut Pranamuda (2001) bioplastik atau plastik biodegradable adalah plastik
yang dapat digunakan layaknya seperti plastik konvensional, namun akan hancur
terurai oleh aktivitas mikroorganisme menjadi hasil akhir air dan gas
karbondioksida setelah habis terpakai dan dibuang ke lingkungan.
Berdasarkan bahan baku yang digunakan, plastik biodegradable dibagi
menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok dengan bahan baku petrokimia (non-
renewable resources) dengan bahan aditif dari senyawa bio-aktif yang bersifat
biodegradable, dan kelompok kedua adalah dengan keseluruhan bahan baku dari
sumber daya alam terbarukan (renewable resources) seperti dari bahan tanaman
pati dan selulosa serta hewan seperti cangkang atau dari mikroorganisme yang
dimanfaatkan untuk mengakumulasi plastik yang berasal dari sumber tertentu
seperti lumpur aktif atau limbah cair yang kaya akan bahan-bahan organik sebagai
sumber makanan bagi mikroorganisme tersebut (Coniwanti dkk, 2014). Jenis-jenis
plastik berdasarkan pengklasifikasian bahan baku dan kemampuan degradasi
dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Jenis-Jenis Plastik Berdasarkan Pengklasifikasian Bahan Baku dan
Kemampuan Degradasi
Jenis Bahan Baku Biodegradable Non-biodegradable
Renewable Bahan berbasis pati, Polietilena (PE) dan
bahan berbasis selulosa, Polivinil klorida (PVC)
poli asam laktat (PLA), dari bioetanol, poliamida
poli hidroksi alkanoat
(PHA)
Non-renewable Polikaprolakton (PCL), Polietilena (PE),
poli butilena suksinat polipropilen (PP),
(PBS) polivinil klorida (PVC)
(Sumber : Narayan, 2006)
Standar kekuatan dari film plastik yang umumnya terdiri dari kuat tarik,
elongasi dan modulus young biasanya disebut sebagai sifat peregangan. Kekuatan
tarik suatu bahan merupakan gambaran mutu bahan secara mekanik. Sifat
peregangan menunjukkan bagaimana materi akan bereaksi terhadap gaya yang
diterapkan dalam ketegangan (Ummah, 2013). Standar mutu bioplastik dilihat
pada tabel 2.2 berikut :
Komposisi amilosa dan amilopektin dalam setiap molekul pati suatu bahan
pangan relatif berbeda. Amilopektin pada umumnya terdapat dalam jumlah lebih
relatif besar. Sebagian besar pati mengandung antara 15% dan 35% amilosa.
Rantai-rantai amilosa dan amilopektin tersusun dalam bentuk semi kristal yang
menyebabkan tidak larut dalam air dan memperlambat proses pencernaannya oleh
amilase pankreas. Bila dipanaskan dengan air, struktur kristal rusak dan rantai
polisakarida akan mengambil posisi acak. Hal ini yang menyebabkannya
mengembang dan memadat (gelatinisasi). Cabang-cabang yang terletak pada
bagian amilopektin yang terutama sebagai penyebab terbentuknya gel yang cukup
stabil. Proses pemasakan pati dapat menyebabkan terbentuknya gel, melunakkan,
dan memecah sel, sehingga mempermudah proses pencernaan. Dalam proses
pencernaan semua bentuk pati dihidrolisa menjadi glukosa.
Pada struktur granula pati, amilosa dan amilopektin tersusun dalam suatu
cincin-cincin. Jumlah cincin dalam suatu granula pati kurang lebih 16 buah, yang
terdiri atas cincin lapisan amorf dan cincin lapisan semikristal. Umumnya amilosa
terletak di antara molekul-molekul amilopektin dan secara acak berada selang-
seling di antara daerah amorf dan kristal. Ketika dipanaskan dalam air,
amilopektin akan membentuk lapisan yang transparan, yaitu larutan dengan
viskositas tinggi dan berbentuk lapisan-lapisan seperti untaian tali. Pada
amilopektin cenderung tidak terjadi retrogradasi dan tidak membentuk gel, kecuali
pada konsentrasi tinggi.
Gelatinisasi mengakibatkan ikatan amilosa akan cenderung saling
berdekatan karena adanya ikatan hidrogen. Setelah terjadi proses gelatinisasi,
kemudian larutan gelatin dicetak atau dituangkan pada tempat pencetakan dan
dikeringkan selama 24 jam. Proses pengeringan akan mengakibatkan penyusutan
sebagai akibat dari lepasnya air, sehingga gel akan membentuk bioplastik yang
stabil.
Suhu gelatinisasi pati mempengaruhi perubahan viskositas larutan pati,
dengan meningkatnya suhu pemanasan mengakibatkan penurunan kekentalan
suspensi pati. Suhu pada saat granula pati pecah disebut suhu gelatinisasi (Ginting
dkk., 2014).
Pati sagu tersusun atas dua fraksi penting yaitu amilosa yang merupakan
fraksi linier dan amilopektin yang merupakan fraksi cabang. Pati sagu
mengandung sekitar 25,27 % amilosa dan sekitar 48,54 % amilopektin, rasio
amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi sifat-sifat pati itu sendiri. Apabila
kadar amilosa tinggi maka pati akan bersifat kering, kurang lekat dan cenderung
meresap air lebih banyak (higoskopis). Sifat pati tidak larut dalam air, namun bila
suspensi pati dipanaskan akan terjadi gelatinasi setelah mencapai suhu tertentu
(suhu gelatinasi) , suhu gelatinasi pati sagu sekitar 72-900C (Oktoriana, 2017)).
Adapun komposisi kimia pati sagu dapat dilihat melalui Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Komposisi Kimia Pati Sagu
No Komposisi Kimia Jumlah (%)
1 Amilosa 25,27
2 Amilopektin 48,54
3 Protein 12,95
4 Kadar air 12,27
5 Serat 0,15
6 Abu 0,32
7 Lemak 0,5
Total Pati 100 %
Sumber : Aisyah, 2017.
2.5 Gliserol
Gliserol adalah senyawa gliserida yang paling sederhana, dengan gugus
hidroksil yang bersifat hidrofilik, higroskopik, kental, bening, tidak berwarna,
tidak berbau dan memiliki rasa manis. Gliserol merupakan komponen penyusun
lipid, termasuk trigliserida. Molekul trigliserida terdiri dari satu molekul gliserol
dikombinasikan dengan tiga molekul asam lemak. Sifatnya yang mudah menyerap
air dan kandungan energi yang dimilikinya membuat gliserol banyak digunakan
pada industri makanan, farmasi, dan kosmetik (Marbun, 2012).
Gambar 2.4 Skema Central Composite Design (CCD) untuk 3 Variabel (Yerlis,
2016)