Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bioplastik
Bioplastik atau yang sering disebut plastik biodegradable, merupakan
salah satu jenis plastik yang hampir keseluruhannya terbuat dari bahan yang dapat
diperbaharui, seperti pati, minyak nabati, dan mikrobiota( Marbun, 2012).
Menurut Pranamuda (2001) bioplastik atau plastik biodegradable adalah plastik
yang dapat digunakan layaknya seperti plastik konvensional, namun akan hancur
terurai oleh aktivitas mikroorganisme menjadi hasil akhir air dan gas
karbondioksida setelah habis terpakai dan dibuang ke lingkungan.
Berdasarkan bahan baku yang digunakan, plastik biodegradable dibagi
menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok dengan bahan baku petrokimia (non-
renewable resources) dengan bahan aditif dari senyawa bio-aktif yang bersifat
biodegradable, dan kelompok kedua adalah dengan keseluruhan bahan baku dari
sumber daya alam terbarukan (renewable resources) seperti dari bahan tanaman
pati dan selulosa serta hewan seperti cangkang atau dari mikroorganisme yang
dimanfaatkan untuk mengakumulasi plastik yang berasal dari sumber tertentu
seperti lumpur aktif atau limbah cair yang kaya akan bahan-bahan organik sebagai
sumber makanan bagi mikroorganisme tersebut (Coniwanti dkk, 2014). Jenis-jenis
plastik berdasarkan pengklasifikasian bahan baku dan kemampuan degradasi
dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Jenis-Jenis Plastik Berdasarkan Pengklasifikasian Bahan Baku dan
Kemampuan Degradasi
Jenis Bahan Baku Biodegradable Non-biodegradable
Renewable Bahan berbasis pati, Polietilena (PE) dan
bahan berbasis selulosa, Polivinil klorida (PVC)
poli asam laktat (PLA), dari bioetanol, poliamida
poli hidroksi alkanoat
(PHA)
Non-renewable Polikaprolakton (PCL), Polietilena (PE),
poli butilena suksinat polipropilen (PP),
(PBS) polivinil klorida (PVC)
(Sumber : Narayan, 2006)
Standar kekuatan dari film plastik yang umumnya terdiri dari kuat tarik,
elongasi dan modulus young biasanya disebut sebagai sifat peregangan. Kekuatan
tarik suatu bahan merupakan gambaran mutu bahan secara mekanik. Sifat
peregangan menunjukkan bagaimana materi akan bereaksi terhadap gaya yang
diterapkan dalam ketegangan (Ummah, 2013). Standar mutu bioplastik dilihat
pada tabel 2.2 berikut :

Tabel 2.2 Standar Mutu Bioplastik


Uraian Persyaratan Satuan
Kuat tarik Minimal 13.7 MPa (kgf/cm2)
Kemuluran (elongasi) 400-1120 %
Kuat tarik rekat panas (heat seal)
- Seal bagian pegangan kantong Minimal 4.9 Kgf (N)
- Seal bagian bawah kantong Minimal 2.9 Kgf (N)
Kuat sobek
- Arah longitudinal Minimal 2.0 Kgf (N)
- Arah transversal Minimal 1.0 Kgf (N)
Ketahanan luntur warna terhadap gosokan Standar skala
Minimal 3
(bila diperlukan) penodaan
Kemudahan terurai
- Kemuluran (tensile elongation) setelah
penyinaran sinar UV maksimal 250 <5 %
jam
Kandungan logam berat (Cd, Pb, Hg, Cr+6) Maksimal 100 Ppm
(Sumber : BSN, 2014)

2.1.1 Bahan Baku Utama Bioplastik


Dalam rangka menciptakan lingkungan yang bersih dan mencegah
pembuangan limbah plastik, produksi bioplastik memperoleh banyak perhatian
karena sifat bidegradabilitasnya. Kata bioplastik dapat merujuk baik untuk plastik
berbasis bi disintesis dari biomassa dan sumber daya terbarukan seperti poly
(asam laktat) dan polyhydroxyalkanoat (PHA) atau plastik yang dihasilakan dari
bahan bakar fosil termasuk plastik alifatik seperti polybutylene suksinat (PBS),
yang juga dimanfaatkan sebagai substrat oleh mikroorganisme. Misalnya,
memanfaatkan pati sebagai sumber daya terbarukan dalam produksi bioplastik
kemasan mengakibatkan konsumsi yang lebih rendah dari sumber daya energi non
terbarukan (50%) dan emisi gas rumah kaca karena itu kurang (60%) jika
dibandingkan dengan kemasan polystirena (Emadian dkk, 2017). Klasifikasi
bioplastik yang paling banyak diproduksi dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Klasifikasi Bioplastik yang paling banyak diproduksi
Sumber Nama Singkatan
Bioplastik Petroleum Polybutylene Succinate PBS
Polylcaprolactone PCL
Polyethylene Succinate PES
Polybutyrate adipate terephthalate PBAT
Polyamide PA
Polyethylene PE
Poly(ethylene terephtalate) PET
Polypropylene PP
Alami Poly(lactat acid) PLA
Polyhydroxyalkanoate PHA
Plastik pati -
Ester selulosa -
Bio-polyethylene Bio-PE
Bio-poly (ethylene terephtalate) Bio-PET
Bio-polyamide Bio0PA
(Sumber : Emadian, 2017)

Meskipun bioplastik dianggap bahan ramah lingkungan, bioplastik juga


memiliki beberapa keterbatasan seperti biaya produksi yang tinggi dan sifat
mekanik yang buruk. Faktor-faktor penting yang mempengaruhi biodegradasi
plastik dilingkungan adalah srtuktur kimia, rantai polimer, kritalinitas, dan
kompleksitas rumus polimer. Umumnya, polimer dengan rantai pendek, bagian
yang lebih amorf, dan formula kurang kompleks lebih rentan terhadap bidegradasi
oleh mikroorganisme.
Menurut Averous (2008), plastik biodegradable dikelompokkan menjadi
dua kelopok dan empat keluarga yang berbeda. Kelompok utama ialah
agropolymer yang terdiri dari plisakarida, protein dan lain sebagainya; dan yang
kedua ialah biopoliester (biodegradable polyesters) seperti poli asam laktat (PLA),
polyhydroyalkanoate (PHA), aromatik dan alifatik kopoliester. Biopolimer yang
tergolong agro polimer adalah produk – produk biomassa yang diperoleh dari
bahan – bahan pertanian seperti polisakarida, protein dan lemak. Biopoliester
dibagi lagi berdasarkan sumbernya. Kelompok polyhydroxy-alkanoate (PHA)
disapatkan dari aktivitas mikrooganisme yang didapatkan dengan cara ekstraksi.
Contoh PHA diantaranya Poly(hydroxybutyrate) (PHB) dan Poly(hydroxbutyrate
co-hydroxyvalerate) (PHB). Kelompok lain adalah biopoliester yang diperoleh
dari aplikasi bioteknologi, yaitu dengan sintesis secara konvensional
monomermonomer yang diperoleh secara biologi yang disebut kelompok
polilaktida. Contoh polilaktida ialah poli asam laktat. Kelompok terakhir
diperoleh dari produk-produk petrokimia yang disintesis secara konvensional dari
monomer – monomer sintesis. Kelompok ini terdiri dari polycaprolactones (PCL),
polyestermides, aliphatic co-polyester dan aromatic co-polyester.
2.1.2 Pengolahan Bioplastik
Pengolahan merupakan langkah penting dalam rekayasa bioplastik atau
biokomposit. Menurut pilla (2011), metode pengolahan bioplastik diklasifikasikan
sebagai berikut:
1. Pembentukan dalam keadaan cair (Shaping in molten state)
Proses yang termasuk adalah proses pelelehan, injection molding,
pencetakan kompresi, melt spinning, blow molding dan ekstrusi.
2. Pembentukan dalam keadaan elastis (Shaping in rubbery state)
Hal ini dilakukan dengan menggunakan thermoforming dan calendaring.
3. Pembentukan dalam keadaan basah (Shaping in wet state)
Proses ini dilakukan untuk solusi polimer menggunakan basah yang
berputar, serat yang berputar, disebarkan dan dicelupkan.
Meskipun ketiga klasifikasi di atas memberikan spektrum yang luas dari
metode pengolahan untuk bioplastik dan biokomposit, tidak semua metode
tersebut relevan untuk produksi massal. Untuk produksi dengan yang skala besar,
dibutuhkan metode yang sesuai. Dengan demikian, metode yang dijelaskan di atas
diklasifikasikan lebih lanjut kedalam tiga kategori berikut (Pilla, 2011):
1. Molding
Metode ini didefinisikan sebagai proses pembentukan dimana tekanan dan
temperatur meningkat secara bersamaan dalam ruangan tertutup kemudian
dicetak. Metode ini termasuk seperti injection molding, kompresi molding,
blow-molding dan transfer-molding. Berbagai aplikasi yang dihasilkan
melalui metode pengolahan ini misalnya bagian otomotif, elektronik dan
lain-lain.
2. Forming
Metode ini sama seperti metode ekstruksi, calendering, thermoforming,
casting, slush-molding dan rotomolding. Sebagian besar produk yang
dihasilkan melalui metode ini yaitu produk kemasan.
3. Foaming
Metode foaming adalah proses dimana pembentukan pori-pori kecil atau sel-
sel yang diciptakan dengan bantuan busa atau blowing agent. Metode
foaming secara luas diklasifikasikan dalam tiga jenis yaitu, konvensional,
mikroseluler dan nanoseluler.
Dalam penelitian ini menggunakan metode casting. Plastik yang transparan,
kuat dan tahan air dapat diperoleh dengan metode casting atau thermal film
forming. Metode casting dilakukan dengan cara penuangan campuran plastik pada
cetakan, setelah didinginkan komponen dilepaskan dan dikeluarkan dari cetakan
dengan cara menarik plastik dari cetakan secara manual. Metode ini biasanya
sangat cocok digunakan untuk produksi skala kecil.

2.1.3 Analisis Karakterisasi Bioplastik


Beberapa pengujian atau karakterisasi pada bioplastik diantara lain
sebagai berikut:
1. Analisis sifat Kuat tarik (Tensile Strength)
Pengujian kuat tarik adalah salah satu uji stress strain mekanik yang
bertujuan untuk mengetahui kekuatan material terhadap gaya tarik. Dalam
pengujiannya, material uji ditarik sampai putus. Uji tarik adalah cara pengujian
bahan yang paling mendasar. Pengujian tarik sangat sederhana, tidak mahal dan
sudah mengalami standarisasi diseluruh dunia. Dengan menarik suatu material
kita akan mengetahui bagaimana bahan tersebut bereaksi terhadap tarikan dan
sejauh mana material itu bertambah panjang (Basri dkk., 2012).
Penarikan suatu bahan biasanya menyebabkan terjadi perubahan bentuk
dimana penipisan pada tebal dan pemanjangan. Kekuatan tarik (tensile strength)
suatu bahan ditetapkan dengan membagi gaya maksimum dengan luas penampang
mula-mula, dimensinya sama dengan tegangan. Pada peregangan suatu bahan
polimer, pemanjangan tidak selalu berbanding lurus dengan beban yang diberikan,
dan kembali pada penurunan beban, sehingga regangannya hilang karena bahan
polimer bukan merupakan bahan sepenuhnya elastis tetapi ada sifat viskositasnya
(Basri dkk., 2012).
2. Analisis Sifat Perpanjangan Saat Putus (Elongation at Break)
Elongasi adalah peningkatan panjang material saat diuji dengan beban
tarik dan dinyatakan dalam satuan panjang, biasanya inci atau milimeter. Persen
elongasi adalah pemanjangan benda uji yang dinyatakan sebagai persen dari
panjangnya (Basri dkk., 2012).
3. Analisis Fourier Transform InfraRed (FTIR)
FTIR merupakan metode yang menggunakan spektroskopi inframerah.
Pada spektroskopi inframerah, radiasi inframerah dilewatkan pada sampel.
Sebagian radiasi inframerah diserap oleh sampel dan sebagian lagi dilewatkan
atau ditransmisikan. Hasil dari spektrum merupakan besarnya absorbsi molekul
dan transmisi yang membentuk sidik jari molekul dari suatu sampel. Seperti sidik
jari pada umumnya, struktur sidik jari dari spektrum inframerah yang dihasilkan
tidak ada yang sama. Inilah yang membuat spektroskopi inframerah berguna
untuk beberapa jenis analisis. Manfaat informasi/data yang dapat diketahui dari
FTIR untuk dianalisis adalah identifikasi material yang tidak diketahui,
menentukan kualitas sampel, dan menentukan banyaknya komponen dalam suatu
campuran (Marbun, 2012).
4. Analisis Penyerapan Air (Water Uptake)
Water uptake dalam bioplastik merupakan kemampuan bioplastik dalam
menyerap air dalam waktu tertentu. Water uptake pada bioplastik merupakan
salah satu masalah terutama dalam penggunaan bioplastik diluar ruangan. Semua
polimer akan menyerap air jika berada di udara lembab atau ketika polimer
tersebut dicelupkan di dalam air. Water uptake pada bioplastik memiliki beberapa
pengaruh dalam properties dan kemampuannya dalam jangka waktu yang lama
juga penurunan secara perlahan dari ikatan interface bioplastik serta menurunkan
sifat mekanikal bioplastik seperti kekuatan tariknya. Karena itu, pengaruh dari
water uptake sangat vital untuk penggunaan bioplastik dari serat alami
dilingkungan terbuka.
5. Analisis Biodegradabilitas
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui biodegradabilitas dari bioplastik
yang dihasilkan. Pengujian ini berguna untuk mengetahui laju degradasi sampel
dengan berbagai variasi sehingga waktu yang dibutuhkan sampel tersebut untuk
diuraikan oleh mikroorganisme dalam tanah dapat diprediksi.
6. Analisis Scanning Electron Microscopy (SEM)
Mikroskop merupakan alat untuk melihat benda yang berukuran kecil. Salah
satu jenis mikroskop adalah SEM, mengunakan elektron dan cahaya tampak
sebagai sumber cahayanya. Elektron menghasilkan gelombang yang lebih pendek
dibandingkan cahaya foton dengan ukuran 0,1 nm dan menghasilkan gambar
dengan resolusi yang lebih baik. Struktur morfologi film dianalisis menggunakan
SEM dan hasil analisis memperlihatkan penyebaran partikel pengisi pada matriks
sehingga dapat diketahui distribusi partikel pengisi pada matriks tersebut dengan
merata atau tidak (Marbun, 2012).
2.2 Komposit
Komposit adalah perpaduan dari bahan yang dipilih berdasarkan
kombinasi sifat fisik masing-masing material penyusun untuk menghasilkan
material baru dengan sifat yang lebih baik dibandingkan sifat material dasarnya
(Gibson, 1994). Komposit mempunyai keunggulan yaitu: daya tahan terhadap
lingkungan korosif yang baik, rasio kekuatan terhadap berat yang tinggi, sifat
mekanik, insulasi listrik yang baik serta dapat dibuat dalam berbagai bentuk.
Sedangkan kekurangan komposit yaitu: tidak dapat digunakan pada temperatur
lebih dari 400oF, kekakuan tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan logam dan
harga bahan baku yang relatif tinggi (Gaylord, 1974). Ada tiga faktor yang
menentukan sifat-sifat dari material komposit, yaitu:
1. Material pembentuk. Sifat-sifat intrinsik material pembentuk memegang
peranan yang sangat penting terhadap pengaruh sifat kompositnya.
2. Susunan struktural komponen. Dimana bentuk serta orientasi dan ukuran
tiap-tiap komponen penyusun struktur dan distribusinya merupakan faktor
penting yang memberi kontribusi dalam penampilan komposit secara
keseluruhan.
3. Interaksi antar komponen. Karena komposit merupakan campuran atau
kombinasi komponen-komponen yang berbeda baik dalam hal bahannya
maupun bentuknya, maka sifat kombinasi yang diperoleh pasti akan
berbeda.
Secara umum material komposit tersusun dari dua komponen utama yaitu
matrik (bahan pengikat) dan filler (bahan pengisi). Filler adalah bahan pengisi
yang digunakan dalam pembuatan komposit, biasanya berupa serat atau serbuk.
Gibson (1994) mengatakan bahwa matrik dalam struktur komposit bisa berasal
dari bahan polimer, logam, maupun keramik. Matrik secara umum berfungsi
untuk mengikat serat menjadi satu struktur komposit.

2.3 Zat Aditif


Zat aditif adalah senyawa kimia yang bila ditambahkan akan menaikkan
unjuk kerja (sifat kimia dan fisik berubah) seperti yang diharapkan. Berdasarkan
fungsinya, bahan tambahan atau zat aditif polimer dapat dikelompokkan menjadi :
1. Plasticizer
2. Filler
3. Pewarna (colorant).
2.3.1 Plasticizer
Plasticizer adalah senyawa adiktif yang ditambahkan kepada polimer
untuk menambah elastisitas dan workability. Plasticizer merupakan bahan organik
dengan berat molekul rendah yang ditambahkan pada suatu produk dengan tujuan
untuk menurunkan kekakuan dari polimer, sekaligus meningkatkan fleksibilitas
dan ekstensibilitas polimer (Lola, 2015). Pada pembuatan plastik biodegradable
sangat diperlukan sekali adanya plasticizer untuk memperoleh sifat film yang
khusus (Anita dkk., 2013).
Selain meningkatkan elastisitas dengan mengurangi derajat ikatan
hidrogen, plasticizer juga berfungsi meningkatkan jarak antar molekul dari
polimer. Semakin banyak penggunaan plasticizer maka akan meningkatkan
kelarutan. Begitu pula dengan penggunaan plasticizer yang bersifat hidrofilik juga
akan meningkatkan kelarutannya dalam air (Sinaga dkk., 2014).
2.3.2 Filler
Salah satu bagian utama dalam pembuatan bioplastik adalah filler atau
reinforcement yang berfungsi sebagai penguat atau pengeras material dari suatu
komposit (Harper, 1996). Pada umumnya filler berupa serat atau serbuk. Adanya
filler sebagai penguat dalam biopolimer akan memberikan pengaruh pada sifat –
sifat komposit yang terbentuk (Bayandori, 2009). Jika pati (fasa organik) tersebut
digabung dengan penguat/pengisi (fasa anorganik) yang memiliki ukuran nano
maka akan terbentuk suatu bioplastik. Beberapa macam pengisi yang dapat diisi
kedalam matriks pati seperti kitosan, clay, ZnO, graphene oxide dan lainnya.
(Ning, 2009).
2.3.3 Pewarna (colorant)
Bahan pewarna berfungsi untuk meningkatkan penampilan dan
memperbaiki sifat tertentu dari bahan plastik. Pertimbangan yang perlu diambil
dalam memilih warna yang sesuai meliputi (Mujiarto, 2005) :
1. Aspek yang berkaitan dengan penampilan bahan plastik selama pembuatan
produk warna, meliputi daya gabung, pengaruh sifat alir pada sistem dan daya
tahan terhadap panas serta bahan kimia.
2. Aspek yang berkaitan dengan produk akhir, antara lain meliputi ketahanan
terhadap cuaca, bahan kimia dan solvent.
Colorant dapat diklasifikasikan dalam 2 jenis, yaitu dyes dan pigmen.
Dyes merupakan bahan yang larut dalam bahan plastik sehingga menjadi satu
sistem dan terdispersi secara merata setelah melalui proses pencampuran.
Sedangkan pigmen merupakan bahan yang tidak larut dalam bahan plastik tetapi
hanya terdispersi diantara rantai molekul bahan plastik tersebut, derajat disperse
pigmen dalam bahan plastik tergantung pada suhu, waktu pencampuran dan alat
pencampur serta ukuran partikel pigmen dan berat molekul bahan plastik
(Mujiarto, 2005).

2.4 Pati Sagu


Komponen terbesar yang terkandung dalam sagu adalah pati. Pada
dasarnya pati merupakan polimer glukosa dengan ikatan 1,4 glukosa. Berbagai
macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai C-nya, Fraksi yang
larut dalam air disebut amilosa dan fraksi yang tidak larut disebut amilopektin.
Komposisi utama pati adalah amilosa dan amilopektin, dimana masing-
masing memiliki sifat-sifat alami yang berbeda (Setiawan, 2008). Amilosa
merupakan bagian dari polimer linier dengan ikatan α-(1→4) unit glukosa.
Berdasarkan pada sumber bahan bakunya, derajat polimerisasi amilosa berkisar
antara 500−6.000 unit glukosa. Amilopektin merupakan polimer α-(1→4) unit
glukosa dengan rantai samping α-(1→6) unit glukosa. Dalam suatu molekul pati,
ikatan α-(1→6) unit glukosa ini jumlahnya sangat sedikit, berkisar antara 4−5%.
Tetapi, jumlah molekul dengan rantai yang bercabang, yaitu amilopektin, sangat
banyak dengan derajat polimerisasi 105 – 3 x 106 unit glukosa (Kristiani, 2015).
Pati merupakan homopolimer kompleks α-D-glukosa unit dan ditemukan
terutama di dua struktural dan bentuk fungsional yang berbeda antara amilosa dan
amilopektin. Amilosa merupakan linier atau polimer tidak bercabang dengan
massa molekul hingga 106 Da, sementara amilopektin adalah multiply dan polimer
bercabang dengan massa molekul sekitar 108 Da (Soest dan Vliegenthart, 1997).
Pada gambar 2.1 dan 2.2 dibawah ini dapat dilihat struktur amilosa dan
amilopektin.

Gambar 2.1 Struktur Amilosa (Sirait, 2015)

Gambar 2.2 Struktur Amilopektin (Sirait, 2015)

Komposisi amilosa dan amilopektin dalam setiap molekul pati suatu bahan
pangan relatif berbeda. Amilopektin pada umumnya terdapat dalam jumlah lebih
relatif besar. Sebagian besar pati mengandung antara 15% dan 35% amilosa.
Rantai-rantai amilosa dan amilopektin tersusun dalam bentuk semi kristal yang
menyebabkan tidak larut dalam air dan memperlambat proses pencernaannya oleh
amilase pankreas. Bila dipanaskan dengan air, struktur kristal rusak dan rantai
polisakarida akan mengambil posisi acak. Hal ini yang menyebabkannya
mengembang dan memadat (gelatinisasi). Cabang-cabang yang terletak pada
bagian amilopektin yang terutama sebagai penyebab terbentuknya gel yang cukup
stabil. Proses pemasakan pati dapat menyebabkan terbentuknya gel, melunakkan,
dan memecah sel, sehingga mempermudah proses pencernaan. Dalam proses
pencernaan semua bentuk pati dihidrolisa menjadi glukosa.
Pada struktur granula pati, amilosa dan amilopektin tersusun dalam suatu
cincin-cincin. Jumlah cincin dalam suatu granula pati kurang lebih 16 buah, yang
terdiri atas cincin lapisan amorf dan cincin lapisan semikristal. Umumnya amilosa
terletak di antara molekul-molekul amilopektin dan secara acak berada selang-
seling di antara daerah amorf dan kristal. Ketika dipanaskan dalam air,
amilopektin akan membentuk lapisan yang transparan, yaitu larutan dengan
viskositas tinggi dan berbentuk lapisan-lapisan seperti untaian tali. Pada
amilopektin cenderung tidak terjadi retrogradasi dan tidak membentuk gel, kecuali
pada konsentrasi tinggi.
Gelatinisasi mengakibatkan ikatan amilosa akan cenderung saling
berdekatan karena adanya ikatan hidrogen. Setelah terjadi proses gelatinisasi,
kemudian larutan gelatin dicetak atau dituangkan pada tempat pencetakan dan
dikeringkan selama 24 jam. Proses pengeringan akan mengakibatkan penyusutan
sebagai akibat dari lepasnya air, sehingga gel akan membentuk bioplastik yang
stabil.
Suhu gelatinisasi pati mempengaruhi perubahan viskositas larutan pati,
dengan meningkatnya suhu pemanasan mengakibatkan penurunan kekentalan
suspensi pati. Suhu pada saat granula pati pecah disebut suhu gelatinisasi (Ginting
dkk., 2014).
Pati sagu tersusun atas dua fraksi penting yaitu amilosa yang merupakan
fraksi linier dan amilopektin yang merupakan fraksi cabang. Pati sagu
mengandung sekitar 25,27 % amilosa dan sekitar 48,54 % amilopektin, rasio
amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi sifat-sifat pati itu sendiri. Apabila
kadar amilosa tinggi maka pati akan bersifat kering, kurang lekat dan cenderung
meresap air lebih banyak (higoskopis). Sifat pati tidak larut dalam air, namun bila
suspensi pati dipanaskan akan terjadi gelatinasi setelah mencapai suhu tertentu
(suhu gelatinasi) , suhu gelatinasi pati sagu sekitar 72-900C (Oktoriana, 2017)).
Adapun komposisi kimia pati sagu dapat dilihat melalui Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Komposisi Kimia Pati Sagu
No Komposisi Kimia Jumlah (%)
1 Amilosa 25,27
2 Amilopektin 48,54
3 Protein 12,95
4 Kadar air 12,27
5 Serat 0,15
6 Abu 0,32
7 Lemak 0,5
Total Pati 100 %
Sumber : Aisyah, 2017.
2.5 Gliserol
Gliserol adalah senyawa gliserida yang paling sederhana, dengan gugus
hidroksil yang bersifat hidrofilik, higroskopik, kental, bening, tidak berwarna,
tidak berbau dan memiliki rasa manis. Gliserol merupakan komponen penyusun
lipid, termasuk trigliserida. Molekul trigliserida terdiri dari satu molekul gliserol
dikombinasikan dengan tiga molekul asam lemak. Sifatnya yang mudah menyerap
air dan kandungan energi yang dimilikinya membuat gliserol banyak digunakan
pada industri makanan, farmasi, dan kosmetik (Marbun, 2012).

Gambar 2.3 Struktur Gliserol (Marbun, 2012)

Pada pembuatan bioplastik, gliserol memiliki peranan yang cukup penting.


Pati merupakan polimer alam dalam bentuk butiran yang tidak dapat diproses
menjadi material termoplastik karena kuatnya ikatan hidrogen intermolecular dan
intramolecular. Molekul plasticizer akan mengganggu kekompakan pati,
menurunkan interaksi intermolekuler dan meningkatkan mobilitas polimer.
Selanjutnya mengakibatkan peningkatan elongation dan penurunan tensile
strength seiring dengan peningkatan konsentrasi gliserol (Sirait, 2015). Sehingga
dengan adanya air dan plasticizer, ikatan hidrogen tersebut dapat diputuskan dan
pati dapat diolah menjadi polimer yang biodegradable yang biasa disebut
thermoplastic starch (Rifaldi, 2017). Pada tabel 2.5 dipaparkan sifat fisika gliserol
sebgai berikut:
Tabel 2.5 Karakteristik Gliserol
Nama IUPAC Propan 1,2,3 Triol
Nama lain Gliserol,
1,2,3 Propanetriol,
1,2,3 Trihydroxypropana,
Glycyl alcohol,
Glyceritol,
Rumus Kimia C3H5(OH)3
Berat Molekul (g/mol) 92.09382
Densitas ( g/ml ) 1.261
Viskositas (pa.s) 1.5
Titik leleh ( oC ) 17.8
Titik didih ( oC ) 290
(Sumber : Wales, 2010)

2.5 Polivinil Alkohol (PVA)


Polivinil alkohol memiliki sifat tidak berwarna, padatan termoplastik yang
tidak larut pada sebagian besar pelarut organik dan minyak, tetapi larut dalam air
bila jumlah dari gugus hidroksil dari polimer tersebut cukup tinggi. Berbeda dari
senyawa polimer pada umumnya yang diproduksi melalui reaksi polimerisasi,
polivinil alkohol diproduksi secara komersial melalui hidrolisis poli (vinil asetat)
dengan alkohol karena monomer dari vinil alkohol tidak dapat dipolimerisasi
secara alami menjadi PVA. Polivinil alkohol memiliki permeabilitas uap air
terendah dari semua polimer komersial tetapi sensitivitas airnya telah membatasi
penggunaannya. Wujud dari polivinil alkohol berupa serbuk (powder) berwarna
putih dan memiliki densitas 1,2000-1,3020 g/cm 3 serta dapat larut dalam air pada
suhu 80oC (Kirk, R. E and Othmer, D. F, 1997).
Secara komersial, polivinil alkohol adalah plastik yang paling penting
dalam pembuatan film yang dapat larut dalam air. Hal ini ditandai dengan
kemampuannya dalam pembentukan film, pengemulsi, dan sifat adesifnya.
Polivinil alkohol memiliki kekuatan tarik yang tinggi, fleksibilitas yang baik, dan
sifat penghalang oksigen yang baik. Aplikasi dari polivinil alkohol sudah meliputi
banyak bidang. Polivinil alkohol banyak diaplikasikan dalam bidang kesehatan
(biomedical), bahan pembuat deterjen, lem dan film.melaporkan polivinil alkohol
banyak digunakan dalam pengolahan tekstil pada pembuatan nilon dan dalam
pembuatan serat sebagai bahan baku untuk produksi serat polivinil alkohol (Lin
dan Ku, 2008). Karakteristik fisik polivinil alkohol disajikan pada Tabel 2.6.
Tabel 2.6 Karakteristik Fisik PVA
Karakterisasi Nilai
Densitas (g/cm3) 1,91-1,31
Titik Leleh (oC) 180-240
Titik Didih (oC) 228
Suhu Penguraian (oC) 180
(Sumber : Lin dan Ku, 2008)

2.6 Hidrolisis Pati


Hidrolisis adalah proses pemecahan senyawa kompleks menjadi senyawa
sederhana dengan bantuan air. Proses hidrolisis pati dengan asam ditemukan
pertama kali oleh Kirchoff pada tahun 1812, namun produksi secara komersial
baru terlaksana pada tahun 1850. Pada proses hidrolisis sejumlah pati diasamkan
sekitar pH 2 dipanasi memakai uap di dalam suatu tangki bertekanan yang disebut
konverter sampai suhu 120-140 C. Derajat konversi yang diperoleh bergantung
pada konsentrasi asam, waktu konversi, suhu dan tekanan selama reaksi.
Hidrolisis adalah suatu reaksi peruraian antara suatu senyawa dengan air
agar senyawa tersebut pecah atau terurai. Pada reaksi hidrolisis pati dengan air, air
akan menyerang pati pada ikatan1-4α glukosida menjadi rantai yang lebih pendek
(Dlouhy and Kott, 1948). Hasilnya berupa dekstrin, sirup atau glukosa, tergantung
pada derajat pemecahan rantai polisakharida dalam pati. Jika perbandingan
suspensi dan waktu tepat, dekstrin yang terbentuk akan terhidrolisis menjadi
glukosa. Reaksi antara pati dengan air berlangsung sangat lambat, sehingga perlu
bantuan katalisator, bisa berupa enzim atau asam. Katalisator yang sering
digunakan adalah katalisator asam. Katalisator asam yang sering digunakan
adalah asam khlorida, asam sulfat, asam nitrat, dan asam yang sering digunakan
dalam industri adalah asam khlorida (HCl) karena garam yang terbentuk tidak
berbahaya yaitu garam dapur (NaCl) (Suarsa,2017).
Proses hidrolisa pati dengan menggunakan asam dipengaruhi oleh ukuran
bahan, konsentrasi asam, suhu, waktu, ratio bahan dan pengadukan. Semakin
halus ukuran bahan permukaan bidang kontak akan semakin luas sehingga
kecepatan reaksi akan bertambah cepat dan akan memperbesar konversi reaksi.
Laju proses hidrolisa akan bertambah oleh konsentrasi asam yang tinggi. Selain
dapat menambah laju proses hidrolisa, konsentrasi asam yang tinggi juga akan
mengakibatkan terikatnya ion-ion pengontrol seperti SiO2, phospat,dan garam-
garam seperti Ca, Mg, Na, dan K dalam pati. Oleh karena itu, diperlukan
perbandingan yang sesuai antara pati yang akan dihidrolisa dengan konsentrasi
asam yang ditambahkan. Suhu berpengaruh terhadap konstanta kecepatan reaksi.
Jika suhu semakin tinggi, konstanta kecepatan reaksi akan semakin besar sehingga
reaksi dapat semakin cepat (Kirk and Othmer, 1983).
Pada hidrolisa pati, asam yang sering digunakan adalah asam asetat, asam
fosfat, asam klorida. Asam – asam tersebut sering digunakan terutama untuk
industri makanan karena bersifat mudah menguap, sehingga memudahakan
pemisahan dari produknya. Selain itu asam tersebut mempunyai aktifitas tinggi,
sehingga pemakaiannya relatif sedikit dan dapat menghasilkan produk yang
berwarna terang (Suarsa, 2017).
2.7 Response Surface Methodology (RSM)
Menurut Montgomery (2001), Response Surface Methodology (RSM) atau
Metode Permukaan Respon adalah sekumpulan metode-metode matematika dan
statistika yang digunakan dalam pemodelan dan analisis, yang bertujuan untuk
melihat pengaruh beberapa variabel kuantitatif terhadap suatu variabel respon dan
untuk mengoptimalkan variabel respon tersebut. Sebagai contoh, akan dicari
level-level dari suhu (𝑥1) dan tekanan (𝑥2) yang dapat mengoptimalkan suatu
hasil produksi (𝑦). Hubungan variabel-variabel tersebut dapat dituliskan dalam
sebah persamaan sebagai berikut :

𝑦 = 𝑓(𝑥1 +𝑥2)+𝜀......................................................................................................... (1)


Dimana 𝜀𝑖 merupakan error pengeamatan pada respon 𝑦. Jika nilai harapan respon
dituliskan 𝐸 𝑦 = 𝑓(𝑥1 +𝑥2) = 𝜂, maka 𝜂 = 𝑓(𝑥1 +𝑥2) merepresentasikan sebuah
permukaan yang disebut permukaan respon.
Pada umumnya, permukaan respon digambarkan dengan sebuah grafik,
seperti yang tampak pada Gambar 2.4. Untuk membantu visualisasi dari bentuk
permukaan plot, sering digunakan kontur dari permukaan respon, seperti yang
terlihat pada Gambar 2.5. Pada kontur tersebut, garis respon yang konstan berada
pada permukaan datar (𝑥1,𝑥2), sedangkan garis respon yang lain berada pada
permukaan lengkung di atasnya.

Gambar 2.4 Ilustrasi plot permukaan respon

Gambar 2.5 Ilustrasi plot kontur Response Surface

Permasalahan umum pada metode permukaan respon adalah bentuk


hubungan antara variabel respon dengan variabel independen tidak diketahui.
Oleh karena itu, langkah pertama dalam metode permukaan respon adalah
mencari bentuk hubungan antara respon dengan beberapa variabel independen
melalui pendekatan yang sesuai. Bentuk hubungan linier merupakan bentuk
hubungan yang dicobakan pertama kali karena merupakan bentuk hubungan yang
paling sederhana (low-order polynomial). Jika ternyata bentuk hubungan antara
respon dengan variabel independen adalah fungsi linier, pendekatan fungsinya
disebut first-order model, seperti yang ditunjukkan dalam persamaan berikut

𝑦 = 𝛽0 +𝛽1𝑥1 +𝛽2𝑥2 +⋯⋯+𝛽𝑘𝑥𝑘 +𝜀𝑖 ............................................................. (2)

Jika bentuk hubungannya merupakan kuadrat, maka untuk pendekatan fungsinya


digunakan derajat polinomial yang lebih tinggi yaitu second-order model

𝑦 = 𝛽0 + 𝛽𝑖𝑥𝑖 𝑘 𝑖=1 + 𝛽𝑖𝑖𝑥𝑖2 𝑘 𝑖=1 +⋯⋯+ 𝛽𝑖𝑗𝑥𝑖𝑥𝑗 𝑖<𝑗 +𝜀........................ (3)

Hampir semua permasalahan dalam metode permukaan respon


menggunakan salah satu atau kedua model diatas. Setelah diperoleh bentuk
hubungan yang paling sesuai, langkah selanjutnya adalah mengoptimalisasi
hubungan tersebut. Jika permukaan yang paling sesuai dicari melalui pendekatan
yang cukup, maka hasil analisis ini akan mendekati fungsi yang sebenarnya
(Faulina dkk, 2011).

2.8 Rancangan Percobaan


Metode pendekatan yang akan digunakan pada penelitian ini adalah
Response Surface Methodology (RSM). RSM merupakan suatu metode gabungan
antara teknik matematika dan teknik statistik yang digunakan untuk
menggabungkan, meningkatkan, dan mengoptimalkan suatu proses dengan
menganalisa suatu respon (y) yang dipengaruhi oleh beberapa
variabelbebas/faktor (x). Maka untuk mengaplikasikan RSM, dibutuhkan sebuah
rancangan percobaan. Rancangan percobaan menjelaskan secara sistematis
sekumpulan data yang efisien dari titik sampel eksperimental dimana respon harus
dihitung atau diamati (Montgomery, 1991).
Salah satu rancangan percobaan yang dapat digunakan untuk RSM adalah
Central Composite Design (CCD). Pada CCD nilai aktual dari variabel proses (Ԑ)
dinyatakan dalam coded variables (Xi) untuk memudahkan perhitungan dalam
pengolahan data. Variabel proses dikodekan dengan (-1, 0, 1), sehingga hubungan
proses dan coded variabels dapat dinyatakan dalam persamaan berikut :
ξ i - ξ mid
     / 2 
Xi =  high low  .......................................................(2.1)

Dimana Xi adalah coded variable dan ξi adalah natural variable

Gambar 2.4 Skema Central Composite Design (CCD) untuk 3 Variabel (Yerlis,
2016)

CCD adalah rancangan percobaan berbasis design faktorian, yang dapat


mengestimasi model kuadratik untuk setiap respon. Skema dari CCD untuk 3
variabel dapat dilihat pada Gambar 2.4. Persegi hitam pada gambar adalah
factorial point yang mempersentasikan jumlah kombinasi percobaan dari (30 tiga
variabel didapat dari 2k. Axial point digambarkan sebagai lingkaran yang tidak
diarsir merupakan batasan paling luardari variabel dengan jarak (α) ke titik
tengah. Nilai α untuk tiap variabel adalah α = 2k/4. Lingkaran dengan arsiran pada
gambar 2.6 adalah central point (titik tengah) yang sekurangnya berjumlah 2
(dua), digunakan untuk memperkirakan pusat kelengkungan dan error ketika
eksperimen. Maka jumlah tempuhan penelitian ini sebanyak 20 kali ( 8 factorial
point, 6 star point, 6 center point) (Yerlis, 2016).

Anda mungkin juga menyukai