Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Leptospirosis
1. Pengertian
Leptospirosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri

leptospira yang pathogen. Leptospira merupakan bakteri gram negatif,

dengan ujung-ujungnya yang membengkok, berbentuk kait, bergerak

dengan sangat aktif, baik gerakan berputar sepanjang sumbunya, gerakan

maju mundur maupun gerakan melengkung. Oleh karena ukuran bakteri

leptospira sangat kecil, maka leptospira hanya dapat teramati dengan

menggunakan mikroskop medan gelap atau mikroskop fase kontras

(Rusmini, 2011).
2. Penyebab
Leptospirosis disebabkan oleh Leptospira interrogans, golongan

Spirochaeta yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia. Tikus

merupakan salah satu vektor yang menyebabkan Leptospirosis. Tikus

merupakan reservoar penting bagi bakteri leptospira, karena sebesar >50%

tikus dapat mengeluarkan bakteri leptospira secara masif (terus menerus)

melalui urin (kencing) selama hidupnya, tanpa menunjukkan gejala sakit.

Bakteri leptospira yang sangat virulen seperti Leptospira

icterohaemorrhagiae selalu berhubungan dengan reservoar utamanya

(Rusmini, 2011).
3. Epidemiologi
Infeksi bakteri Leptospira sp. pada manusia merupakan kejadian yang

bersifat incidental, karena inang definitif leptospira adalah tikus.

Penularan leptospirosis dari tikus ke manusia, dapat melalui kontak

dengan urin tikus infektif yang mencemari lingkungan, maupun kontak

6
langsung dengan jaringan tikus yang terinfeksi bakteri Leptospira sp.

Bakteri Leptospira sp. yang terdapat pada tikus berpotensi besar

menyebabkan leptospirosis saat musim hujan terutama pasca banjir, karena

ketika banjir baik tikus rumah (Rattus tanezumi), tikus wirok (Bandicota

indica) maupun tikus sawah (Rattus tiomanicus) menyebar ke pemukiman

penduduk. Di musim kemarau yang panjang dengan kelembaban yang

tinggi serta banyaknya uap air (embun), kasus leptospirosis dapat pula

meningkat (Rusmini, 2011).


4. Cara Penularan
Menurut Bell dkk (1995) bahwa sebagian besar spesies hewan dapat

menjadi hospes dari leptospirosis, tetapi reservoir utama yang alami untuk

menginfeksi pada manusia tergantung dari serotipenya. Leptospira

dikeluarkan melalui air seni yang mana mengkontaminasi lingkungan,

terutama lingkungan air. Manusia tertular melalui kontak langsung dengan

hewan atau melalui lingkungan yang terkontaminasi dan leptospira masuk

ke dalam tubuh melalui kulit yang lecet, luka atau membran mukosa. Masa

inkubasi pada manusia 3-20 hari sedangkan masa inkubasi hewan 1-2

minggu.
Leptospira dapat menyerang semua jenis mamalia seperti: tikus,

anjing, kucing, landak, sapi, burung, dan ikan. Hewan yang terinfeksi

dapat tanpa gejala sampai meninggal. Suatu laporan hasil penelitian tahun

1974 di Amerika Serikat menyatakan 15-40% anjing terinfeksi dan 90%

tikus terinfeksi (Widoyono, 2008).


5. Gambaran Klinik
Menurut Bell, dkk (1995) bahwa pada manusia banyak gejala yang

timbul bersamaan dengan demam, misalnya muntah, sakit kepala, nyeri

7
otot, pneumonia dan nefritis. Penyakit leptospirosis ditandai dengan

adanya jaundice dan kegagalan ginjal yang terjadi setelah beberapa hari.

Sedangkan pada hewan, sapi ternak terjadi demam dan anoreksis dengan

penurunan yang cepat dari produksi susunya dan mastitis atipikal. Sapi

yang sedang hamil akan mengalami abortus dengan retensi plasenta. Pada

babi umumnya terjadi infeksi yang subklinik, diduga dapat menyebabkan

abortus dan lahir dengan berat badan kecil. Pada anjing dan kucing dapat

terjadi gastroenteritis, ikterus dan nefritis.


Terdapat dua jenis infeksi leptospirosis (Soedarto, 2012):
a. Leptospirosis ringan. Sebagian besar penderita hanya menunjukkan

gejala penyakit mirip flu.


b. Leptospirosis berat. Karena kuman menyebar ke berbagai organ tubuh,

misalnya hati dan ginjal, penderita mengalami penyakit berat akibat

kegagalan fungsi organ penting dan juga terjadi pendarahan-

pendarahan di dalam organ tubuh.


6. Pencegahan
Sumber penularan adalah air kencing atau tinja penderita, terutama

hewan-hewan yang menjadi sumber infeksi, misalnya tikus, mencit,

anjing, babi, dan ternak. Maka orang-orang yang mempunyai risiko tinggi

tertular penyakit ini adalah pekerja kebersihan dan selokan, pekerja

tambang, petani, peternak, dan nelayan. Oleh karena itu pencegahannya

dengan cara mencegah kontak dengan air yang mungkin tercemar dengan

tinja atau air seni binatang. Selain itu, pemberian doksisiklin per oral satu

minggu satu kali dapat dilakukan untuk menjaga diri terhadap penularan

Leptospira akibat kontak yang terus menerus dengan sumber infeksi

(Soedarto, 2003).

8
Menurut Bell dkk (1995) bahwa pada manusia, keringkan tanah yang

basah, mengontrol hewan pengerat, menghindari berenang di atau minum

dari air yang terkontaminasi. Pakaian pelindung diperlukan oleh pekerja-

pekerja yang mempunyai risiko khusus. Menerapkan peraturan-peraturan

keamanan laboratorium secara ketat. Dianjurkan untuk mengimunisasi

kelompok-kelompok para pekerja tertentu. Sedangkan pada hewan, uji

serologis sebelum diimpor. Kemungkinan untuk melakukan vaksinasi pada

suatu kelompok dasar.


7. Pengobatan
Menurut Bell dkk (1995) bahwa manusia biasanya terjadi

penyembuhan total, tetapi angka kematian dari penyakit leptospirosis

dapat mencapai 20%. Hewan L. cacicola menyebabkan negritis kronik

pada anjing dan berakhir dengan kematian akibat dari kegagalan ginjal.

Penurunan produksi yang nyata dengan penyembuhan yang lambat terjadi

pada sapi ternak.


Pada stadium awal penyakit pengobatannya dengan pemberian

antibiotika (misalnya Penisilin, Streptomisin atau Tetrasiklin) dapat

mengurangi jumlah mikroorganisme, tetapi tidak cukup kuat untuk

menyembuhkan penyakitnya secara tuntas (Soedarto, 2003). Menurut Bell

dkk (1995) pada hewan, streptomisin diberikan melalui suntikan

intramuskuler selama fase bakterema.

B. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Leptospirosis


Faktor risiko yang mempunyai hubungan dengan kejadian leptospirosis

pada masyarakat terdiri dari karakteristik individu dan lingkungan.


1. Karakteristik Individu

9
Berdasarkan studi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa

karakteristik individu yang merupakan faktor risiko yang mempunyai

hubungan dengan leptospirosis pada masyarakat meliputi: umur, jenis

kelamin, pekerjaan dan pendidikan (Rusmini, 2011).


a. Umur
Menurut Rusmini (2011) kasus leptospirosis sering terjadi pada

manusia dewasa muda sampai usia produktif. Sedangkan Soedarto

(2012) berbagai faktor berpengaruh pada terjadinya leptospirosis berat,

yaitu umur di bawah lima tahun dan umur diatas 65 tahun.


b. Jenis kelamin
Penderita laki-laki mempunyai risiko menderita leptospirosis sebesar

9,6 kali lebih besar dibandingkan penderita perempuan, hal ini

dikarenakan laki-laki usia produktif lebih sering melakukan aktivitas di

luar rumah yang berhubungan dengan air dan tanah (Rusmini, 2011).
c. Pekerjaan
Menurut Rusmini (2011) pekerjaan yang mempunyai faktor risiko

terinfeksi bakteri leptospira antara lain: tukang perahu yang sering

bekerja di air, pemulung, peternak, petani, tukang kebun, pekerja

pemotong hewan, pembersih selokan, pekerja pertambangan, dll.


d. Pendidikan
Penelitian Okatini dkk (2007), bahwa terdapat hubungan yang

bermakna secara statistik (P= 0,01) antara pendidikan responden

dengan kejadian Leptospirosis, dimana kasus leptospirosis beresiko

terjadi pada responden yang berpendidikan rendah sebesar 2,41 kali

(95% CI : 1,3-4,35) dibandingkan responden yang berpendidikan

tinggi.
2. Karakteristik Lingkungan

10
Karakteristik lingkungan dibagi menjadi 2 yaitu lingkungan rumah dan

hygiene sanitasi makan.


a. Karakteristik Lingkungan Rumah
Rumah merupakan pusat kesehatan keluarga. Itu sebabnya kesehatan

harus dimulai dari rumah, untuk ini rumah dan pengaturannya harus

memenuhi syarat-syarat kesehatan. Tikus merupakan binatang

reservoir yang sering tinggal di rumah warga yang merupakan vektor

penyakit leptospirosis dan harus dibasmi (Indan, 2000). Karakteristik

lingkungan rumah yang merupakan faktor risiko leptospirosis meliputi:

intensitas cahaya, sampah, lantai, dinding, atap, SPAL, hewan piaraan,

kelembaban, pH air, pH tanah, suhu udara, dan suhu air.


1) Kebiasaan Mematikan Lampu
Lampu neon sebagai sumber cahaya dapat memenuhi kebutuhan

penerangan karena pada kuat penerangan yang relatif rendah

mampu menghasilkan cahaya yang baik. Apabila ingin

mempergunakan lampu pijar sebaiknya dipilih yang berwarna

putih. Selain itu sumber cahaya tersebut tidak berkedip-kedip,

lampu bergoyang-goyang atau kena bayangan yang bergerak

(Kasjono, 2011). Sedangkan tikus lebih menyukai untuk

beraktivitas di malam daripada siang hari, sehingga tikus disebut

sebagai binatang nokturnal (Rusmini, 2011). Sehingga pada malam

hari sebaiknya lampu tidak dimatikan dan lampu tidak remang-

remang.
2) Kondisi Tempat Sampah
Syarat tempat sampah yaitu terbuat dari bahan yang kedap air,

tempat sampah dalam keadaan tertutup rapat (Adnyana, 1986).

11
Penelitian Ramadhani dan Yunianto (2010) menunjukkan bahwa

jenis tempat sampah yang terbuka berhubungan dengan kejadian

leptospirosis (p-value= 0,045). Rumah yang mempunyai tempat

sampah di dalam rumah maupun di luar rumah dengan kondisi

terbuka berisiko terpapar leptospirosis 3,556 kali dibandingkan

dengan rumah yang tempat sampahnya tertutup (OR=3,556; 95%;

CI= 0,968-13,070).

Gambar 1. Tempat sampah tertutup rapat


Sumber: Kasjono (2011)
3) Penanganan Sampah
Menurut Hadiwiyoto (1983) tahap penanganan sampah meliputi :

pengumpulan sampah, pemisahan, pembakaran dan penimbunan.

Menurut Adnyana (1986) tidak terangkutnya sampah pada tempat

penampungan sementara yang umumnya terbuka dapat

menyebabkab terbiaknya lalat, dan serangga lainnya, menimbulkan

bau yang kurang sedap, estetika jelek, tidak jarang dijumpai

sampah yang berceceran diluar bak tempat penampungan sampah.

Pengumpulan sampah sebaiknya tidak lebih dari 3 hari sekali lebih

sering maka lebih baik, tempat pembuangan akhir yang kurang

saniter (open dump/tempat terbuka dan dumping in the

water/pembuangan sampah di air), tempat pembuangan akhir yang

saniter yaitu sanitary landfill (sampah dipadatkan dan ditutup

setiap hari), pembakaran sampah bertujuan untuk mengurangsi

12
sampah yang padat. Menurut Hadiwiyoto (1983) maksud

pemisahan ialah memisahkan jenis-jenis sampah, yaitu berupa

daun-daunan, kertas atau yang tergolong dalam sampah organik

disendirikan/dipisahkan dari sampah yang berupa gelas, keramik,

logam, plastik (sampah anorganik).


Menurut Indan (2000) rumah-rumah yang kotor, banyak sisa-sisa

makanan berceceran, banyak sampah, terutama garbage akan lebih

disenangi oleh tikus. Menurut Kasjono (2011) pembuangan

sampah harus dibedakan jenis sampahnya: sampah kering

sebaiknya dibakar sedangkan sampah basah (daun-daunan,

sayuran, sisa daging dll) dipendam dalam tanah; sampah jangan

dibuang di tempat terbuka lebih dari 24 jam karena akan didatangi

tikus dan jangan berserakan sehingga perlu membuat tempat

sampah. Selain itu tempat sampah harus tidak menimbulkan

genangan air.
4) Jenis Lantai
Apabila lantai rumah yang hanya terdiri dari tanah maka dengan

mudah tikus dapat masuk ke dalam rumah (Rusmini, 2011). Salah

satu komponen rumah sehat yaitu lantai yang kedap air dan tidak

lembab (ubin, plesteran) (Kasjono, 2011). Menurut penelitian

Ramadhani dan Yunianto (2010) diketahui bahwa tidak ada

hubungan lantai tanah dengan kejadian leptospirosis (p-

value=0,917).
5) Jenis Dinding
Suyono dan Budiman (2010) bahwa menutup celah-celah pada

dinding merupakan upaya rat proof. Dinding rumah kedap air

13
berfungsi untuk menahan angin dan air hujan, melindungi dari

panas dan debu (Kasjono, 2011). Menurut Hasil penelitian

Ramadhani dan Yunianto (2010) menunjukkan bahwa dinding

dapur bukan dari tembok berhubungan dengan kejadian

leptospirosis (p-value= 0,022). Responden yang dinding dapurnya

bukan dari tembok akan berisiko terpapar leptospirosis 5,192 kali

dibandingkan dengan responden yang dinding dapurnya dari

tembok.
6) Kontruksi Atap
Menurut Suyono dan Budiman (2010) bahwa kontruksi kuda-kuda

sebaiknya dibuat sedemikian rupa dan rapat sehingga tidak

memberi kesempatan tikus bersembunyi, bertengger dan bersarang.

Sedangkan pada rumah yang sudah dipasang langit-langit

sebaiknya tidak ada celah/lubang antara atap dengan langit-langit

untuk mencegah masuknya tikus ke dalam rumah.

Gambar 2. Kontruksi kuda-kuda


Sumber : Suyono dan Budiman (2010)

7) Keberadaan jalur tikus ke atap

14
Menurut Kasjono (2011) jangan menyandarkan tangga bambu dan

lain-lain ke atap rumah karena dengan perantara tersebut tikus bisa

naik ke atap.
8) Kondisi SPAL
Kondisi SPAL yang baik adalah yang tertutup, sehingga tidak

mudah menjadi tempat persembunyian serangga seperti kecoa,

tikus, dan sebagainya (Depkes RI, 2002). Menurut Kasjono (2011)

Air dari dapur, kamar mandi dan tempat cuci diairkan ke parit.

Usahakan agar tetap mengalir atau menyerap dalam tanah. Kalau

terpaksa membuat paceran (comberan) usahakan agar airnya

meresap. Air limbah jangan dibuang ke kolong rumah karena akan

mengganggu dari segi baunya dan situasi rumah menjadi lembab.


Menurut Depkes RI (1990), syarat SPAL yaitu tidak mengotori

sumber air/sumur, tidak menimbulkan comberan dan tidak

terjamah vektor penyakit.


Dari analisis Okatini dkk (2007) diketahui bahwa SPAL (Sistem

Pembuangan Air Limbah) berhubungan secara signifikan terhadap

kejadian leptospirosis. Hal ini sesuai dengan teori bahwa tikus

senang bersarang dan mencari makan di saluran air kotor (got-got),

sedangkan tikus adalah pembawa mikroorganisme leptospira.

Maka diupayakan agar saluran air kotor tidak tergenang.


9) Keberadaan Hewan Piaraan
Hasil analisis bivariat menunjukkan tidak ada hubungan yang

bermakna antara keberadaan hewan piaraan sebagai hospes

perantara dengan kejadian leptospirosis berat (p=0,500) dan

keberadaan hewan piaraan sebagai hospes perantara bukan faktor

15
risiko untuk terjadinya leptospirosis berat (OR=0,87; 95%

CI=0,31–2,44) (Suratman, 2006).


10) Kelembaban Udara Ruangan
Leptospira dapat hidup untuk beberapa waktu lama pada tanah

lembab dan basah. Kelembaban tinggi > 60% merupakan kondisi

yang ideal bagi leptospira (Rusmini, 2011). Penelitian Arumsari

dkk (2012) diketahui bahwa ada pengaruh yang bermakna secara

statistik antara kelembaban udara yang optimal (76-90%) bagi

perkembangan bakteri Leptospira dengan kejadian leptospirois

pada tikus (p=0,03).

11) pH air bersih


Leptospira sp dapat bertahan hidup selama berbulan-bulan di

dalam air dengan pH alkalis yaitu >7 (Rusmini, 2011). Penelitian

Arumsari dkk (2012) diketahui bahwa ada pengaruh yang

bermakna secara statistik antara pH air yang optimal (7,0-7,4) bagi

perkembangan bakteri Leptospira dengan kejadian leptospirois

pada tikus (p-value=0,04) yang diuji dengan menggunakan PCR.


12) pH tanah pekarangan
Tanah dengan pH netral merupakan kondisi yang ideal bagi

kehidupan leptospira (Rusmini, 2011). Penelitian Arumsari dkk

(2012) menunjukkan hasil bahwa ada pengaruh antara pH tanah

yang optimal (7,2-8,0) bagi perkembangan bakteri Leptospira

dengan kejadian leptospirois pada tikus (p=0,02).


b. Hygiene Sanitasi Makanan
Menurut Suyono dan Budiman (2010) dalam sanitasi makanan dikenal

enam prinsip yaitu: Penyimpanan dan kebersihan alat-alat makanan,

16
penyimpanan makanan, pengolahan makanan, penyimpanan dingin,

pengangkutan makanan dan penyajian makanan. Akan tetapi yang

berhubungan dengan habitat tikus antara lain :


1) Kebiasaan Menyimpan Alat-Alat Makanan
Menurut Suyono dan Budiman (2010) bahwa penularan penyakit

dapat terjadi karena alat makan/minum kurang bersih. Cara

pencucian alat makan dan minum sangat berperan penting dalam

mencegah timbulnya penyakit. setelah dicuci dan dikeringkan

maka disimpan pada rak penyimpanan yang tertutup rapat supaya

bebas dari debu, serangga maupun binatang pengganggu.


Penelitian Handayani (2014) menunjukkan tidak ada hubungan

antara kebiasaan menyimpan alat makan dengan kejadian

leptospirosis di Kabupaten Klaten dengan nilai p (0,195) > 

(0,05), OR = 0,0505.
2) Kebiasaan menyimpan Makanan dan Minuman
Tempat masak dan penyimpanan makanan harus bersih dan bebas

dari pencemaran dan ganguan serangga maupun tikus (Suyono dan

Budiman, 2010).
Hasil penelitian Handayani (2014) menunjukkan bahwa tidak ada

hubungan antara kebiasaan menyimpan makan dengan kejadian

leptospirosis di Kabupaten Klaten dengan nilai p (0,609) > 

(0,05), OR = 0,769. Hal ini karena proporsi responden mempunyai

kebiasaan menyimpan makanan secara baik yaitu disimpan di

dalam almari dan ditutup pakai kerudung makanan sehingga

terhindar dari jangkauan vektor tikus.


Menurut Ketaren (2009) bahwa penyimpanan makanan terbanyak

adalah tertutup yaitu 47 orang (95,5%) dan 32 orang (65%)

17
penderita leptospirosis pada rumahnya ditemukan tikus. Hal ini

menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara penyimpanan

makanan dengan kejadian leptospirosis.


3. Konsep Segitiga Epidemiologi
Pada model setitiga epidemiologi proses timbulnya penyakit

dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu adanya pejamu (host), agent (bibit

penyakit) dan lingkungan (environment). Pada keadaan normal, kondisi

keseimbangan proses interaksi tersebut dapat dipertahankan, baik melalui

intervensi alamiah terhadap salah satu dari ketiga unsur tersebut di atas,

maupun melalui usaha tertentu manusia dalam bidang pencegahan maupun

bidang peningkatan derajat kesehatan (Noor, 2008).

Host

Gambar 3. Hubungan Interaksi Host, Agent dan Environment


Sumber : Nugrahaeni (2012)

1. Host
Environment
Faktor pejamu Agentyang terdapat pada diri
(host) adalah semua faktor

manusia yang dapat mempengaruhi terjadinya penyakit serta

perjalanan suatu penyakit. Faktor biologis yang dapat mempengaruhi

terjadinya Leptospirosis meliputi usia, jenis kelamin, dll. Sedangkan

faktor perilaku pejamu adalah status pekerjaan, kebiasaan hidup,

kebiasaan mencuci tangan dan kaki (Nugrahaeni, 2012).

2. Agent

18
Faktor yang menyebabkan terjadinya penyakit hanya virus, bakteri,

dan yang sejenisnya, tetapi sebenarnya itu hanya sebagian kecil dari

bibit penyakit. Agent dari Leptospirosis adalah Bakteri Leptospira sp.


3. Lingkungan
Pada leptospirosis faktor lingkungan yang dapat berpengaruh salah

satunya adalah lingkungan rumah dan hygiene sanitasi makanan.

Faktor lingkungan tersebut antara lain: jenis lantai rumah, intensitas

cahaya dalam rumah, kondisi SPAL, kebersihan alat makan,

penyimpanan makanan, dll.

19
C. Kerangka Teori

Host 1. Umur
2. Jenis Kelamin
3. Pekerjaan
4. Pendidikan

Agent Leptospira. sp Leptospirosis


Faktor
Risiko
Lingkungan rumah :
1. Kebiasaan Mematikan
Lampu
2. Kondisi Tempat Sampah
3. Penanganan Sampah
4. Jenis Lantai
5. Jenis Dinding
6. Kontruksi Atap
7. Keberadaan Jalur Tikus
ke Atap
8. Kondisi SPAL
9. Keberadaan Hewan
Piaraan
Hygiene sanitasiUdara
10. Kelembaban makanan: Habitat Tikus
1. Kebiasaan
Gambar 4. KerangkaRuangan
Teori Menyimpan
Sumber: Rusmini (2011), 11. Alat-alat
pH Air Makanan
Bersih
Okatini dkk (2007), Indan (2000), Kasjono (2011),
Environtment
Adnyana (1986), Ramadhani dan2. 12. Kebiasaan
pH Tanah
Yunianto Menyimpan
Pekarangan
(2010), Hadiwiyoto (1983),
Suyono dan Budiman (2010), Depkes Makanan dan Minuman
RI (2002), Depkes RI (1990),
Suratman (2006), Arumsari dkk (2012), Handayani (2014), Ketaren (2009),
Noor (2008)

20
D. Kerangka Konsep

Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :


Variabel Independent Variabel Dependent

- Kebiasaan Mematikan Lampu


- Kondisi Tempat Sampah
- Penanganan Sampah
- Jenis Lantai Leptospirosis
- Jenis Dinding
- Kontruksi Atap
- Keberadaan Jalur Tikus ke Atap
- Kondisi SPAL
- Kebiasaan Menyimpan Alat-alat
Makanan
- Kebiasaan Menyimpan Makanan
dan Minuman
-
Variabel Pengganggu

- Keberadaan Hewan piaraan


- Kelembaban Udara Ruangan
- pH Air Bersih
- pH Tanah Pekarangan

Gambar 5. Kerangka Konsep

E. Hipotesis

1. Ada hubungan kebiasaan mematikan lampu dengan kejadian leptospirosis

di Kabupaten Boyolali.

2. Ada hubungan kondisi tempat sampah dengan kejadian leptospirosis di

Kabupaten Boyolali.

3. Ada hubungan penanganan sampah dengan kejadian leptospirosis di

Kabupaten Boyolali.

4. Ada hubungan jenis lantai dengan kejadian leptospirosis di Kabupaten

Boyolali.

21
5. Ada hubungan jenis dinding dengan kejadian leptospirosis di Kabupaten

Boyolali.

6. Ada hubungan kontruksi atap dengan kejadian leptospirosis di Kabupaten

Boyolali.

7. Ada hubungan keberadaan jalur tikus ke atap dengan kejadian

leptospirosis di Kabupaten Boyolali.

8. Ada hubungan SPAL dengan kejadian leptospirosis di Kabupaten

Boyolali.

9. Ada hubungan kebiasaan menyimpan alat-alat makanan dengan kejadian

leptospirosis di Kabupaten Boyolali.

10. Ada hubungan kebiasaan menyimpan makanan dan minuman dengan

kejadian leptospirosis di Kabupaten Boyolali

22

Anda mungkin juga menyukai