Anda di halaman 1dari 10

BAB V

PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur

Berdasarkan hasil univariat diketahui bahwa responden pada

kelompok kasus maupun kontrol sebagian besar terdapat pada umur 49-

55 tahun. Seperti yang telah diketahui bahwa umur merupakan salah

satu faktor risiko terjadinya leptsopirosis, menurut penelitian yang

dilakukan Rusmini (2011) menunjukan bahwa kasus leptospirosis

sering terjadi pada dewasa muda sampai usia produktif, karena sering

beraktivitas di luar rumah.

B. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin


Berdasarkan hasil analisis univariat diketahui bahwa responden

baik pada kelompok kasus maupun kontrol sebagian besar merupakan

laki-laki. Menurut Rusmini (2011) bahwa laki-laki menderita

leptospirosis sebesar 9,6 kali lebih besar dibandingkan penderita

perempuan, karena laki-laki banyak melakukan kegiatan di luar rumah

yang berhubungan dengan air atau tanah.


C. Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan
Berdasarkan hasil univariat diketahui bahwa responden pada

kelompok kasus maupun pada kelompok kontrol sebagian besar bekerja

sebagi petani. Jenis Pekerjaan berisiko antara lain petani, dokter hewan,

pekerja pemotong hewan, pekerja pengontrol tikus, dan pekerja yang

selalu berhubungan dengan dengan tanah atau lumpur (Rusmini, 2011).


D. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan

1
Berdasarkan hasil analisis univariat diketahui bahwa responden

baik pada kelompok kasus maupun pada kelompok kontrol sebagian

besar merupakan tamatan SD. Di daerah endemis tingkat pendidikan

turut mempengaruhi kejadian leptospirosis, masyarakat yang

berpendidikan tinggi selalu berperilaku hidup bersih dan sehat dalam

kehidupan sehari-hari sehingga dapat terhindar dari penularan

leptospirosis, sebaliknya masyarakat yang berpendidikan rendah

kurang mengetahui arti penting perilaku hidup bersih dan sehat,

sehingga sanitasi lingkungan maupun hygiene perorangan sangat buruk

akibatnya mereka banyak terinfeksi leptospirosis (Rusmini, 2011).


E. Hubungan antara jenis pekerjaan terhadap kejadian leptospirosis
Pekerjaan yang berisiko leptospirosis antara lain petani, dokter

hewan, pekerja di pemotongan hewan, pekerja pengontrol tikus, tukang

sampah, pekerja selokan, buruh tani, tentara dan pekerja yang selalu

kontak dengan binatang air maupun lumpur (Rusmini, 2011).


Pekerja dikategorikan pekerja yang berisiko (petani) terkena

leptospirosis dan tidak berisiko leptospirosis. Berdasarkan hasil uji

statistik Chi-Squarediketahui bahwa tidak ada hubungan antara jenis

pekerjaan terhadap kejadian leptospirosis di Kabupaten Boyolali (nilai

p value 1,000 > 0,05). Nilai estimasi faktor risiko diperoleh sebesar

Odd Ratio 1,000 (95% CI =0,325-3,077) sehingga dapat diartikan

bahwa jenis pekerjaan bukan merupakan faktor risiko terjadinya

leptospirosis.
Dari penelitian di lapangan didapatkan hasil bahwa responden pada

kelompok kasus yang memiliki pekerjaan berisiko 19 orang (76%) dan

2
yang tidak berisiko 6 orang (24%), sedangkan responden pada

kelompok kontrol yang memiliki pekerjaan yang berisiko 38 orang

(76%) dan yang tidak berisiko 12 orang (24%).


Penelitian ini sejalan yang dilakukan oleh Rejeki (2005) bahwa

nilai p-value 0,500 dan pekerjaan bukan merupakan faktor risiko

leptospirosis, Odd Ratio 1,5 (95% CI=0,2-9,4).


F. Hubunganantara kebiasaan memakai alat pelindung diri terhadap

kejadian leptospirosis

Memakai alat pelindung diri seperti sepatu bots, sarung tangan saat

melakukan kerja bakti atau aktivitas yang berhubungan dengan air atau

lumpur dapat mencegah masuknya bakteri leptospirosis kedalam tubuh

manusia. Dengan tidak memakai alat pelindung diri akan

mengakibatkan kemungkinan masuknya bakteri leptospira ke dalam

tubuh akan semakin besar.

Berdasarkan hasil uji statistik Chi-Square diketahui ada

hubunganantara antara kebiasaan tidak menggunakan alat pelindung

diri terhadap kejadian leptospirosis di wilayah kabupaten Boyolali (nilai

p value 0,003 atau < 0,05).Nilai estimasi faktor risiko pemakaian alat

pelindung terhadap kejadian leptospirosis diperoleh Odd Ratio sebesar

5,688(95% CI=1,705–18,971) sehingga dapat diartikan bahwa tidak

memakai alat pelindung diri ketika melakukan aktivitas yang

berhubungan dengan air/lumpur berisiko sebesar 5,688 kali untuk

terkena leptospirosis. Hal ini dijelaskan karena pada saat penelitian

dilakukan, bahwa responden mempunyai kebiasaan tidak memakai alat

3
pelindung seperti sepatu bots ketika beraktivitas ke sawah dan kaki

terkena luka .
Dari penelitian di lapangan didapatkan hasil bahwa responden pada

kelompok kasus mempunyai kebiasaan tidak memakai alat pelindung

yaitu 21 orang (84%) dan memakai alat pelindung yaitu 4 orang (16%),

sedangkan pada responden kelompok kontrol dengan kebiasaan tidak

memakai alat pelindung sebanyak 24 orang (48%) dan memakai

sebanyak 26 orang (52%). Hal ini menunjukkan bahwa tidak memakai

alat pelindung diri merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis di

wilayah kabupaten Boyolali.


Hasil penelitian dapat menggambarkan bahwa responden kasus

banyak yang mempunyai kebiasaan tidak memakai alat pelindung

diri,adanya kebiasaan tidak memakai alat pelindung diri inilah yang

menyebabkan variabel kebiasaan pemakaian alat pelindungtergolong

kurang baik. Pada responden kontrol yang memakai alat pelindung dan

tidak memakai alat pelindung relatif hampir sama.


Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Priyanto

(2008), yang menyimpulkan ada hubungan antara tidak memakai alat

pelindung terhadap kejadian leptospirosis dengan nilai p-value0,001

dan Odd Ratio sebesar 24,04 (95% CI =3,81-151,64). Jumlah sampel

pada penelitian ini adalah 41 kasus dan 82 kontrol.


G. Hubunganantara mandi di sungai terhadap kejadian leptospirosis
Mandi disungai akan berisiko terpapar bakteri leptospira karena

kemungkinan terjadi kontak dengan urin yang terkontaminasi bakteri

leptospira akan lebih besar. Kontak dengan bakteri leptospira melalui

4
pori-pori kulit yang lunak, selaput lendir, kulit kaki, tangan dan tubuh

yang lecet.

Berdasarkan hasil uji statistik Chi-Square diketahui ada hubungan

antara mandi di sungai terhadap kejadian leptospirosis di wilayah

kabupaten Boyolali (nilai p value 0,016 atau< 0,05). Nilai estimasi

faktor risiko mandi di sungai terhadap kejadian leptospirosis diperoleh

Odd Ratio sebesar 5,412 (95% CI=1,442-20,317) sehingga dapat

diartikan bahwa mandi di sungai akan berisiko 5,412 kali untuk terkena

leptospirosis.

Dari penelitian di lapangan didapatkan hasil bahwa responden pada

kelompok kasus yang sering mandi disungai yaitu 8 orang (32%) dan

tidak terbiasa mandi disungai 17 orang (68%), sedangkan pada

responden kelompok kontrol dengan yang sering mandi disungai 4

orang (8%) dan tidak mandi di sungai 46 orang (92%). Hal ini

menunjukkan bahwa mandi di sungai merupakan faktor risiko kejadian

leptospirosis di wilayah kabupaten Boyolali.


Hasil penelitian dapat menggambarkan bahwa responden pada

kelompok kasus beberapa mempunyai kebiasaan mandi disungai,

adanya riwayat mandi di sungai inilah yang menyebabkan variabel

kebiasaan mandi di sungai tergolong kurang baik. Pada kelompok

kontrol banyak yang tidak mandi disungai, namun beberapa ada yang

mandi sungai.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Suhartono (2009), yang menyimpulkan ada pengaruh antara mandi di

5
sungai terhadap kejadian leptospirosis dengan nilai p-value 0,020 dan

Odd Ratio sebesar 4,52 (95% CI=1,27-16,16).


H. Hubungan antara kebiasaan merawat luka terhadap kejadian

leptospirosis
Berdasarkan hasil uji statistik Chi-Square diketahui tidak ada

hubunganantara merawat luka terhadap kejadian leptospirosis di

wilayah kabupaten Boyolali (nilai p value 1,000 atau > 0,05). Nilai

estimasi yang diperoleh Odd Ratio sebesar 1,143 (95% CI= 0,284-

4,604) sehingga dapat diartikan bahwa tidak merawat luka menjadi

faktor risiko sebesar 1,143 kali terjadinya leptospirosis, namun Odd

Ratio tidak bermakna .


Dari penelitian di lapangan didapatkan hasil bahwa responden

kasus yang tidak terkena luka 2 orang (8%) dan yang terkena luka 23

orang (92%), namun pada responden yang terkena luka tersebutyang

lukanya tidak dirawat yaitu 16 orang (69,6%) dan dirawat 7 orang

(30,4%). Sedangkan pada responden kontrol yang tidak terkena luka

yaitu 35 orang (70%) dan terkena luka 15 orang (30%), namun

responden yang terkena luka tersebut yang lukanya dirawat 5 orang

(33,3%) dan yang tidak dirawat 10 orang (66,7%).


Hasil penelitian dapat menggambarkan bahwa responden kasus

banyak yang mempunyai kebiasaan tidak merawat luka, adanya riwayat

luka inilah yang menyebabkan variabel kebiasaan merawat luka

tergolong kurang baik. Begitu pula pada kontrol, banyak yang tidak

mempunyai kebiasaan merawat luka, Namun pada kontrol hanya sedikit

yang mempunyai kebiasaan tidak merawat luka, dan kebiasaan merawat

6
luka tergolong baik. Hal tersebut belum cukup untuk menjadi penentu

yang menyatakan bahwa ada pengaruh antara kebiasaan merawat luka

terhadap kejadian leptospirosis di Kabupaten Boyolali.

I. Hubungan antara keberadaan hewan peliharaan terhadap

kejadian leptospirosis
Berdasarkan hasil uji statistik Chi-Square diketahui ada hubungan

antara keberadaan hewan terhadap kejadian leptospirosis di wilayah

kabupaten Boyolali (nilai p value 0,001 atau < 0,05). Nilai estimasi

yang diperoleh Odd Ratio sebesar 0,163 (95% CI= 0,055-0,483)

sehingga dapat diartikan bahwa responden yang memiliki hewan

peliharaan merupakan faktor protektif atau mencegah sebesar 0,163

kali terjadinya leptospirosis. Karena berdasarkan penelitian dilapangan

diketahui bahwa sebagian besar responden sering membersihkan

kandang peliharaannya tersebut, responden ketika selesai

membersihkan kandang atau setelah kontak dengan hewan peliharaan

mencuci tangan dengan sabun, serta mempunyai kandang yang terpisah

dengan rumah. Jadi meskipun responden mempunyai hewan peliharaan

namun kebersihan kandang tetap terjaga sehingga dapat mencegah

terjadinya leptospirosis.
Dari penelitian di lapangan didapatkan hasil bahwa responden

kasusyang tidak memiliki hewan yaitu 6 orang (24%) dan yang

memiliki hewan yaitu 19 orang (76%). Sedangkan pada kelompok

kontrol yang tidak memiliki hewan yaitu 33 orang (66%) dan yang

memiliki hewan yaitu 17 orang (34%).

7
Responden yang mempunyai hewan, pada kelompok kasus semua

membersihkan kandangnya, sedangkan pada kelompok kontrol yang

tidak membersihkan kandangnya 1 orang (59,9%) dan yang

membersihkan 16 orang (94,1%).Pada kelompok kasus kandang yang

terpisah rumah sebanyak 16 orang (88,9%) dan yang tidak terpisah

rumah 2 orang (11,1%) sedangkan pada kelompok kontrol yang

membersihkan kandangnya sebanyak 14 orang (82,4%) dan yang tidak

terpisah 3 orang (17,6%).


Sedangkan yang tidak memakai alat pelindung diri saat

membersihkan kandang pada kelompok kasus yaitu 7 orang (38,9%)

dan yang memakai 11 orang (61,1%), sedangkan pada kelompok

kontrol yang tidak memakai alat pelindung diri 5 (29,4%) dan yang

memakai alat pelindung diri 12 orang (70,6%).


J. Hubungan antara mencuci/tangan atau kaki terhadap kejadian

leptospirosis
Berdasarkan hasil uji statistik Chi-Squaremenunjukkan bahwa

tidak ada hubunganantara kebiasaan cuci tangan/kaki dengan kejadian

leptospirosis di Kabupaten Boyolali(nilai p value0,091 atau >0,05).

Nilai estimasi yang diperoleh Odd Ratio sebesar 3,500 (95% CI=0,982-

12,477)sehingga dapat diartikan faktor risiko tidak bermakna.


Dari penelitian di lapangan didapatkan hasil bahwa responden

kasus yang mempunyai kebiasaan tidak mencuci tangan/kaki yaitu 7

orang (28%) dan yang mempunyai kebiasaan cuci tangan/kaki

menggunakan sabun sebanyak 18 orang (72%), sedangkan pada

responden kontrol yang mempunyai kebiasaan tidak cuci tangan/kaki

8
yaitu 5 orang (10%) dan yang mempunyai kebiasaan cuci tangan/kaki

45 orang(90%).
Hasil penelitian dapat menggambarkan bahwa hal tersebut belum

cukup untuk menjadi penentu yang menyatakan bahwa ada pengaruh

antara kebiasaan cuci tangan/kaki dengan kejadian leptospirosis di

Kabupaten Boyolali. Hal tersebut di sebabkan yang mempunyai

kebiasaan cuci tangan/kaki lebih banyak dibanding yang tidak

mempunyai kebiasaan cuci tangan/kaki pada responden kasus maupun

responden kontrol.
K. Hubungan antara kebiasaan menyimpan makanan terhadap

kejadian leptospirosis
Berdasarkan hasil uji statistik Chi-Squaremenunjukkan bahwa

tidak ada hubungan antara kebiasaan menyimpan makanan dengan

kejadian leptospirosis di Kabupaten Boyolali (nilai p value0,208

atau>0,05). Nilai estimasi yang diperoleh Odd Ratio sebesar 2,389

(95% CI=0,732-7,800) sehingga dapat diartikan faktor risiko tidak

bermakna.
Dari penelitian di lapangan didapatkan hasil bahwa pada responden

kelompok kasus mempunyai kebiasaan menyimpan makanan tidak

tertutup yaitu 7 orang atau (28%) dan kebiasaan menyimpan makanan

tertutup sebanyak 18 orang (72%) sedangkan pada responden kontrol

dengan kebiasaan menyimpan makanan tidak tertutup yaitu 7 orang

(14%) dan kebiasaan menyimpan makanan tertutup sebanyak 43 orang

(86%).
Hasil penelitian dapat menggambarkan bahwa kebiasaan

menyimpan makanan pada responden kasus dan kontrol relatif sama.

9
Hal ini disebabkan karena kebiasaan menyimpan makanan pada

responden kasus dan respondenkontrol relatif sudah baik yaitu

disimpan pada almari,ditutup pakai kerudung makanan sehingga

terhindar dari jangkauan vektor tikus

10

Anda mungkin juga menyukai