Anda di halaman 1dari 18

BAB V

PEMBAHASAN

A. Analisis Univariat
Hasil analisis univariat untuk mengetahui gambaran karakteristik

responden meliputi jenis kelamin responden, umur responden, pekerjaan

responden, dan pendidikan tertinggi anggota RT.


1. Jenis Kelamin Responden
Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa distribusi karakteristik

responden pada kelompok kasus jumlah jenis kelamin laki-laki lebih

banyak dari pada perempuan yaitu sebanyak 21 orang (65,6%). Begitu

juga pada kelompok kontrol paling banyak jenis kelamin laki-laki yaitu

17 orang (53,1%). Hal ini sesuai dengan teori yang disampaikan Rusmini

(2011), bahwa laki-laki mempunyai risiko menderita leptospirosis sebesar

9,6 kali lebih besar dibandingkan penderita perempuan, hal ini

dikarenakan laki-laki usia produktif lebih sering melakukan aktivitas di

luar rumah yang berhubungan dengan air dan tanah.


2. Umur Responden

Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui bahwa usia terbanyak pada umur

26-65 tahun, baik pada kelompok kasus maupun kontrol. Pada kelompok

kasus sebanyak 22 orang (68,8%). Sedangkan pada kelompok kontrol

sebanyak 31 orang (96,9%). Hal ini sesuai dengan teori yang disampaikan

oleh Rusmini (2011) kasus leptospirosis sering terjadi pada manusia

dewasa muda sampai usia produktif. Karena pada usia produktif manusia

70
lebih sering bekerja dan beraktifitas di luar rumah yang memunggkinkan

manusia terpapar berbagai masalah kesehatan dan penyakit.

3. Pekerjaan Responden

Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui karakteristik responden dilihat

dari pekerjaan, sebagian besar responden pada kelompok kasus adalah

petani yaitu 17 orang (53,1%). Sedangkan kelompok kontrol adalah swasta

yaitu 12 orang (35,7%). Hal ini sesuai teori yang disampaikan Rusmini

(2011) bahwa pekerjaan petani mempunyai faktor risiko terinfeksi bakteri

leptospira sp. Karena peani lebih sering berinteraksi dengan tanah maupun

air yang kemungkinan terkontaminasi oleh leptospira sp.

4. Pendidikan

Berdasarkan tabel 5 karakteristik responden dilihat dari pendidikan

diketahui bahwa sebagian besar kelompok kasus tidak sekolah (Tidak

tamat SD) yaitu sebanyak 10 orang (31,2%). Sedangkan pada kelompok

kontrol terbanyak yaitu pendidikan SD dan SMA yaitu 10 orang (31,2%).

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Okatini (2007), bahwa kasus

leptospirosis beresiko terjadi pada responden yang berpendidikan rendah

sebesar 2,41 kali (95% CI : 1,3-4,35) dibandingkan responden yang

berpendidikan tinggi.

5. Pendidikan tertinggi anggota RT

Distribusi karakteristik responden berdasarkan pendidikan tertinggi

di RT diketahui bahwa sebagian besar kelompok kasus merupakan

tamatan SMP (Sekolah Menengah Pertama) yaitu sebanyak 17 orang

71
(53,1%). Sedangkan pada kelompok kontrol terbanyak yaitu pendidikan

SMA yaitu 19 orang (59,4%). Sedangkan tingkat pendidikan tertinggi di

RT dengan jumlah paling sedikit adalah perguruan tinggi, pada kelompok

kasus yaitu 2 orang (6,2%) dan kelompok kontrol yaitu 6 orang (18,8%).

Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan tertinggi pada kelompok kasus

leptospirosis keluarganya masih rendah jika dibanding dengan yang tidak

leptospirosis.

B. Analisis Bivariat
Analisis data dilakukan dengan uji Chi Square dan Fisher exact untuk

menguji hubungan variabel bebas dan variabel terikat pada variabel: kebiasaan

mematikan lampu, kondisi tempat sampah, penanganan sampah, jenis lantai,

jenis dinding, kontruksi atap, keberadaan jalur tikus ke atap, kondisi SPAL,

kebiasaan menyimpan alat-alat makanan dan kebiasaan menyimpan makanan

dan minuman yang menunjukkan berhubungan secara signifikan.


1. Kebiasaan Mematikan Lampu
Berdasarkan hasil uji statistik Chi-Square menunjukkan bahwa tidak

ada hubungan antara kebiasaan mematikan lampu dengan kejadian

leptospirosis di Kabupaten Boyolali (nilai p va,,lue 0,183 atau >0,05). Dari

penelitian di lapangan didapatkan hasil bahwa pada responden kelompok

kasus mempunyai kebiasaan mematikan lampu yaitu 24 orang (75%) dan

kebiasaan menyalakan lampu sebanyak 8 orang (25%) sedangkan pada

responden kontrol dengan kebiasaan mematikan lampu yaitu 19 orang

(59,4%) dan kebiasaan menyalakan lampu sebanyak 13 orang (40,6%).

Hasil penelitian dapat menggambarkan bahwa kebiasaan mematikan lampu

72
pada responden kasus dan kontrol relatif sama. Hal ini disebabkan karena

resonden mempunyai kebiasaan mematikan lampu pada malam hari baik

pada kasus maupun kontrol.


Hal ini sesuai dengan teori Rusmini (2011) bahwa tikus lebih menyukai

untuk beraktivitas di malam daripada siang hari, sehingga tikus disebut

sebagai binatang nokturnal. Sehingga pada malam hari sebaiknya lampu

tidak dimatikan dan lampu tidak remang-remang. Karena tikus yang

terinfeksi virus leptospira sp dan berkeliaran di dalam rumah dapat menjadi

penyebab penyakit leptospirosis. Sehingga perlu dilakukan pencegahan

penyakit leptospirosis.
Penyuluhan kesehatan merupakan suatu kegiatan yang dapat

mempengaruhi perubahan perilaku responden meliputi perubahan

pengetahuan dan sikap. Dengan diberikannya penyuluhan maka responden

mendapat pembelajaran dan informasi yang menghasilkan suatu perubahan.

Responden yang mendapatkan informasi mengenai leptospirosis

diharapkan menyalakan lampu ketika malam hari untuk mencegah tikus

berkeliaran di dalam rumah.


2. Kondisi Tempat Sampah
Syarat tempat sampah yaitu terbuat dari bahan yang kedap air, tempat

sampah dalam keadaan tertutup rapat. Berdasarkan hasil uji statistik Chi-

Square menunjukkan bahwa ada hubungan antara kondisi tempat sampah

dengan kejadian leptospirosis di Kabupaten Boyolali (nilai p value 0,000

atau ≤0,05). Nilai estimasi yang diperoleh Odd Ratio sebesar 11,667 (95%

CI=3,280-41,492) sehingga dapat diartikan bahwa lingkungan rumah yang

kondisi tempat sampahnya tidak memenuhi syarat memiliki risiko sebesar

73
11,667 kali terkena leptospirosis dibanding dengan kondisi tempat sampah

yang memenuhi syarat.


Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa pada responden

kelompok kasus yang kondisi tempat sampahnya tidak memenuhi syarat

yaitu 28 orang (87,5%) dan yang memenuhi syarat sebanyak 4 orang

(12,5%) sedangkan pada responden kontrol yang tidak memenuhi syarat

yaitu 12 orang (37,5%) dan yang memenuhi syarat sebanyak 20 orang

(62,56%). Hasil penelitian dapat menggambarkan bahwa rumah yang

mempunyai tempat sampah di dalam rumah maupun di luar rumah dengan

kondisi tidak tertutup rapat berisiko terpapar leptospirosis 11,667 kali

dibandingkan dengan rumah yang tempat sampahnya tertutup rapat.


Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Ramadhani dan Yunianto

(2010) menunjukkan bahwa jenis tempat sampah yang terbuka

berhubungan dengan kejadian leptospirosis (p-value= 0,045). Rumah yang

mempunyai tempat sampah di dalam rumah maupun di luar rumah dengan

kondisi terbuka berisiko terpapar leptospirosis 3,556 kali dibandingkan

dengan rumah yang tempat sampahnya tertutup (OR=3,556; 95%; CI=

0,968-13,070).

Hal ini dikarenakan kondisi tempat sampah yang tidak tertutup rapat

dapat menjadi tempat bersarangnya tikus dan tempat mencari makanan

karena disana terdapat banyak sisa makanan. Sehingga tikus bisa

menularkan virus leptospirosis sp, selain itu tempat sampah yang tidak

kedap air memungkinkan air hujan masuk ke tempat sampah yang

74
menyebabkan kondisi tempat sampah lembab, virus leptospirosis dapat

bertahan hidup pada kondisi lembab atau pada genangan air.


Upaya pencegahan yaitu dengan penyuluhan kepada responden

mengenai kondisi tempat sampah yang bisa menjadi sumber berbagai

masalah kesehatan. Sehingga responden diharapkan melakukan perubahan

untuk meminimalisir terjadinya berbagai masalah kesehatan.


3. Penanganan Sampah
Berdasarkan hasil univariat didapatkan hasil bahwa semua responden

tidak memenuhi syarat penanganan sampah. Adapun syarat penanganan

sampah meliputi : pengumpulan sampah, pemisahan, pembakaran dan

penimbunan. Yang menyebabkan tidak memenuhi syarat adalah pada

penimbunan sampah dimana pada kelompok kasusnya tidak ada yang

melakukan penimbunan sampah sama sekali, sedangkan masyarakat

sebagian besar melakukan pembakaran. Yang terdapat hubungan hanya

pada pengumpulan sampahnya.


Berdasarkan hasil uji statistik Chi-Square menunjukkan bahwa ada

hubungan antara pengumpulan sampah dengan kejadian leptospirosis di

Kabupaten Boyolali (nilai p value 0,000 atau ≤0,05). Nilai estimasi yang

diperoleh Odd Ratio sebesar 9,000 (95% CI=2,555-31,701) sehingga dapat

diartikan bahwa pengumpulan sampah yang tidak memenuhi syarat

memiliki risiko sebesar 9,000 kali terkena leptospirosis dibanding dengan

pengumpulan sampah yang memenuhi syarat. Dari penelitian di lapangan

didapatkan hasil bahwa pada responden kelompok kasus yang

pengumpulan sampahnya tidak memenuhi syarat yaitu 28 orang (87,5%)

dan yang memenuhi syarat sebanyak 4 orang (12,5%) sedangkan pada

75
responden kontrol yang tidak memenuhi syarat yaitu 14 orang (43,8%) dan

yang memenuhi syarat sebanyak 18 orang (56,3%). Hasil penelitian dapat

menggambarkan bahwa pengumpulan sampah yang tidak memenuhi syarat

sangat berisiko terjadinya leptospirosis. Hal ini disebabkan karena

pengumpulan sampah pada kelompok kasus sebagian besar tidak

membuang sampah lebih dari tiga hari, dan dibuang di tempat

terbuka/pekarangan/selokan depan rumah.


Teori yang disampaikan oleh Indan (2000) rumah-rumah yang kotor,

banyak sisa-sisa makanan berceceran, banyak sampah, terutama garbage

akan lebih disenangi oleh tikus. Menurut Kasjono (2011) pembuangan

sampah harus dibedakan jenis sampahnya: sampah kering sebaiknya

dibakar sedangkan sampah basah (daun-daunan, sayuran, sisa daging dll)

dipendam dalam tanah; sampah jangan dibuang di tempat terbuka lebih

dari 24 jam karena akan didatangi tikus dan jangan berserakan sehingga

perlu membuat tempat sampah. Selain itu tempat sampah harus tidak

menimbulkan genangan air.


Upaya pencegahan leptospirosis yaitu dengan melakukan penyuluhan

kepada responden mengenai penanganan sampah yang baik dan benar,

Sehingga diharapkan responden dapat melakukan perubahan untuk

mencegah berbagai penyakit yang bisa disebabkan oleh penanganan

sampah yang kurang tepat.


4. Jenis Lantai
Berdasarkan hasil uji statistik Chi-Square menunjukkan bahwa ada

hubungan antara jenis lantai dengan kejadian leptospirosis di Kabupaten

Boyolali (nilai p value 0,016 atau > 0,05). Nilai estimasi yang diperoleh

76
Odd Ratio sebesar 5,063 (95% CI=1,255-20,424) sehingga dapat diartikan

bahwa jenis lantai yang tidak memenuhi syarat merupakan faktor risiko

terjadinya leptospirosis. Dari penelitian di lapangan didapatkan hasil

bahwa pada responden kelompok kasus yang jenis lantai tidak memenuhi

syarat yaitu 29 orang (90,6%) dan yang memenuhi syarat 3 orang (9,4%)

sedangkan pada kontrol yang tidak memenuhi syarat 21 orang (65,6%) dan

yang memenuhi syarat 14 orang (21,9%). Hasil penelitian dapat

menggambarkan bahwa jenis lantai yang tidak memenuhi syarat

merupakan faktor risiko terjadinya leptospirosis. Hal ini disebabkan karena

jenis lantai pada responden sebagian besar masih berupa tanah dan tidak

kedap air. Pada lantai dapur dan lantai gudang terdapat hubungan tetapi

pada lantai kamar mandi tidak terdapat hubungan. Dari ketiga tempat yang

dilakukan yakni lantai dapur, gudang dan kamar mandi yang terdapat

hubungan pada lantai dapur dan gudang.


a. Jenis lantai dapur
Berdasarkan hasil uji statistik Chi-Square menunjukkan bahwa ada

hubungan antara jenis lantai dapur dengan kejadian leptospirosis di

Kabupaten Boyolali (nilai p value 0,026 atau ≤ 0,05). Nilai estimasi

yang diperoleh Odd Ratio sebesar 3,695 (95% CI=1,128-2,105)

sehingga dapat diartikan bahwa jenis lantai dapur yang tidak memenuhi

syarat merupakan faktor risiko terjadinya leptospirosis. Jenis lantai

gudang yang tidak memenuhi syarat mempunyai risiko sebesar 3,695

kali terkena leptospirosis dibanding dengan responden yang jenis lantai

dapurnya memenuhi syarat. Dari penelitian di lapangan didapatkan

77
hasil bahwa pada responden kelompok kasus yang jenis lantai dapur

tidak memenuhi syarat yaitu 27 orang (84,4%) dan yang memenuhi

syarat 5 orang (15,6%) sedangkan pada kontrol yang tidak memenuhi

syarat 19 orang (59,4%) dan yang memenuhi syarat 13 orang (40,6%).


b. Jenis lantai gudang
Berdasarkan hasil uji statistik Chi-Square menunjukkan bahwa ada

hubungan antara jenis lantai gudang dengan kejadian leptospirosis di

Kabupaten Boyolali (nilai p value 0,005 atau ≤ 0,05). Nilai estimasi

yang diperoleh Odd Ratio sebesar 5,444 (95% CI=1,546-19,177)

sehingga dapat diartikan bahwa jenis lantai dapur yang tidak

memenuhi syarat merupakan faktor risiko terjadinya leptospirosis.

Jenis lantai gudang yang tidak memenuhi syarat mempunyai risiko

sebesar 5,444 kali terkena leptospirosis dibanding dengan responden

yang jenis lantai gudangnya memenuhi syarat. Dari penelitian di

lapangan didapatkan hasil bahwa pada responden kelompok kasus

yang jenis lantai gudang tidak memenuhi syarat yaitu 28 orang

(87,5%) dan yang memenuhi syarat 4 orang (12,5%) sedangkan pada

kontrol yang tidak memenuhi syarat 18 orang (56,2%) dan yang

memenuhi syarat 14 orang (43,8%).


Hal ini sejalan dengan Rusmini (2011) yang menyatakan bahwa

apabila lantai rumah yang hanya terdiri dari tanah maka dengan mudah

tikus dapat masuk ke dalam rumah. Namun tidak seperti pada hasil

penelitian Ramadhani dan Yunianto (2010) yang menyatakan bahwa

tidak ada hubungan lantai tanah dengan kejadian leptospirosis (p-

value=0,917).

78
Gudang merupakan tempat penyimpanan barang maupun bahan

pangan, sehingga tikus suka berkeliaran di tempat yang terdapat

banyak makanan. Lantai gudang yang masih tanah akan lebih mudah

bagi tikus untuk menggalinya untuk masuk ke dalam rumah/gudang,

sehingga tikus akan dengan mudah keluar masuk rumah. Selain itu

tikus yang sering berkeliaran di dalam rumah tidak menutup

kemungkinan juga beraktivitas di dalam rumah seperti kencing,

kencing tikus yang terkena virus leptospirosis sp bisa bertahan hidup

pada tanah yang lembab.


5. Jenis Dinding
Jenis dinding yang memenuhi syarat yaitu tidak ada celah dan kedap air.

Berdasarkan hasil uji statistik Chi-Square menunjukkan bahwa ada

hubungan antara jenis dinding dengan kejadian leptospirosis di Kabupaten

Boyolali (nilai p value 0,000 atau ≤ 0,05). Nilai estimasi yang diperoleh

Odd Ratio sebesar 9,000 (95% CI=2,555-31,701) sehingga dapat diartikan

bahwa jenis dinding yang tidak memenuhi syarat merupakan faktor risiko

terjadinya leptospirosis. Jenis dinding yang tidak memenuhi syarat

mempunyai risiko sebesar 9,000 kali terkena leptospirosis dibanding

dengan responden yang jenis dindingnya memenuhi syarat. Dari penelitian

di lapangan didapatkan hasil bahwa pada responden kelompok kasus yang

jenis dinding tidak memenuhi syarat yaitu 28 orang (87,5%) dan yang

memenuhi syarat 4 orang (12,5%) sedangkan pada kontrol yang tidak

memenuhi syarat 14 orang (43,8%) dan yang memenuhi syarat 18 orang

(58,2%). Hasil penelitian dapat menggambarkan bahwa jenis dinding

79
merupakan faktor risiko terjadinya leptospirosis. Hal ini disebabkan karena

jenis dinding pada responden kasus sebagian besar tidak kedap air yaitu

anyaman bambu dan kayu. Hasil ini sejalan dengan penelitian Ramadhani

dan Yunianto (2010) menunjukkan bahwa dinding dapur bukan dari tembok

berhubungan dengan kejadian leptospirosis (p-value= 0,022). Responden

yang dinding dapurnya bukan dari tembok akan berisiko terpapar

leptospirosis 5,192 kali dibandingkan dengan responden yang dinding

dapurnya dari tembok. Pada penelitian yang telah dilakukan pada jenis

dinding dapur, gudang dan kamar mandi menunjukkan hasil bahwa yang

terdapat hubungan pada dinding dapur dan dinding kamar mandi.


a. Jenis Dinding Dapur
Berdasarkan hasil uji statistik Chi-Square menunjukkan bahwa ada

hubungan antara jenis dinding dapur dengan kejadian leptospirosis di

Kabupaten Boyolali (nilai p value 0,001 atau ≤ 0,05). Nilai estimasi

yang diperoleh Odd Ratio sebesar 5,952 (95% CI=1,977-17,920)

sehingga dapat diartikan bahwa jenis dinding dapur yang tidak

memenuhi syarat merupakan faktor risiko terjadinya leptospirosis. Jenis

dinding dapur yang tidak memenuhi syarat mempunyai risiko sebesar

5,952 kali terkena leptospirosis dibanding dengan responden yang jenis

dinding dapurnya memenuhi syarat. Dari penelitian di lapangan

didapatkan hasil bahwa pada responden kelompok kasus yang jenis

dinding dapur tidak memenuhi syarat yaitu 25 orang (78,1%) dan yang

memenuhi syarat 7 orang (21,9%) sedangkan pada kontrol yang tidak

80
memenuhi syarat 12 orang (37,5%) dan yang memenuhi syarat 20 orang

(62,5%).
b. Jenis Dinding Kamar Mandi
Berdasarkan hasil uji statistik Chi-Square menunjukkan bahwa ada

hubungan antara jenis dinding kamar mandi dengan kejadian

leptospirosis di Kabupaten Boyolali (nilai p value 0,000 atau ≤ 0,05).

Nilai estimasi yang diperoleh Odd Ratio sebesar 6,600 (95% CI=2,208-

19,728) sehingga dapat diartikan bahwa jenis dinding kamar mandi

yang tidak memenuhi syarat merupakan faktor risiko terjadinya

leptospirosis. Jenis dinding kamar mandi yang tidak memenuhi syarat

mempunyai risiko sebesar 6,600 kali terkena leptospirosis dibanding

dengan responden yang jenis dinding kamar mandinya memenuhi

syarat. Dari penelitian di lapangan didapatkan hasil bahwa pada

responden kelompok kasus yang jenis dinding kamar mandi tidak

memenuhi syarat yaitu 24 orang (75%) dan yang memenuhi syarat 8

orang (25%) sedangkan pada kontrol yang tidak memenuhi syarat 10

orang (31.2%) dan yang memenuhi syarat 22 orang (68,8%).


Tikus merupakan hewan pengerat sehingga dinding yang terbuat dari

kayu/anyaman bambu dapat dengan mudah tikus masuk ke dalam rumah

dibanding dinding tembok. Sehingga tikus dapat dengan mudah keluar

masuk rumah yang bisa jadi juga menularkan berbagai penyakit, seperti

leptospirosis melalui urin tikus. Sehingga upaya pencegahannya yaitu

81
dengan melakukan penyuluhan kepada responden agar menutup celah pada

tembok supaya tikus tidak dapat masuk dan berkeliaran di dalam rumah.
6. Kontruksi Atap
Berdasarkan hasil uji statistik Chi-Square menunjukkan bahwa tidak

ada hubungan antara kontruksi atap dengan kejadian leptospirosis di

Kabupaten Boyolali (nilai p value 0,183 atau > 0,05). Dari penelitian di

lapangan didapatkan hasil bahwa pada responden kelompok kasus maupun

kontrol kontruksi atap sebagian besar tidak memenuhi syarat. Pada

kelompok kasus yang tidak memenuhi syarat 24 orang (75%) sedangkan

pada kelompok kontrol yang tidak memenuhi syarat 19 orang (59,4%) dan

yang memenuhi syarat 13 orang (40,6%). Kontruksi atap yang memenuhi

syarat yaitu pada kuda-kuda atap yang terbuat dari bambu maka pada

lubangnya ditutup, atau pada kuda-kuda atap tidak ada tempat yang bisa

digunakan tikus untuk bersarang. Akan tetapi pada atap yang terdapat

langit-langit dilihat ada tidaknya celah/lubang antara atap dengan langit-

langit untuk mencegah masuknya tikus ke dalam rumah.


7. Hubungan antara keberadaan jalur tikus ke atap dengan kejadian

leptospirosis
Berdasarkan hasil uji statistik Chi-Square menunjukkan bahwa tidak

ada hubungan antara keberadaan jalur tikus ke atap dengan kejadian

leptospirosis di Kabupaten Boyolali (nilai p value 1,000 atau > 0,05). Dari

penelitian di lapangan didapatkan hasil bahwa pada responden kelompok

kasus maupun kontrol jumlahnya sama yaitu yang kontruksi atap tidak

memenuhi syarat sebanyak 8 orang (25%) dan yang memenuhi syarat 24

82
orang (75%). Teori yang disampaikan oleh Kasjono (2011) bahwa

menyandarkan tangga bambu dan lain-lain ke atap rumah dapat menjadi

perantara tikus bisa naik ke atap. Sehingga upaya untuk pencegahannya

yaitu menghimbau masyarakat supaya tidak menyandarkan tangga bambu

dan lain-lain ke atap untuk meminimalisir jalan masuknya tikus ke dalam

rumah.

8. Hubungan antara kondisi SPAL terhadap kejadian leptospirosis


Berdasarkan hasil uji statistik Fisher Exact menunjukkan bahwa tidak

ada hubungan antara kondisi SPAL dengan kejadian leptospirosis di

Kabupaten Boyolali (nilai p value 0,104 atau > 0,05). Dari penelitian di

lapangan didapatkan hasil bahwa pada responden kelompok kasus yang

kondisi SPAL tidak memenuhi syarat sebanyak 31 orang (96,9%) dan yang

memenuhi syarat 1 orang (3,1%) sedangkan pada kontrol yang tidak

memenuhi syarat 26 orang (81,2%) dan yang memenenuhi syarat 6 orang

(18,8%). Hal ini dikarenakan sebagian besar responden kasus maupun

kontrol kondisi SPALnya tidak memenuhi syarat sehingga hasil

menunjukkan tidak ada hubungan.


Penelitian Okatini dkk (2007) menunjukkan bahwa pembuangan air

limbah berhubungan dengan kejadian leptospirosis (p=0,03 dengan

OR=1.98 95% CI OR= 1.11 – 3.54). Pembuangan limbah yang tidak

memenuhi syarat kesehatan merupakan resiko pajanan sebesar dua kali

dibandingkan dengan pembuangan limbah yang memenuhi syarat terhadap

kejadian kasus leptospirosis.

83
Syarat SPAL menurut Depkes RI (1990) yaitu kondisi tertutup, tidak

ada genangan air/meresap ke tanah, tidak terjamah tikus dan hewan vektor

lainnya, serta tidak mencemari sumber air. Upaya pencegahan

leptospirosis yaitu dengan melakukan penyuluhan kepada responden

mengenai kondisi SPAL yang dapat menimbulkan berbagai penyakit salah

satunya yaitu leptospirosis. Sehingga responden yang mendapatkan

informasi diharapkan dapat melakukan perubahan dengan cara menutup

SPAL dan meresapkannya.


9. Hubungan antara kebiasaan penyimpanan alat makan dan minum terhadap

kejadian leptospirosis
Berdasarkan hasil uji statistik Fisher Exact menunjukkan bahwa tidak

ada hubungan antara kebiasaan menyimpan alat makan dan minum dengan

kejadian leptospirosis di Kabupaten Boyolali (nilai p value 1,000

atau>0,05). Dari penelitian di lapangan didapatkan hasil bahwa pada

responden kelompok kasus mempunyai kebiasaan menyimpan makanan

tidak memenuhi syarat yaitu 30 orang (93,8%) dan kebiasaan menyimpan

makanan yang memenuhi syarat sebanyak 2 orang (6,2%) sedangkan pada

responden kontrol dengan kebiasaan menyimpan makanan tidak memenuhi

syarat yaitu 29 orang (90,6%) dan kebiasaan menyimpan makanan yang

memenuhi syarat sebanyak 3 orang (9,4%).


Hal ini menunjukkan bahwa kebiasaan menyimpan makanan pada

responden kasus dan kontrol relatif sama. Hal ini disebabkan karena

kebiasaan menyimpan alat makan dan minum pada responden kasus dan

responden kontrol relatif tidak memenuhi syarat yaitu tidak disimpan pada

almari, atau ditutup rapat sehingga terhindar dari jangkauan vektor tikus.

84
Hal ini sejalan dengan penelitian Handayani (2014) menunjukkan tidak ada

hubungan antara kebiasaan menyimpan alat makan dengan kejadian

leptospirosis di Kabupaten Klaten dengan nilai p (0,195) >  (0,05), OR =

0,0505.
Teori yang disampaikan oleh Suyono dan Budiman (2010)

menunjukkan bahwa penularan penyakit dapat terjadi karena alat

makan/minum kurang bersih maupun pada rak penyimpanannya. Penelitian

ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak meyimpan alat-

alat makanan tidak tertutup rapat, sehingga upaya untuk pencegahan

penyakit yaitu melakukan penyimpanan alat makanan pada rak

penyimpanan yang tertutup rapat supaya tidak terjamah oleh tikus maupun

vektor lainya.
10. Hubungan antara penyimpanan makanan dan minuman terhadap kejadian

leptospirosis
Berdasarkan hasil uji statistik Fisher Exact menunjukkan bahwa tidak

ada hubungan antara kebiasaan menyimpan makanan dengan kejadian

leptospirosis di Kabupaten Boyolali (nilai p value 1,000 atau>0,05). Dari

penelitian di lapangan didapatkan hasil bahwa pada responden kelompok

kasus mempunyai kebiasaan menyimpan makanan tidak memenuhi syarat

yaitu 30 orang (93,8%) dan kebiasaan menyimpan makanan yang

memenuhi syarat sebanyak 2 orang (6,2%) sedangkan pada responden

kontrol dengan kebiasaan menyimpan makanan tidak memenuhi syarat

yaitu 29 orang (90,6%) dan kebiasaan menyimpan makanan yang

memenuhi syarat sebanyak 3 orang (9,4%).

85
Hasil penelitian dapat menggambarkan bahwa kebiasaan menyimpan

makanan pada responden kasus dan kontrol relatif sama yaitu tidak

memenuhi syarat yaitu tidak disimpan pada almari, atau ditutup rapat

sehingga terhindar dari jangkauan vektor tikus. Hal ini sejalan dengan

penelitian Ketaren (2009) bahwa tidak ada hubungan antara penyimpanan

makanan dengan kejadian leptospirosis.


Makanan merupakan kebutuhan dasar manusia, apabila makanan dan

minuman yang terkontaminasi virus maupun kuman maka daya tahan

tubuh akan melemah dan dengan mudah terserang penyakit. Sehingga

upaya yang harus dilakukan adalah menyimpan makanan dan minuman di

almari yang tertutup rapat sehingga tidak terjamah oleh tikus maupun

vektor lainnya. Sebagaimana teori Suyono dan Budiman (2010) bahwa

tempat masak dan penyimpanan makanan harus bersih dan bebas dari

pencemaran dan ganguan serangga maupun tikus.

C. Analis Multivariat
Pada penelitian ini terdapat tiga variabel dan semua variabel tersebut

memenuhi syarat untuk masuk kedalam analisis multivariat yaitu kondisi

tempat sampah, jenis lantai dan jenis dinding. Setelah di lakukan analisis

multivariat didapatkan hasil bahwa jenis lantai tidak ada hubungan dengan

leptospirosis. Setelah dilakukan analisis multivariate maka pada variabel

kondisi tempat sampah OR mengalami penurunan menjadi 10,065

(95%CI=1,610-56,714) sedangkan pada jenis dinding meningkat menjadi OR

sebesar 9,5 (95%CI=2,549-39,746). Berdasarkan tabel 48 didapatkan hasil

bahwa variabel yang paling dominan terhadap kejadian leptospirosis yaitu

86
kondisi tempat sampah. Hal ini sesuai dengan penelitian Ramadhani dan

Yunianto bahwa rumah yang mempunyai tempat sampah di dalam rumah

maupun di luar rumah dengan kondisi terbuka berisiko terpapar leptospirosis

3,556 kali dibandingkan dengan rumah yang tempat sampahnya tertutup

(OR=3,556; 95%; CI= 0,968-13,070). Kondisi tempat sampah yang tidak

memenuhi syarat dapat menjadi sumber berbagai masalah kesehatan salah

satunya yaitu leptospirosis. Tempat sampah dapat menjadi smber makanan

bagi tikus karena terdapat banyak sisa makanan. Sehingga upaya

pencegahannya yaitu melakukan penyuluhan mengenai kondisi tempat sampah

sehingga diharapkan masyarakat dapat melakukan perubahan dengan cara

menutup rapat tempat sampah.

87

Anda mungkin juga menyukai