Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Refluks gastroesofageal (GERD) merupakan gejala atau kerusakan dari mukosa
esofagus karena masuknya isi lambung ke dalam esofagus (Cenelli dkk 2011) . Menurut
klasifikasi Montreal, GERD adalah keadaan refluksnya isi lambung ke dalam esofagus yang
akan menyebabkan gejala yang sangat mengganggu, dengan atau tanpa adanya komplikasi
(Vakil 2008). Konsensus Asia Pasifik menyatakan bahwa GERD dapat menyebabkan
terjadinya gejala atau komplikasi yang mengganggu dimana menandakan adanya gangguan
kualitas hidup pasien (Talley 2008).
Faktor yang berperan dalam timbulnya GERD adalah adanya kelainan lambung salah
satu diantaranya adalah pengosongan lambung yang lambat (Makmun 2010). Terjadinya
refluks gastroesofageal disebabkan akibat sangat rendahnya atau hilangnya perbedaan
tekanan antara LES (Lower Esophageal Spincter) dengan laring, karena penurunan dari
kekuatan otot LES yang terkadang tidak diketahui penyebabnya (Mahdi 2008).
Prevelensi GERD di Asia termasuk Indonesia lebih rendah dengan presentase 5% pada
tahun 1997, namun data terakhir didapatkan peningkatan mencapai 13,13% per tahun akibat
adanya perubahan gaya hidup, seperti merokok dan obesitas (Talley 2008). Data dari
Amerika Serikat menunjukan satu diantara lima orang dewasa mengalami refluks esofageal,
serta lebih dari 40% mengalami gejala refluks esofageal sekurangnya sekali dalam satu bulan
(Sontag 2009). Sekitar 50% pasien GERD bersifat simptomatik dan dipengaruhi karena
adanya faktor psikososial (Perdue 2008).
1.2 Rumusan Masalah
 Apa yang dimaksud dengan GERD (Gastroesophageal Reflux Disease) ?
 Bagaimana epidemiologi dari penyakit GERD (Gastroesophageal Reflux Disease) ?
 Apa saja etiologi patofisiologi dari penyakit GERD (Gastroesophageal Reflux
Disease) ?
 Apa saja sasaran terapi yang dapat dilakukan terhadap penyakit GERD
(Gastroesophageal Reflux Disease) ?

1|FARMAKOTERAPI II
 Bagaimana strategi dan tatalaksana terapi yang dapat dilakukan terhadap penyakit
GERD (Gastroesophageal Reflux Disease) ?
1.3 Tujuan Penulisan
 Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan GERD (Gastroesophageal Reflux
Disease).
 Untuk mengetahui bagaimana epidemiologi dari penyakit GERD (Gastroesophageal
Reflux Disease).
 Untuk mengetahui apa saja etiologi patofisiologi dari penyakit GERD
(Gastroesophageal Reflux Disease).
 Untuk mengetahui apa saja sasaran terapi yang dapat dilakukan terhadap penyakit
GERD (Gastroesophageal Reflux Disease).
 Untuk mengetahui bagaimana strategi dan tatalaksana terapi yang dapat dilakukan
terhadap penyakit GERD (Gastroesophageal Reflux Disease).

2|FARMAKOTERAPI II
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi GERD (Gastroesophageal Reflux Disease)
GERD adalah singkatan dari Gastroesophageal reflux disease merupakan penyakit
saluran pencernaan akibat asam lambung yang naik ke esofagus (refluks). Hal ini akan
membuat penderitanya merasa mual bahkan muntah dan juga dada terasa panas seperti
terbakar (heartburn). Akibat naiknya asam lambung ke esofagus atau kerongkongan, maka
sifat asam yang korosif akan mengiritasi dan membakar lapisan permukaan esofagus. Hal
ini akan menimbulkan rasa panas pada dada (heartburn) sampai bagian dalam leher bahkan
tenggorokan.
2.2 Epidemiologi GERD (Gastroesophageal Reflux Disease)
GERD adalah penyakit global, dan bukti menunjukkan bahwa prevalensinya
meningkat. Estimasi prevalensi menunjukkan variasi geografis yang cukup besar, tetapi
hanya di Asia Timur estimasi prevalensi saat ini lebih rendah dari 10% secara konsisten.
Tingginya prevalensi dari GERD, dan merupakan gejala yang menyusahkan, memiliki
konsekuensi sosial yang signifikan, yang berdampak buruk pada produktivitas kerja dan
banyak aspek kualitas hidup lainnya untuk masing-masing pasien.
Studi epidemiologis yang kuat masih kurang untuk negara-negara maju, seperti
Jepang, serta banyak negara berkembang termasuk Rusia, India, dan benua Afrika. Ada juga
beberapa data mengenai prevalensi GERD pada populasi anak, kejadian GERD riwayat
alaminya, dan penyebabnya.

Tabel 1. Gejala GERD : Rentang kasus di berbagai negara.

3|FARMAKOTERAPI II
GERD dapat terjadi pada semua umur tetapi kebanyakan terjadi pada usia diatas 40
tahun. Walaupun kematian yang disebabkan oleh GERD sangat jarang terjadi, gejala dari
GERD mungkin memiliki dampak yang signifikan terhadap kualitas hidup penderita. Dalam
populasi barat, kisaran prevalensi untuk GERD adalah 10% sampai 20% dari populasi.
Prevalensi dari GERD bervariasi tergantung dari wilayah geografis, tetapi negara barat
merupakan wilayah dengan kasus GERD tertinggi.
2.3 Etiologi Patofisiologi GERD (Gastroesophageal Reflux Disease)
GERD adalah gangguan sensorimotor yang terkait dengan gangguan mekanisme
antireflux normal (Misalnya : Fungsi sfingter esofagus yang lebih rendah), dengan
perubahan fisiologi normal (Misal : Gangguan peristaltik esofagus, peningkatan tekanan
intragastrik, peningkatan gradien tekanan abdominothoracic), sekresi asam lambung
berlebih (sindrom Zollinger-Ellison).
Faktor utama terjadinya GERD adalah gangguan refluk asam lambung dari lambung
menuju esofagus. Pada beberapa kasus, refluks esofageal dikaitkan dengan
ketidaksempurnaan tekanan atau fungsi dari sfinkter esofageal bawah (Lower Esophageal
Spinchter/LES). Sfinkter secara normal berada pada kondisi tonik (berkontraksi) untuk
mencegah refluks materi lambung dari perut dan berelaksasi saat menelan untuk membuka
jalan makanan ke dalam perut.
Penurunan tekanan LES dapat disebabkan oleh :
 Relaksasi sementara LES secara spontan,
 Peningkatan sementara tekanan intra abdominal, atau
 LES atonik. Permasalahan pada mekanisme pertahanan mukosa normal lainnya,
seperti factor anatomi, pembersihan esofagus (waktu kontak asam dengan mukosa
esofageal yang terlalu lama), resistensi mukosal, pengosongan lambung, faktor
pertumbuhan epidermis dan pendaparan saliva, mungkin juga dapat menyebabkan
refluk gastroesofageal.

4|FARMAKOTERAPI II
2.4 Sasaran Terapi GERD (Gastroesophageal Reflux Disease)
2.4.1 Terapi Non-Farmakologi
a. Penurunan berat badan
Obesitas diduga menyebabkan GERD melalui berbagai faktor antara lain
meningkatkan :
 Perubahan (gradient) tekanan sfingter gastroesofagus.
 Kejadian hiatal hernia.
 Tekanan intra-abdomen
 Pengeluaran enzim pankreas dan empedu.
b. Elevasi kepala saat tidur
Meninggikan alas kepala dibawah busa kasur bukan sekedar tinggi bantal
setinggi 6-8 inchi menurunkan kontak asam esofagus saat malam hari .
c. Konsumsi makanan kecil dan tidak makan 3 jam sebelum tidur
Banyak makanan dapat memperburuk gejala GERD. Lemak dan coklat
dapat coklat dapat menurunkan tekanan LES, sedangkan jus jeruk, jus tomat,
kopi, dan lada mungkin mengganggu rusak endothelium.
d. Menghindari makanan atau obat yang memperburuk GERD
Hal ini penting untuk mengevaluasi profil pasien dan untuk
mengidentifikasi potensi obat yang dapat memperburuk gejala GERD. Obat-
obatan, seperti antikolinergik, barbiturat, calcium channel blocker, dan teofilin
menurunkan tekanan LES. Obat lain, termasuk aspirin, zat besi, obat
antiinflamasi nonsteroid, quinidine, kalium klorida, dan bifosfonat dapat
bertindak sebagai iritasi kontak langsung pada mukosa esofagus. Pasien yang
memakai bifosfonat (misalnya, alendronate) harus diinstruksikan untuk minum
6 sampai 8 ons air keran biasa dan tetap tegak selama minimal 30 menit setelah
pemberian. Pendidikan pasien yang tepat dapat membantu mencegah disfagia
atau ulserasi esofagus.Pasien harus dimonitor untuk gejala memburuk ketika
salah satu dari ini obat dimulai. Jika gejala memburuk, terapi alternatif dapat
dibenarkan. Klinisi harus mempertimbangkan risiko dan manfaat melanjutkan
obat yang dikenal untuk memperburuk GERD dan esophagitis.

5|FARMAKOTERAPI II
e. Berhenti merokok
Merokok dapat menyebabkan aerophagia, yang dapat meningkatkan
sendawa dan regurgitasi. Masih belum ada banyak data yang menyebabkan
peningkatan keparahan GERD, sehingga pasien GERD di rekomendasikan untuk
menghindari alcohol.
f. Berhenti alcohol
Penggunaan alkohol dapat menurunkan LES.
2.4.2 Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi terdiri dari (a) terapi pasien diarahkan dengan antacid
nonprescription, antagonis reseptor H2, atau proton pump inhibitors dan (b) terapi
kekuatan resep penekan asam atau promotility obat.
2.5 Strategi dan Tatalaksana Terapi GERD (Gastroesophageal Reflux Disease)
2.5.1 Terapi Farmakologi
Obat-obat yang digunakan dalam penatalaksanaan GERD antara lain :
golongan penghambat pompa proton (proton pump inhibitors, PPIs) dan penghambat
H2 [H2 blockers atau antagonis reseptor H2 (H2-receptor antagonists, H2RAs)].
 Antasida dan Turunan Asam Alginat Antasida
Antasida adalah komponen yang tepat untuk mengobati GERD ringan,
meskipun dokumentasi keberhasilan antasida dalam uji klinis terkontrol
plasebo kurang. Meskipun literatur agak kontroversial pada keunggulan
antasida dengan plasebo , dokter dan pasien jelas menganggap antasida efektif
untuk segera mengurangi gejala-gejala, dan antasida yang sering digunakan
bersamaan dengan terapi asam. Mempertahankan pH intragastrik > 4
mengurangi aktivasi pepsinogen ke pepsin, enzim proteolitik. Produk
kombinasi bisa lebih baik dibandingkan pemberian antasida tunggal dalam
mengurangi gejala GERD. Produk kombinasi antasida dapat menyebabkan
efek samping gastrointestinal (diare atau sembelit, tergantung pada produk) ,
perubahan dalam metabolisme mineral, dan gangguan asam-basa.

6|FARMAKOTERAPI II
Secara umum, antasida memiliki durasi obat yang singkat sehingga
memerlukan administrasi sering sepanjang hari untuk memberikan netralisasi
asam terus menerus. Mengonsumsi antasida setelah makan dapat
meningkatkan durasi obat dari sekitar 1 jam sampai 3 jam.
 Penghambat Pompa Proton (PPIs/ Proton Pump Inhibitor)
Obat-obat dari golongan penghambat pompa proton bekerja dengan cara
memblok pompa proton (H+,K+-ATPase) yang terdapat di membran sel
parietal lambung sehingga menghambat sekresi asam lambung oleh sel parietal
secara irreversibel. Penghambat pompa proton merupakan prodrug yang tidak
stabil dalam suasana asam. Setelah diabsorpsi dari usus, golongan ini
dimetabolisme menjadi bentuk aktifnya yang berikatan dengan pompa proton.
Inhibitor proton pump lebih unggul daripada antagonis reseptor H2
dalam mengobati pasien dengan GERD parah. Tidak hanya pasien dengan
esofagitis erosif atau komplikasi (Misalnya, Barrett esophagus), tetapi juga
pasien dengan GERD nonerosive yang memiliki gejala sedang sampai berat.
Dosis yang disetujui FDA (per hari) dari proton pump inhibitor adalah
omeprazole 20 mg, esomeprazole 20 mg, lansoprazole 30 mg, 20 mg
rabeprazole, dan pantoprazole 40 mg. Mengurangi gejala-gejala pasien yang
terlihat sekitar 83% setelah 8 minggu pengobatan dengan inhibitor proton
pump, sedangkan tingkat penyembuhan endoskopik pada 8 minggu adalah
78%.
 Antagonis Reseptor H2
Obat-obat dari golongan antagonis reseptor H2 bekerja dengan cara
memblok reseptor histamin di membran sel parietal lambung. Selain hormon
gastrin dan asetilkolin, histamin adalah salah satu senyawa yang menstimulasi
H+,K+-ATPase untuk mensekresi asam lambung.

7|FARMAKOTERAPI II
Efektivitas H2-reseptor antagonis dalam manajemen GERD sangat
bervariasi dan sering lebih rendah dari yang diinginkan. Respon terhadap
antagonis reseptor H2 tergantung pada :
 Tingkat keparahan penyakit.
 Dosis regimen yang digunakan.
 Durasi terapi.
Karena semua antagonis reseptor H2 memiliki khasiat yang sama,
pemilihan agenkhusus untuk digunakan dalam pengelolaan GERD harus
didasarkan pada faktor-faktor seperti perbedaan farmakokinetik, profil
keamanan, dan biaya. Secara umum, antagonis reseptor H2 ditoleransi dengan
baik. Efek samping yang paling umum adalah sakit kepala, mengantuk,
kelelahan, pusing, dan sembelit atau diare.
Pasien harus dipantau adanya efek samping serta interaksi obat yang
potensial, terutama pada cimetidine. Cimetidine dapat menghambat
metabolisme antara lain teofilin, warfarin, fenitoin, nifedipine, dan
propranolol.

Tabel 2. Obat golongan PPIs dan H2-RAs

8|FARMAKOTERAPI II
Gambar 1. Algoritme penatalaksanaan GERD
 Prokinetik
Obat-obat prokinetik, dalam hal ini Metoclopramide, bekerja dengan
meningkatkan kekuatan sfingter esofagus bagian bawah, peristaltis esofagus,
dan mempercepat pengosongan lambung.
2.5.2 Terapi Pemeliharaan
Tanpa terapi pemeliharaan, risiko kekambuhan diperkirakan 60-80% dalam
satu tahun. Berdasarkan penelitian, terapiyang paling efektif mencegah kekambuhan
adalah PPIs full dose, diikuti oleh PPIs low dose, dan terakhir H2Ras. Terapi
pemeliharaan diberikan kepada pasien GERD yang tetap mengalami gejala setelah
PPIs dihentikan dan kepada pasien yang mengalami komplikasi, termasuk esofagitis
erosif dan esofagus Barret. Terapi pemeliharaan PPIs diberikan dalam dosis terkecil
yang masih efektif, termasuk diberikan sesuai permintaan/kebutuhan (on demand)
atau terapi intermittent.

9|FARMAKOTERAPI II
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penyakit Gastroesophageal reflux adalah penyakit umum yang secara klasik muncul
sebagai sakit maag. Patofisiologi refluks adalah kompleks, yang melibatkan kedua faktor
agresif (Asam, pepsin, asam empedu, enzim pankreas, dan prostaglandin) dan sistem
kekebalan (Faktor anatomi, tekanan LES, clearance esofagus, dan pengosongan lambung).
Modalitas terapi yang dirancang untuk meminimalkan faktor-faktor agresif dan/atau
menambah sistem kekebalan.

10 | F A R M A K O T E R A P I I I
DAFTAR PUSTAKA
Irawati Silvy, M.Farm., Apt. 2011. Penatalaksanaan Gastroesophageal Reflux Disease (GERD).
World Gastroenterology Organisation Global Guidelines. 2015. Global Perspective on
Gastroesophageal Reflux Disease.

11 | F A R M A K O T E R A P I I I

Anda mungkin juga menyukai