Diagnosis klinis untuk pneumoconiosis harus berdasarkan pada adanya riwayat pekerjaan,
temuan gambaran radiografi, dan uji fungsi paru. Pasien dengan gejala gangguan pernafasan
harus memiliki riwayat pekerjaan dengan wilayah lingkungan kerja yang sesuai dengan adanya
paparan substansi penyebab gangguan pernafasan. Keterangan mengenai lama kerja dan
seberapa banyak terpapar substansi merupakan hal yang patut dipertimbangkan dalam penegakan
diagnosis. Riwayat merokok juga merupakan faktor yang perlu diperhitungkan karena berkaitan
dengan peningkatan risiko silicosis dan pneumoconiosis pada pekerja tambang batu bara. Pasien
dengan gangguan berat akan menunjukan gejala berupa nafas pendek, batu, sesak pada dada, dan
adanya wheezing, sedangkan pasien dengan gangguan ringan dapat bersifat asimtomatis.
Haemoptysis dan demam dapat menjadi gambaran awal berkembangnya tuberkulosis paru
karena komplikasi dari paparan silika. Gejala yang tidak berkaitan dengan sistem pernafasan
juga mungkin ditemui, seperti scleroderma atau rheumatoid arthritis. Clubbing fingers dan
clubbing toes mungkin dapat dijumpai pada tingkatan yang sangat parah. Uji fungsi paru harus
Foto rontgen bagian thorax tetap menjadi standar baku untuk diagnosis pneumoconiosis,
namun akhir-akhir ini CT scan dengan resolusi tinggi terbukti lebih sensitive untuk diteksi
abnormalitas pada parenkim jaringan. Karakter khas pada pneumoconiosis yang dapat ditemukan
berupa gambaran nodular opak. Penggunaan CT scan tidak dianjurkan untuk screening secara
rutin.
The International Labour Organization (ILO) telah menetapkan standar untuk klasifikasi
gambaran abnormalitas radiograf pada pneumoconiosis berupa bulatan kecil bersifat opak,
bentukan irregular kecil bersifat opak, adanya distribusi opak pada zona tertentu, dan penebalan
pleura.
REFERENCES
1. Karkhanis VS dan Joshi JM. Pneumoconioses. Indian J Chest Dis Allied Sci. 2013; 55: 25-34.