Anda di halaman 1dari 39

Dipresentasikan

Hari: Kamis
Tanggal 8 November 2018

TINJAUAN PUSTAKA

KEMOTERAPI SIKLOFOSFAMID PADA LUPUS ERITEMATOSUS


SISTEMIK (LES) DERAJAT BERAT

Oleh:
Indra Setya Permana

Pembimbing:
dr. Yulyani Werdiningsih, Sp.PD, FINASIM

PPDS-1 ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI
JAWA TENGAH
2018
LEMBAR PENGESAHAN

TINJAUAN PUSTAKA

KEMOTERAPI SIKLOFOSFAMID PADA LUPUS ERITEMATOSUS


SISTEMIK (LES) DERAJAT BERAT

Oleh:
Indra Setya Permana

Telah dipresentasikan pada tanggal ................................


Revisi di setujui pada tanggal................................

Pembimbing

dr. Yulyani Werdiningsih, Sp.PD, FINASIM

ii
DAFTAR ISI

JUDUL..............................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN...............................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................iii
DAFTAR TABEL............................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR........................................................................................v
DAFTAR SINGKATAN..................................................................................vi

BAB I. PENDAHULUAN..............................................................................1
BAB II. LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK.............................................2
A. Patogenesis LES .....................................................................2
B. Mekanisme penyakit dan kerusakan jaringan ..........................7
C. Manifestasi Klinis ...................................................................8
D. Penegakkan Diagnosis ...........................................................11
E. Derajat LES ...........................................................................15
F. Prinsip Penatalaksanaan LES .................................................16
BAB III. KEMOTERAPI SIKLOFOSFAMID................................................20
A. Definisi ..................................................................................20
B. Mekanisme Kerja Siklofosfamid pada LES ..............................20
C. Dosis Siklofosfamid ..............................................................21
D. Panduan Siklofosfamid pada LES Berat ................................22
E. Efek samping Siklofosfamid ..................................................25
F. Penggunaan Siklofosfamid pada LES ....................................26
BAB IV. RINGKASAN..................................................................................30

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................31

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Klasifikasi Lupus Nefritis Menurut World Health Organization .. ...10


Tabel 2. Klasifikasi Lupus Nefritis oleh Internasional Society of Nephrology/ Renal
Pathology Society 2003 (ISN/RPS) ....................................................11
Tabel 3. Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik ......................... ...12
Tabel 4. Rekomendasi Penilaian Awal Dan Monitoring LES ..................... ...14
Tabel 5. Jenis Dan Dosis Obat Yang Dapat Dipakai Pada LES .................. ...17
Tabel 6. Penggunaan Regimen Siklofosfamid ............................................ ...26
Tabel 7. Hasil Proteinuria Pada Pasien LES Yang Mendapatkan Terapi High-
Dose Cyclophosphamide .............................................................. ...29

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Patogenesis Lupus Eritematosus Sistemik .............................. …2


Gambar 2. Model Skematis Interaksi Interselular Sistem Imun Adaptif Sel
.............................................................................................. …21
Gambar 3. Algoritma Penatalaksanaan LES ............................................ …19
Gambar 4. Struktur Kimia Siklofosfamid ................................................ …20
Gambar 5. Mekanisme Siklofosfamid Dosis Rendah Menghambat Jumlah
Dan Fungsi T-reg .................................................................. …21

v
DAFTAR SINGKATAN

LES : Lupus Eritematosus Sistemik


BCR : B-cell receptors
IFN-α : Interferon-α
TLR : Toll like receptors
APC : Antigen Presenting Cells
NPSLE : Neuropsikiatri Lupus Eritematosus Sistemik
ICAM : Intercellular adhession moleculle
HDL : High Density Lipoprotein
LED : Laju Endap Darah

vi
BAB I
PENDAHULUAN

Lupus eritematosus sistemik (LES) merupakan penyakit autoimun


multisistem yang etiologinya belum diketahui. Prevalensi LES adalah sebesar 20 –
50 kasus per 100000 populasi. Peningkatan insidensi berhubungan dengan adanya
perkembangan dalam penegakkan diagnosis LES pada manifestasi klinis ringan.
Insidensi diperkirakan sebanyak 1 – 25 per 100000 penduduk Amerika Utara,
Amerika Selatan, Eropa dan Asia.1 Manifestasi klinis LES sangat bervariasi
tergantung sistem organ mana yang terlibat. Ginjal merupakan organ yang sering
terlibat pada pasien dengan LES. Lebih dari 70% pasien LES mengalami
keterlibatan ginjal sepanjang perjalanan penyakitnya. Lupus nefritis memerlukan
perhatian khusus selain dikarenakan termasuk kategori LES derajat berat, juga agar
tidak terjadi perburukan dari fungsi ginjal dan mengancam jiwa.2
LES merupakan penyakit kronis dengan manifestasi klinis dan pola
aktivitas penyakit beraneka ragam, serta eksaserbasi dan remisi yang tidak
terprediksi. Hal ini menjadi tantangan dalam penatalaksanaan, dengan prognosis
jangka panjang yang seringkali buruk. Pengobatan yang diberikan dalam jangka
waktu panjang atau bahkan seumur hidup membuat efek samping obat menjadi
masalah yang membutuhkan pertimbangan dalam tatalaksana LES.2
Penggunaan kemoterapi siklofosfamid pada kasus LES berat terutama
pada kasus lupus nefritis dan sistem saraf pusat (neuropsikiatri lupus). Hal ini
memanfaatkan peranan sitotoksik yang dihasilkan dari penggunaan siklofosfamid.
Penelitian-penelitian terbaru menunjukkan pemberian siklofosfamid lebih efektif
dibandingkan dengan monoterapi menggunakan prednisone atau pulse
methylprednisolone pada kasus lupus nefritis.2
Tujuan penulisan referat ini untuk mengetahui pendekatan terbaru
penggunaan regimen siklofosfamid pada LES Berat, mencakup menurunkan dosis,
memperpendek masa pemberian atau sebaliknya yaitu dengan meningkatkan dosis
siklofosfamid dan diberikan dalam satu siklus (high-dose immunoablative
cyclophosphamide).

1
BAB II
LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

A. Patogenesis LES
Lupus eritematosus sistemik (LES) merupakan hasil interaksi dari
faktor gen yang berperan, faktor lingkungan dan respon abnormal sistem
imunitas pasien yang bervariasi. Respon imun tersebut diantaranya:3
1. Aktivasi sistem immun innate (sel dendritik, monosit/makrofag) oleh
CpG DNA, DNA di dalam kompleks imun, viral RNA dan RNA di dalam
RNA/protein antigen itu sendiri
2. Menurunkan ambang batas aktivasi dan aktivasi abnormal jalur dalam
sel immun adaptif (limfosit T dan B)
3. Ketidakefektifan regulasi CD4+ dan CD8+ dari sel T
4. Mengurangi clearance dari kompleks immun dan sel yang mengalami
apoptosis.

Gambar 1. Patogenesis Lupus Eritematosus Sistemik 1


3

Respon terhadap antigen nuklir endogen adalah karakteristik LES. Autoantigen


yang dilepaskan oleh sel apoptosis dipresentasikan oleh sel dendritik ke sel T
yang menyebabkan terjadinya aktivasi. Sel T yang diaktivasi membantu se B
untuk menghasilkan antibodi terhadap konstituen sendiri dengan mensekresikan
sitokin seperti interleukin-10 (IL-10) dan IL-23 dan molekul permukaan sel
seperti CD40L dan CTLA-4. Sebagai tambahan terhadap produksi autoantibodi
yang bergantung pada antigen sel T ini, didukung oleh mekanisme sel T yang
independen terhadap sel B melalui reseptor antigen sel B (BCR) dan pensinyalan
TLR. Patogenesis LES melibatkan banyak sel dan molekul yang berperan dalam
apoptosis, termasuk respon imun bawaan dan adaptif.1
Peningkatan jumlah asam nukleat endogen terkait apoptosis
merangsang produksi IFNα dan meningkatkan autoimunitas dengan cara
melewati tingkat toleransinya melalui aktivasi sel penyajian antigen. Setelah
dimulai, reaktan kekebalan seperti kompleks imun menguatkan dan
memperahankan respon inflamasi 4.
Faktor-faktor yang berperan dalam patogenesis LES : 1
1. Apoptosis : sumber autoantigen dan molekul dengan penginduksi
aktivitas adjuvan/sitokin (interferon α (IFNα)). Sel apoptotik kaya akan
autoantigen lupus. Peningkatan apoptosis spontan, peningkatan tingkat
apoptosis akibat ultraviolet pada sel kulit, atau pembersihan sel apoptosis
perifer yang terganggu telah ditemukan pada beberapa pasien lupus.
2. Nucleic acid (DNA dan RNA) : target unik pada lupus terkait dengan
apoptosis. Proses pengenalan pada individu sehat dihambat oleh berbagai
penghalang yang dikacaukan dalam lupus dimana dilepaskan dengan
alarm oleh jaringan yang mengalami stres (HMGB1), peptida anti-
mikroba, perangkap neutrofil ekstraseluler (NET), dan kompleks imun
memfasilitasi proses pengenalan dan transfernya ke sensor endosom.
3. Imunitas bawaan (Innate immunity) :
a. Toll-like receptors (TLRs) : reseptor sistem imunitas bawaan
berlokasi strategis di selaput sel, sitosol dan kompartemen
endosom di mana mereka menempati ruang ekstraselular dan
4

intraselular. TLR yang mengenali asam nukleat (TLRs-3, -7, -8


dan -9) bersifat endosomal. Limfosit B atau T yang autoreaktif
berada berdampingan dengan jaringan yang mengekspresikan
antigen yang relevan dapat menjadi peranda kelainan patogen
setelah mengalami pengikatan oleh TLRs. TLRs juga
mengaktifkan APC (dendritik, MO dan sel B) yang meningkatkan
presentasi autoantigen. Sel B dari pasien lupus aktif
meningkatkan ekspresi TLR-9. Dibandingkan dengan antigen
lain, kromatin yang mengandung kompleks imun 100 kali lipat
lebih efektif dalam menstimulasi sel-sel lupus B karena adanya
asam nukleat dan kombinasi BCR dan TLR yang dihasilkan
bersamaan.
b. Dua tipe sel dendritik :
1) Plasmacytoid dendritic cells (pDCs) : mewakili pabrik
“IFNα” yang asli. Pada lupus, faktor/antigen eksogen
(yaitu virus) atau autoantigen yang dikenali oleh reseptor
sistem imun bawaan mengaktifkan DC dan menghasilkan
IFNα.
2) Myeloid (CD11c+) dendritic cells (mDCs) : terlibat
dalam presentasi antigen dengan mDC konvensional yang
immatur yang mempromosikan toleransi sementara
autoreaktivitas matang. Pada lupus, beberapa faktor
(IFNα, kompleks imun, TLRs) meningkatkan pematangan
mDC dan proses autoreaktivitasnya.
c. Interferon-α : sitokin pluripoten yang diproduksi terutama oleh
pDC melalui mekanisme TLR-independent dan TLR-dependent
dengan efek biologis potensial pada sel DC, sel B dan T, sel
endotel, sel neuron, sel resident ginjal, dan jaringan lainnya.
Beberapa gen terkait lupus mengkodekan protein yang memediasi
atau mengatur sinyal TLR dan dikaitkan dengan peningkatan
IFNα plasma di antara pasien dengan autoantibodi spesifik yang
5

dapat menghantarkan asam nukleat yang terstimulasi ke TLR-7


atau TLR-9 di dalam kompartemen intraselular. Aktivasi jalur
IFN telah dikaitkan dengan adanya autoantibodi yang spesifik
untuk protein terkait RNA. Aktivasi TLR yang dimediasi RNA
merupakan mekanisme penting yang berkontribusi terhadap
produksi IFNα dan sitokin proinflamasi lainnya. Aktivasi jalur
IFN dikaitkan dengan penyakit ginjal dan banyak aktivtas
penyakit lainnya.
d. Complement : Aktivasi komplemen membentuk respon inflamasi
imun dan memudahkan pembersihan material apoptosis.
e. Neutrophils : Pada lupus, subset yang berbeda dari neutrofil
proinflamasi (granulosit dengan densitas rendah) menginduksi
kerusakan vaskular dan menghasilkan IFNα. Varian patogen dari
ITAM meningkatkan pengikatan ICAM dan adhesi leukosit ke sel
endotel yang teraktivasi.
f. Sel Endotel : Pada lupus, degradasi DNA yang terganggu akibat
defek pada perbaikan endonukleasi (TREX1) meningkatkan
akumulasi derivat sDNA yang berasal dari elemen retro endogen
di sel endotel dan dapat mengaktifkan produksi IFNα karenanya,
IFNα pada gilirannya menyebarkan kerusakan endotelial dan
mengganggu proses perbaikannya.
4. Imunitas Adaptif (Adaptive immunity)
a. Sel T dan B : Interaksi antara ligand co-stimulatory dan reseptor
ada sel T dan B, termasuk CD80 dan CD86 dengan CD28,
menjadikan ligan pengikat co-stimulator (ICOS) dapat diinduksi
dengan ICOS, dan ligan CD40 dengan CD40, berkontribusi pada
diferensiasi sel B terhadap antibodi yang memproduksi sel
plasma. Autoantibodi juga memfasilitasi pengiriman asam
nukleat ke TLRs. Sitokin dan kemokin yang diproduksi oleh sel
T dan B juga membentuk respon kekebalan dan meningkatkan
kerusakan jaringan.
6

b. B lymphocyte stimulator (Blys) : bagian TNF yang larut adalah


BlyS adalah sel B yang survive dan mengalami diferensiasi. BlyS
meningkat dalam serum banyak pasien lupus. Penghambatan
BlyS mencegah flare lupus.
c. Kompleks Immun : Pada individu sehat, kompleksi imun
dibersihkan oeg FcR dan reseptor komplemen. Pada lupus, variasi
genetik gen FcR dan gen reseptor C3bu (ITGAM) dapat
mengganggu pembersihan kompleks imun yang kemudian
menyebabkan deposit dan menyebabkan kerusakan jaringan pada
tempat-tempat seperti kulit dan ginjal.

Gambar 2. Model Skematis Interaksi Interselular Sistem Imun


Adaptif Sel3
7

B. Mekanisme penyakit dan kerusakan jaringan


Kompleks imun dan jalur akivasi komplemen memediasi fungsi efektor
dan kerusakan jaringan. Pada individu sehat, kompleks imun dibersihkan oleh
Fc dan melengkapi reseptor. Kegagalan untuk membersihkan kompleks imun
mengakibatkan deposisi jaringan dan kerusakan jaringan di lokasi terkait.
Kerusakan jaringan dimediasi oleh pengerahan sel-sel inflamasi, intermediate
oksigen reaktif, produksi sitokin inflamasi, dan modulasi dari coagulation
cascade1.
Kerusakan jaringan yang dimediasi autoantibodi telah dikaitkan dengan
neuropsikiatri LES (NPSLE), dimana antibodi yang bereaksi dengan reseptor
DNA dan glutamat pada sel neuron dapat memediasi kematian sel eksitoksik
neuron atau mengalami disfungsi. Sitokin yang diproduksi secara lokal, seperti
IFNα dan tumor necrosis factors (TNF), berkontribusi pada kerusakan jaringan
dan proses inflamasi. Mediator-mediator ini, bersama dengan sel yang
memproduksinya (makrofag, leukosit, sel dendritik dan limfosit) adalah subjek
penyelidikan sebagai target terapeutik potensial pada lupus 1.
Studi terbaru juga menyoroti mekanisme faktor lokal untuk melindungi
jaringan di bawah serangan kekebalan tubuh. Sebagai contoh, cacat pada
kallikrein dapat membahayakan kemampuan ginjal lupus untuk melindungi diri
dari kerusakan, PD-1-ligand yang mengatur aktivitas limfosit infiltrasi dan
gangguan regulasi dari komplemen memperkuat terjadinya kerusakan vaskular 4.
Kerusakan pembuluh darah pada LES meningkatkan perhatian
meningkatkan perhatian mengingat hubungannya dengan aterosklerosis yang
dipercepat. Homocysteine dan sitokin proinflamasi, seperti IFNα, mengganggu
fungsi endotel dan mengurangi ketersediaan sel prekursor endotelial untuk
memperbaiki kerusakan endotel. Pro-inflammatory high density lipoprotein
(HDL) dan disfungsi HDL yang dimediasi oleh antibodi juga telah terlibat dalam
perbaikan kerusakan endotelium. Selain itu, varian patogen dari ITAM (motif
aktivasi immuno-tyrosine) mengubah pengikatannya ke ICAM-1 (molekul
adhesi interselular-1) dan dapat meningkatkan kepatuhan terhadap leukosit
terhadap sel endotel yang teraktivasi. Degradasi DNA yang terganggu akibat
8

mutasi perbaikan exonuclease-1 (TREX-1) dan peningkatan akumulasi DNA


terdampar tunggal yang berasal dari elemen retro endogen di sel endotel, dapat
mengaktifkan respon DNA stimulasi IFN dan cedera yang dimediasi oleh
kekebalan langsung vaskular 4.
C. Manifestasi Klinis
1. Manifestasi Umum
Manifestasi klinis LES sangat bervariasi tergantung sistem organ mana
yang terlibat misalnya dari kulit, membrana mukosa, muskuloskeletal,
ginjal, otak, paru, jantung, gastrointestinal, hematologik dan lain-lainnya.
Pada kelainan autoimun yang bersifat sistemik biasanya dijumpai kelainan
seperti: cepat lelah, nafsu makan menurun, demam dan menurunnya berat
badan.5
a. Manifestasi Kulit
Kelainan kulit dapat berupa fotosensitifitas, diskoid LE (DLE),
Subacute Cutaneous Lupus Erythemathosus (SCLE), alopecia.
Selain itu dapat pula berupa lesi vaskuler berupa eritema periungual,
livedo reticularis, telangiektasia, fenomena Raynaud’s atau
vaskulitis atau bercak yang menonjol berwarna putih perak. Pada
kelainan kulit yang bersifat akut akan timbul rash atau ruam setelah
terpapar sinar matahari dan ruam akan berkurang sampai
menghilang setelah paparan sinar matahari dihindari.
b. Manifestasi Muskuloskeletal
Lebih dari 90% penderita LES mengalami keluhan muskuloskeletal.
Keluhan dapat berupa nyeri otot (mialgia) dan nyeri sendi (atralgia).
Seringkali pada penderita LES yang berat yang mengenai sendi
tangan dikenal sebagai (Jaccoud artropati) dengan gambaran
kliniknya yang mirip dengan artritis reumatoid seperti adanya swan
neck-deformity.
c. Manifestasi Paru
Pleuritis merupakan manifestasi LES yang tersering pada paru
berkisar antara 41-56%. Keluhannya berupa nyeri dada pada pinggir
9

kostoprenikus, dan seringkali diikuti dengan batuk, sesak napas dan


demam serta umumnya akan berkembang menjadi efusi pleura.
Manifestasi lainnya seperti pneumonitis, perdarahan paru, emboli
paru, dan hipertensi pulmonal.
d. Manifestasi Kardiovaskular
Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial,
dapat berupa perikarditis, efusi perikardial sampai penebalan
perikardial, dan miokarditis. Perikarditis harus dicurigai apabila
dijumpai adanya keluhan nyeri substernal, friction rub, dan
gambaran silhouette sign pada foto thorax.
e. Manifestasi Gastrointestinal dan Hepar
Disfagia merupakan keluhan yang biasanya menonjol walaupun
tidak didapatkan adanya kelainan pada esofagus. Dispepsia dan
nyeri abdominal juga sering dijumpai. Selain itu dapat pula
didapatkan vaskulitis, pankreatitis dan hepatomegali. Hepatomegali
merupakan pembesaran organ yang banyak dijumpai pada LES,
disertai dengan peningkatan serum SGOT/SGPT ataupun alkali-
fosfatase.
f. Manifestasi Hemopoietik
Terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan
anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia penyakit
kronik, penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan.
Sering ditemukan anemia, trombositopenia, limfopenia, dan
leukopenia.
g. Manifestasi Neuropsikiatrik
Keterlibatan neuropsikiatrik akibat LES sulit ditegakkan karena
gambaran klinis yang begitu luas. Diagnosis leboh banyak didasari
pada temuan klinis dengan disingkirkan kemungkinan lain seperti
sepsis, uremia, dan hipertensi berat. Manifestasi neuropsikiatrik
LES sangat bervariasi, dapat berupa migrain, psikosis, depresi,
cemas, neuropati perifer hingga kejang. Analisis cairan
10

serebrospinal, EEG, dan CT-scan umumnya tidak menggambarkan


adanya kelainan.
h. Manifestasi Manifestasi Ginjal
Ginjal merupakan organ yang sering terlibat pada pasien dengan
LES. Lebih dari 70% pasien LES mengalami keterlibatan ginjal
sepanjang perjalanan penyakitnya. Lupus nefritis memerlukan
perhatian khusus agar tidak terjadi perburukan dari fungsi ginjal
yang akan berakhir dengan transplantasi atau cuci darah. Bila
tersedia fasilitas biopsi dan tidak terdapat kontra indikasi, maka
sebaiknya biopsi ginjal perlu dilakukan untuk konfirmasi diagnosis,
evaluasi aktivitas penyakit, klasifikasi kelainan histopatologik ginjal
dan menetukan prognosis dan terapi yang tepat. Apabila biopsi tidak
dapat dilakukan karena berbagai hal, maka klasifikasi lupus nefritis
dapat dilakukan penilaian berdasarkan panduan World Health
Organization (WHO)6.

Tabel 1. Klasifikasi Lupus Nefritis Menurut World Health Organization6


11

Klasifikasi kriteria WHO untuk lupus nefritis sudah diperbaharui oleh


Internasional Society of Nephrolog and Renal Pathology Society (ISN/RPS)
tahun 2003. Klasifikasi WHO dinilai berdasarkan pola histologi dan lokasi
dari imun kompleks, sementara kalsifikasi ISN/RPS membagi menjadi lesi
fokal, difus, aktif, tidak aktif dan kronis.7
Tabel 2. Klasifikasi Lupus Nefritis oleh Internasional Society of Nephrology/
Renal Pathology Society 2003 (ISN/RPS)7

D. Penegakkan Diagnosis
Banyaknya manifestasi klinik dari penyakit LES yang sangat bervariasi,
maka terkadang sulit untuk mendiagnosa penyakit LES. Terdapat salah satu kriteria
klasifikasi dari American College of Rheumatology (ACR) tahun 1997 yang sering
digunakan untuk mendiagnosis LES. Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria tersebut,
diagnosis LES memiliki sensitivitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila
hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin LES dan
diagnosis bergantung pada pengataman klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka
kemungkinan bukan LES. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis
lain tidak ada, maka belum tentu LES, dan observasi jangka panjang diperlukan.8,9
12

Tabel 3. Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik 8,9


Kriteria Definisi
Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah
malar dan cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial
Ruam diskoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan
folikular. Pada LES lanjut dapat ditemukan parut atrofik
Fotosensitivitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar
matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh
dokter pemeriksa
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat
oleh dokter pemeriksa
Artritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi
perifer, ditandai nyeri tekan, bengkak atau efusia
Serositis a. Pleuritis. Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub
yang didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti
efusi pleura. Atau
b. Perikarditis. Terbukti dengan rekaman EKG atau
pericardial friction rub atau terdapat bukti efusi perkaridum
Gangguan renal a. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila
tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif. Atau
b. Silinder seluler : dapat berupa silinder eritrosit,
hemoglobin, granular, tubular atau campuran
Gangguan a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
neurologi gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau
ketidakseimbangan elektrolit). Atau
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau
ketidakseimbangan elektrolit)
Gangguan a. Anemia Hemolitik dengan retikulosis. Atau
hematologik b. Leukopenia <4.000/mm3 pada 2 kali pemeriksaan atau
lebih. Atau
13

c. Limfopenia <1.500/mm3 pada 2 kali pemeriksaan atau


lebih. Atau
Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh obat-
obatan.
Gangguan a. Anti-DNA : antibodi terhadap native DNA dengan titer
imunologik yang abnormal. Atau
b. Anti-Sm : terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear
Sm. Atau
c. Temuan positif terhadap antibodi antifosolipid yang
didasarkan atas :
1) Kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG
atau IgM,
2) Tes lupus antikoagulan positif menggunakan metoda
standard, atau
3) hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis sekurang-
kurangnya selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan tes
imobilisasi Treponema pallidum atau tes fluoresensi
absorpsi antibodi treponema
Antibodi Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan
antinuklear pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat
positif (ANA) pada setiap kurun waktu perjalanan penyakit tanpa
keterlibatan obat yang diketahui berhubungan dengan
sindroma lupus yang diinduksi obat

Pemeriksaan penunjang minimal lain yang diperlukan untuk diagnosis dan


monitoring :5
1. Hemoglobin, leukosit, hitung jenis sel, Laju Endap Darah (LED)
2. Urin rutin dan mikroskopik, protein kuantitatif 24 jam, dan bila diperlukan
kreatinin urin.
3. Kimia darah (Ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid)
4. PT, aPTT pada sindrom antifosfolipid
14

5. Serologi ANA, anti –dsDNA, komplemen (C3, C4)


6. Foto polos thorax
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis SLE
adalah tes ANA. Tes ANA dikerjakan hanya pada pasien dengan tanda dan gejala
mengarah pada LES. Pada penderita LES ditemukan tes ANA yang positif sebesar
95-100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat positif pada beberapa penyakit lain yang
mempunyai gambaran klinis menyerupai LES misalnya infkesi kronis
(Tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya Mixed Connective Tissue Disease
(MCTD), reumatoid atritis, tiroiditis autoimun), keganasan atau pada orang
normal5.
Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan,
tetapi perjalanan penyakit LES seringkali dinamis dan berubah, mungkin
diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu yang akan datang terutama jika
didapatkan gambaran klinis yang mencurigakan. Beberapa tes lain yang perlu
dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes antibodi terhadap antigen nuklear
spesifik, termasuk anti-dsDNA, Sm, nRNP, Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-
Jo. Pemeriksaan ini dikenal sebagai profil ANA. Antibodi anti-dsDNA merupakan
tes spesifik untuk LES, jarang didapatkan pada penyakit lain dan spesifisitasnya
hampir 100%. Titer anti-dsDNA yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis
LES dibandingkan dengan titer yang rendah.5
Berikut rekomendasi penilaian awal dan monitoring sistemik lupus
eritematosus menurut Systemic Lupus International Collaborating Clinics :
Tabel 4. Rekomendasi Penilaian Awal Dan Monitoring LES 10
Riwayat penyakit dan evalasi sistem organ
Sakit sendi dan bengkak, raynauld phenomenon
Fotosensitif, ruam dan rambut rontok
Sesak nafas, nyeri dada pleuritik
Gejala umum (kelelahan, depresi, demam, perubahan berat badan)
Pemeriksaan fisik
Ruam (akut, subakut, non-spesifik lainnya), alopesia, ulkus pada mulut
atau nasal
15

Limfadenopati, splenomegali, efusi pericardial atau pleural


Pemeriksaan funduskopi, edema
Gambaran klinis lain seperti yang ditemukan pada riwayat penyakit dan
gejala
Pencitraan dan tes laboratorium
Hematologi*
Kimia darah*
PT/PTT, sindroma antifosfolipid
Analisa urin
Serologi (ANA, ENA termasuk anti-dsDNA, komplemen)
Rontgen thorax
EKG
Pemeriksaan lain yang didapat dari riwayat sakit dan gejala
*
Setiap 3-6 bulan bila stabil

E. Derajat Berat Ringannya LES


Penyakit LES dapat dikategorikan ringan atau berat sampai mengancam
nyawa, diantaranya : 5
1. LES derajat ringan :
a. Secara klinis tenang
b. Tidak terdapat tanda datau gejala yang mengancam nyawa
c. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu : ginjal, paru, jantung,
gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.
Contoh : LES dengan manifestasi arthritis dan kulit
2. LES derajat sedang :
a. Nefritis ringan sampai sedang (Lupus Nefritis kelas I dan II)
b. Trombositopenia (trombositopeia20-50x103/mm3)
3. LES derajat berat atau mengancam nyawa :
a. Jantung : endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria,
miokarditis, tamponade jantung, hipertensi maligna.
b. Paru-paru : hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis,
16

emboli paru, infark paru, fibrosis interstisial, shrinking lung.


c. Gastrointestinal : pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
d. Ginjal : nefritis proliferatif dan atau membranous.
e. Kulit : vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh
(blister).
f. Neurologi : kejang, acute confusional state, koma, stroke,
mielopati transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis optik,
psikosis, sindroma demielinasi.
g. Hematologi : anemia hemolitik, neutropenia (leukosit<
1.000/mm3), trombositopenia < 20.000/mm 3, purpura trombotik
trombositopenia, trombosis vena atau arteri.

F. Prinsip Penatalaksanaan LES


Tujuan akhir pengelolaan LES adalah meningkatkan kesintasan dan kualitas
hidup. Tujuan khusus pengelolaan LES adalah: tercapainya remisi terhadap gejala
sistemik dan manifestasi organ atau seandainya remisi tidak dapat tercapai,
pengobatan harus bertujuan untuk mencapai aktivitas penyakit serendah mungkin.
Pengelolaan juga harus berusaha untuk meningkatkan kesintasan jangka panjang,
menghambat kerusakan organ, optimalisasi kualitas hidup dengan mengontrol
aktivitas penyakit, mengurangi rasa nyeri, serta komorbiditas dan toksisitas obat yang
minimal.11,12
Pengelolan LES merupakan aspek yang sulit dan sering salah dimengerti dan
memerlukan pendekatan multidisipliner serta pengertian tentang banyaknya aspek dan
manifestasi penyakit. Pengelolaan tidak terbatas pada pemakaian obat – obatan saja,
namun diperlukan pendekatan holistik berlandaskan pendekatan bio – psiko – sosial,
meliputi tatalaksana non farmakologis dan farmakologis. Strategi pengobatan pada
LES dengan manifestasi berat dan lupus nefritis meliputi fase induksi dengan tujuan
menekan inflamasi glomerular dan tercapainya remisi, diikuti dengan fase
pemeliharaan untuk mempertahankan efek terapi. Strategi terapi yang sesuai harus
dapat dilaksanakan untuk mencapai tujuan pengobatan LES. Hal ini terdiri atas
17

diagnosis awal, terapi efektif, penyesuaian dosis kotikosteroid, dan targeted therapy
yang memiliki toksisitas lebih rendah dan steroid-sparing agent yang potensial.12,13
Berikut adalah jenis, dosis obat yang dipakai pada LES serta
pemantauannya, dapat dilihat pada tabel 5.5
Tabel 5. Jenis Dan Dosis Obat Yang Dapat Dipakai Pada LES5
18

Penatalaksanaan LES berdasarkan derajatnya :5


1. Pengobatan LES Ringan
Pilar pengobatan pada LES ringan dijalankan secara bersamaan dan
berkesinambungan serta ditekankan pada beberapa hal yang penting agar
tujuan di atas tercapai, yaitu:
a. Obat-obatan
1) Penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila
diperlukan.
2) Obat anti inflamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan
diagnosis dan pengelolaan nyeri dan inflamasi.
3) Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan
preparat dengan potensi ringan)
4) Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1
tablet klorokuin 250 mg mengandung 150 mg klorokuin
basa) catatan periksa mata pada saat awal akan pemberian
dan dilanjutkan setiap 3 bulan, sementara hidroksiklorokuin
dosis 5- 6,5 mg/kg BB/ hari (200-400 mg/hari) dan periksa
mata setiap 6-12 bulan.
5) Kortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg / hari
atau yang setara
b. Tabir surya:
Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection factor sekurang-
kurangnya 15 (SPF 15)

2. Pengobatan LES Sedang


Pilar penatalaksanaan LES sedang sama seperti pada LES ringan kecuali
pada pengobatan. Pada LES sedang diperlukan beberapa rejimen obat-
obatan tertentu serta mengikuti protokol pengobatan yang telah ada. Misal
pada serosistis yang refrakter: 20 mg / hari prednison atau yang setara. Lihat
algoritme terapi LES.
19

3. Pengobatan LES Berat atau Mengancam Nyawa


Pilar pengobatan sama seperti pada LES ringan kecuali pada penggunaan
obat- obatannya. Pada LES berat atau yang mengancam nyawa diperlukan
obat-obatan sebagaimana tercantum di bawah ini.
a. Glukokortikoid Dosis Tinggi
Lupus nefritis, serebritis atau trombositopenia: 40 – 60 mg / hari (1
mg/kgBB) prednison atau yang setara selama 4-6 minggu yang
kemudian diturunkan secara bertahap, dengan didahului pemberian
metilprednisolon intra vena 500 mg sampai 1 g/ hari selama 3 hari
bertutut-turut.
b. Obat Imunosupresan atau Sitotoksik
Terdapat beberapa obat kelompok imunosupresan / sitotoksik yang
biasa digunakan pada LES, yaitu azatioprin, siklofosfamid,
metotreksat, siklosporin, mikofenolat mofetil. Pada keadaan tertentu
seperti lupus nefritis, lupus serebritis, perdarahan paru atau
sitopenia, seringkali diberikan gabungan antara kortikosteroid dan
imunosupresan /sitotoksik karena memberikan hasil pengobatan
yang lebih baik.

Gambar 3. Algoritma Penatalaksanaan LES5


20

BAB III
KEMOTERAPI SIKLOFOSFAMID

A. Definisi siklofosfamid
Siklofosfamid merupakan alkylating agent dari golongan nitrogen
mustard dalam kelompok oxazophorin. Alkylating anti-neoplastic agent adalah
alkylating agent yang dapat berikatan dengan kelompok alkil pada DNA. Zat ini
menyebabkan kematian sel dan menghentikan pertumbuhan tumor dengan cara
cross-link baik interstand maupun intrasand di basa guanin posisi N-7 pada DNA
double helix, ikatan ini menyebabkan DNA akan terpisah atau pecah, sehingga sel
gagal membelah dan mati.14

Gambar 4. Struktur Kimia Siklofosfamid14

Efek utama dari Siklofosfamid adalah pada metabolitnya yaitu


phosphoramide mustard dan produk toksis yang lain yaitu acrolein. Acrolein dalam
jumlah besar dapat mengiritasi buli dan menyebabkan terjadinya sistitis hemoragik.
Siklofosfamid di metabolisme hepar. Metabollit ini terjad hanya pada sel-sel yang
mengandung sedikit aldehyde dehidrogenase (ALDH).12

B. Mekanisme Kerja Siklofosfamid pada LES


Walaupun toksisitasnya yang jelas, siklofosfamid masih merupakan obat
yang penting dalam tatalaksana LES. Efek klinis dan toksik siklofosfamid
bergantung pada dosis, rute pemberian, durasi dan dosis kumulatifnya. Efek
21

langsung siklofosfamid sebagai imunomodulator membuat obat ini memiliki onset


yang cepat dalam efektifitas terapi (dalam 2 sampai 4 hari). Mekanisme kerja
siklofosfamid terdiri atas perannya dalam mempengaruhi fungsi makrofag,
meningkatkan produksi prostaglandin E2, mengganggu transkripsi gen, dan efek
langsung terhadap limfosit. Siklofosfamid yang diberikan secara intravena
menekan aktivasi sel T.15

Gambar 5. Mekanisme Siklofosfamid Dosis Rendah Menghambat Jumlah Dan


Fungsi T-reg15

C. Dosis siklofosfamid pada LES


Siklofosfamid intravena bulanan dapat dimulai dengan dosis 500 –
750mg/m2 dalam normal salin selama 1 jam. Dosis dapat ditingkatkan 10 -25%
dengan target hitung leukosit antara 2000 – 3000/mm3. Penurunan dosis harus
dilakukan pada saat hitung leukosit dibawah 2000/mm3 atau hitung granulosit
dibawah 1000/mm3. Terapi induksi dapat diberikan sebanyak 6 kali. Penggunaan
siklofosfamid intravena setiap 2 minggu diikuti dengan pemberian azathioprine
telah terbukti efektif.16
22

D. Panduan Siklofosfamid pada LES Berat


Protokol penggunaan siklofosfamid pada kasus LES derajat berat mengacu
pada ketentuan NIH atau Euro -Lupus Nephritis Protocol.5
1. Protokol Pemberian Pulse Siklofosfamid Menurut NHI
a. Pastikan indikasi pemberian siklofosfamid pada penderita (NPSLE/
Nefritis lupus kelas III, IV atau V)
b. Jelaskan kepada penderita tentang makna pemberian pulse
siklofosfamid dan kemungkinan efek sampingnya, jika penderita/
keluarga menyetujui mintalah tanda tangan pada surat persetujuan
tindakan (informed consent).
c. Periksalah penderita dengan seksama, pastikan tidak ada infeksi
pada saat pemberian siklofosfamid
d. Periksa kembali hasil laboratorium penderita (yang telah dilakukan
sebelumnya) setiap kali akan memberikan pulse siklofosfamid
e. Dosis awal siklofosfamid berdasarkan GFR/ perhitungan klirens
kreatinin:
1) Jika GFR > 30 ml/mnt dosis: 750 mg/m2 luas permukaan
tubuh
2) Jika GFR ≤ 30 ml/mnt dosis: 500 mg/m2 luas permukaan
tubuh
f. Berikan premedikasi:
1) Parasetamol 500 mg/tab 1 tab
2) Dexamethasone 10mg/ IV
3) Ondansetron (4mg/tab atau 8 mg/tab) atau metoclopramide
10 mg/tab atau Graniseton 1mg/ tab atau 2 mg/tab
g. Rehidrasi penderita dengan Dextrose 5% atau NaCl 0.9% sebanyak
750 cc dalam 3 jam (250 cc/jam)
h. Berikan Mesna dengan dosis 20% dosis siklofosfamid dalam NaCl
0.9% 50 cc drip IV selama 15 menit
i. Berikan siklofosfamid dalam 250 cc NaCl 0.9% selama 1-2 jam
j. Monitor tanda-tanda vital selama pemberian pulse terapi
23

k. Ulangi pemberian Mesna sebanyak 3 kali setiap 3 jam dengan dosis


yang sama.
l. Jika penderita mempunyai masalah gagal jantung berikan
furosemide 20-40mg/IV
m. Anjurkan penderita untuk banyak minum (>2 liter) dalam 24 jam
sesudah pulse.
n. Mintakan kepada penderita untuk periksa darah rutin (HB, Leukosit,
diff count dan trombosit) dan urin rutin dalam 10-14 hari setelah
pulse.
o. Dosis untuk pulse berikutnya ditentukan berdasarkan hasil
laboratorium di atas:
1) Jika jumlah lekosit nadir ≤1500/mm3: kurangi dosis menjadi
250 mg/m2 luas permukaan tubuh
2) Jika jumlah lekosit 1500-4000/mm3: dosis dipertahankan
sama dengan dosis sebelumnya
3) Jika jumlah lekosit > 4000/mm3: dosis dinaikkan sampai
maksimum 1000mg/m2 luas permukaan tubuh
p. Pemberian siklofosfamid ini dilakukan setiap bulan sampai 6 kali
(fase induksi) dilanjutkan dengan setiap 3 bulan sampai minimum 1
tahun remisi (rata-rata 2 tahun)
q. Definisi remisi adalah:
1) Urin rutin tidak aktif lagi (hematuria < 10/lpb, tidak ada
sedimen dan proteinuria berkurang atau < 1 g/ 24 jam)
2) Tidak ada peningkatan kreatinin serum yang lebih dari 2x
kreatinin sebelumnya.
3) Komplemen serum dan anti dsDNA normal
4) Aktivitas ekstra renal lupus minimal
Catatan:
a. Rehidrasi dan/atau pemberian diuretik disesuaikan dengan status
penderita pada saat terapi pulse dilakukan
24

b. Pemberian mesna tidak diberikan secara rutin pada pemberian


cyclophosphamide untuk penyakit rematik oleh karena dosisnya
merupakan dosis imunomodulator (dosis rendah-sedang)
dibandingkan dengan mielo ablasi (dosis tinggi)

2. Protokol Pemberian Pulse Siklofosfamid Menurut EULAR5


a. Pastikan indikasi pemberian siklofosfamid pada penderita (NPSLE/
Nefritis lupus kelas III, IV atau V)
b. Jelaskan kepada penderita tentang makna pemberian pulse
siklofosfamid dan kemungkinan efek sampingnya, jika penderita/
keluarga menyetujui mintalah tanda tangan pada surat persetujuan
tindakan (informed consent).
c. Periksalah penderita dengan seksama, pastikan tidak ada infeksi
pada saat pemberian siklofosfamid
d. Periksa kembali hasil laboratorium penderita (yang telah diperiksa
1-2 hari sebelumnya) setiap kali akan memberikan pulse
siklofosfamid
e. Berikan premedikasi:
1) Parasetamol 500 mg/tab 1 tab
2) Ondansetron (4mg/tab atau 8 mg/tab) atau metoclopramide
10 mg/tab atau Graniseton 1mg/ tab atau 2 mg/tab
f. Rehidrasi penderita dengan Dextrose 5% atau NaCl 0.9% sebanyak
500cc dalam 1 jam
g. Berikan Mesna dengan dosis 200mg dalam NaCl 0.9% 50 cc drip IV
selama 15 menit
h. Berikan methylprednisolon 500 mg dalam 100 cc Nacl 0.9% selama
1 jam
i. Berikan siklofosfamid 500 mg dalam 250 cc NaCl 0.9% selama 1-2
jam
j. Monitor tanda-tanda vital selama pemberian pulse terapi
25

k. Ulangi pemberian Mesna dengan dosis dan cara yang sama setelah
3 jam dari dosis yang pertama (optional).
l. Jika penderita mempunyai masalah gagal jantung berikan
furosemide 20-40mg/IV
m. Anjurkan penderita untuk banyak minum (>2 liter) dalam 24 jam
sesudah pulse.
n. Pemberian dosis pulse siklofosfamid dengan dosis yang sama (500
mg) dilakukan setiap 2 minggu selama 6 kali sebagai terapi induksi
o. Terapi pemeliharaan dimulai 2 minggu setelah pulse yang terakhir
dengan:
1) Azatioprine 50-100 mg/hari atau Mycophenolate Mofetil
(MMF) 1000-3000 mg/hari
p. Terapi dilanjutkan sampai 1 tahun remisi
q. Definisi remisi adalah:
1) Urin rutin tidak aktif lagi (hematuria < 10/lpb, tidak ada
sedimen dan proteinuria berkurang atau < 1 g/ 24 jam)
2) Tidak ada peningkatan kreatinin serum yang lebih dari 2x
kreatinin sebelumnya.
3) Komplemen serum dan anti dsDNA normal
4) Aktivitas ekstra renal lupus minimal
Catatan:
a. Rehidrasi dan/atau pemberian diuretik disesuaikan dengan status
penderita pada saat terapi pulse dilakukan
b. Pemberian mesna pada protokol EULAR tidak diwajibkan namun
dianjurkan.

E. Efek samping Siklofosfamid


Siklofosfamid bekerja pada sel yang aktif membelah, maka efek
sampingnya juga terutama mengenai jaringan dengan proliferasi tinggi yaitu sistem
hematopoetik dan gastrointestinal.17
26

Efek samping yang umum terjadi pada pemberian Siklofosfamid :


1. Mielosupresi
2. Gangguan gastrointestinal : mual, muntah, diare, konstipasi
3. Ulserasi mukosa
4. Alopesia
5. Sistitis hemoragik dan non-hemoragik
Kejadian sistitis hemoragik dan karsinoma buli terjadi pada pemberian
dosis diatas 30 gram. Hidrasi adekuat selama pemberian siklofosfamid dapat
dilakukan untuk mencegah sistitis hemoragika.

F. Penggunaan Siklofosfamid pada kasus LES


Siklofosfamid masih merupakan “gold standard” pada terapi LES berat
yang mengancam kerusakan organ, terutama lupus nefritis dan sistem saraf pusat.18
Penggunaan siklofosfamid sebagai regimen terapi pada kasus LES berat,
seperti halnya lupus nefritis, akan memberikan hasil yang lebih efektif
dibandingkan hanya penggunaan prednison atau methylprednisolone. Kombinasi
pemberian Siklofosfamid dengan methylprednisolone menunjukkan dapat
menurunkan risiko peningkatan serum kreatinine.18
Regimen Siklofosfamid pada kasus glomerulonefritis diffuse proliferative
dibagi menjadi dua fase : induksi dan maintenance..19-20
Tabel 6. Penggunaan Regimen Siklofosfamid2

Pemberian siklofosfamid dilakukan setiap bulan sampai 6 kali (fase


induksi) dilanjukan dengan setiap 3 bulan sampai minimum 1 tahun remisi (rata-
rata 2 tahun). Pasien dikatakan remisi apabila: 5
1. Urin rutin tidak aktif lagi (hematuria < 10/lpb, tidak ada sedimen dan
27

proteinuria berkurang atau <1g/24 jam)


2. Tidak ada peningkatan kreatinin serum yang lebih dari 2x kreatinin
sebelumnya
3. Komplemen serum dan anti dsDNA normal
4. Aktivitas ekstra renal lupus minimal
Efikasi penggunaan siklofosfamid pada lupus nefritis telah terbukti dalam
beberapa uji klinis, namun efikasi yang ada juga memiliki beberapa kelemahan
dalam hal toksisitas, termasuk risiko sitopenia, infeksi, kegagalan sistem gonad,
dan keganasan.21
Sitopenia umum terjadi pada pasien yang mendapatkan terapi
siklofosfamid, tetapi jarang sampai <1000. Penggunaan Granulocyte Colony
Stimulating Factors (G-CSF) tidak disarankan karena dapat memicu flare pada
pasien.22
Infeksi sering terjadi ada pasien LES dan risiko ini akan semakin
meningkat dengan penggunaan kombinasi Siklofosfamid dan kortikosteroid.23
Tindakan preventif yang bisa dilakukan adalah vaksinasi, terumata vaksin
pneumococcus. Profilaksis terhadap pneumocystis sangat dianjurkan. Regimen
yang sering digunakan adalah Dapson 100mg yang diberikan tiap 2 hari sekali.
Selain itu infeksi yang sering muncul kaitannya dengan penggunaan Siklofosfamid
adalah herpes zoster.24
Kegagalan sistem gonad merupakan salah satu komplikasi Siklofosfamid
yang sangat merugikan. Pada wanita, risiko akan semakin meningkat dengan
bertambahnya dosis dan durasi terapi.25 Insidensi kegagalan pada ovarium
bervariasi dari 23-41%.26 Dua penelitian, penelitian prospektif klinis dan penelitian
retrospektif menunjukkan bahwa leuprolide asetat 2.75 mg, yang diberikan dua
minggu sebelum pemberian pulse Siklofosfamid bersifat protektif. 27
Hemorrhagic cystitis merupakan salah satu komplikasi metabolit
Siklofosfamid, yaitu acrolein. Oleh karena itu pemberian mesna pada pulse
Siklofosfamid karena memiliki kemampuan untuk mengikat acrolein, sehingga
mengurangi risiko paparan pada kandung kemih.28
Berbagai penelitian retrospektif yang membandingkan pemberian
28

Siklofosfamid intravena dan oral, menunjukkan hasil tingkat remisi yang tidak jauh
berbeda 73% dan 90%.19
Saat ini terdapat pendekatan baru untuk penggunaan regimen
Siklofosfamid seperti mengkombinasikan dengan plasmapheresis, mengurangi
dosis (lower doses of cyclophosphamide), mengurangi durasi (shorter duration of
cyclophosphamide) atau sebaliknya meningkatkan dosis dan pemberian hanya satu
siklus (high doses immunoablative cyclophosphamide) dengan atau tanpa
pemberian stem cell selama periode aplasia.2
1. Lower dose of cyclophosphamid
Penelitian yang dilakukan D’cruz dan rekannya menggunakan pendekatan
baru pada 39 pasien LES dengan lupus nefritis. Pasien mendapatkan tiga
kali pulse Siklofosfamid (500 mg) secara intravena diikuti pemberian
azathioprine (n=32) atau Siklofosfamid oral (n=7). Semua pasien
mendapatkan prednisolone oral. Hasil penelitian menunjukkan 67%
memiliki fungsi ginjal yang stabil dan 33% mengalami perburukan.
Selain itu The Euro-Lupus Nephritis Trial melakukan eksplorasi lebih
lanjut Siklofosfamid intravena dosis rendah sebagai regimen induksi. Dari
sembilan puluh pasien penelitian, menunjukkan 71% kelompok pasien
“low dose” mengalami remisi pada ginjalnya dan 54% pada kelompok
pasien dosis biasa.29
2. Shorter duration of cyclophosphamide
Penelitian yang dilakukan di Hongkong kepada 55 pasien pada tahun 2003,
menunjukkan hasil 67% mengalami remisi lengkap dan 22% mengalami
remisi parsial. Kemudian penelitian sebelumnya Chan et al. melaporkan
hasil yang sama dengan 77% dari 22 pasien LES mengalami remisi
lengkap, tanpa menunjukkan gagal ginjal pada follow up selama 35 bulan.30
3. High-dose cyclophosphamide
Penelitian yang dilakukan pada tahun 2003, melibatkan empat belas pasien
LES. Untuk mengetahui respon remisi lengkap atau parsial organ target
pada pasien digunakan The Responder Indeks for Lupus Erythematosus.
Hasil penelitian menunjukkan lima dari empat belas pasien mengalami
29

remisi lengkap dan enam pasien mengalami remisi parsial. Proteinuria pada
pasien menurun secara signifikan dengan uji dipstick ( mean difference
1.94,P = 0.02 ) dan pada pengukuran 24 jam ( mean difference 3.3g/ hari,
P = 0.01). Selain itu penelitian yang dilakukan Galdstone pemberian high-
dose cyclophosphamide pada empat pasien LES menunjukkan penurunan
aktivitas LES yang diukur menggunakan SLAM, SLEDAI dan RIFLE
selama follow up 22 bulan.31
Tabel 7. Hasil Proteinuria Pada Pasien LES Yang Mendapatkan Terapi
High-Dose Cyclophosphamide2

Sedangkan pemberian high-dose cyclophosphamide dengan stem cell tidak


direkomendasikan karena meningkatkan risiko “re-infusing autoreactive
lymphocytes” . Hal ini dikarenakan pada proses pengambilan stem cell tidak
dapat sepenuhnya menghilangkan kandungan sel limfosit.2
30

BAB IV
RINGKASAN

Cyclophosphamide merupakan terapi efektif yang mampu menurunkan


keparahan penyakit secara signifikan pada prognosis pasien LES yang berat. Studi
masa depan dengan cyclophosphamide dosis tinggi diperlukan pada pasien LES
refrakter serta terapi utama untuk pasien dengan presentasi penyakit sedang sampai
berat
31

DAFTAR PUSTAKA
1. Bertsias G, Cervera R, Boumpas D. Systemic LupusErythematosus:
Pathogenesis and Clinical Features. In: Bijlsma J, Hachufla E, da Silva J,
Doherty M, Cimmino M, Liote F, et al, editors. Eular Textbook of
Rheumatic Disease. 2nd ed. New York: BMJ; 2014: halaman 476-505
2. Petri M. Cyclophosphamid : new approaches for systemic lupus
erythematosus. Lupus 2004; 48: 366-371.
3. Crow M. Systemic Lupus Erythematosus And Related Syndromes. In:
Firestein G, Budd R, Gabriel S, Mcinnes I, O’dell J, Editors. Kelley &
Firestein’s Textbook of Rheumatology. 10th ed. Philadelpia: Elsevier;
2013, 1329-1344
4. Hahn B.H. Systemic Lupus Erythematosus. In: Longo D, Kasper D,
Jameson J, Fauci A, Hauser S, Loscalzo J, editors. Harrison’s
Rheumatology. 3rd ed. New York: McGraw Hill; 2013. p.68-83
5. Konsensus Reumatologi Indonesia. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus
Eritematosus Sistemik. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Jakarta : IRA;
2011.
6. Buyon J P. Systemic lupus erythematosus a clinical and laboratory features
In: Klippel JH. Primer Primer on the rheumatic diseases. 13th ed. Atlanta:
Arthritis Foundation. 2008:303-18
7. Hochberg Mc. Updating the American College of Rheumatology revised
criteria for the classification of systemic lupus erythematosus. Arthrituis
Rheum 1997;40:1725
8. Perry MC, Anderson CM, Doll DC, Malhotra V, Shahab N, Wooldridge JE.
Companion Hand Book to The Chemotherapy Source Book. 2 ed. 2004:
430.
9. Brock N . The History of the Oxazaphosphorme Cytostatics cancer, 1996 :
542-47.
10. Appel GB, Silva FG, P irani CL. Renal involvement in systemic lupus
erythematosus (SLE): a study of 56 patients emphasizing histologic
classification. Medicine.1978: 371–410
11. Indonesia Pr. Diagnosis dan pengelolaan lupus eritematosus sistemik. In:
Kasjmir YI HK, Wijaya LK et al, editor.; Jakarta: Perhimpunan reumatologi
indonesia; 2011. p. 10-34.
12. van Vollenhoven RF, Mosca M, Bertsias G, Isenberg D, Kuhn A, Lerstrom
K, et al. Treat-to-target in systemic lupus erythematosus: recommendations
from an international task force. Annals of the rheumatic diseases. 2014
Jun;73(6):958-67.
13. Ishimori M WM, Setoodeh K, Wallace DJ. Principles of therapy, local
measures, and nonsteroidal medications. Dalam: Wallace DJ HB, editor.
32

DUBOIS lupus erythematosus and related syndromes. Philadephia:


Saunders; 2013. hlm. 522-588.
14. Mok CC, Ho CT, Siu YP, Chan KW, Kwan TH, Lau CS et al. Treatment of
diffuse proliferative lupus glomerulonephritis: a comparison of two
cyclophosphamide-containing regimens. Am J Kidney Dis 2001; 38: 256–
264.
15. Eid RA, Razavi GS, Mkrtichyan M, Janik J, Khleif SN. Cancer Immunology
Research: Old-School Chemotherapy in Immunotherapeutic Combination
in Cancer, A Low-cost Drug Repurposed. American Association for Cancer
Research USA. 2016. P377-382
16. McCune JW RT. Immunosuppresive drug therapy. Dalam: Wallace DJ HB,
editor.DUBOIS lupus erythematosus and related syndromes. Philadelphia:
Saunders; 2013. hlm. 609-23.
17. Gourley MF, Austin HA, Scott D, Yarboro CH, Vaughan EM, Muir J et al.
Methylprednisolone and cyclophosphamide, alone or in combination, in
patients with lupus nephritis. A randomized, controlled trial. Ann Intern
Med 1996; 125: 549–55
18. Dooley MA, Hogan S, Jennette C, Falk R. Cyclophosphamide therapy for
lupus nephritis: poor renal survival in black Americans. Glomerular Disease
Collaborative Network. Kidney Int 1997; 51: 1188–1195.
19. Katsiés GE, Tzioufas AG, Vlachoyiannopoulos PG, Voulgarelis M,
Moutsopoulos HM, Ioannidis JP. Risk of myelotoxicity with intravenous
cyclophosphamide in patients with systemic lupus erythematosus.
Rheumatology (Oxford) 2002; 41: 780–786.
20. Euler HH, Harten P, Zeuner RA, Schwab UM. Recombinant human
granulocyte colony stimulating factor in patients with systemic lupus
erythematosus associated neutropenia and refractory infections. J
Rheumatol 1997; 24: 2153–2157.
21. Petri M. Infection in systemic lupus erythematosus. Rheumatic Dis Clinics
N Am 1998; 24: 423–456.
22. Kahl LE. Herpes zoster infections in systemic lupus erythematosus: risk
factors and outcome. J Rheumatol 1994; 21: 84–86.
23. Boumpas DT, Austin III HA, Vaughan EM, Yarboro CH, Klippel JH,
Balow JE. Risk for sustained amenorrhea in patients with systemic lupus
erythematosus receiving intermittent pulse cyclophosphamide therapy. Ann
Intern Med 1993; 119: 366–369.
24. Mok CC, Lau CS, Wong RWS. Risk factors for ovarian failure in patients
with systemic lupus erythematosus receiving cyclophosphamide therapy.
Arthritis Rheum 1998; 41: 831–837
33

25. Masala A, Faedda R, Alagna S et al. Use of testosterone to prevent


cyclophosphamide-induced azoospermia. Ann Intern Med 1997; 126: 292–
295.
26. Priftakis P, Bogdanovic G, Kokhaei P, Mellstedt H, Dalianis T. BK virus
(BKV) quantiécation in urine samples of bone marrow transplanted patients
is helpful for diagnosis of hemorrhagic cystitis, although wide individual
variations exist. J Clin Virol 2003; 26: 71–77.
27. Houssiau FA, Vasconcelos C, D’Cruz D, Sebastiani GD, Danieli MG,
Abramovicz D et al. Immunosuppressive therapy in lupus nephritis: the
Euro-LupusNephritis Trial, a randomized trial of low-dose versus high-dose
intravenous cyclophosphamide. Arthritis Rheum 2002; 46: 2121–2131.
28. Chan TM, Li FK,Wong RW,Wong KL, Chan KW, Cheng IK. Sequential
therapy for diffuse proliferative and membranous lupus nephritis:
cyclophosphamide and prednisolone followed by azathioprine and
prednisolone. Nephron 1995; 71: 321–327.
29. Petri M, Jones RJ, Brodsky RA. High dose immunoblative
cyclophosphamide without stem cell transplantation in systemic lupus
erythematosus. Arthritis Rheum 2003; 48: 166–173
30. Gladstone DE, Prestrud AA, Pradhan A, Styler MJ, Topolsky DL, Crilley
PA et al. High-dose cyclophosphamide for severe systemic lupus
erythematosus. Lupus 2002; 11 : 405–410.
31. Doria A, Gatto M, Zen M, Iaccarino L, Punzi L. Optimizing outcome in
SLE: treating-to-target and definition of treatment goals. Autoimmunity
reviews. 2014 Jul;13(7):770-777

Anda mungkin juga menyukai