Anda di halaman 1dari 18

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/328829589

Analisis urin

Technical Report · November 2018

CITATIONS READS
0 2,820

1 author:

Ahmad Arsyadi
Ibaraki University
37 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Ahmad Arsyadi on 09 November 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


LAPORAN RESMI

PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN

PEMERIKSAAN URIN

Nama : Ahmad Arsyadi

NIM : 12640024

Asisten : Mbak Ayu

Kelompok :1

Program Studi Biologi

Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

2014
I. Tujuan
a. Mengidentifikasi ciri-ciri dan komposisi urin yang normal.
b. Mengidentifikasi kelainan ginjal dari hasil pemeriksaan urin.
II. Dasar Teori
Sistem tubuh makhluk hidup pada dasarnya mempunyai karakteristik yang
prinsipnya sama pada setiap individu. Dari prinsip karakteristik sama ini sistem tubuh
makhluk hidup dapat dapat dipelajari. Misalnya, cara oksigen masuk ke dalam tubuh,
cara zat makanan diserap dari saluran pencernaan, cara sel mendapatkan makanan,
dan lain sebagainya (Irianto, 2012).
Menurut Irianto (2012), setiap tubuh organisme hidup terdiri dari berbagai
sistem fungsional, misalnya sistem pernafasan, sistem pencernaan, sistem saraf,
sistem ekskresi, dan sebagainya. Sistem-sistem tersebut terdiri dari beberapa organ
pendukungnya, misalnya sistem ekskresi pada manusia meliputi kulit, paru-paru,
ginjal, dan rektum. Kecuali ginjal, alat-alat tersebut termasuk juga dalam sistem lain.
Sistem ekskresi merupakan sistem yang berperan dalam proses pembuangan
zat-zat yang sudah tidak diperlukan (zat sisa) ataupun zat-zat yang membahayakan
bagi tubuh dalam bentuk larutan. Karena adanya pembakaran (oksidasi) zat makanan
dalam tubuh dan perombakan zaat kimia, terjadilah zat yang tak berguna lagi bagi
tubuh. Apabila zat itu tetap tinggal di dalam tubuh, zat itu akan menjadi “zat racun”.
Oleh karena itu, zat racun harus dikeluarkan dari tubuh. Yang berfungsi mengangkut
zat sampah itu ialah darah, dibawanya ke paru-paru, hati, kelenjar-kelenjar keringat,
dan ginjal (Tuti, 2009).
Ginjal sering disebut buah pinggang. Bentuknya seperti kacang dan letaknya
di sebelah belakang rongga perut, kanan kiri dari tulang punggung. Ginjal kiri
letaknya lebih tinggi dari ginjal kanan dan berwarna merah keunguan. Setiap ginjal
panjangnya 6-7,5 cm dan tebalnya 1,5-2,5 cm dan pada orang dewasa beratnya kira-
kira 140 gram. Pembuluh-pembuluh ginjal semuanya masuk dan keluar pada hillus
(sisi dalam). Di atas setiap ginjal menjulang sebuah kelenjar suprarenalis (Irianto,
2012).
Menurut Irianto (2012), struktur ginjal dilingkupi selaput tipis dari jaringan
fibrus yang rapat membungkusnya dan membentuk pembungkus yang halus. Di
dalamnya terdapat struktur-struktur ginjal. Terdiri atas bagian korteks dari sebelah
luar dan bagian medulla di sebelah dalam. Bagian medulla ini tersusun atas 15-16
massa berbentuk piramida yang disebut piramis ginjal. Puncak-puncaknya langsung
mengarah ke hillus dan berakhir di kalises. Kalises ini menghubungkannya dengan
pelvis ginjal.
Struktur halus ginjal terdiri atas banyak nefron yang merupakan satuan-satuan
fungsional ginjal dan diperkirakan ada 1.000.000 nefron dalam setiap ginjal. Nefron
adalah satu kesatuan dari tiap tubulus ginjal dan glomerulusnya. Setiap nefron mulai
sebagai berkas kapiler (glomerulus) yang erat tertanam dalam ujung atas yang lebar
pada nefron (Irianto, 2012).
Tubulus terbentuk sebagian berkelok-kelok dan sebagian lurus. Bagian
pertama tubulus berkelok-kelok dan dikenal sebagai kelokan pertama atau tubulus
proksimal dan sesudah itu terdapat sebuah simpai Henle. Kemudian tubulus itu
berkelok-kelok lagi disebut kelokan kedua atau tubulus distal yang bersambung
dengan tubulus penampung, yang berjalan melintasi korteks dan medulla, yang
berakhir di puncak salah satu piramida (Irianto, 2012).
Menurut irianto (2012), struktur ginjal berisi pembuluh darah. Arteri renalis
membawa darah bersih dari aorta abdominalis ke ginjal. Cabang-cabang arteri
beranting banyak di dalam ginjal dan menjadi arteriola aferen yang masing-masing
membentuk simpul dari kapiler-kapiler di dalam salah satu badan malpighi, inilah
glomerulus. Pembuluh aferen kemudian tampil sebagai arteriola aferen yang
bercabang-cabang membentuk jaringan kapiler sekeliling tubulus urineferus.
Kapiler-kapiler ini kemudian bergabung untuk membentuk vena renalis yang
membawa darah dari ginjal ke vena cava inferior. Oleh karena itu, darah yang beredar
dalam ginjal mempunyai dua kelompok kapiler yang bertujuan agar darah dapat lebih
lama berada di sekitar tubulus urineferus (Irianto, 2012).
Menurut Fox (2008), ginjal memiliki fungsi primer dalam mengatur
keseimbangan cairan ekstraselluler (plasma dan cairan interstitial) di dalam tubuh.
Fungsi ini dapat dilihat dengan terbentuknya urin yang merupakan bentuk modifikasi
dari filtrate plasma darah. Menurutnya, dalam proses pembentukan urin, ginjal
berfungsi dalam mengatur hal-hal berikut:
1. Volume plasma darah (dan berpengaruh terhadap pengaturan tekanan darah).
2. Konsentrasi zat sisa di dalam darah.
3. Konsentrasi elektrolit (Na+, K+, HCO3-, dan ion lain) dalam plasma darah.
4. Mengatur pH plasma darah.
Urin atau air seni maupun air kencing adalah cairan sisa yang diekskresikan
oleh ginjal yang kemudian akan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses urinasi.
Eksreksi urin diperlukan untuk membuang molekul-molekul sisa dalam darah yang
disaring oleh ginjal dan untuk menjaga homeostasis cairan tubuh. Namun, ada juga
beberapa spesies yang menggunakan urin sebagai sarana komunikasi olfaktori. Urin
disaring di dalam ginjal, dibawa melalui ureter menuju kandung kemih, akhirnya
dibuang keluar tubuh melalui uretra (Wilmar, 2000).
Menurut Wilmar (2000), dari urin yang terbentuk bisa memantau penyakit
melalui perubahan warnanya. Meskipun tidak selalu bisa dijadikan pedoman namun
ada baiknya kita mengetahui hal ini untuk berjaga-jaga. Urin merupakan cairan yang
dihasilkan oleh ginjal melalui proses penyaringan darah. Oleh karena itu kelainan
darah dapat menunjukkan kelainan di dalam urin.
Fungsi utama urin adalah untuk membuang zat sisa seperti racun atau obat-
obatan dari dalam tubuh. Anggapan umum menganggap urin sebagai zat yang
"kotor". Hal ini berkaitan dengan kemungkinan urin tersebut berasal dari ginjal atau
saluran kencing yang terinfeksi, sehingga urinnya pun akan mengandung bakteri.
Namun jika urin berasal dari ginjal dan saluran kencing yang sehat, secara medis urin
sebenarnya cukup steril dan hampir bau yang dihasilkan berasal dari urea. Sehingga
bisa diakatakan bahwa urin itu merupakan zat yang steril (Wilmar, 2000).
Terdapat tiga proses penting yang berhubungan dengan proses pembentukan
urin, yaitu:
1. Filtrasi (Penyaringan)
Kapsula bowman dari dalam malphigi menyaring darah dalam glomelurus
yang mengandung air, garam, gula, urea, dan zat bermolekul besar (protein dan sel
darah) sehingga dihasilkan filtrat glomelurus (Urin Primer). Di dalam filtrat ini
terlarut zat yang masih berguna bagi tubuh maupun zat yang tidak berguna bagi
tubuh, misalnya glukosa, asam amino, dan garam-garam (Wiwi, 2006).
2. Reabsorpsi (PenyerapanKembali)
Dalam tubulus kontortus proksimal dalam urin primer yang masih berguna
akan direabsorpsi kembali dan yang dihasilkan oleh filtrat tubulus ini adalah urin
sekunder yang memiliki kadar urea tinggi (Wiwi, 2006).
3. Eksresi (Pengeluaran)
Dalam tubulus kontortus distal, pembuluh darah menambahkan zat lain yang
tidak dipergunakan lagi dan terjadi reabsorpsi aktif ion Na+dan Cl- serta sekresi ion
H+ dan K+. Di tempat ini sudah terbentuk urin yang sesungguhnya yang tidak terdapat
glukosa dan protein lagi, selanjutnya akan disalurkan ke tubulus kolektifus lalu
menuju pelvis renalis (Wiwi, 2006).
Adapun proses pembentukan urin secara ringkas dijelaskan oleh Ganong
(1999) yaitu: cairan yang menyerupai plasma di filtrasi melalui dinding kapiler
glomerulus ke tubulus renalis di ginjal (filtrasi glomerulus). Dalam perjalanannya
sepanjang tubulus ginjal, volume cairan filtrat akan berkurang dan susunannya
berubah akibat proses reabsorbsi tubulus (penyerapan kembali air dan zat terlarut dari
cairan tubulus) dan proses sekresi tubulus (sekresi zat terlarut ke dalam cairan
tubulus) untuk membentuk kemih (urin) yang akan disalurkan ke dalam pelvis renalis.
Air serta elektrolit dan metabolit penting lainnya akan diserap kembali. Selain
itu, susunan urin dapat berubah-ubah dan banyak mekanisme pengaturan homeostasis
yang meminimalkan atau mencegah perubahan susunan cairan ekstrasel dengan cara
mengubah jumlah air dan zat terlarut tertentu yang diekskresi melalui urin. Dari
pelvis renalis, urin dialirkan ke dalam vesika urinaria (kandung kemih) untuk
kemudian dikeluarkan melalui proses berkemih, atau miksi (Ganong, 1999).
Urin mengandung bermacam-macam zat, antara lain: urea, asam urea,
amoniak, dan zat-zat lain yang merupakan hasil pembongkaran protein. Garam-
garam terutama garam dapur. Pada orang yang melakukan diet yang rata-rata berisi
80-100 gram protein dalam 24 jam, kadar air dan zat padat dalam 24 jam pada air
kemih adalah sebagai berikut: air 96%, zat padat 4% (terdiri atas urea 2% dan hasil
metabolisme lainnya 2% (Irianto, 2012).
1. Ureum, adalah hasil akhir metabolisme protein. Berasal dari asam amino yang
telah dipindahkan amoniaknya di dalam hati dan mencapai ginjal serta
disekresikan rata-rata 30 gram sehari. Kadar ureum darah yang normal adalah 30
mg setiap ccm darah, tetapi hal ini tergantung dari jumlah normal protein yang
dimakan dan fungsi hati dalam pembentukan ureum (Irianto, 2012).
2. Asam urat, kadar normal di dalam darah adalah 2-3 mg setiap 100 cm, sedangkan
1,5-2 mg setiap hari dikeluarkan ke dalam air kemih (Irianto, 2012).
3. Keratin, adalah hasil buangan keratin dalam otot. Hasil metabolisme lain meliputi
zat-zat purin oksalat, fosfat, sulfat, dan urat (Irianto, 2012).
4. Natrium klorida (garam dapur), garam seperti natrium dan kalium klorida
dikeluarkan untuk mengimbangi jumlah yang masuk melalui mulut (Irianto,
2012).
Pemeriksaan urin rutin adalah pemeriksaan makroskopik, mikroskopik dan
kimia urin yang meliputi pemeriksaan protein dan glukosa. Sedangkan yang
dimaksud dengan pemeriksaan urin lengkap adalah pemeriksaan urin rutin yang
dilengkapi dengan pemeriksaan benda keton, bilirubin, urobilinogen, darah samar
dan nitrit (Wilmar, 2000).
1. Pemeriksaan Makroskopik
Yang diperiksa adalah volume, warna, kejernihan, berat jenis, bau dan pH
urin. Pengukuran volume urin berguna untuk menafsirkan hasil pemeriksaan
kuantitatif atau semi kuantitatif suatu zat dalam urin, dan untuk menentukan
kelainan dalam keseimbangan cairan badan (Wilmar, 2000).
Pemeriksaan Makroskopik adalah pemeriksaan yang meliputi :
a. Volume urin
Banyak sekali faktor yang mempengaruhi volume urin seperti
umur, berat badan, jenis kelamin, makanan dan minuman, suhu badan,
iklim dan aktivitas orang yang bersangkutan. Rata-rata di daerah tropik
volume urin dalam 24 jam antara 800--1300 mL untuk orang dewasa.
Bila didapatkan volume urin selama 24 jam lebih dari 2000 mL maka
keadaan itu disebut poliuri (Wilmar, 2000).
Bila volume urin selama 24 jam 300--750 mL maka keadaan
ini dikatakan oliguri, keadaan ini mungkin didapat pada diarrhea,
muntah-muntah, deman edema, nefritis menahun (Wilmar, 2000).
Anuri adalah suatu keadaan dimana jumlah urin selama 24 jam
kurang dari 300 mL. Hal ini mungkin dijumpai pada shock dan
kegagalan ginjal (Wilmar, 2000).
b. Warna urin
Pemeriksaan terhadap warna urin mempunyai makna karena
kadang-kadang dapat menunjukkan kelainan klinik. Warna urin
dinyatakan dengan tidak berwarna, kuning muda, kuning, kuning tua,
kuning bercampur merah, merah, coklat, hijau, putih susu, dan
sebagainya. Warna urin dipengaruhi oleh kepekatan urin, obat yang
dimakan maupun makanan. Warna normal urin berkisar antara kuning
muda dan kuning tua yang disebabkan oleh beberapa macam zat warna
seperti urochrom, urobilin, dan porphyrin (Wilmar, 2000).
c. Berat jenis urin
Pemeriksaan berat jenis urin bertalian dengan faal pemekatan
ginjal, dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu dengan memakai
falling drop, gravimetri, menggunakan pikno meter, refraktometer dan
reagens 'pita' (Wilmar, 2000).
d. Bau urin
Bau urin normal disebabkan oleh asam organik yang mudah
menguap. Bau yang berlainan dapat disebabkan oleh makanan seperti
jengkol, petai, obat-obatan seperti mentol, bau buah-buahan seperti
pada ketonuria (Wilmar, 2000).
e. PH urin

Penetapan pH diperlukan pada gangguan keseimbangan asam


basa, kerena dapat memberi kesan tentang keadaan dalam badan. pH
urin normal berkisar antar 4,5 - 8,0. Selain itu penetapan pH pada
infeksi saluran kemih dapat memberi petunjuk ke arah etiologi. Pada
infeksi oleh Escherichia coli biasanya urin bereaksi asam, sedangkan
pada infeksi dengan kuman Proteus yang dapat merombak ureum
menjadi amoniak akan menyebabkan urin bersifat basa (Wilmar,
2000).

2. Pemeriksaan Mikroskopik
Yang dimaksud dengan pemeriksaan mikroskopik urin yaitu pemeriksaan
sedimen urin. Ini penting untuk mengetahui adanya kelainan pada ginjal dan
saluran kemih serta berat ringannya penyakit (Wilmar, 2000).
3. Pemeriksaan Kimia Urin
Di samping cara konvensional, pemeriksaan kimia urin dapat dilakukan
dengan cara yang lebih sederhana dengan hasil cepat, tepat, spesifik dan sensitif
yaitu memakai reagens pita. Reagens pita (strip) dari berbagai pabrik telah banyak
beredar di Indonesia. Reagens pita ini dapat dipakai untuk pemeriksaan pH,
protein, glukosa, keton, bilirubin, darah, urobilinogen dan nitrit (Wilmar, 2000).
a. Pemeriksaan glukosa
Dalam urin dapat dilakukan dengan memakai reagens pita.
Selain itu penetapan glukosa dapat dilakukan dengan cara reduksi ion
cupri menjadi cupro. Dengan cara reduksi mungkin didapati hasil
positif palsu pada urin yang mengandung bahan reduktor selain
glukosa seperti : galaktosa, fruktosa, laktosa, pentosa, formalin,
glukuronat dan obat-obatan seperti streptomycin, salisilat, vitamin C
(Wilmar, 2000).
Cara enzimatik lebih sensitif dibandingkan dengan cara
reduksi. Cara enzimatik dapat mendeteksi kadar glukosa urin sampai
100 mg/dl, sedangkan pada cara reduksi hanya sampai 250 mg/dl
(Wilmar, 2000).
b. Benda- benda keton
Dalam urin terdiri atas aseton, asam asetoasetat dan asam 13-
hidroksi butirat. Karena aseton mudah menguap, maka urin yang
diperiksa harus segar. Pemeriksaan benda keton dengan reagens pita
ini dapat mendeteksi asam asetoasetat lebllh dari 5--10 mg/dl, tetapi
cara ini kurang peka untuk aseton dan tidak bereaksi dengan asam beta
hidroksi butirat. Hasil positif palsu mungkin didapat bila urin
mengandung bromsulphthalein, metabolit levodopa dan pengawet 8-
hidroksi-quinoline yang berlebihan (Wilmar, 2000).
Dalam keadaan normal pemeriksaan benda keton dalam urin
negatif. Pada keadaan puasa yang lama, kelainan metabolisme
karbohidrat seperti pada diabetes mellitus, kelainan metabolisme
lemak didalam urin didapatkan benda keton dalam jumlah yang tinggi
(Wilmar, 2000).
c. Pemeriksaan bilirubin
Dalam urin berdasarkan reaksi antara garam diazonium dengan
bilirubin dalam suasana asam, yang menimbulkan warna biru atau
ungu tua. Garam diazonium terdiri dari p-nitrobenzene diazonium dan
p-toluene sulfonate, sedangkan asam yang dipakai adalah asam sulfo
salisilat (Wilmar, 2000).
Adanya bilirubin 0,05-1 mg/dl urin akan memberikan basil
positif dan keadaan ini menunjukkan kelainan hati atau saluran
empedu. Hasil positif palsu dapat terjadi bila dalam urin terdapat
mefenamic acid, chlorpromazine dengan kadar yang tinggi sedangkan
negatif palsu dapat terjadi bila urin mengandung metabolit pyridium
atau serenium (Wilmar, 2000).
d. Pemeriksaan urobilinogen
Dengan reagens pita perlu urin segar. Dalam keadaan normal
kadar urobilinogen berkisar antara 0,1 - 1,0 Ehrlich unit per dl urin.
Peningkatan ekskresi urobilinogen urin mungkin disebabkan oleh
kelainan hati, saluran empedu atau proses hemolisa yang berlebihan di
dalam tubuh (Wilmar, 2000).
Dalam keadaan normal tidak terdapat darah dalam urin, adanya
darah dalam urin mungkin disebabkan oleh perdarahan saluran kemih
atau pada wanita yang sedang haid. Dengan pemeriksaan ini dapat
dideteksi adanya 150-450 ug hemoglobin per liter urin. Tes ini lebih
peka terhadap hemoglobin daripada eritrosit yang utuh sehingga perlu
dilakukan pula pemeriksaan mikroskopik urin (Wilmar, 2000).
Hasil negatif palsu bila urin mengandung vitamin C lebih dari
10 mg/dl. Hasil positif palsu didapatkan bila urin mengandung
oksidator seperti hipochlorid atau peroksidase dari bakteri yang berasal
dari infeksi saluran kemih atau akibat pertumbuhan kuman yang
terkontaminasi (Wilmar, 2000).

III. Bahan dan Metode Kerja


a. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah 6 buah tabung reaksi, 1
rak tabung reaksi,1 pembakar spiritus, 1 gelas ukur 10 mL,1 indikator universal
pH, 1 korek api, spatula, dan pipet tetes.
Bahan yang dibutuhkan yaitu sampel urin manusia, reagen benedict,
reagen biuret, dan larutan AgNO3 1%.
b. Metode Kerja
1. Pengambilan sampel urin
Percobaan ini dilakukan dengan diambilnya urin yang pertama kali
dikeluarkan saat bangun tidur lalu diberikan label pada botol sampel tersebut.
2. Pemeriksaan urin
a. Tampilan urin
Percobaan ini dilakukan dengan dimasukkannya urin ke dalam
gelas kimia, lalu dibandingkan warna urin pada seluruh sampel lalu dicatat
warna dan tingkat kepekatan warna dari setiap sampel tersebut dengan
skala + hingga +++ untuk warna paling jernih hingga paling pekat.
b. Mengukur pH urin
Percobaan ini dilakukan dengan dimasukkannya urin ke dalam
gelas kimia kemudian diukur pH urin dengan menggunakan indikator
universal lalu dicocokkan warna pada indikator dan dicatat pH yang
terukur.
c. Menguji amonia

Percobaan ini dilakukan dengan dimasukkannya 1 mL urin ke


dalam tabung reaksi kemudian dipanaskan dengan pembakar spiritus
hingga mendidih lalu dicatat bau yang ditimbulkan dari urin yang
dipanaskan tersebut.

d. Menguji glukosa
Percobaan ini dilakukan dengan dimasukkannya 2 mL urin ke
dalam tabung reaksi kemudian ditambahkan 5 tetes reagen benedict lalu
dipanaskan. Selanjutnya, diamati dan dicatat perubahan warna yang terjadi
beserta tingkat kepekatan warnanya dengan skala + hingga +++ untuk
warna paling muda hingga paling tua.
e. Menguji protein
Percobaan ini dilakukan dengan dimasukkannya 2 mL urin ke
dalam tabung reaksi kemudian ditambahkan 5 tetes reagen biuret lalu
dibiarkan selama 5 menit. Selanjutnya, diamati dan dicatat perubahan
warna yang terjadi beserta tingkat kepekatan warnanya dengan skala +
hingga +++ untuk warna paling muda hingga paling tua.
f. Menguji ion klorida
Percobaan ini dilakukan dengan dimasukkannya 2 mL urin ke
dalam tabung reaksi kemudian ditambahkan 5 tetes larutan AgNO3 1%
lalu dibiarkan selama 5 menit. Selanjutnya, diamati dan dicatat
terbentuknya endapan putih dengan skala + hingga +++ untuk endapan
paling sedikit hingga paling banyak.
IV. Hasil dan Pembahasan
1. Tampilan urin
Tabel a. Hasil pengamatan berbagai tampilan urin
Kelompok 1 2 3 4 5 6
Skala warna +++ ++ + ++ +++ +++
Ket:
+ : bening
++ : pekat
+++ : sangat pekat

Berdasarkan tabel a di atas maka dapat disimpulkan bahwa kebanyakan


urin yang dihasilkan oleh probandus setiap kelompok adalah berwarna kuning
sangat pekat, dan sisanya diikuti oleh warna kuning pekat lalu berwarna kuning
bening (jernih). Urin berwarna kuning jernih merupakan pertanda bahwa tubuh
probandus tersebut sehat. Sedangkan warna kuning tua atau pekat dan bahkan
sangat pekat tersebut disebabkan karena tubuh probandus diindikasikan
mengalami kekurangan cairan (Wilmar, 2000).

Perbedaan warna urin ini ditentukan oleh besarnya dieresis. Makin besar
dieresis, makin muda warna urin itu. Biasanya warna urin normal berkisar antara
kuning muda dan kuning tua. Warna itu disebabkan oleh beberapa macam zat
warna, terutama urochrom dan urobilin. Oleh karena itu, meskipun terdapat
perbedaan tingkat kepekatan, keenam sampel urin di atas dapat diindikasikan
normal karena masih berwarna kuning baik itu kuning jernih, (tua) pekat, atau
bahkan sangat pekat (Murwani, 2006).

2. PH urin
Tabel b. Hasil pengukuran berbagai pH urin
Kelompok 1 2 3 4 5 6
pH 7 7 6 6 7 6

Berdasarkan tabel b di atas dapat disimpulkan bahwa kebanyakan urin


yang dihasilkan oleh probandus setiap kelompok memiliki perbandingan angka
pH yang merata yaitu 1:1 dengan derajat keasaman masing-masing 6 dan 7.
Perbedaan ini dipengaruhi oleh asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi
probandus yang berbeda –beda pula. Selain itu, Urin yang telah melewati
temperatur ruangan untuk beberapa jam dapat menjadi alkali karena aktifitas
bakteri. Faktor inilah yang menyebabkan perbedaan pH diantara keenam urin
tersebut (Wilmar, 2000).
Menurut teori, pH urin normal berkisar antar 4,5 - 8,0 sehingga dapat
disimpulkan bahwa keenam urin di atas memiliki derajat keasaman yang masih
tergolong normal dan dapat diindikasikan bahwa keenam probandus tersebut juga
adalah sedang dalam keadaan sehat (Wilmar, 2000).
3. Uji ammonia
Tabel c. Hasil pengamatan terhadap bau urin
Kelompok 1 2 3 4 5 6
Aroma amonia + + - - + ++
Ket:
+ : berbau
++ : menyengat
- : tidak berbau
Berdasarkan tabel c di atas dapat disimpulkan bahwa kebanyakan urin
yang dihasilkan oleh probandus setiap kelompok sebagian besar berbau ammonia,
diikuti oleh urin yang tidak berbau dan berbau menyengat. Perbedaan ini
dipengaruhi oleh tingkat asupan kadar garam (makanan) yang dikonsumsi.
Semakin banyak garam maka semakin banyak pula urea yang disederhanakan
membentuk ammonia. Faktor inilah yang menyebabkan perbedaan aroma diantara
keenam urin tersebut (Wilmar, 2000).
Menurut Wilmar (2000), bau urin normal (berupa ammonia) disebabkan
oleh asam organik yang mudah menguap sedangkan bau yang merupakan indikasi
adanya masalah seperti infeksi atau mencerna obat-obatan tertentu. Maka dari
tabel c tersebut dapat disimpulkan bahwa keenam sampel urin adalah normal
dikarenakan menghasilkan aroma ammonia meskipun tingkat aromanya berbeda-
beda.
4. Uji glukosa
Tabel d. Hasil pengamatan terhadap adanya glukosa pada urin
Kelompok 1 2 3 4 5 6
Skala warna - - - - - -
Ket:
- : negatif
Berdasarakan tabel d di atas dapat disimpulkan bahwa keseluruhan urin
yang dihasilkan oleh probandus setiap kelompok adalah negatif mengandung
glukosa. Pada urin orang yang normal, setelah pencampuran dengan reagen
benedict dan dilakukan pemanasan, urin akan berwarna hijau bening dan tidak ada
endapan (negatif glukosa). Hal ini menunjukan bahwa dalam urin tersebut tidak
mengandung bahan-bahan lain yang masih dibutuhkan oleh tubuh (glukosa) atau
sedikit sekali terhadap resiko penyakit misalnya diabetes melitus dan yang lainnya
(Wilmar, 2000).
Oleh karena itu, jika dihubungkan dengan teori ini maka keenam sampel
urin dan probandusnya dapat diindikasikan normal dan sedang berada dalam
keadaan yang sehat.
5. Uji protein
Tabel e. Hasil pengamatan terhadap adanya protein pada urin
Kelompok 1 2 3 4 5 6
Skala warna - - - - - -
Ket:
- : negatif
Berdasarakan tabel e di atas dapat disimpulkan bahwa keseluruhan urin
yang dihasilkan oleh probandus setiap kelompok adalah negatif mengandung
protein karena tidak terjadi perubahan warna pada keenam sampel urin tersebut.
Menurut teori, Urin yang mengandung protein menandakan bahwa filtrasi yang
dilakukan oleh ginjal tidak sempurna. Indikator adanya protein seperti (albumin)
dalam urin dapat ditandai dengan terjadinya perubahan warna pada urin setelah
diujikan menggunakan larutan biuret (Wilmar, 2000).
Oleh karena itu, jika dihubungkan dengan teori ini maka keenam sampel
urin dan probandusnya dapat diindikasikan normal dan sedang berada dalam
keadaan yang sehat.
6. Uji ion klorida
Tabel f. Hasil pengamatan adanya ion klorida
Kelompok 1 2 3 4 5 6
Skala endapan ++ ++ - + + +
Ket:
+ : sedikit endapan putih
++ : banyak endapan putih
- : tidak ada endapan putih
Berdasarkan tabel f di atas dapat disimpulkan bahwa kebanyakan urin
yang dihasilkan oleh probandus setiap kelompok sebagian besar mengandung
sedikit ion klorida (Cl-) (ditandai dengan terbentuknya endapan putih) diikuti
kandungan klorida yang banyak dan negatif ion klorida. Perbedaan ini
dipengaruhi oleh tingkat asupan kadar garam (makanan) yang dikonsumsi.
Semakin banyak garam maka semakin banyak pula ion klorida yang dihasilkan.
Faktor inilah yang menyebabkan perbedaan kandungan ion Cl- diantara keenam
urin tersebut (Wilmar, 2000).
Menurut teori, ion klorida yang terdapat dalam urin berasal dari makanan
yang mengandung garam (NaCl) dan juga terkandung dalam urin normal jadi
untuk mengetahuinya harus ditemukan klorida dengan cara mengikat ion – ion Cl-
menggunakan larutan AgNO3 1% yang akan membentuk endapan putih. Oleh
karena itu, jika dihubungkan dengan hasil yang diperoleh pada tabel f di atas,
maka keenam sampel urin dan probandusnya dapat diindikasikan normal dan
sedang berada dalam keadaan yang sehat (Wilmar, 2000).
V. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa:
a. Ciri-ciri dan komposisi urin yang normal adalah: urin berwarna kuning muda
ataupun tua (pekat), memiliki pH 6-7, memiliki (atau tidak memiliki) aroma
ammonia, tidak mengandung glukosa dan protein, serta terdapat (atau tidak
terdapat) ion klorida (Cl-) .
b. Seluruh probandus tidak mengalami suatu kelainan apapun pada ginjal
mereka.

VI. Daftar Pustaka


Fox, S.I. (2008). Human Physiology Tenth Edition. New York: McGraw-Hill.
Ganong, W.F. (2003). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Buku Kedokteran
EGC.
Irianto, K. (2012). Anatomi dan Fisiologi. Bandung: Alfabeta.
Murwani, A. (2006). Keterampilan Dasar Praktek Klinik Keperawatan Cetakan
Kedua. Yogyakarta : Fitramaya.
Tuti, K. (2009). Zoologi Vertebrata. Bandung: Universitas Islam Negeri Sunan
Gunung Djati.
Wilmar, M. (2000). Praktikum Urin, Penuntun Praktikum Biokimia. Jakarta: Widya
Medika.
Wiwi, I. (2006). Fisiologi Hewan. Yogyakarta: Kanisius.

Yogyakarta, 06 Mei 2014

Asisten, Praktikan,

( ) (Ahmad Arsyadi)
View publication stats

Anda mungkin juga menyukai