Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN

OSTEOARTRITIS PADA KLIEN OMA K DI PSTW CIRACAS


JAKARTA TIMUR

JULIANTI PURBA

185240027

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS RESPATI INDONESIA
JAKARTA, 2018

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan atas segala kasih karuniaNYA sehingga laporan
pendahuluan ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa penulis mengucapkan
terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.

Semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman untuk para
pembaca dan berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan
dalam kehidupan sehari-hari.

Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan laporan pendahuluan ini. Namun demikian adanya, semoga laporan
pendahuluan ini dapat dapat dijadikan acuan tindak lanjut penulis selanjutnya dan
bermanfaat bagi kita semua terutama bagi ilmu keperawatan.

Jakarta, 6 November 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

COVER DEPAN.....................................................................................................i

KATA PENGANTAR...........................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB 1: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang......................................................................................4

B. Tujuan....................................................................................................6

 Tujuan Umum...................................................................................6
 Tujuan Khusus..................................................................................6

BAB 11: TINJAUAN TEORITIS

A. Pengertian..............................................................................................7

B. Etiologi..................................................................................................7

C. Patofisiologi...........................................................................................8

D. Patway.................................................................................................10

E. Manifestasi Klinis................................................................................11

F. Pemeriksaan Penunjang.......................................................................11

BAB 111: TINJAUAN KASUS

A. Pengkajian..........................................................................................20

B. Analisa Data.......................................................................................26

C. Diagnosa Keperawatan.......................................................................26

D. Perencanaan........................................................................................26

E. Implementasi...................................................................................... 27

F. Evaluasi................................................................................................

BAB 1V: KESIMPULAN DAN SARAN

3
A. Kesimpulan.........................................................................................

B. Saran....................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lanjut usia merupakan suatu hal yang akan dihadapi oleh setiap insan. Semua
makhluk hidup memiliki siklus kehidupan menuju tua yang diawali dengan proses
kelahiran, tumbuh dan berkembang menjadi dewasa, kemudian menjadi tua dan
akhirnya tutup usia. Setiap individu akan melewati dan mengalami masa yang akan
berkembang menjadi masalah yang lebih kompleks di dunia. Dari laporan Badan
Pusat Statistik (BPS) terjadi peningkatan UHH. Pada tahun 2000 UHH di Indonesia
adalah 64,5 tahun (dengan persentase populasi lansia adalah 7,18%). Angka ini
meningkat menjadi 69,43 tahun pada tahun 2010 (dengan persentase populasi lansia
adalah 7,56%) pada tahun 2011 menjadi 69,65 tahun (dengan persentase populasi
lansia adalah 7,58%) dan pada tahun 2020 diperkirakan 28,8 juta jiwa (11,34%). Dari
data diatas populasi lansia khususnya di Indonesia tidak saja melebihi jumlah balita,
tetapi dapat menduduki peringkat keempat di dunia setelah RRC, India, dan Amerika
Serikat. Penjelasan mengenai peningkatan jumlah penduduk lansia didunia dapat
dilihat dari data WHO (Soetardjo, 2013)

Menurut data dari WHO tahun 2015, lanjut usia (lansia) merupakan kelompok
penduduk yang berumur 60 tahun atau lebih. Secara global pada tahun 2013 jumlah
dari populasi penduduk yang berusia lebih dari 60 tahun adalah 11,7% dari total
populasi dunia dan diperkirakan jumlah tersebut terus meningkat seiring dengan
adanya peningkatan dari usia harapan hidup. Data WHO menunjukan pada tahun
2000 usia harapan hidup orang didunia berada pada usia 66 tahun, pada tahun 2012
usia harapan hidup naik dan dialami di usia 70 tahun kemudian pada tahun 2013
menjadi 71 tahun. Jumlah proporsi lansia di Indonesia juga bertambah setiap
tahunnya. Data WHO pada tahun 2009 menunjukan jumlah populasi lansia 7,49%
dari total populasi, pada tahun 2011 menjadi 7,69% dan pada tahun 2013 didapatkan
jumlah lansia sebesar 8,1% dari total populasi. Presentasi jumlah diatas berdasarkan

4
dari data WHO tahun 2015. Penjelasan tentang lansia di Indonesia terdapat dalam
peraturan pemerintahan republik Indonesia tahun 2004 (WHO, 2015)

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2004, lanjut


usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas.
Jumlah penduduk tua bertambah dengan cepat baik di negara maju maupun negara
berkembang, hal ini disebabkan karena penurunan angka fertilitas (kelahiran) dan
mortalitas (kematian), serta peningkatan angka harapan hidup (life expectancy),
sehingga mengubah struktur penduduk secara keseluruhan. Proses terjadinya
penuaan penduduk dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu peningkatan gizi,
pelayanan kesehatan, hingga kemajuan tingkat pendidikan dan sosial ekonomi yang
semakin baik. Secara global populasi lansia diprediksi terus mengalami peningkatan.
Secara global, Asia dan Indonesia dari tahun 2015 sudah memasuki era penduduk
menua (aging population) karena jumlah penduduknya yang berusia 60 tahun ke atas
(penduduk lansia) melebihi angka 7 persen. Berdasarkan data pencatatan penduduk,
diperkirakan tahun 2017 terdapat 23,66 juta jiwa penduduk lansia di Indonesia
(9,03%). Diprediksikan jumlah penduduk lansia tahun 2020 (27,08 juta jiwa), tahun
2025 (33,69 juta jiwa), tahun 2030 (40,95 juta jiwa) dan tahun 2035 (48,19 juta
jiwa). Suatu negara berstruktur tua jika mempunyai populasi lansia di atas tujuh
persen (RI KemenKes 2017)

Hasil data diatas mengenai jumlah peningkatan lansia khususnya di Indonesia akan
menimbulkan terjadinya fenomena yang akan mempengaruhi aspek kehidupan
lansia, diantaranya perubahan fisik, biologis, psikologis, sosial, dan munculnya
penyakit degeneratif akibat proses penuan tersebut. Penyakit degeneratif yang
dialami lansia dalam masa tua merupakan suatu proses alami yang akan terjadi oleh
setiap makhluk hidup. Dimasa usia lanjut merupakan masa yang tidak bisa dihindari
bagi orang yang dikaruniai umur panjang dan para lansia harus melewati masa
dimana akan terjadinya proses penuaan. Proses penuaan ini terjadi karena adanya
beberapa faktor yang mempengaruhi proses tersebut (Suardiman, 2013)

Faktor yang mempengaruhi proses penuaan tersebut terjadi secara fisiologis dan
patofisiologis. Seorang lansia akan mengalami penuaan fisiologis (fisiological
aging), diharapkan mereka tua dalam keadaan sehat. Penuaan ini sesuai dengan
kronologis usia yang dipengaruhi oleh faktor endogen dan faktor eksogen. Faktor

5
endogen dalam proses perubahan ini dimulai dari sel jaringan organ sistem dalam
tubuh. Faktor lain yang juga ikut berpengaruh dalam proses penuaan yaitu faktor
eksogen seperti lingkungan, sosial budaya, gaya hidup, dan pola hidup dari lansia itu
sendiri (Pudjiastuti & Utomo, 2014)
Osteoartritis (OA) merupakan penyakit degenerasi pada sendi yang melibatkan
kartilago, lapisan sendi, ligamen, dan tulang sehingga menyebabkan nyeri dan
kekakuan pada sendi (CDC, 2014).

B. Tujuan

1. Tujuan Umum:
Untuk mengetahui landasan teori tentang asuhan keperawatan pasien dengan
Rheumatoid Artritis
2. Tujuan Khusus:
 Diktahui Definisi Rheumatoid Artritis
 Diketahui Etiologi Rheumatoid Artritis
 Diketahui Patofisiologi Rheumatoid Artritis
 Diketahui Patway Rheumatoid Artritis
 Diketahui Manifestasi Klinis Rheumatoid Artritis
 Diketahui Pemeriksaan Penunjang Rheumatoid Artritis

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Osteoartritis
1. Definisi
Osteoartritis (OA) merupakan penyakit degenerasi pada sendi yang melibatkan
kartilago, lapisan sendi, ligamen, dan tulang sehingga menyebabkan nyeri dan
kekakuan pada sendi (CDC, 2014). Dalam Perhimpunan Reumatologi Indonesia
Osteoartritis secara sederhana didefinisikan sebagai suatu penyakit sendi
degeneratif yang terjadi karena proses inflamasi kronis pada sendi dan tulang
yang ada disekitar sendi tersebut (Hamijoyo, 2007). Sjamsuhidajat, dkk (2011)
mendefinisikan OA sebagai kelainan sendi kronik yang disebabkan karena
ketidakseimbangan sintesis dan degradasi pada sendi, matriks ekstraseluler,
kondrosit serta tulang subkondral pada usia tua (Sjamsuhidajat et.al, 2011).
2. Etiologi
Berdasarkan etiopatogenesisnya OA dibagi menjadi dua, yaitu OA primer dan
OA sekunder. OA primer disebut juga OA idiopatik yang mana penyebabnya
tidak diketahui dan tidak ada hubunganya dengan penyakit sistemik, inflamasi
ataupun perubahan lokal pada sendi, sedangkan OA sekunder merupakan OA
yang ditengarai oleh faktor-faktor seperti penggunaan sendi yang berlebihan
dalam aktifitas kerja, olahraga berat, adanya cedera sebelumnya, penyakit
sistemik, inflamasi. OA primer lebih banyak ditemukan daripada OA sekunder
(Davey, 2006).
3. Epidemiologi
Osteoartritis merupakan penyebab ketidakmampuan pada orang Amerika
dewasa. Prevalensi osteoartritis di Eropa dan America lebih besar dari pada
prevalensi di negara lainnya. The National Arthritis Data Workgroup (NADW)
memperkirakan penderita osteoartritis di Amerika pada tahun 2005 sebanyak 27
juta yang terjadi pada usia 18 tahun keatas. Data tahun 2007 hingga 2009
prevalensi naik sekitar 1 dari 5 atau 50 juta jiwa yang didiagnosis dokter
menderita osteoartritis (Murphy dan Helmick, 2012). Estimasi insiden
osteoartritis di Australia lebih besar pada wanita dibandingkan pada laki-laki

7
dari semua kelompok usia yaitu 2,95 tiap 1000 populasi dibanding 1,71 tiap
1000 populasi (Woolf dan Pfleger, 2003). Di Asia, China dan India menduduki
peringkat 2 teratas sebagai negara dengan epidemiologi osteoartritis tertinggi
yaitu berturut-turut 5.650 dan 8.145 jiwa yang menderita osteoartritis lutut
(Fransen et. al, 2011). Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 hasil
dari wawancara pada usia ≥ 15 tahun rata-rata prevalensi penyakit sendi/rematik
sebesar 24,7%. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan provinsi
dengan prevalensi OA tertinggi yaitu sekitar 33,1% dan provinsi dangan
prevalensi terendah adalah Riau yaitu sekitar 9% sedangkan di Jawa Timur
angka prevalensinya cukup tinggi yaitu sekitar 27% (Riskesdas, 2013). Sekitar
32,99% lansia di Indonesia mengeluhkan penyakit degeneratif seperti asam urat,
rematik/radang sendi, darah tinggi, darah rendah, dan diabetes (Pusat Data dan
Informasi Kementerian Kesehatan RI, 2013). 56, 7% pasien di poliklinik
rheumatologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta didiagnosis menderita
osteoartritis (Soenarto, 2010). Gejala OA lutut lebih tinggi terjadi pada wanita
dibanding pada laki-laki yaitu 13% pada wanita dan 10% pada laki-laki.
Murphy, et.al mengestimasikan risiko perkembangan OA lutut sekitar 40% pada
laki-laki dan 47% pada wanita. Oliveria melaporkan rata-rata insiden OA
panggul, lutut dan tangan sekitar 88, 240, 100/100.000 disetiap tahunnya.
Insiden tersebut akan meningkat pada usia 50 tahun keatas dan menurun pada
usia 70 tahun (Zhang dan Jordan, 2010). Studi kohort di Framingham, 6,8%
orang berusia 26 tahun ke atas memiliki gejala osteoartritis pada tangan dengan
rata-rata laki-laki 3,8% dan wanita 9,2%. NADW memperkirakan 13 juta
populasi di Amerika yang berusia 26 tahun keatas memiliki gejala OA pada
tangan, OA pada lutut diperkirakan sebanyak 9,3 juta (4,9%) dan OA pada
panggul sebanyak 6,7%. Johnston Country Osteoarthritis (JoCo OA) Project,
sebuah studi tentang OA pada lutut dan panggul 43,3% pasien mengeluhkan rasa
nyeri dan kekakuan pada sendi. Hal ini disebabkan penebalan pada kapsul sendi
dan perubahan bentuk pada osteofit (Murphy dan Helmick, 2012).
4. Patogenesis
OA terjadi karena degradasi pada rawan sendi, remodelling tulang, dan
inflamasi. Terdapat 4 fase penting dalam proses pembentukan osteoartritis yaitu
fase inisiasi, fase inflamasi, nyeri, fase degradasi.

8
a. Fase inisiasi : Ketika terjadi degradasi pada rawan sendi, rawan sendi
berupaya melakukan perbaikan sendiri dimana khondrosit mengalami
replikasi dan memproduksi matriks baru. Fase ini dipengaruhi oleh faktor
pertumbuhan suatu polipeptida yang mengontrol proliferasi sel dan
membantu komunikasi antar sel, faktor tersebut seperti Insulin-like growth
factor (IGF-1), growth hormon, transforming growth factor b (TGF-b) dan
coloni stimulating factors (CSFs). Faktor-faktor ini menginduksi khondrosit
untuk mensintesis asam deoksiribo nukleat (DNA) dan protein seperti
kolagen dan proteoglikan. IGF-1 memegang peran penting dalam perbaikan
rawan sendi.
b. Fase inflamasi : Pada fase inflamasi sel menjadi kurang sensitif terhadap IGF-
1 sehingga meningkatnya pro-inflamasi sitokin dan jumlah leukosit yang
mempengaruhi sendi. IL-1(Inter Leukin-1) dan tumor nekrosis faktor-α (TNF-
α) mengaktifasi enzim degradasi seperti collagenase dan gelatinase untuk
membuat produk inflamasi pada osteoartritis. Produk inflamasi memiliki
dampak negatif pada jaringan sendi, khususnya pada kartilago sendi, dan
menghasilkan kerusakan pada sendi.
c. Fase nyeri: Pada fase ini terjadi proses peningkatan aktivitas fibrinogenik dan
penurunan aktivitas fibrinolitik. Proses ini menyebabkan penumpukan
trombus dan komplek lipid pada pembuluh darah subkondral sehingga
menyebabkan terjadinya iskemik dan nekrosis jaringan. Hal ini
mengakibatkan lepasnya mediator kimia seperti prostaglandin dan interleukin
yang dapat menghantarkan rasa nyeri. Rasa nyeri juga berupa akibat lepasnya
mediator kimia seperti kinin yang dapat menyebabkan peregangan tendo,
ligamen serta spasme otot-otot. Nyeri juga diakibatkan oleh adanya osteofit
yang menekan periosteum dan radiks saraf yang berasal dari medulla spinalis
serta kenaikan tekanan vena intramedular akibat stasis vena pada pada proses
remodelling trabekula dan subkondrial.
d. Fase degradasi : IL-1 mempunyai efek multipel pada sel cairan sendi yaitu
meningkatkan sintesis enzim yang mendegradasi rawan sendi. Peran
makrofag didalam cairan sendi juga bermanfaat, yaitu apabila terjadi jejas
mekanis, material asing hasil nekrosis jaringan atau CSFs akan memproduksi
sitokin aktifator plasminogen (PA). Sitokin ini akan merangsang khondrosit
untuk memproduksi CSFs. Sitokin ini juga mempercepat resorpsi matriks

9
rawan sendi. Faktor pertumbuhan dan sitokin membawa pengaruh yang
berlawanan selama perkembangan OA. Sitokin cenderung merangsang
degradasi komponen matriks rawan sendi sedangkan faktor pertumbuhan
merangsang sintesis (Sudoyo et. al, 2007).

10
5. Manifestasi Klinis
OA dapat mengenai sendi-sendi besar maupun kecil. Distribusi OA dapat
mengenai sendi leher, bahu, tangan, kaki, pinggul, lutut.
a. Nyeri : Nyeri pada sendi berasal dari inflamasi pada sinovium, tekanan pada
sumsum tulang, fraktur daerah subkondral, tekanan saraf akibat osteofit,
distensi, instabilnya kapsul sendi, serta spasme pada otot atau ligamen. Nyeri
terjadi ketika melakukan aktifitas berat. Pada tahap yang lebih parah hanya
dengan aktifitas minimal sudah dapat membuat perasaan sakit, hal ini bisa
berkurang dengan istirahat.
b. Kekakuan sendi : kekakuan pada sendi sering dikeluhkan ketika pagi hari
ketika setelah duduk yang terlalu lama atau setelah bangun pagi.
c. Krepitasi : sensasi suara gemeratak yang sering ditemukan pada tulang sendi
rawan.
d. Pembengkakan pada tulang biasa ditemukan terutama pada tangan sebagai
nodus Heberden (karena adanya keterlibatan sendi Distal Interphalangeal
(DIP)) atau nodus Bouchard (karena adanya keterlibatan sendi Proximal
Phalangeal (PIP)). Pembengkakan pada tulang dapat menyebabkan
penurunan kemampuan pergerakan sendi yang progresif.
e. Deformitas sendi : pasien seringkali menunjukkan sendinya perlahan-lahan
mengalami pembesaran, biasanya terjadi pada sendi tangan atau lutut
(Davey, 2006).
6. Pemeriksaan Penunjang
Untuk menentukan diagnostik OA selain melalui pemeriksaan fisik juga
diperlukan pemeriksaan penunjang seperti radiologis dan pemeriksaan
laboratorium. Foto polos dapat digunakan untuk membantu penegakan diagnosis
OA walaupun sensivitasnya rendah terutama pada OA tahap awal. USG juga
menjadi pilihan untuk menegakkan diagnosis OA karena selain murah, mudah
diakses serta lebih aman dibanding sinar-X, CT-scan atau MRI (Amoako dan
Pujalte, 2014).
a. Radiologi
Setiap sendi yang menyangga berat badan dapat terkena osteoartritis, seperti
panggul, lutut, selain itu bahu, tangan, pergelangan tangan, dan tulang
belakang juga sering terkena. Gambaran radiologi OA sebagai berikut:

11
1) Pembentukan osteofit: pertumbuhan tulang baru (semacam taji) yang
terbentuk di tepi sendi.
2) Penyempitan rongga sendi : hilangnya kartilago akan menyebabkan
penyempitan rongga sendi yang tidak sama.
3) Badan yang longgar : badan yang longgar terjadi akibat terpisahnya
kartilago dengan osteofit.
4) Kista subkondral dan sklerosis: peningkatan densitas tulang di sekitar
sendi yang terkena dengan pembentukan kista degeneratif
Bagian yang sering terkena OA
1) Lutut :
a) Sering terjadi hilangnya kompartemen femorotibial pada rongga
sendi.
b) Kompartemen bagian medial merupakan penyangga tubuh yang
utama, tekanannya lebih besar sehingga hampir selalu menunjukkan
penyempitan paling dini.
2) Tulang belakang :
a) Terjadi penyempitan rongga diskus.
b) Pembentukan tulang baru (spuring/pembentukan taji) antara vertebra
yang berdekatan sehingga dapat menyebabkan keterlibatan pada akar
syaraf atau kompresi medula spinalis.
c) Sklerosis dan osteofit pada sendi-sendi apofiseal invertebrata
3) Panggul :
a) Penyempitan pada sendi disebabkan karena menyangga berat badan
yang terlalu berat, sehingga disertai pembentukan osteofit femoral
dan asetabular.
b) Sklerosis dan pembentukan kista subkondral.
c) Penggantian total sendi panggul menunjukkan OA panggul yang
sudah berat.
4) Tangan :
a) Biasanya mengenai bagian basal metakarpal pertama.
b) Sendi-sendi interfalang proksimal (0nodus Bouchard).
c) Sendi-sendi interfalang distal (nodus Heberden) (Patel, 2007).

12
7. Klasifikasi
Menurut Kellgren dan Lawrence osteoartritis dalam pemeriksaan
radiologis diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Grade 0: Normal, Tidak tampak adanya tanda-tanda OA pada radiologis.
b. Grade 1: Ragu-ragu, tanpa osteofit.
c. Grade 2: Ringan, osteofit yang pasti, tidak terdapat ruang antar sendi.
d. Grade 3: Sedang, osteofit sedang, terdapat ruang antar sendi yang cukup
besar.
e. Grade 4: Berat atau parah, osteofit besar, terdapat ruang antar sendi yang
lebar dengan sklerosis pada tulang subkondral.

Tabel 1. Klasifikasi osteoartritis menurut Kellgren dan Flawrence (dalam


Petersson, et. al, 2014)

Klasifikasi osteoartritis berdasarkan pemeriksaan radiologis menurut Kellgren dan


Flawrence
Tingkatan 0 1 2 3 4
Radiografi
Klasifikasi Normal Ragu-ragu Ringan Sedang Berat
Deskripsi Tanpa Tanpa Osteofit Osteofit Osteofit
osteofit osteofit yang pasti, yang yang besar,
tetapi tidak sedang, dan ruang antar
terdapat terdapat sendi yang
ruang antar ruang antar lebar,
sendi sendi yang dengan
cukup sklerosis
besar pada tulang
subkondral

13
American College of Rheumatology (1987) mendeskripsikan kesehatan
seseorang berdasarkan derajat keparahan. Antara lain sebagai berikut:
1) Derajat 0 : Tidak merasakan tanda dan gejala.
2) Derajat 1 : Terbentuk taji kecil, nyeri dirasakan ketika beraktifitas cukup
berat, tetapi masih bisa dilokalisir dengan cara mengistirahatkan sendi
yang terkena osteoartritis.
3) Derajat 2 : Osteofit yang pasti, mungkin terdapat celah antar sendi, nyeri
hampir selalu dirasakan, kaku sendi pada pagi hari, krepitus,
membutuhkan bantuan dalam menaiki tangga, tidak mampu berjalan
jauh, memerlukan tenaga asisten dalam menyelesaikan pekerjaan rumah.
4) Derajat 3-4 : Osteofit sedang-berat, terdapat celah antar sendi,
kemungkinan terjadi perubahan anatomis tulang, nyeri disetiap hari,
kaku sendi pada pagi hari, krepitus pada gerakan aktif sendi,
ketidakmampuan yang signifikan dalam beraktivitas (Woolf dan Pfleger,
2003).
8. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan pada OA untuk mengurangi tanda dan gejala OA,
meningkatkan kualitas hidup, meningkatkan kebebasan dalam pergerakan sendi,
serta memperlambat progresi osteoartritis. Spektrum terapi yang diberikan
meliputi fisioterapi, pertolongan ortopedi, farmakoterapi, pembedahan,
rehabilitasi.
a. Terapi konservatif
Terapi konservatif yang bisa dilakukan meliputi edukasi kepada pasien,
pengaturan gaya hidup, apabila pasien termasuk obesitas harus mengurangi
berat badan, jika memungkinkan tetap berolah raga (pilihan olah raga yang
ringan seperti bersepeda, berenang).
b. Fisioterapi
Fisioterapi untuk pasien OA termasuk traksi, stretching, akupuntur,
transverse friction (tehnik pemijatan khusus untuk penderita OA), latihan
stimulasi otot, elektroterapi.
c. Pertolongan ortopedi
Pertolongan ortopedi kadang-kadang penting dilakukan seperti sepatu
yang bagian dalam dan luar didesain khusus pasien OA, ortosis juga

14
digunakan untuk mengurangi nyeri dan meningkatkan fungsi sendi (Michael
et. al, 2010).
d. Farmakoterapi
1) Analgesik / anti-inflammatory agents.
COX-2 memiliki efek anti inflamasi spesifik. Keamanan dan kemanjuran
dari obat anti inflamasi harus selalu dievaluasi agar tidak menyebabkan
toksisitas.
Contoh: Ibuprofen : untuk efek anti inflamasi dibutuhkan dosis 1200-
2400mg sehari.
Naproksen : dosis untuk terapi penyakit sendi adalah 2x250- 375mg
sehari. Bila perlu diberikan 2x500mg sehari.
2) Glucocorticoids
Injeksi glukokortikoid intra artikular dapat menghilangkan efusi sendi
akibat inflamasi.
Contoh: Injeksi triamsinolon asetonid 40mg/ml suspensi hexacetonide 10
mg atau 40 mg.
3) Asam hialuronat
4) Kondroitin sulfat
5) Injeksi steroid seharusnya digunakan pada pasien dengan diabetes yang
telah hiperglikemia.
Setelah injeksi kortikosteroid dibandingkan dengan plasebo, asam
hialuronat, lavage (pencucian sendi), injeksi kortikosteroid dipercaya
secara signifikan dapat menurunkan nyeri sekitar 2-3 minggu setelah
penyuntikan (Nafrialdi dan Setawati, 2007).
e. Pembedahan
1) Artroskopi merupakan prosedur minimal operasi dan menyebabkan rata
infeksi yang rendah (dibawah 0,1%). Pasien dimasukkan ke dalam
kelompok 1 debridemen artroskopi, kelompok 2 lavage artroskopi,
kelompok 3 merupakan kelompok plasebo hanya dengan incisi kulit.
Setelah 24 bulan melakukan prosedur tersebut didapatkan hasil yang
signifikan pada kelompok 3 dari pada kelompok 1 dan 2.
2) Khondroplasti : menghilangkan fragmen kartilago. Prosedur ini
digunakan untuk mengurangi gejala osteofit pada kerusakan meniskus.
3) Autologous chondrocyte transplatation (ACT)

15
4) Autologous osteochondral transplantation (OCT) (Michael et. al, 2010).
9. Faktor Risiko
a. Perbedaan ras
Perbedaan ras menunjukkan distribusi sendi OA yang terkena, misalnya rata-
rata wanita dengan Ras Afrika-Amerika terkena OA lutut lebih tinggi
daripada wanita ber ras Kaukasia. Ras Afrika hitam, China, dan Asia-Hindia
menunjukkan prevalensi OA panggul dari pada ras Eropa-Kaukasia.
b. Usia
Gejala dan tanda pada radiologi OA lutut sangat banyak dideteksi sebelum
usia 40 tahun. Bertambahnya usia, insiden OA juga semakin meningkat.
Insiden meningkat tajam pada usia sekitar 55 tahun.
c. Faktor genetik
Faktor genetik merupakan faktor penting. Anak perempuan dengan ibu yang
memiliki OA berisiko lebih tinggi dari pada anak laki-laki karena OA
diwariskan diwariskan kepada anak perempuan secara dominan sedangkan
pada laki-laki diwariskan secara resesif. Selain itu genetik menyumbang
terjadinya OA pada tangan sebanyak 65%, OA panggul sebanyak 50%, OA
lutut sebanyak 45%, dan 70% OA pada cervical dan spina lumbar.
d. Obesitas
Obesitas merupakan faktor penting terkait perkembangan OA pada lutut
tetapi hubungan ini lebih kuat pada wanita. Risiko terjadinya OA dua kali
lebih besar pada orang dengan berat badan berlebih dari pada kelompok
orang dengan berat badan normal. Selain itu dilihat dari perubahan
radiologis, obesitas merupakan prediktor ketidakmampuan yang progresif.
Tetapi hubungan ini tidak jelas pada OA panggul dan OA tangan.
e. Riwayat bedah lutut atau trauma
Trauma pada sendi merupakan faktor risiko berkembangnya penyakit OA.
Hal ini dikarenakan kemungkinan adanya kerusakan pada mayor ligamen,
tulang pada sekitar sendi tersebut. Trauma merupakan faktor risiko pada OA
lutut karena kerusakannya bisa menyebabkan perubahan pada meniskus, atau
ketidakseimbangan pada anterior ligamen krusial dan ligamen kolateral.
f. Aktivitas berat yang berlangsung lama
Penggunaan sendi dalam aktivitas berat yang berlangsung lama menjadi
faktor risiko berkembangnya penyakit OA. Pekerjaan seperti kuli angkut

16
barang, memanjat menyebabkan peningkatan OA lutut, hal ini biasanya
terjadi pada laki-laki. Selain itu kebiasaan yang membungkuk terlalu lama
seperti petani, atau tukang cuci meningkatkan risiko terjadinya OA panggul.
Altet olahraga wanita ataupun lelaki menunjukkan faktor risiko besar
terjadinya OA lutut dan panggul (Sambrook et. al, 2005).

B. Nyeri
1. Definisi
Rasa nyeri merupakan rasa yang sering dikeluhkan oleh pasien osteoartritis
kepada dokter pada awal mula datang ke pelayanan kesehatan atau Rumah Sakit.
Rasa nyeri merupakan kunci penting yang menunjukkan arah pasien tersebut
sedang mengalami ketidakmampuan. International Association for the Study of
Pain (IASP) mendefinisikan nyeri sebagai pengalaman sensori dan emosional
yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual dan
potensial (Melzack, 2009). Nyeri merupakan ungkapan suatu proses patologik
dalam tubuh kita. Nyeri dapat diungkapkan sebagai rasa kemeng, ngilu, linu,
sengal ataupun pegal. Nyeri yang bersumber pada visera bersifat difus, biasanya
berasal dari otot skelet sehingga sering dinyatakan sebagai rasa pegal, nyeri
osteogenik sering dinyatakan sebagai kemeng, linu, atau ngilu, sedangkan nyeri
yang bersumber dari saraf perifer bersifat tajam dan menjalar (Mardjono dan
Sidharta, 2009). Seseorang dengan nyeri OA akan terjadi disfungsi sendi dan
otot sehingga akan mengalami keterbatasan gerak, penurunan kekuatan dan
keseimbangan otot. Sekitar 18% mengalami kesulitan dan keterbatasan dalam
beraktifitas, kehilangan fungsi kapasitas kerja dan penurunan kualitas hidup
(Reis et al, 2014).
2. Klasifikasi Nyeri
a. Nyeri neuromuskuloskeletal non-neurogenik
Nyeri yang dirasakan pada anggota gerak akibat proses patologik pada
jaringan yang dilengkapi dengan serabut nyeri. Misalnya altralgia yaitu nyeri
yang disebabkan karena proses patologik pada persendian, mialgia
merupakan nyeri yang disebabkan proses patologis pada otot, dan entesialgia
merupakan proses patologik yang terjadi akibat proses patologik di tendon,
fasia, jaringan miofasial dan periosteum). Proses patologis tersebut bisa
disebabkan karena adanya bakteri, proses imunologis, non-infeksi atau

17
perdarahan sehingga menyebabkan inflamasi pada daerah tersebut. Nyeri
bisa diungkapkan dengan ketika dengan penekanan atau ketika anggota
tubuh tersebut digerakkan secara pasif atau aktif.
b. Nyeri neuromuskuloskeletal neurogenik
Nyeri yang diakibatkan iritasi langsung pada serabut saraf sensorik perifer.
Ciri khas dari nyeri neurogenik adalah nyeri menjalar sepanjang kawasan
distal saraf yang bersangkutan dan penjalaran nyeri berpangkal pada saraf
yang terkena. Serabut syaraf sensorik perifer menyusun rasiks posterior,
saraf spinal, pleksus, fasikel dan segenap saraf perifer.
c. Nyeri radikuler
Nyeri yang berasal dari radiks posterior. Radiks anterior dan posterior yang
bergabung menjadi satu berkas di foramen intervertebra, berkas ini
dinamakan saraf spinal. Segala bentuk yang merangsang serabut saraf
sensorik dan foramen intervertebra dapat menimbulkan nyeri radikuler, yaitu
nyeri yang terasa pada tulang belakang tertentu dan menjalar sepanjang
kawasan radiks yang bersangkutan. Misalnya pada herpes zooster dirasakan
nyeri radikular di T5, nyeri radikular pada hernia nukleus pulposus (HNP).
Selain itu nyeri radikular yang menjalar sepanjang lengan sering disebut
dengan brakialgia, serta nyeri yang terasa menjalar sepanjang tungkai
dinamakan iskialgia (Mardjono dan Sidharta, 2009).
3. Pengukuran Nyeri
Intensitas nyeri dapat di ukur dengan menggunakan Visual Analog Scales
(VAS) atau menggunakan Numerical Rating Scales (NRS) dalam praktek klinis
sehari-hari. Penelitian sebelumnya menyarankan untuk menggunakan NRS
untuk mengevaluasi nyeri ringan, sedang ataupun nyeri berat. The Brief Pain
Inventory (BPI) menyatakan dengan menggunakan NRS sebagai alat
pengukuran nyeri karena NRS melaporkan intensitas nyeri dan gangguan nyeri.
Selain itu Canadian Occupational Performance Measure digunakan untuk
mendeteksi pengaruh terapi yang diberikan kepada pasien. Hal ini mendorong
pasien secara aktif dalam menjalani intervensi terapi. Instrumen yang meliputi
gambaran nyeri atau kuesioner deskripsi adalah McGill Pain Questionaire (The
British Pain Society’s, 2013). Western Ontario McMaster Osteoarthritis Index
(WOMAC) merupakan kuesioner spesifik untuk menilai nyeri, kekakuan sendi
dan kapasitas fungsi pada pasien osteoartritis. Uji validitas NRS yang dilakukan

18
oleh Ornetti dkk. dengan membandingkan NRS pada WOMAC mendapatkan
hasil bahwa NRS merupakan psikometer yang baik hampir mirip dengan skala
WOMAC dan dapat di konfirmasi sebagai instrumen evaluasi pada osteoartritis
(Ornetti et. al, 2011). NRS memiliki angka 0-10 dimana 0 menunjukkan tidak
terdapat nyeri sedangkan 10 menunjukkan nyeri yang buruk. NRS lebih mudah
dimengerti daripada VRS (Breivik et. al, 2008).

19
BAB 111

TINJAUAN KASUS

A. Pengkajian

1. Tanggal pengkajian: 06 oktober 2018

2. Identitas pasien

Nama : Oma K

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 86 tahun

Alamat : Jl. Jati baru gang 5 Kombongan Tanah Abang

Agama : Protestan

Status Perkawinan : Janda

TB/BB : 143cm/ 40kg

Suku : Chineese Tionghoa

Pendidikan : Tidak Sekolah

Penampilan : Kulit sawo matang, penampilan bersih, tampak keriput,

rambut putih.

Ciri-ciri tubuh : wajah tampak tua keriput, warna kulit putih, rambut putih,

Postur tubuh membungkuk, kyphosis.

B. Riwayat Keluarga

Genogram :

20
C. Riwayat Pekerjaan

Pekerjaan saat ini : Klien K saat ini tidak bekerja karena tinggal di Panti.

Pekerjaan sebelumnya : Klien sebelumnya bekerja sebagai asisten rumah tangga.

D. Riwayat Lingkungan Hidup

Tipe Tempat Tinggal : Panti

Jumlah kamar : Ruang Mawar terdiri dari 4 kamar

Jumlah orang yang tinggal : 40 orang

Drajat Privasi : Kurang

Tetangga Terdekat : sesama yang tinggal di panti beda wisma

E. Riwayat Rekreasi

Hobi/minat : Memasak

Keanggotaan Organisasi : Klien mengatakan sering mengikuti senam, dan

kebaktian apabila ada yang membawa turun ke

bawah.

Liburan/perjalanan : klien mengatakan hanya tinggal di panti dan tidak

pernah berlibur.

F. Sistem Pendukung

Perawat/Bidan/Dokter/Fisioterapi : Ada

Jarak dari rumah : - km

Rumah Sakit : Ada

Jaraknya :-

Klinik : Ada di Panti

Makanan yang dihantarkan : Klien mengatakan mendapat makanan dari panti

Perawatan sehari-hari yang dilakukan keluarga : Klien mengatakan dalam melaku

kan aktivitas dibantu sebagian oleh teman2 panti.

21
G. Diskripsi Kekhususan

Kebiasaan ritual : Klien mengatakan mengikuti kebaktiaan 2 kali seminggu yaitu

Senin – kamis.

Yang lainnya : tidak ada

H. Status Kesehatan

Status kesehatan umum selama setahun yang lalu

Klien mengatakan sakit darah tinggi, gatal-gatal dan kemerahan pada lipatan perut

nyeri pada sendi di lutut.

Status kesehatan umum selama 5 tahun yang lalu

Klien mengatakan sejak 5 tahun yang lalu tekanan darah naik turun, dan nyeri

pada sendi di lutut akibat terjatuh, dan semenjak itu klien mengalami kesulitan ber

jalan, klien tampek mengeluhkan nyeri pada kedua lutut, bila berjalan nyeri akan

semakin terasa, nyeri scala 3.

Pemahaman dan Penatalaksanaan Masalah Kesehatan

Klien mengatakan paham apabila terkena darah tinggi itu tidak boleh makan yang

asin-asin, namun untuk penyakit nyeri yang diderita tidak tahu penyebabnya.

Obat-obatan

No Nama Obat Dosis Keterangan


1 Amlodipne 5 mg 1 kali pagi hari
2 Vitamin B complek 1 tablet 1 kali pagi hari

Alergi (catatan agen dan reaksi spesifik)

Obat-obatan : tidak ada

Makanan : tidak ada

Faktor lingkungan : tidak ada

Penyakit yang diderita : Osteoartritis

22
I. Aktivitas Hidup Sehari-hari (ADL)

Indeks Kats : Klien K memiliki score B ( kemandirian dalam semua aktivitas

hidup sehari-hari kecuali satu dari fungsi tersebut)

Oksigenisasi : Pergerakan dinding dada simetris, suara paru vesikuler, pengem

bangan paru kanan dan kiri baik, frekuensi 20x/mnt.

Cairan & Elektrolit : Klien mengatakan minum sedikit-sedikit agar tidak sering

ganti diapers.

Nutrisi : Klien makan 3 kali perhari dengan porsi sedikit-sedikit tapi sering

Karena klien mengatakan mudah kenyang.

Eliminasi : Bab 5hari sekali, bab lancar apabila memakan pepaya

Bak sering dengan menggunakan diapers.

Aktivitas : Aktivitas dan kebutuhan klien dibantu sebagian, dengan score

Indeks bartel (IB) : 11 (Ketergantungan sedang) , bila berdiri tanpa

memegang kursi tidak mampu dengan score skala keseimbangan

BERG 12, sehingga klien membutuhkan manajemen lingkungan

Pencegahan resiko jatuh.

Istirahat & tidur : Klien kadang terbangun dari tidur karena mau bak.

Personal hygiene : Klien tampak bersih, berpakaian rapih dan bersih, ganti baju

Setiap hari, klien tidak berbau, kuku kaki dan tangan tampak bersih

Klien mandi 2 kali sehari dengan air dan sabun mandi tanpa bantuan

orang lain.

Seksual : tidak ada masalah

Rekreasi : klien tidak pernah rekreasi selama tinggal di panti.

Psikologis : Klien mengatakan memiliki harapan bila suatu hari Tuhan menge

tuk pintu hati kedua anaknya untuk mau menjemput dan mengu

rusnya disisa usianya.

23
Persepsi klien

Konsep diri :

Emosi : Klien tampak tenang

Adaptasi : Klien tampak mampu bersosialisasi dengan sesama teman dipanti, tampak

Interaksi yang harmonis dan erat dengan perawat dan petugas panti.

Mekanisme pertahanan diri :

J. Tinjauan Sistem

1. Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda vital dan status gizi
Tekanan Darah :110/70 mmHg
Suhu :36oC
Nadi :100x/menit
Respiratori :20x/menit
Berat badan :40Kg
Tinggi badan :143Cm

2. Pengkajian Head to toe


1. Kepala
Bentuk kepala simestris, kulit kepala bersih, tidak ada kerontokan rambut,
rambut bersih tidak ada keluhan.
2. Mata
Bentuk mata simetris, konjungtiva berwarna merah muda, sklera berwarna
putih, tidak strabismus, penglihatan kabur, klien tidak menggunakan kaca
mata.
3. Hidung
Bentuk hidung simetris, tidak ada peradangan, penciuman normal.
4. Mulut dan tenggorokan
Bentuk mulut simetris, bersih, mukosa kering, tidak ada stomatitis, gigi tidak
lengkap, ada kesulitan mengunyah.
5. Telinga
Bentuk simetris, bersih, tidak ada peradangan, pendengaran normal.
6. Leher
Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid.
7. Dada
Bentuk dada normal, tidak ada benjolan/jejas, tidak ada suara nafas tambahan.
8. Abdomen
Bentuk simetris, tidak ada jejas, luka, perut tidak kembung, tidak ada nyeri
tekan, bising usus 18x/menit.

24
9. Genetalia
Klien rajin menjaga kebersihan daerah kewanitaanya.
10. Ekstremnitas
Kekuatan otot skala 4 (gerakan penuh normal melawan gravitasi dan melawan
tahanan minimal), postur tubuh maju ke depan (kifosis), ada keterbatasan
rentang gerak pada kedua kaki , klien terlihat memakai kursi dan selalu
berpegangan pada kursi apabila berjalan. Nyeri pada saat berjalan, nyeri
seperti ditusuk-tusuk, pada kedua kaki, dengan skala 5, pada saat beraktivitas.
Adanya pembengkakan pada kedua lutut.
Refleks Kanan Kiri
Biceps + +
Triceps + +
Knee + -
Achiles + +
Keterangan:
Refleks (+) :Normal
Refleks (- ) :Menurun/Meningkat

3. Pengkajian INDEKS KATZ (indeks kemandirian pada aktivitas kehidupan sehari-


hari)
Dari hasil pengkajian INDEKS KATZ klien dapat diambil kesimpulan bahwa
klien berada pada skor B yaitu klien dapat melakukan semua aktivitas kehidupan
sehari-hari kecuali satu dari fungsi tersebut.

4. Pengkajian kemampuan intelektual


Menggunakan SPMSQ (short portable mental status Quesioner) setelah diajukan
beberapa pertanyaan (10 pertanyaan) sesuai dengan format SPMSQ klien dapat
menjawab semua pertanyaan dengan jumlah nilai jawaban yang benar 5 dan
jawaban yang salah 5. Dapat diambil kesimpulan fungsi intelektual klien
menglami kerusakan ringan.

5. Pengkajian kemampuan aspek kognitif


Menggunakan MMSE (Mini Mental Status Exam) untuk aspek kongnitif klien
yang meliputi orientasi, registrasi, perhatian dan kalkulasi, mengingat dan bahasa
klien ada gangguan kognitif sedang. Klien tidak mampu menjawab semua
pertanyaan, dengan skor akhir 21.

6. Pengkajian inventaris depresi Beck untuk mengetahui tingkat depresi lansia dari
Beck dan Deck
Dari hasil pengkajian inventaris Depresi Beck klien tidak depresi atau minimal.
Total penilaiannya klien dapat nilai 3 yaitu dalam batas depresi tidak ada atau
minimal (0-4).

25
B. Analisa Data

No Data Etiologi Masalah


DS: klien mengatakan nyeri pada Reaksi autoimun
lutut, saat dibuat beraktivitas yang menyerang
atau pada waktu tidur, nyeri membran sinovial
seperti ditusuk-tusuk pada
1. kaki sebelah kiri, skala nyeri
5 dari 1-10. Inflamasi/peradangan Nyeri Kronis
DO: klien tampak meringis, klien
tampak memegangi lututnya
sebelah kiri, terdapat Nyeri kronis
pembengkakan pada daerah
lutut klien.
DS: klien mengatakan apabila Kelemahan otot
berjalan klien merasa takut
jatuh karena rasa nyeri di
2. lututnya, penglihatan kabur. Resiko Cedera Resiko Cedera
DO: klien tampak berjalan pelan-
pelan, berjalan dengan
menggunakan bantuan kursi,
kekuatan otot skala 4 adanya
keterbatasan rentang gerak
pada kaki.
DS: klien mengatakan tidak Kurangnya informasi
paham dan tidak mengerti tentang penyakit
3. tentang penyakit yang Defisit Pengetahuan
dideritanya
DO: klien tampak bingung Defisit Pengetahuan
apabila ditanya tentang
penyakit yang diderita, dan
menanyakan penyakitnya
secara berulang-ulang,
SPMSQ : kerusakan ringan
dengan skala nilai 5, MMSE
: gangguan kognitif sedang
dengan skor akhir 21.

C. Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri Kronis
2. Resiko Cedera
3. Defisit Pengetahuan

D. Rencana Asuhan Keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan KH Intervensi Rasional


Keperawatan
1. Nyeri Kronis Setelah dilakukan - Bina hubungan - Klien senang dan

26
tibdakan keperawatan saling percaya kooperatif
selama 7x24 jam dengan klien - Untuk mengetahui
diharapkan klien menggunakan lokasi, karakteristik,
merasa nyeri komunikasi kualitas dan
berkurang dengan terapeutik perubahan skala
kriteria hasil: - Tentukan lokasi, nyeri
-klien merasa nyaman karakteristik, - Untuk pengalihan
dengan skala nyeri (1) kualitas dan rasa nyeri supaya
- klien mampu perubahan skala klien tidak berfokus
mengenal rasa nyeri nyeri pada nyeri
- klien dapat - Ajarkan tehnik - Untuk
beraktivitas dengan relaksasi tarik meningkatkan
normal nafas dalam relaksasi dan
-tanda-tanda vital - Anjurkan klien mobilitas
dalam batas normal mengompres - Untuk mengetahui
TD: 120/80 lututnya dengan keadaan umum klien
N:100X/menit air hangat
RR: 22x/manit - Monitor tanda-
S: 37oC tanda vital
2. Resiko Setelah dilakukan - anjurkan klien - meminimalkan
Cedera tibdakan keperawatan untuk resiko tinggi cedera
selama 7x24 jam berpegangan - untuk menjaga
diharapkan klien pada objek yang kestabilan kondisi
dapat meminimalkan ada fisik klien
resiko cedera dengan (disekitarnya) - agar klien paham
kriteria hasil: apabila berjalan dan mengerti
- Klien tidak jatuh - anjurkan klien - untuk mengetahui
- Klien dapat untuk banyak keadaan umum klien
mempertahankan istrahat
keselamatan fisik - berikan HE
- Klien dapat (healt education)
beraktivisat dengan kepada klien
normal tentan resiko
- tanda-tanda vital cedera
dalam batas normal - observasi tanda-
TD: 120/80 tanda vital
N:100X/menit
RR: 22x/manit
S: 37oC
3. Defisit Setelah dilakukan - Berikan - Agar klien paham
Pengetahuan tibdakan keperawatan penjelasan dan mengerti akan
selama 7x24 jam mengenai proses penyakit yang
diharapkan klien penyakit dan diderita
paham dan mengerti pengobatanya - Untuk mengetahui
tentang penyakit yang - Jelaskan pada penatalaksanaan
di derita dengan klien tentang klien mengatasi
kriteria hasil: kebiasaan dalam sakitnya dan untuk
- Menunjukan mengonsumsi mempertahankan
pemahaman tentang obat, latihan dan fungsi sendi dan
penyakit dan istrahat mencegah deformita

27
pengobatanya - Berikan - Sebagai alat bantu
- Klien tidak informasi untuk memudahkan
menanyakan lagi mengenai alat klien beraktivitas
penyakitnya secara bantu missalnya:
berulang-ulang tongkat dan
palang keamanan

BAB 1V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil tinjauan teoritis yang telah dijelaskan pada Bab-Bab sebelumnya,
maka kesimpulan yang dapat di ambil dari Laporan Pendahuluan ini adalah
peningkatan lansia khususnya di Indonesia akan menimbulkan terjadinya fenomena
yang akan mempengaruhi aspek kehidupan lansia, diantaranya perubahan fisik,
biologis, psikologis, sosial, dan munculnya penyakit degeneratif akibat proses
penuan tersebut. Penyakit degeneratif yang dialami lansia dalam masa tua merupakan
suatu proses alami yang akan terjadi oleh setiap makhluk hidup. Dimasa usia lanjut
merupakan masa yang tidak bisa dihindari bagi orang yang dikaruniai umur panjang
dan para lansia harus melewati masa dimana akan terjadinya proses penuaan. Proses
penuaan ini terjadi karena adanya beberapa faktor yang mempengaruhi proses
tersebut. Faktor yang mempengaruhi proses penuaan tersebut terjadi secara fisiologis
dan patofisiologis. Seorang lansia akan mengalami penuaan fisiologis (fisiological
aging), diharapkan mereka tua dalam keadaan sehat. Penuaan ini sesuai dengan
kronologis usia yang dipengaruhi oleh faktor endogen dan faktor eksogen. Faktor
endogen dalam proses perubahan ini dimulai dari sel jaringan organ sistem dalam
tubuh. Faktor lain yang juga ikut berpengaruh dalam proses penuaan yaitu faktor
eksogen seperti lingkungan, sosial budaya, gaya hidup, dan pola hidup dari lansia itu
sendiri, salah satu penyakit yang sering terjadi pada lansia yaitu Gout Artritis.
Reumatoid Atritis adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian (biasanya
sendi tangan dan kaki) mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan,
nyeri dan sering kali menyebabkan kerusakan pada bagian dalam sendi dan Penyebab

28
penyakit rheumatoid arthritis belum diketahui secara pasti, namun faktor
predisposisinya adalah mekanisme imunitas (anti gen-anti bodi).

B. Saran

Sebagai perawat hendaknya kita mengerti dan memahami tentang Osteoartritis,


dengan memahami Osteoartritis diharapkan kita dapat melaksanakan asuhan
keperawatan tentang penyakit tersebut dengan benar.

Daftar Pustaka

Nasrullah (2016). Buku Ajar Keperawatan Gerontik Jilid 1 Dengan Pendekatan Asuhan
keperawatan NANDA NIC dan NOC. Jakarta: CV.TRANS INFO MEDIA.

Nurarif. A.H. dan Kusuma. H (2013). APLIKASI Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC Jilid 2. Jakarta: EGC

PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia : Definisi Dan Indikator


Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

29

Anda mungkin juga menyukai