Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Malaria adalah penyakit menular yang disebabkan plasmodium, yaitu

mahkluk hidup bersel satu yang termasuk ke dalam kelompok protozoa. Malaria

ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles betina yang mengandung

plasmodium di dalamnya. Data WHO 2014 mencatat 198 juta kasus malaria

terjadi secara global dan menjadi penyebab 584000 kematian di tahun 2013.

Infeksi malaria banyak terjadi di berbagai belahan dunia terutama daerah tropis

dan sub tropis termasuk Indonesia (Laurence, 2015).

Di Indonesia, permasalahan malaria cenderung menurun. Pada tahun

2010, di Indonesia terdapat 465764 kasus positif malaria dan angka ini menurun

pada tahun 2015 menjadi 209413 kasus. Malaria masih menjadi penyebab

tertinggi kematian pada bayi, balita dan ibu hamil serta menurunkan produktivitas

kerja dan memiliki kecenderungan untuk terus meningkat. Lemahnya imunitas

merupakan salah satu penyebab kematian penderita malaria pada usia anak (Kuby,

1997).

Data terbaru dari WHO (2016) menyatakan resistensi artemisin telah

muncul di daerah-daerah di perbatasan Kamboja-Thailand, sementara juga diduga

telah menyebar ke daerah lain di Kamboja, Myanmar, Thailand, dan Vietnam.

Resistensi terhadap dihydroartemisinin-Piperaquine, yang pertama terdeteksi di

Kamboja pada tahun 2008, dan telah menyebar ke arah timur dan terdeteksi di

Vietnam pada tahun 2015. Pemilihan antimalaria yang tepat didasarkan pada

1
khasiat obat untuk melawan parasit malaria, sehingga dibutuhkan pencarian obat

antimalaria baru, murah, tersedia secara rutin oleh masyarakat terutama pada

negara-negara berkembang. Dengan demikian masyarakat di wilayah endemik

mendapatkan solusi pengobatan malaria dari bahan-bahan alami.

Kayser et al., (2000) mengatakan banyak senyawa alam dari tumbuhan

yang dapat dijadikan sebagai antimalaria alternatif pengganti obat malaria yang

sudah resisten terhadap parasit. Menurut Dzulkarnain (1998) tanaman obat di

Indonesia dapat dijadikan sebagai antimalaria, yang bersifat antiplasmodia dan

juga bersifat meningkatkan daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit malaria.

Adanya pemberian tanaman obat tersebut terbukti dapat memperpanjang umur

mencit yang terserang malaria dengan mencegah kerusakan pada hati dan limpa.

Obat malaria bukan merupakan satu-satunya obat untuk menyembuhkan penyakit

infeksi. Infeksi plasmodium akan menimbulkan respon imun hospes yaitu dengan

adanya reaksi radang, hal tersebut bergantung pada derajat infeksinya. Respon

imun terhadap malaria terjadi melalui dua cara, yaitu kekebalan bawaan dan

kekebalan yang didapat yang terjadi secara aktif (pertahanan hospes terhadap

infeksi) dan pasif (dari ibu ke bayinya). Mekanisme respon imun bekerja dengan

cara membatasi kelainan klinis dan menekan jumlah parasit dalam darah

(Voravout. 2016).

Sirsak (Annona muricata L.) merupakan salah satu tanaman dari famili

Annonaceae yang banyak tumbuh di daerah tropis dan subtropis (Mahmiah,

2006). Seluruh bagian tumbuhan telah dikenal sebagai tanaman obat di daerah

tropis (Baskar. dkk., 2007; Mahmiah, 2006). Ekstrak Annona muricata berkhasiat

sebagai antioksidan (Baskar., et.al. 2007), antiimflamasi (Patel., et.al. 2010),

2
antimikroba (Takahashi., et.al. 2006), antiparasit (Osorio., et.al. 2007),

antidiabetes (Adewole., et.al 2009), antihiperlipidemia (Adeyemi., et.al. 2008),

hepatoprotektor (Padma., et.al. 1999) dan antikanker (Adeyemi., et.al 2008).

Beberapa hasil penelitian Oreagba, dkk (2013) pada mencit diberikan

ekstrak etanol daun sirsak dan buah sirsak menunjukan aktivitas antimalaria.

Daun sirsak (dosis 150 mg/kg) menunjukan aktivitas inhibisi parasitemia yang

lebih tinggi dibandingkan ekstrak buah sirsak (20 mg/ml). Selain itu, penelitian

Voravuth Somsak (2016) juga menunjukan ekstrak daun sirsak dengan dosis 1000

mg/kg menunjukan persentase inhibisi parasitemia tertinggi 85,61% terhadap

mencit yang diinfeksikan P. berghei. Waktu kelangsungan hidup mencit panjang,

dengan terbukti tidak ada kematian pada mencit yang diamati dengan pemberian

ekstrak ini hingga dosis 4000 mg/kg. Berdasarkan hasil tersebut, perlu

dikembangkan penelitian pada fraksinasi ekstrak etanol daun sirsak serta aktivitas

makrofag terhadap mencit yang terinfeksi P. berghei.

1.2 Perumusan Masalah

Adapun perumusan masalah pada penelitian ini :

a. Apakah fraksi n- heksan, etilasetat dan air daun sirsak akan mempengaruhi

angka parasitemia mencit yang terinfeksi P. berghei.

b. Fraksi mana dari ekstrak etanol daun sirsak yang lebih efektif sebagai

antimalaria terhadap angka parasitemia mencit yang terinfeksi P. berghei.

c. Bagaimana fraksi ekstrak etanol daun sirsak terhadap jumlah makrofag

yang memfagositosis lateks setelah diinfeksikan P. berghei pada mencit.

3
1.3 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah, maka hipotesis pada penelitian ini :

a. Fraksi n-heksan, etilasetat dan sisa daun sirsak memiliki efektivitas

antimalaria dengan menurunkan angka parasitemia mencit yang terinfeksi

P. berghei.

b. Salah satu fraksi daun sirsak memiliki efektivitas antimalaria yang lebih

baik dengan menurunkan angka parasitemia mencit yang terinfeksi P.

berghei.

c. Ada pengaruh fraksi ekstrak etanol daun sirsak terhadap jumlah makrofag

yang memfagositosis lateks setelah diinfeksi P. berghei pada mencit.

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:

a. Pengaruh ekstrak etanol pada fraksi n-heksan, etilasetat dan air daun sirsak

dalam menurunkan angka parasitemia pada mencit yang terinfeksi P.

berghei.

b. Fraksi terbaik ekstrak etanol daun sirsak yang memiliki efektivitas

antimalaria dengan menurunkan angka parasitemia mencit yang terinfeksi

P. berghei.

c. Pengaruh fraksi daun sirsak terhadap jumlah makrofag intraperitoneal

yang memfagositosis lateks setelah diinfeksi P. berghei pada mencit.

4
1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi

ilmiah khususnya di bidang ilmu kefarmasian bahwa fraksi n-heksan, fraksi

etilasetat dan sisa daun sirsak dapat digunakan di masyarakat sebagai obat

antimalaria.

1.6 Kerangka Penelitian

Penelitian dilakukan secara eksperimental yang meliputi pengumpulan

tumbuhan dan pengolahan sampel, pembuatan simplisia, pembuatan ekstrak

etanol, fraksi n-heksan, etilasetat, dari daun sirsak, karakterisasi sampel, skrining

fitokimia, penyiapan dan perlakuan hewan percobaan yakni mencit dengan galur

bablc dengan berat 25-30 g, kemudian diinfeksi dengan Plasmodium berghei,

pengujian aktivitas antimalaria yang terdiri dari lima kelompok dan pengujian

aktivitas makrofag pada mencit yang diinfeksikan Plasmodium berghei terdiri dari

empat kelompok. Penelitian dilakukan di Laboratorium Farmakologi Fakultas

Farmasi Universitas Sumatera Utara. Data hasil penelitian dianalisis dengan

program Statistic Product and Service Solutions (SPSS).

5
Variabel bebas Variabel Terikat Parameter

Mencit diinduksi
P.barghei

Fraksi n-heksan daun


sirsak dosis 150 mg/kg bb

Fraksi etilasetat daun Penurunan angka


parasitemia Jumlah Eritrosit
sirsak dosis 150 mg/kg bb

Fraksi air daun sirsak Jumlah Parasit


dosis 150 mg/kg bb Peningkatan
aktivitas makrofag Menghitung
Na-CMC 1 % jumlah sel
makrofag yang
Klorokuin 10 mg/kg bb memfagositosis
lateks

Gambar 1.1 Diagram kerangka penelitian

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Malaria

Malaria merupakan penyakit infeksi akut hingga kronik yang disebabkan oleh

satu atau lebih spesies Plasmodium yang dibawa oleh nyamuk Anopheles, ditandai

dengan panas tinggi bersifat intermitten, anemia, dan hepato-splenomegali. Untuk

memastikan diagnosis diperlukan pemeriksaan darah tepi (apusan tebal atau tipis)

untuk konfirmasi adanya parasit Plasmodium.

Ada empat spesies plasmodium penyebab malaria pada manusia yaitu

plasmodium falciparum, plasmodium vivax, plasmodium malariae, dan

plasmodium ovale. Plasmodium falciparum merupakan penyebab penyakit tropika

yang sering menyebabkan malaria berat/malaria otak yang fatal, gejala

serangannya timbul berselang setiap dua hari (48 jam) sekali. Plasmodium vivax

menyebabkan malaria vivax atau disebut juga malaria tertiana yang gejala

serangannya timbul berselang setiap tiga hari. Plasmodium malariae

menyebabkan malaria kuartana yang gejala serangannya timbul berselang setiap

empat hari. Plasmodium ovale ini jarang dijumpai di Indonesia, umumnya banyak

di Afrika, menyebabkan malaria ovale.

Malaria pada hewan pengerat disebabkan oleh empat spesies Plasmodium

yaitu Plasmodium berghei, Plasmodium chabaudi, Plasmodium yoelii,

Plasmodium vinckei. Plasmodium penyebab malaria pada hewan pengerat ini

telah terbukti analog dengan Plasmodium penyebab malaria pada manusia dalam

7
hal struktur sel, fisiologi dan siklus hidup. Beberapa alasan mengapa malaria pada

hewan pengerat dapat dijadikan model penelitian adalah :

a. Dasar biologi dari parasit pada manusia dan hewan pengerat adalah sama

b. Terdapat kesamaan karakteristik antara parasit pada manusia dan parasit

pada hewan pengerat dalam hal dasar molekuler sensitivitas dan resistensi

obat

c. Terdapat analogi dari organisasi genom dan genetika antara parasit pada

manusia dan pada hewan pengerat.

Tehnik kultur secara in vitro dan manipulasi berbagai stadium dalam skala

besar dapat dilakukan. Dan dari keempat spesies tersebut, Plasmodium berghei

yang paling banyak digunakan sebagai model dalam penelitian malaria karena

isolasi dan distribusinya lebih mudah dibandingkan dengan Plasmodium malaria

hewan pengerat lainnya.

2.1.1 Gejala Klinis

Pada penyakit malaria gejala klinik yang timbul adalah serangan demam yang

diikuti dengan gejala lainnya seperti mual, muntah, lesu, dan rasa nyeri pada

kepala, serta terjadi penurunan selera makan. Untuk masing – masing jenis

Plasmodium terdapat periode waktu yang berbeda ketika munculnya serangan

demam, dan hal inilah yang menjadi acauan untuk membedakan masing – masing

penyebab jenis malarianya. P.vivax dan P.ovale memiliki periodisitas tersian (48

jam) dan P malariae memiliki periodisitas kuartana (72 jam). Sedangkan P.

falciparum memiliki periodisitas yang tidak menentu dan dapat terjadi setiap hari.

Pada pasien malaria ditemukan juga adanya gejala seperti splenomegali dan

anemia. Splenomegali terjadi akibat kongesti dan banyaknya eritrosit yang

8
dihancurkan. Sedangkan anemia sangat jelas terlihat pada malaria falciparum dan

malaria menahun.

2.1.2 Klorokuin

Mekanisme kerja:

Untuk kelangsungan hidupnya Plasmodium falciparum memerlukan zat

makanan yang diperoleh dengan cara mencema hemoglobin dan vacuola makanan

yang bersifat asam. Hemoglobin yang dicema selain menghasilkan asam amino

yang menjadi nutrient bagi parasit, juga menghasilkan zat toksik yang disebut

ferryprotoporphyrin (FP IX). Klorokuin dan antimalaria yang mengandung cincin

quinolin lainnya membentuk kompleks dengan FP IX dalam vakuola. Kompleks

obat-FP IX tersebut sangat toksik dan tidak dapat bergabung membentuk pigmen.

Toksin kompleks obat-FP IX meracuni vakuola menghambat ambilan (intake)

makanan sehingga parasit mati kelaparan (Fitch., 1986). Kompleks klorokuin-FP

IX juga mengganggu permeabilitas membrane parasit dan pompa proton

membrane. Mekanisme kerja yang lain adalah dengan berinterkelasi dengan DNA

paras it dan menghambat DNA polimerase (kuinin). Klorokuin juga bersifat basa

lemah sehingga, masuknya klorokuin ke dalam vakuola makanan yang bersifat

asam akan meningkatkan pH organel tersebut. Perubahan pH akan menghambat

aktivitas aspartase dan cysteinase protease yang terdapat di dalam vakuola

makanan sehingga metabolisme parasit terganggu (Okpako, 1991).

2.2 Plasmodium berghei

Alasan penggunaan Plasmodium berghei sebagai model penelitian

dikarenakan, yaitu :

9
a. Plasmodium berghei belum pernah ditemukan dapat menyebabkan malaria

pada manusia dan dalam penelitian laboratorium umumnya ditularkan

melalui suntikan darah hewan pengerat terinfeksi ke hewan pengerat

lainnya.

b. Ketersediaan teknologi penanaman / kultivasi in vitro dan produksi dalam

skala besar terhadap berbagai fase siklus hidup.

c. Plasmodium berghei memiliki kesamaan morfologi dengan parasit malaria

pada manusia.

d. Plasmodium berghei juga memiliki kesamaan protein permukaannya yang

berperan dalam invasi sel darah merah.

e. Pada pengecatan khusus darah mencit yang diinfeksi Plasmodium berghei

terlihat gambaran bercak pada sel yang terinfeksi dimana sel kecil, bundar

dan bervakuola sedikit lalu berkembang menjadi besar, bundar dan

mengandung banyak vakuola yang berisi trofozoit (Levine., et.al, 1990).

Menurut Levine (1990), klasifikasi P. berghei adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Protozoa

Subfilum : Apicomplexa

Kelas : Sporozoasida

Subkelas : Coccidiasina

Ordo : Eucoccidiorida

Subordo : Haemospororina

Famili : Plasmodiidae

Genus : Plasmodium

10
Species : Plasmodium berghei

P. berghei memiliki dua tahapan dalam setiap siklus hidupnya, yaitu: fase

seksual (sporogoni) dan fase aseksual (skizogoni) (Choidini 2001).

Fase Seksual (Sporogoni)

Fase seksual terjadi di dalam tubuh nyamuk Anopheles dureni betina.

Nyamuk ini merupakan vektor biologis dari P. berghei. Natadisastra dan Ridad

(2009) menyatakan bahwa pada saat nyamuk menghisap darah penderita malaria,

semua stadium yang ada di dalam darah akan terhisap masuk ke dalam lambung

nyamuk. Tetapi, hanya stadium gametosit (makrogametosit dan mikrogametosit)

yang dapat bertahan dan melanjutkan siklusnya.

Fase seksual dimulai dari masuknya gametosit (mikrogametosit dan

makrogametosit) ke dalam tubuh vektor saat vektor menghisap darah induk

semang terinfeksi P. berghei. Di dalam lambung vektor, makrogametosit

mengalami maturasi menjadi makrogamet (betina) sedangkan mikrogametosit

mengalami exflagelasi menjadi mikrogamet (jantan). Makrogamet dan

mikrogamet mengalami fertilisasi dan terbentuk zigot (Choidini 2001). Zigot

tersebut aktif dan bergerak masuk ke dalam dinding usus tengah nyamuk. Parasit

pada stadium ini dinamakan ookinet. Di bawah epitel usus, ookinet membulat

membentuk kista dan disebut dengan ookista (Noble & Glenn 1989). Ookista

berkembang di dalam dinding usus tengah dan menghasilkan sporozoit (fase

infektif) yang akan dilepas dengan pecahnya ookista. Sporozoit bersifat motil dan

akan bergerak ke seluruh tubuh vektor, khususnya kelenjar saliva. Sporozoit ini

akan menginfeksi induk semang saat vektor menghisap darah induk semang

(Choidini 2001).

11
Fase Aseksual (Skizogoni)

Fase aseksual terjadi di dalam tubuh induk semang (rodensia). Pada fase ini

terjadi dua siklus, yaitu siklus pre-eritrositik (terjdi di dalam sel-sel hati) dan

siklus eritrositik (terjadi di dalam eritosit). Sporozoit akan menuju sel-sel hati saat

masuk tubuh hospes. Di dalam sel hati, sporozoit akan matang membentuk skizon

kemudian pecah dan mengeluarkan merozoit. Merozoit memulai siklus eritrositik

dengan masuk ke dalam eritrosit dan membentuk tropozoit. Sebagian tropozoit

akan mengalami pematangan membentuk skizon yang kemudian pecah dan

mengeluarkan merozoit. Merozoit dapat menginfeksi eritrosit yang lain.

Sedangkan sebagian tropozoit lainnya akan mengalami gametositik membentuk

makrogametosit dan mikrogametosit. Saat nyamuk A. dureni menghisap darah

induk semang, gametosit ini akan masuk ke dalam tubuh nyamuk dan mengalami

fase seksual (Choidini 2001). Siklus hidup P. berghei secara umum mirip dengan

siklus hidup Plasmodium spp. pada manusia. Fase seksual dan fase aseksual dari

P. berghei dapat digambarkan dengan skema berikut ini.

Gambar 2.1 Siklus hidup Plasmodium bergei (CDC.2010)

12
2.3 Tumbuhan

2.3.1 Sistematika tumbuhan

Klasifikasi dari tumbuhan sirsak adalah:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Ordo : Polycarpiceae

Familia : Annonaceae

Genus : Annona

Spesies : Annona muricata L (Sunarjono, 2005).

2.3.2 Morfologi

Daun sirsak memiliki panjang 6-18 cm, lebar 3-7 cm, betekstur kasar,

berbentuk bulat telur terbalik bentuk eliptik, ujungnya lancip pendek, daun bagian

atas mengilap hijau dan gundul pucat kusam di bagian bawah daun, berbentuk

lateral saraf. Daun sirsak memiliki bau tajam menyengat dengan tangkai daun

pendek sekitar 3-10 mm. Daun sirsak nomor 4 sampai 5 dari pucuk memiliki

kandungan acetogenins tertinggi. Daun sirsak yang terlalu muda belum banyak

mengandung acetogenins yang terbentuk, sedangkan kandungan acetogenins pada

daun yang terlalu tua sudah mulai rusak sehingga kadarnya berkurang (Zuhud,

2011).

2.3.3 Kandungan kimia

Daun sirsak mengandung alkaloid, tanin, flavonoid, polifenol, saponin,

diterpenoid, esensial oil, dan acetogenins (Voravout, 2016). Acetogenins

13
merupakan senyawa yang memiliki potensi sitotoksik. Senyawa sitotoksik adalah

senyawa yang dapat bersifat toksik untuk menghambat dan menghentikan

pertumbuhan sel kanker (Mardiana, 2011). Acetogenin adalah senyawa

poliketides dengan struktur 30-32 rantai karbon tidak bercabang yang terikat pada

gugus 5-methyl-2-fluranone. Salah satu gugus acetogenin adalah fenol sehingga

menyebabkan kandungan total fenol yang terdapat dalam daun sirsak tergolong

tinggi (Wiart., 2007). Mekanisme kerja dari senyawa ini adalah dengan

penghancuran dinding sel dan presipitasi (pengendapan) protein sel dari parasit

sehingga terjadi koagulasi dan kegagalan fungsi pada parasit tersebut (Prasetya.,

dkk.2013).

Dari ekstraksi etanol meserasi-perkolasi ditemukan adanya beberapa

golongan flavonoid yakni flavon, dihidroflavonol, flavonol dan flavanon (Latifah.

2013). Senyawa flavonoid secara in vitro telah terbukti merupakan inhibitor yang

kuat pada lipid peroksidasi, menangkap senyawa oksigen atau nitrogen (ROS atau

RNS), menghambat kerusakan hem protein dan pengikat ion logam

(Halliwell,et.al. 2000). Flavonoid dapat mengikat superoksida, radikal hidroksil

dan peroksil, yang berpengaruh terhadap berbagai langkah dalam aliran

arakhidonat melalui cyclooxygenase 2 atau lipoxygenase (Tapas, dkk., 2008)

2.3.4 Kegunaaan

Daun sirsak dimanfaatkan sebagai pengobatan alternatif untuk pengobatan

kanker, yakni dengan mengkonsumsi air rebusan daun sirsak. Selain untuk

pengobatan kanker, tanaman sirsak juga dimanfaatkan untuk pengobatan demam,

diare, anti kejang, anti jamur, anti parasit, anti mikroba, sakit pinggang, asam

urat, gatal - gatal, bisul, flu, dan lain lain (Mardiana, 2011).

14
2.4 Ekstraksi

Ekstraksi adalah penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga

terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan suatu pelarut.

Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke

dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain. Dengan

mengetahui senyawa aktif yang dikandung simplisia maka akan mempermudah

pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Depkes RI., 2000).

Menurut Depkes RI., (2000) bahwa metode ekstraksi dengan menggunakan

pelarut dapat dibagi ke dalam dua cara yaitu:

a. Cara dingin

Maserasi, adalah proses pengektraksian simplisia menggunakan pelarut

dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan

(kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian

konsentrasi pada keseimbangan. Remaserasi berarti dilakukan pengulangan

penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan

seterusnya.

Perkolasi, adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna

(exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan.

Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap

perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) terus-menerus sampai

diperoleh ekstrak (perkolat).

b. Cara panas

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,

selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan

15
adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu

pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna.

Soxhletasi, adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang

umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan

jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

Digesti, adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada

temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum

dilakukan pada temperatur 40-50°C.

Infundasi, adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air

(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98°C)

selama waktu tertentu (15-20 menit).

2.5 Fraksinasi

Fraksinasi adalah proses pemisahan suatu kuantitas tertentu dari campuran

(padat, cair, terlarut, suspensi atau isotop) dibagi dalam beberapa jumlah kecil

(fraksi). Fraksinasi bertingkat biasanya menggunakan pelarut organik seperti eter,

aseton, diklorometana, atau campuran pelarut tersebut Pemakaiaan pelarut pada

fraksinasi bertingkat diawali dengan pelarut yang kurang polar dan dilanjutkan

dengan pelarut yang lebih polar (Adijuwana dan Nur, 1989).

2.6 Makrofag

Makrofag merupakan salah satu komponen sistem imun non spesifik dan

memiliki kemampuan berfagositasi. Makrofag berasal dari sumsum tulang dan

bersirkulasi di dalam darah kemudian mengalami diferensiasi menjadi monosit

16
darah dan akhirnya tinggal di jaringan sebagai makrofag dewasa dan membentuk

sistem fagosit mononukleus. Makrofag yang berada di jaringan yang berbeda

diberikan penamaan khusus untuk menunjukkan letak spesifiknya. Meskipun

memiliki nama yang berbeda-beda tapi semuanya memiliki kesamaan yaitu dapat

mengikat dan memakan partikel asing. Makrofag yang disebut fixed macrophage

berbentuk sesuai dengan jaringan yang ditempati. Makrofag peritoneal berada

secara bebas dalam cairan peritoneum. Kehadirannya sepanjang kapiler

memungkinkan untuk menangkap patogen dan antigen yang masuk ke dalam

tubuh. Sel makrofag merupakan mediator imunitas non spesifik yang paling tua.

Makrofag umumnya mampu merespon mikroba hampir sama cepatnya

dengan neutrofil, namun makrofag mampu berahan hidup lebih lama pada daerah

inflamasi. Oleh karena itu, makrofag merupakan sel dominan pada tahap akhir

sistem imun non spesifik (Abbas dkk., 2007; Baratawidjaja, 2009).

Gambar 2.2 Proses Maturasi Makrofag (Abbas dkk., 2007)

Fungsi utama makrofag adalah sebagai sel fagosit. Fagositosis merupakan

proses pemakanan dan penghancuran mikroba oleh suatu sel fagosit (gambar 2).

Proses fagositosis terjadi dalam beberapa tahap yaitu perlekatan sel fagosit pada

bakteri patogen, penelanan, membunuh, dan degradasi komponen bakteri oleh

17
enzim di dalam lisosom (Wood, 2006). Makrofag dapat berperan sebagai APC

(Antigen Precenting Cell), yaitu proses pengenalan antigen kepada sel T.

Makrofag sebagai APC ini akan mengenalkan antigen kepada sel T kemudian

mengaktivasinya melalui mekanisme interaksi efektor sel T dengan makrofag.

Proses ini akan menghasilkan sitokin dan akan mengaktivasi makrofag untuk

memfagositosis antigen. Makrofag memproduksi IL-2 yang menstimulasi sel NK

dan sel T untuk memproduksi IFN-γ (Abbas dkk., 2007). Kemampuan makrofag

memakan mikroorganisme menyangkut proses fagositosis dan pembentukan

Reactive Oxygen Species (ROS). Sitokin IFN-γ akan meningkatkan endositosis

dan fagositosis oleh monosit. Fagositosis terhadap partikel tertentu dapat

ditingkatkan dengan opsonisasi bakteria yaitu dengan melapisi bakteria dengan

molekul Imunoglobulin G (IgG) dan komplemen. Setelah bakteria masuk ke

dalam sel maka makrofag akan melakukan pembunuhan dengan pembentukan

ROS. Makrofag teraktivasi akan menghasilkan sitokin IL-12 atau IFN-γ yang

memacu diferensiasi limfosit. Apabila proses aktivasi makrofag gagal

mendegradasi mikroba maka produk-produk makrofag teraktivasi akan

memodifikasi lingkungan jaringan lokal, selanjutnya dimulailah penghancuran

jaringan lokal dan digantikan jaringan ikat lain (Indriyani, 2011).

Gambar 2.3 Proses Fagositasi Makrofag (Wood, 2006)

18
Aktifitas imunomodulasi suatu tanaman obat dapat diketahui pengaruhnya

terhadap sistem imun tubuh melalui pengamatan terhadap aktifitas makrofag.

Aktivitas fagositosis makrofag adalah jumlah sel makrofag yang secara aktif

melakukan fagositosis dalam 100 sel. Kemampuan fagositosis makrofag juga

dapat diketahui dengan mengamati kapasitas fagositosis (Dey dan Harbone,

1991). Pengamatan aktivitas makrofag dapat dilakukan dengan cara mengkultur

makrofag intraperitoneal yang diinduksi dengan lateks. Adanya peningkatan

aktivitas makrofag disebabkan oleh banyaknya antigen yang berfungsi sebagai

induktor. Peningkatan aktivitas makrofag ini dapat menunjukkan adanya

peningkatan sistem imun untuk melindungi tubuh jika ada patogen yang mungkin

menginfeksi di antaranya dengan meningkatnya kemampuan memakan

mikroorganisme, dan meningkatnya efisiensi sebagai APC (Baratawidjaja, 2009).

2.7 Mencit

Beberapa penelitian terdahulu telah menjelaskan penggunaan binatang coba

untuk meneliti malaria, dan didapatkan hasil bahwa binatang mencit adalah yang

paling sesuai untuk penelitian malaria. Hal ini disebabkan karena beberapa alasan,

yaitu :

a. Pada mencit yang diinfeksikan malaria didapatkan derajat parasitemia

yang lebih tinggi dari pada binatang tikus dan hamster.

b. Mencit cara pemeliharaannya lebih mudah

c. Mencit dapat menghasilkan keturunan yang banyak

19
Plasmodium

Sporozoit masuk ke
Masuk ke hati dalam aliran darah

Infeksi sel darah merah Merozoit


Acetogenin
Klorokuin
Tropozoit
Mekanisme kerja:
Mekanisme kerja: Replikasi Penghancuran dinding
Untuk sel dan presipitasi
mencema Merozoit dan (pengendapan) protein
hemoglobin gamet di sel sel dari parasit sehingga
asam amino darah merah terjadi koagulasi dan
(nutrient) + kegagalan fungsi pada
ferryprotoporphyrin parasit tersebut
Sel darah merah
(FP IX). Klorokuin (Prasetya, dkk.2013)
(merozoit) lisis
membentuk
kompleks dengan
FP IX dalam Eritrosit yang Flavonoid
vakuola toksik mengandung merozoit
parasit mati (Fitch., pecah
1986).
Fagositosis eritrosit yang
mengandung parasit Mekanisme kerja :
- Inhibitor kuat pada
lipid peroksida
- Menangkap senyawa
oksigen dan nitrogen
(ROS& RNS)
- Menghambat
kerusakan hem protein
- Pengikatan ion logam
(Halliwell,et.al.2000)

Gambar 2.4 Diagram kerangka teori

20
BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang meliputi

pengumpulan tumbuhan dan pengolahan sampel, pembuatan simplisia, pembuatan

ekstrak etanol, fraksi n-heksan, etilasetat, dari daun sirsak, karakterisasi sampel,

skrining fitokimia, penyiapan dan perlakuan hewan percobaan, pengujian aktivitas

antimalaria fraksi n-heksan, etilasetat, dari daun sirsak (Annona muricata L) dan

pengujian penurunan angka parasitemia dan pengujian aktivitas makrofag pada

mencit yang diinfeksikan P.berghei yang dilakukan Laboratorium Farmakologi

Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Data hasil penelitian dianalisis

dengan program Statistic Product and Service Solutions (SPSS).

3.1 Alat dan Bahan

3.1.1 Alat

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi alat-alat gelas

laboratorium, alat pengukur partikel, alumunium foil, blender (Philip), chamber,

kertas saring, lemari pengering, neraca kasar, krus porselin, bola karet, eksikator,

Freeze dryer, neraca listrik, oven listrik, alat rotary evaporator, pipet mikro, spuit

1 cc, dan oral sonde.

3.1.2 Bahan

Bahan yang digunakan adalah daun sirsak yang diperoleh dari daerah Sei

Rotan, etanol 96%, etil asetat, n-heksana, asam khlorida, kalium iodida, iodium,

sublimat, asam sulfat, bismut subnitrat, raksa ( II), seng serbuk, toluen, timbal (II)

21
asetat, aquadest, kloroform, metanol, etilasetat, asam format, aseton, toluena,

amoniak, n-heksan, buffer fospat pH 7, Na-CMC, larutan turk.

3.2 Hewan Percobaan

Penelitian ini menggunakan hewan coba mencit jantan Bablc dengan berat

badan 25-30 gr dan berumur 8-12 minggu yang diperoleh dari Laboratorium

Farmakologi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Mencit diberi makan

makanan standard dan minum secara ad libitum.

3.3 Pembuatan Larutan Pereaksi

Pembuatan larutan pereaksi meliputi pereaksi Liebermann-Bouchard (Wagner

dkk, 1984), asam sulfat 2 N, Molisch, Mayer, besi (III) klorida 1%, Dragendorff,

Bouchardat, natrium hidroksida 2 N, asam nitrat 0,5 N dan timbal (II) asetat 0,4 M

(Depkes RI, 1995).

3.3.1 Pereaksi Liebermann-Burchard

Campur secara perlahan 5 ml asam asetat anhidrida dengan 5 ml asam sulfat

pekat tambahkan etanol hingga 50 ml (Wagner., dkk, 1984).

3.3.2 Pereaksi asam sulfat 2 N

Sebanyak 5,5 ml asam sulfat pekat diencerkan dengan air suling secukupnya

hingga volume 100 ml (Depkes RI, 1995).

3.3.3 Pereaksi Molisch

Sebanyak 3 gram α-naftol ditimbang, dilarutkan dalam asam nitrat 0,5 N

hingga diperoleh larutan 100 ml (Depkes RI, 1995).

22
3.3.4 Pereaksi Mayer

Sebanyak 1,359 gram raksa (II) klorida dilarutkan dalam air suling hingga 60

ml. Sebanyak 5 gram kalium iodida pada wadah lain dilarutkan dalam 10 ml air

suling, kemudian keduanya campur dan ditambahkan air suling hingga 100 ml

(Depkes RI, 1995).

3.3.5 Pereaksi besi (III) klorida 10%

Sebanyak 10 gram besi (III) klorida ditimbang, dilarutkan dalam air suling

sehingga diperoleh larutan 100 ml (Depkes RI, 1995).

3.3.6 Pereaksi Dragendorff

Sebanyak 0,6 gram bismuth (III) nitrat dilarutkan dalam 2 ml asam klorida

pekat, lalu ditambahkan 10 ml air suling. Pada wadah lain dilarutkan 6 gram

kalium iodida dalam 10 ml air suling. Kemudian kedua larutan dicampurkan

dengan 7 ml asam klorida pekat dan 15 ml air suling (Depkes RI, 1995).

3.3.7 Pereaksi Bouchardat

Sebanyak 4 gram kalium iodida dilarutkan dalam air suling dan sebanyak 2

gram iodium dilarutkan dalam larutan kalium iodida dan dicukupkan dengan air

suling hingga 100 ml (Depkes RI, 1995).

3.3.8 Pereaksi Natrium hidroksida 2 N

Sebanyak 8,001 gram kristal natrium hidroksida ditimbang, dilarutkan dalam

air suling sehingga diperoleh larutan 100 ml (Depkes RI, 1995).

3.3.9 Pereaksi asam nitrat 0,5 N

Sebanyak 3,4 ml asam nitrat pekat diencerkan dengan air suling hingga 100

ml (Depkes RI, 1995).

23
3.3.10 Pereaksi timbal (II) asetat 0,4 M

Sebanyak 15,17 g timbal (II) asetat dilarutkan dalam air suling bebas CO2

hingga 100 ml (Depkes RI, 1995).

3.4 Penyediaan Sampel

3.4.1 Pengumpulan Sampel

Pengambilan bahan tumbuhan dilakukan secara purposif, yaitu tanpa

membandingkan dengan daerah lain, bagian yang diambil adalah daun segar

nomor empat dan lima dari pucuk, yang diambil di Sei Rotan, kabupaten Deli

Serdang, Provinsi Sumatera Utara.

3.4.2 Identifikasi Tumbuhan

Identifikasi tumbuhan dilakukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

(LIPI) Jl. Raya Jakarta – Bogor Km. 46 Cibinong 16911 Bogor – Indonesia.

3.4.3 Pengolahan Tumbuhan dan Pembuatan Simplisia

Daun sirsak dikumpulkan dan dicuci bersih dengan air mengalir, ditiriskan

kemudian ditimbang sebagai berat basah. Bahan ini dikeringkan di lemari

pengering pada suhu 400C hingga kering, kemudian ditimbang sebagai berat

kering. Bahan kemudian diserbuk dengan menggunakan blender. Simplisia

dimasukkan dalam wadah plastik dan diikat, diberi etiket lalu disimpan pada

tempat yang terlindung dari cahaya matahari.

3.5 Pemeriksaan Karakterisasi

Karakterisasi simplisia seperti penetapan kadar air dilakukan menurut

prosedur World Health Organization (1998); pemeriksaan makrokospik,

24
penetapan kadar sari larut air, penetapan kadar sari larut etanol, penetapan kadar

abu total dan penetapan kadar abu tidak larut asam, susut pengeringan dilakukan

menurut prosedur Depkes RI (1995).

3.5.1 Pemeriksaan Makrokospik dan Mikroskopik

Pemeriksaan makrokospik dilakukan dengan mengamati morfologi luar yaitu

ukuran, bentuk, warna, bau dan rasa simplisia daun sirsak.

Uji mikroskopik dilakukan dengan menggunakan mikroskop yang derajat

pembesarannya disesuaikan dengan keperluan. Simplisia yang diuji dapat berupa

sayatan melintang, radial, paradermal maupun membujur atau berupa serbuk.

Pada uji mikroskopik dicari unsur – unsur anatomi jaringan yang khas. Dari

pengujian ini akan diketahui jenis simplisia berdasarkan fragmen pengenal yang

spesifik bagi masing – masing simplisia.

3.5.2 Penetapan Kadar Air

Penetapan kadar air dilakukan menurut Farmakope Herbal Indonesia

Cara kerja:

Bersihkan tabung penerima dan pendingin dengan asam pencuci, bilas dengan

air, kemudian keringkan dalam lemari pengering. Timbang seksama sejumlah

bahan yang diperkirakan mengandung 1 sampai 4 mL air, masukan kedalam labu

kering. Jika zat berupa pasta, timbang dalam sehelai/lembaran logam dengan

ukuran yang sesuai dengan leher labu. Untuk zat yang dapat menyebabkan gejolak

mendadak saat mendidih, tambahkan batu didih secukupnya. Masukan toluen

jenuhair ke dalam tabung penerima melalui pendingin sampai leher alat

penampung.panaskan labu hati-hati selama 15 menit.

25
Setelah toluen mulai mendidih, atur penyulingan dengan kecepatan lebih

kurang 2 tetes tiap detik, hingga sebagian besar air tersuling, kemudian

naikankecepatan penyulingan hingga 4 tetes tiap detik. Setelah semua air

tersuling, bagian dalam pendingin dicuci dengan toluen jenuh air, sambil

dibersihkan dengan sikat tabung yang disambungkan pada sebuah kawat tembaga

dan telah dibasahi dengan toluen jenuh air. Lanjutkan penyulingan selama 5

menit. Dinginkan tabung penerima hingga suhu ruang. Jika ada tetes air yang

melekat, gosok tabung pendingin dan tabung penerima dengan karet yang

diikatkan pada sebuah kawat tembaga dan dibasahi dengan toluen jenuh air

hingga tetesan air turun. Baca volume air setelah air dan toluen memisah

sempurna. Kadar air yang didapat dihitung dalam persen dengan rumus:

volume II − Volume I
Kadar Air = x 100 %
Berat sampel

3.5.3 Penetapan Kadar Sari Larut dalam Air

Timbang seksama lebih kurang 5 g serbuk (4/18) yang telah dikeringkan di

udara. Masukan ke dalam labu bersumbat, tambahkan 100 mL air jenuh

kloroform, kocok berkali-kali selama 6 jam pertama, biarkan selama 18 jam.

Saring, uapkan 20 mL filtrat hingga kering dalam cawan dangkal beralas datar

yang telah dipanaskan 105oC dan ditara, panaskan sisa pada suhu 105 oC hingga

bobot tetap. Hitung kadar dalam % sari larut air (Kemenkes, 2013).

3.5.4 Penetapan Kadar Sari Larut dalam Etanol

Timbang seksama lebih kurang 5 g sebuk yang telah dikeringkan di udara.

Masukan ke dalam labu bersumbat, tambahkian 100 mL etanol P, kocok berkali-

kali selama 6 jam pertama, biarkan selama 18 jam. Saring cepat untuk

menghindarkan penguapan etanol. Uapkan 20 mL filtrat hingga kering dalam

26
cawan dangkal beralas datar yang telah dipanaskan 105 oC dan ditara, panaskan

sisa pada suhu 105oC hingga bobot tetap. Hitung kadar dalam % sari larut etanol

(Kemenkes, 2013).

3.5.5 Penetapan Kadar Abu Total

Timbang seksama 2-3 g bahan uji yang telah dihaluskan dan masukkan dalam

krus porselin yang telah dipijar dan ditara, pijarkan perlahan-lahan hingga arang

habis, dinginkan dan ditimbang.

Jika dengan cara ini arang tidak dapat dihilangkan ,tambahkan air panas,

aduk, saring melalui kertas saring bebas abu. Pijarkan kertas saring beserta sisa

penyaringan dalam krus yang sama. Masukan filtrat ke dalam krus, uapkan dan

pijarkan hingga bobot tetap. Kadar abu total dihitung terhadap berat bahan uji,

dinyatakan dalam % b/b (Kemenkes, 2013).

3.5.6 Penetapan Kadar Abu Tidak Larut Asam

Didihkan abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu total dengan 25 mL

asam klorida encer selama 5 menit. Kumpulkan bagian yang tidak larut dalam

asam, saring melalui kertas saring bebas abu, cuci dengan air panas, pijarkan

dalam krus hingga bobot tetap. Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung

terhadap berat bahan uji, dinyatakan dalam % b/b (Kemenkes, 2013).

3.6 Skrining Fitokimia

Skrining fitokimia dilakukan terhadap simplisia daun sirsak meliputi

pemeriksaan senyawa kimia alkaloid, flavonoid, tannin, saponin, triterpennoid,

dan steroid (Syamsudin., dkk. 2015).

27
3.6.1 Pemeriksaan Alkaloida

Ekstrak ditimbang sebanyak 0,5 g kemudian ditambahkan 1 ml asam klorida

2N dan 9 ml air suling, dipanaskan di atas penangas air selama 2 menit,

didinginkan dan disaring. Filtrat yang diperoleh dipakai untuk tes alkaloid.

Diambil 3 tabung reaksi, lalu ke dalamnya dimasukkan 0,5 ml filtrat. Pada

masing-masing tabung reaksi :

a. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Mayer

b. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Bouchardat

c. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendorff

Alkaloid positif jika terjadi endapan atau kekeruhan pada dua dari tiga

percobaan diatas (Depkes, RI., 1995).

3.6.2 Pemeriksaan Glikosida

Sebanyak 3 g ekstrak disari dengan 30 ml campuran etanol 96% dengan air

(7:3) direfluks selama 10 menit, didinginkan dan disaring. Kemudian diambil 20

ml filtrat ditambahkan 25 ml air suling dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M,

dikocok, didiamkan selama 5 menit lalu disaring. Filtrat disari dengan 20 ml

campuran kloroform dan isopropanol (3:2), dilakukan berulang sebanyak 3 kali.

Kumpulan sari air diuapkan pada suhu tidak lebih dari 500C. Sisanya dilarutkan

dalam 2 ml metanol. Larutan sisa digunakan untuk percobaan: sebanyak 0,1 ml

larutan percobaan dimasukkan dalam tabung reaksi dan diuapkan diatas penangas

air. Pada sisa ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes pereaksi Molish. Kemudian secara

perlahan-lahan ditambahkan 2 ml asam sulfat pekat melalui dinding tabung,

terbentuk cincin warna ungu pada batas kedua cairan, menunjukkan adanya ikatan

gula (Depkes, RI., 1995).

28
3.6.3 Pemeriksaan Saponin

Ekstrak ditimbang sebanyak 0,5 g dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi,

lalu ditambahkan 10 ml air panas, didinginkan, kemudian dikocok kuat-kuat

selama 10 menit. Jika terbentuk busa setinggi 1-10 cm yang stabil tidak kurang

dari 10 menit dan buih tidak hilang dengan penambahan 1 tetes asam klorida 2 N

menunjukkan adanya saponin (Depkes, RI.,1995).

3.6.4 Pemeriksaan Flavonoida

Sebanyak 10 g ekstrak ditimbang, dilarutkan 100 ml air panas, dididihkan

selama 5 menit dan disaring dalam keadaan panas, ke dalam 5 ml filtrat

ditambahkan 0,1 g serbuk magnesium dan 1 ml asam klorida pekat dan 2 ml amil

alkohol, dikocok dan dibiarkan memisah. Flavonoid positif jika terjadi warna

merah atau kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol (Farnsworth, 1966).

3.6.5 Pemeriksaan Tanin

Sebanyak 0,5 g ekstrak ditimbang, disari dengan 10 ml air suling lalu

disaring, filtratnya diencerkan dengan air sampai tidak berwarna. Larutan diambil

sebanyak 2 ml, ditambahkan 1-2 tetes pereaksi besi (III) klorida 1%. Jika terjadi

warna biru atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin (Depkes, RI., 1995).

3.6.6 Pemeriksaan Steroida/Triterpenoida

Ekstrak ditimbang sebanyak 1 g, dimaserasi dengan 20 ml n-heksan selama 2

jam, disaring. Filtrat diuapkan dalam cawan penguap dan pada sisanya

ditambahkan pereaksi Liebermann-Burchard melalui dinding cawan. Apabila

terbentuk warna ungu atau merah yang berubah menjadi biru ungu atau biru hijau

menunjukkan adanya triterpenoid/steroid (Harborne, 1987).

29
3.7 Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Sirsak Secara Maserasi Perkolasi

Masukan satu bagian serbuk kering simplisia ke dalam meserator, tambahkan

10 bagian pelarut. Rendam selama 6 jam pertama sambil sekali-sekali diaduk,

kemudian diamkan selama 18 jam. Pisahkan maserat dengan cara sentrifugasi,

dekantasi atau filtrasi. Ulangi proses penyarian sekurang-kurangnya satu kali

dengan jenis pelarut yang sama dan jumlah volume pelarut sebanyak setengah kali

jumlah volume pelarut pada penyarian pertama (Kemenkes, 2013).

Kumpulkan semua maserat, kemudian maserat direndam dalam cairan

penyari dan dimasukan ke dalam perkolator. Selanjutnya diperkolasi hingga

mendapatkan perkolat tertentu. Kumpulkan semua perkolat, kemudian uapkan

dengan penguap vakum atau penguap tekanan rendah hingga diperoleh ekstrak

kental. Hitung rendemen yang diperoleh yaitu persentase bobot (b/b) antara

rendemen dengan bobot serbuk simplisia yang digunakan dengan penimbangan.

(Kemenkes, 2013).

3.8 Fraksinasi Ekstrak Etanol Menjadi Fraksi n-Heksan dan Etilasetat

Sebanyak 20 g ektrak etanol dilarutkan dalam etanol 96% sampai larut

kemudian ditambahkan 40 ml air suling, dimasukkan ke dalam corong pisah, lalu

ditambahkan 100 ml n-heksana, lalu dikocok, dan didiamkan sampai terdapat 2

lapisan yang terpisah (± 30 menit). Lapisan n-heksana (lapisan atas) diambil

dengan cara dialirkan, dan fraksinasi dilakukan sampai lapisan n-heksana

memberikan hasil negatif dengan pereaksi LB. Lapisan n-heksana yang

dikumpulkan dipekatkan dengan rotary evaporator sehingga diperoleh fraksi n-

heksana. Kemudian pada residu (sisa) ditambahkan 100 ml etilasetat, lalu

30
dikocok, didiamkan sampai terdapat 2 lapisan yang terpisah (± 30 menit), lapisan

etilasetat (lapisan atas) diambil dengan cara dialirkan, dan fraksinasi dilakukan

sampai lapisan etilasetat memberikan hasil negatif dengan pereaksi FeCl3. Lapisan

etilasetat yang dikumpulkan dipekatkan dengan rotary evaporator sehingga

diperoleh fraksi etilasetat. Lapisan air (sisa) diambil dan dipekatkan dengan rotary

evaporator sehingga didapat fraksi air (Bassett., et al., 1994)

3.9 Pembuatan Suspensi Bahan Uji

Suspensi adalah sediaan yang mengandung bahan obat padat dalam bentuk

halus dan tidak larut, terdispersi dalam cairan pembawa (Depkes., 1979).

3.9.1 Pembuatan suspensi Na-CMC

Aquadest dididihkan kemudian dimasukkan ke dalam lumpang sebanyak 20-

30 ml. 1 gram Na-CMC ditaburkan di atasnya, diamkan selama 15 menit. Setelah

Na-CMC mengembang, sediaan digerus cepat hingga terbentuk masa yang

homogen dan transparan. Sediaan kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 100

ml, cukupkan volume dengan aquadest hingga batas garis. Pada penelitian ini

digunakan Suspensi Na-CMC dengan konsentrasi 1%.

3.9.2 Pembuatan suspensi klorokuin

Klorokuin digerus, kemudian ditambahkan suspensi Na-CMC dan digerus

hingga merata, sediaan suspensi klorokuin dimasukkan ke dalam labu ukur 100

ml, kemudian ditambahkan suspensi Na-CMC ke dalam labu hingga dicapai batas

volume untuk mendapatkan konsentrasi 10 mg/ml.

31
3.9.3 Pembuatan suspensi fraksi n-heksan, fraksi etil asetat dan fraksi air

daun sirsak

Ekstrak etanol, fraksi n- heksan, fraksi etil asetat dan fraksi air daun sirsak

ditimbang 10 gram, kemudian dimasukkan ke dalam lumpang, dan ditambahkan

suspensi Na-CMC lalu digerus hingga merata. Sediaan suspensi ekstrak etanol

daun sirsak dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml, kemudian ditambahkan

suspensi Na-CMC ke dalam labu hingga dicapai batas volume untuk mendapatkan

konsentrasi 100 mg/ml.

3.10 Perlakuan pada Hewan Uji

Mencit dibagi 2 kelompok besar berdasarkan jenis percobaan. Kemudian

dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan fraksi dan kontrol. kelompok

pertama terdiri dari 5 kelompok. Setiap kelompok dengan metode 5 hari test untuk

melihat angka parasitemia dengan metode pemberian dilakukan secara peroral:

a. Kontrol negatif, diberikan suspensi Na-CMC 1%

b. Kontrol positif, diberikan suspensi klorokuin 10 mg/kg

c. Kelompok uji, diberikan suspensi dari fraksi n-heksan daun sirsak dosis

150 mg/kg

d. Kelompok uji, diberikan suspensi dari fraksi etil asetat daun sirsak dosis

150 mg/kg

e. Kelompok uji, diberikan suspensi dari fraksi air daun sirsak dosis 150

mg/kg.

Kelompok kedua dilakukan selama 4 hari tanpa diberikan kontrol positif

karena klorokuin hanya bersifat antiplasmodia (Fitriani, J. 2002). Kemudian hari

32
terakhir diamati. Kelompok ini bertujuan untuk mengetahui persentase fagositosis

makrofag yang dilakukan secara peroral:

a. Kontrol : Menggunakan suspensi Na-CMC 1%

b. Kelompok I : Fraksi n-heksan daun sirsak dosis 150 mg/kg

c. Kelompok II : Fraksi etilasetat daun sirsak dosis 150 mg/kg

d. Kelompok III : Fraksi air daun sirsak dosis 150 mg/kg

Penentuan dosis tersebut didasarkan pada penelitian Oreagba, dkk (2013)

yang menunjukan ekstrak etanol daun sirsak (dosis 150 mg/kg) memberikan

aktivitas inhibisi parasitemia tertinggi.

3.11 Pengukuran Derajat Parasitemia

Method in Malariae Research (2008) menjelaskan teknik pengukuran derajat

parasitemia dengan mula-mula dibuat hapusan darah yang dilakukan dengan cara

mengambil 1,0-1,5 mikroliter darah dari ekor mencit dengan menggunting ekor

mencit dan diteteskan pada object glass. Tetesan darah tersebut ditipiskan dengan

menggunakan tepi object glass dan ditunggu sampai kering. Kemudian hasil

hapusan ditetesi dengan metanol hingga merata dan ditunggu hingga kering.

Selanjutnya dilakukan pewarnaan Giemsa dengan cara mencampurkan Giemsa

fluka dan buffer Giemsa dengan perbandingan 1 : 5. Pewarnaan Giemsa

diteteskan pada hapusan dan ditunggu selama 20 menit. Selanjutnya dibilas

dengan air mengalir hingga tidak ada cat yang tersisa kemudian dikeringkan.

Selanjutnya hapusan darah yang sudah dicat dilakukan pemeriksaan perasitemia

di bawah mikroskop menggunakan perbesaran 1000x dengan menghitung jumlah

eritrosit yang terinfeksi malaria dari 1000 eritrosit. Persen derajat parasitemia

33
adalah jumlah eritrosit yang terinfeksi P. berghei dalam 1000 eritrosit. Persen

derajat parasitemia ditentukan dengan menggunakan rumus berikut:

Persen derajat parasitemia = Jumlah eritrosit terinfeksi x 100 %


1000 eristrosit

Persen penghambatan = (Xk-Xu/Xk) x 100 %

Keterangan :

Xu = % pertumbuhan pada larutan uji

Xk =% petumbuhan pada kontrol negatif

Selanjutnya, setelah mencapai hari ke-0 dengan nilai persen derajat

parasitemia 5 – 15% (Elok kamilah., 2012). Maka dilakukan pengamatan pada

hari ke 1-5, 7 dan 14 pada masing-masing perlakuan.

3.12 Analisis fagositosis makrofag

Dalam melakukan analisis fagositosis makrofag menurut (Fitriani, 2002)

yang telah dimodifikasi oleh (Kusmardi, 2004) dilakukan dua cara yaitu

mengisolasi makrofag dan pemeriksaan fagositosis makrofag dengan lateks.

Isolasi makrofag. Sebelum dibunuh mencit disuntik larutan garam fisiologis

sebanyak 3 ml pada daerah intraperitoneal. Mencit dibunuh menggunakan

dietileter, lalu dibaringkan telentang dan kemudian disuntikkan kembali garam

fisiologis sebanyak 3 ml. Membuat irisan kecil pada kulit menggunakan gunting,

setelah terlihat peritoneal, dengan jarum suntik 5 ml cairan intraperitoneal

diambil sebanyak 5 ml. Cairan intraperitoneal sebanyak 5 ml tersebut dipindahkan

ke dalam tabung dan kemudian disentrifuge 1600 rpm selama 5 menit, kemudian

dicuci dengan PBS sebanyak dua kali. Proses selanjutnya adalah proses purifikasi

makrofag, natan dari hasil sentrifuge di atas dimasukkan ke dalam wadah plastik

yang disebut botol flush, botol flush tersebut sudah berisi medium RPMI.

34
Kemudian diinkubasi selama satumalam pada inkubator CO2 dengan suhu 37ᵒ C.

Setelah melewati satu malam, proses purifikasi dilanjutkan dengan membuang

medium RPMI dari botol flush, dan menambahkan serum dan ditunggu selama 15

menitk untuk melepas sel – sel makrofag yang menempel pada dinding plastik

botol flush. Selanjutnya dilakukan proses pembiakan atau kultur yang dimulai

dengan memindahkan larutan serum dengan sel-sel makrofag tersebut ke dalam

tabung, dan kemudian disentrifuge 1600 rpm selama 5 menit. Kemudian dihitung

dengan hemacytometer, untuk mengetahui jumlah sel makofag yang akan

dikultur. Natan hasil sentrifuge tersebut, dengan jumlah sel makrofag rata-rata

5x105 sel dipindahkan ke dalam botol flush untuk dikultur. Sebelumnya botol

flush sudah diberi medium lengkap (RPMI yang ditambahkan Fungizone, dan

Serum 10%). Proses mengkultur dilanjutkan dengan menginkubasi pada CO2

inkubator pada suhu 37ᵒC selama 48 jam.

Pemeriksaan fagositosis makrofag dengan lateks. Suspensi makrofag yang

sudah dikultur dipindahkan ke dalam tabung, kemudian botol flush diberi serum

kembali untuk mendapatkan makrofag yang cukup banyak, setelah itu dicuci

dengan RPMI. Setelah dicuci dengan RPMI, larutan sel-sel makrofag diberikan

suspensi Lateks, lalu didiamkan selama 5 menit. Jumlah sel makrofag yang

memfagositosis lateks dihitung menggunakan hemacytometer.

3.13 Analisis Hasil

Data yang didapatkan dari hasil penelitian dianalisis dengan program Statistic

Product and Service Solutions (SPSS).

35
DAFTAR PUSTAKA

Adnan, M. (1997). Teknik Kromatografi Untuk Analisis Bahan Makanan.


Yogyakarta : Penerbit Andi. Hal. 10, 15-16.

Adijuwana, Nur M. A. (1989). Teknik Spektroskopi dalam Analisis Biologi.


Bogor: Pusat Antar Unversitas IPB. Hal. 16-17.

Bassett, J., Denney, R.C., Jeffrey, G.H., dan Mendham, J. (1994). Buku Ajar
Vogel: Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Edisi 4. Jakarta: EGC.
Halaman 165.

[CDC] Centers for Disease Control. 2010. Malaria Life Cycle.


www.dpd.cdc.gov/dpdx. [28 Jun 2010].

Choidini PL. 2001. Atlas of Medical Helminthology and Protozoology. London:


Churchill Livingstone.

Ditjen POM. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen


Kesehatan RI. Hal. 9.

Depkes. (1995). Materia Medika Indonesia. Jilid VI. Jakarta: Departemen


Kesehatan RI. Hal. 306-336.

Depkes R.I. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Departemen


Kesehatan RI. Hal. 7, 32.

Depkes., RI (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Cetakan


Pertama. Jakarta : Depkes RI. Hal.10-11.

Dewi, R.M., R.P. Jekti, dan A. Harijani. 1996. Keadaan hematologis mencit yang
diinfeksi dengan Plasmodium berghei. Cermin Dunia Kedokteran 106:
37-39.

D. O. Adeyemi, O. A. Komolafe,O. S.Adewole, E.M.Obuotor, and T. K.


Adenowo, “Anti hyperglycemic activities of Annona muricata (Linn),”
The African Journal of Traditional, Complementary and
AlternativeMedicines, vol. 6, no. 1,pp. 62–69, 2008.

Dzulkarnain, B. 1998. Tanaman-tanaman Antimalaria. Jakarta: Puslitbang


Farmasi, Balitbang Kesehatan, Depkes RI.

E. Osorio, G. J. Arango, N. Jim´enez et al., “Antiprotozoal and cytotoxic activities


in vitro of Colombian Annonaceae,” Journal of Ethnopharmacology, vol.
111, no. 3, pp. 630–635, 2007Farnsworth, N.R. (1966). Biological and
Phytochemical Screening of Plants. Journal of Pharmaceutical Sciences.
55(3): 263.

36
Fitriani, J. 2002. Pengaruh Perasan Buah Morinda citrifolia terhadap Fagositosis
Makrofag Mencit Balb/C yang Diinokulasikan Listeria monocytogenes.
[Skripsi]. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Fitch CD. Chloroquine resistance in malaria. Proc Natl Acad Sci USA. 1986; 64:
1181-87.
Gandahusada S., Herry H., Pribadi W., 1998, Parasitologi, Kedokteran, Edisi
Ketiga, Hal 171-210, FKUI, Jakarta.

Harbone, J.B. (1987). Metode Fitokimia. Terbitan Kedua. Penerjemah: Kosasih


Padmawinata dan Iwang Soediro. Bandung: Penerbit ITB. Hal. 6, 49.

Harijanto PN dkk, 2010. Malaria dari Molekuler ke Klinis. Edisi Kedua. EGC,
Jakarta.

Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia. Jakarta : Yayasan Sarana Wana


Jaya. Hal. 551 -552.

J. A. Takahashi, C. R. Pereira, L. P. S. Pimenta, M. A. D. Boaventura, and L. G.


F. E. Silva, “Antibacterial activity of eight Brazilian annonaceae plants,”
Natural Product Research, vol. 20, no. 1, pp. 21–26, 2006.

Kayser, O., A. F. Kiderlen, and S.L. Croft. 2000. Natural Products as Potential
Antiparasitic Drugs. www.fuberlin.de/akkayscr/antiparasiticsfromnature.

Kulisic, Z., Tambur, Z., Malicevic, Z., Bakrac, N.A., dan Misic, Z. (2006). White
Blood Cell Differential Count in Rabbits Artificially Infected with
Intestinal Coccidia. J. Protozool. Res. 2006(16): 42-50.

Lawrence, M. 2000. Enlisting a New Ally in The War Againts Malaria. In: Kumar,
S. (ed). Discovery a Publication of the Whitehead institute for biomedical
Reseacrh. Whitehead Institute.

Levine ND. Protozologi Veteriner. Penerjemah Soekardono S, Brotowidjojo MD.


Terjemah dari: Veterinary protozology. Gajah Mada University Press,
Yogyakarta, 1990.

Markham. K.R (1988). Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Bandung : penerbit


ITB. Hal. 15 -19,42.

Murray, M. T. 2000. Noni juice - the passing of another panacea. Natural


Medicine Online 3 (2): 3.

Najera, J,A. 1996. Malaria Control Among refugees and displaced populations.
World Health Organlzatlon Division of Control of Tropical Diseases
Malaria Unit.

37
Neuwinger, H.D. (1996). African Ethnobotany: Poisons and Drugs. Stuttgart:
Chapman & Hall. Halaman 362.

Noble, E.K. and G.A. Noble. (1989). Parasitologi Biologi Parasit Hewan.
Penerjemah: Wadiarto. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press.
Okpako DT. Principles of pharmacology. Cambridge University Press; 1991. p.
228-232.

Oreagba A,. Usman, S., et al. (2013). Evaluation of the Antimalarial Effects of the
Leaf Extract and Fruit Juice of Annona muricata against Plasmodium
berghei Infection in Mice. University of Lagos, P.M.B. 12003, Lagos,
Nigeria.

Patel, C.D., et al. (2010). Effect of a Novel Antiinflammatory Polyherbal


Preparation (Sudarshanam Oil) on Hematologigal Parameters in Wistar
Rats. Acta Poloniae Pharmaceutica-Drug Research. 67(3): 277-281.

P. Padma, J. P. Chansouria, and R. L. Khosa, “Hepatoprotective activity of


Annona muricata Linn. and Polyalthia cerasoides bedd,” Ancient Science
of Life, vol. 19, pp. 7–10, 1999.

R. Baskar, V. Rajeswari, and T. S. Kumar, “In vitro antioxidant studies in leaves


of Annona species,” Indian Journal of Experimental Biology, vol. 45, no.
5, pp. 480–485, 2007.

Rohman, A. (2007). Kimia Farmasi Analis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal.


323, 328- 329, 353.

Sastrohamidjojo, H. (1991). Kromatografi. Yogyakarta : Penerbit Liberty. Hal 22-


36.

S. O. Adewole and J. A. O. Ojewole, “Protective effects of Annona muricata


Linn. (Annonaceae) leaf aqueous extract on serum lipid profiles and
oxidative stress in hepatocytes of streptozotocin-treated diabetic rats,”
African Journal of Traditional, Complementary and Alternative
Medicines, vol. 6, no. 1, pp. 30–41, 2009.

Stahl, E. ( 1985 ). Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopik. Bandung


: Penerbit Institut Tehnologi Bandung. Hal. 139 – 140.

Suryawati, S. dan Herni Suprapti. Efek Anti Malaria Ekstrak Brotowali


(Tinospora crispa) pada Mencit yang Diinfeksi Plasmodium berghei.
Wijaya Kusuma, Volume I, 2007.

Syamsudin, A., Risma, M,. Yunahara,. Rita, M. (2015). Phytochemical screening


and antimalarial activity of some plants traditionally used in Indonesia.

38
Department of Pharmacology, Faculty of Pharmacy, Pancasila
University, South Jakarta, Indonesia.

Tjay, T. H., dan Rahardja, K. (2007). Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan,


dan Efek-Efek Sampingnya. Edisi ke VI. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo: hal. 193.
Vogel, H.G., Bernward, A.S., Jurgen, S., Gunter, M., dan Wolfgang, F.V. (2008).
Drug Discovery and Evaluation Pharmacological Assay. Edisi Kedua.
New York: Springer-Verlag Berlin Heidelberg. Hal. 759-760, 767-768.

World Health Organization.(1998). Quality Control Methods for Medicinal Plant


Materials.WHO/PHARM/ 92.559. Switzerland: Geneva. Hal.25-28.

Wiart, C. (2006). Ethnopharmacology of Medicinal Plants: Asia and the Pacific.


Totowa: Humana Press Inc. 36.

Wijayakesuma, H., (1999). Penyembuhan Dengan Tanaman Obat. Elex


Kompotindo: Jakarta. Hal. 8.

Zuhud E A. 2011. Bukti Kedahsyatan Sirsak Menumpas Kanker. Agromedia


Pustaka: Jakarta

39

Anda mungkin juga menyukai