Anda di halaman 1dari 49

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Trauma kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan
kecatatan utama pada kelompok produktif dan sebagian besar terjadi
akibat kecelakaan lalu lintas. Diperkirakan 100.000 orang meninggal
setiap tahunnya dan lebih dari 700.000 mengalami cedera cukup berat
yang memerlukan perawatan di rumah sakit, dua pertiga berusia di bawah
30 tahun dengan jumlah laki-laki lebih banyak dibandingkan jumlah
wanita, lebih dari setengah pasien cedera kepala mempunyai signifikasi
terhadap cedera bagian tubuh lainnya.
Trauma kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian
pada pengguna kendaraan bermotor karena tingginya tingkat mobilitas
dan kurangnya kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan raya. Di
samping penerangan di lokasi kejadian dan selama transportasi ke rumah
sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat
menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya. Lebih dari 50%
kematian disebabkan oleh cedera kepala dan kecelakaan kendaraan
bermotor. Setiap tahun, lebih dari 2 juta orang mengalami cedera kepala,
75.000 diantaranya meninggal dunia dan lebih dari 100.000 orang yang
selamat akan mengalami disabilitas.
Kasus trauma terbanyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas,
disamping kecelakaan industri, kecelakaan olahraga, jatuh dari
ketinggian maupun akibat kekerasan. Trauma kepala didefinisikan
sebagai trauma non degeneratif-non konginetal yang terjadi akibat ruda
paksa mekanis eksteral yang menyebabkan kepala mengalami gangguan
kognitif, fisik dan psikososial baik sementara atau permanen. Trauma
kepala dapat menyebabkan kematian/ kelumpuhan pada usia dini.

1
Menurut penelitian nasional Amerika, di bagian kegawatdaruratan
menunjukkan bahwa penyebab primer cedera kepala karena trauma pada
anak-anak adalah karena jatuh, dan penyebab sekunder adalah terbentur
oleh benda keras. Penyebab cedera kepala pada remaja dan dewasa muda
adalah kecelakaan kendaraan bermotor dan terbentur, selain karena
kekerasan. Insidensi cedera kepala karena trauma kemudian menurun
pada usia dewasa; kecelakaan kendaraan bermotor dan kekerasan yang
sebelumnya merupakan etiologi cedera utama, digantikan oleh jatuh pada
usia >45 tahun.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep manajemen kegawatdaruratan trauma kepala?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep manajemen kegawatdaruratan trauma
kepala.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Trauma Kepala


Trauma kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak
yang disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak, tanpa
terputusnya kontinuitas otak, (Paula Kristanty, dkk 2009). Trauma
kepala sudah menjadi masalah utama kesehatan masyarakat di seluruh
negara dan lebih dari dua per tiga dialami oleh negara berkembang
(Riyadina dan Suhardi, 2009)
Trauma kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan
bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan
perlambatan (accelerasi–decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk
dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan
penurunan kecepatan, serata notasi yaitu pergerakan pada kepala
dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tingkat
pencegahan, (Musliha, 2010). Trauma kepala merupakan adanya
pukulan atau benturan mendadak pada kepala dengan atau tanpa
kehilangan kesadaran (Wijaya & Putri, 2013).
.
B. Etiologi
Trauma kepala umunya disebabkan oleh:
1. Trauma oleh benda tajam. Menyebabkan cedera setempat dan
menimbulkan cedera lokal. Kerusakan lokal meliputi Contusio
serebral, hematom serebral, kerusakan otak sekunder yang
disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran otak atau hernia.
2. Trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera menyeluruh
(difusi). Kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi dalam 4
bentuk : cedera akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan

3
otak menyebar, hemoragi kecil multiple pada otak koma terjadi
karena cedera menyebar pada hemisfer cerebral, batang otak atau
kedua-duanya.
3. Etiologi lainnya
a. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau
sepeda, dan mobil.
b. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
c. Cedera akibat kekerasan.

C. Klasifikasi Trauma Kepala


1. Berdasarkan berat ringannya berdasarkan GCS (Glosgow Coma
Scale):
a. Cedera Kepala Ringan (kelompok risiko rendah)
1) GCS 13-15 (sadar penuh, atentif, orientatif)
2) Kehilangan kesadaran /amnesia tetapi kurang 30 mnt
3) Tak ada fraktur tengkorak
4) Tak ada contusio serebral (hematom)
5) Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
b. Cedera Kepala Sedang
1) GCS 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)
2) Kehilangan kesadaran lebih dari 30 mnt / kurang dari 24
jam (konkusi)
3) Dapat mengalami fraktur tengkorak
4) Muntah
5) Kejang
c. Cedera Kepala Berat
1) GCS 3-8 (koma)
2) Kehilangan kasadaran lebih dari 24 jam (penurunan
kesadaran progresif)
3) Diikuti contusio serebri, laserasi, hematoma intracranial
4) Tanda neurologist fokal

4
5) Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur kranium
2. Berdasarkan kerusakan jaringan otak
a. Komosio serebri (gegar otak) : gangguan fungsi neurologi
ringan tanpa adanya kerusakan struktur otak, terjadi hilangnya
kesadaran kurang dari 10 menit atau tanpa disertai amnesia,
retrograde, mual, muntah, nyeri kepala.
b. Kontusio serebri (memar) : gangguan fungsi neurologi disertai
kerusakan jaringan otak tetapi kontinuitas otak masih utuh,
hilangnya kesdaran lebih dari 10 menit.
c. Laserasio serebri : gangguan fungsi neurologi disertai
kerusakan otak yang berat dengan fraktur tengkorak terbuka.
Massa otak terkelupas, keluar dari rongga intracranial.
3. Berdasarkan Mekanisme
a. Trauma Tumpul. Trauma tumpul adalah trauma yang terjadi
akibat kecelakaan kendaraan bermotor, kecelakaan saat
olahraga, kecelakaan saat bekerja, jatuh, maupun cedera akibat
kekerasaan (pukulan).
b. Trauma Tembus. Trauma yang terjadi karena tembakan
maupun tusukan benda-benda tajam/runcing.
4. Berdasarkan Morfologi
a. Cedera kulit kepala
Cedera yang hanya mengenai kulit kepala. Cedera kulit
kepala dapat menjadi pintu masuk infeksi intrakranial.
b. Fraktur Tengkorak
Fraktur yang terjadi pada tulang tengkorak. Fraktur basis
cranii secara anatomis ada perbedaan struktur didaerah basis
cranii dan kalvaria yang meliputi pada basis caranii tulangnya
lebih tipis dibandingkan daerah kalvaria, durameter daerah
basis lebih tipis dibandingkan daerah kalvaria, durameter
daerah basis lebih melekat erat pada tulang dibandingkan
daerah kalvaria. Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis

5
mengakibatkan robekan durameter klinis ditandai dengan
bloody otorrhea, bloody rhinorrhea, liquorrhea, brill hematom,
batle’s sign, lesi nervus cranialis yang paling sering n i, nvii
dan nviii (Kasan, 2000).
Sedangkan penanganan dari fraktur basis crani meliputi :
1) Cegah peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak,
misal cegah batuk, mengejan, makanan yang tidak
menyebabkan sembelit.
2) Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan lubang telinga,
jika perlu dilakukan tampon steril (consul ahli tht) pada
bloody otorrhea/otoliquorrhea.
3) Pada penderita dengan tanda-tanda bloody
otorrhea/otoliquorrhea penderita tidur dengan posisi
terlentang dan kepala miring keposisi yang sehat (Kasan :
2000).
c. Cedera Otak
1) Commotio Cerebri (Gegar Otak)
Commotio Cerebri (Gegar Otak) adalah cidera otak
ringan karena terkenanya benda tumpul berat ke kepala
dimana terjadi pingsan < 10 menit. Dapat terjadi gangguan
yang timbul dengan tiba-tiba dan cepat berupa sakit
kepala, mual, muntah, dan pusing. Pada waktu sadar
kembali, pada umumnya kejadian cidera tidak diingat
(amnezia antegrad), tetapi biasanya korban/pasien tidak
diingatnya pula sebelum dan sesudah cidera (amnezia
retrograd dan antegrad).
Menurut dokter ahli spesialis penyakit syaraf dan
dokter ahli bedah syaraf, gegar otak terjadi jika coma
berlangsung tidak lebih dari 1 jam. Kalau lebih dari 1 jam,
dapat diperkirakan lebih berat dan mungkin terjadi
komplikasi kerusakan jaringan otak yang berkepanjangan.

6
2) Contusio Cerebri (Memar Otak)
Merupakan perdarahan kecil jaringan akibat
pecahnya pembuluh darah kapiler. Hal ini terjadi bersama-
sama dengan rusaknya jaringan saraf/otak di daerah
sekitarnya. Di antara yang paling sering terjadi adalah
kelumpuhan N. Facialis atau N. Hypoglossus, gangguan
bicara, yang tergantung pada lokalisasi kejadian cidera
kepala.
Contusio pada kepala adalah bentuk paling berat,
disertai dengan gegar otak encephalon dengan timbulnya
tanda-tanda koma, sindrom gegar otak pusat encephalon
dengan tanda-tanda gangguan pernapasan, gangguan
sirkulasi paru - jantung yang mulai dengan bradikardia,
kemudian takikardia, meningginya suhu badan, muka
merah, keringat profus, serta kekejangan tengkuk yang
tidak dapat dikendalikan (decebracio rigiditas).
3) Perdarahan Intrakranial
a) Epiduralis haematoma, adalah terjadinya perdarahan
antara tengkorak dan durameter akibat robeknya arteri
meningen media atau cabang-cabangnya. Epiduralis
haematoma dapat juga terjadi di tempat lain, seperti
pada frontal, parietal, occipital dan fossa posterior.
b) Subduralis haematoma. Subduralis haematoma adalah
kejadian haematoma di antara durameter dan corteks,
dimana pembuluh darah kecil vena pecah atau terjadi
perdarahan. Kejadiannya keras dan cepat, karena
tekanan jaringan otak ke arteri meninggia sehingga
darah cepat tertuangkan dan memenuhi rongga antara
durameter dan corteks. Kejadian dengan cepat

7
memberi tanda-tanda meningginya tekanan dalam
jaringan otak.
c) Subrachnoidalis Haematoma. Kejadiannya karena
perdarahan pada pembuluh darah otak, yaitu
perdarahan pada permukaan dalam duramater. Bentuk
paling sering dan berarti pada praktik sehari-hari
adalah perdarahan pada permukaan dasar jaringan
otak, karena bawaan lahir aneurysna (pelebaran
pembuluh darah). Ini sering menyebabkan pecahnya
pembuluh darah otak.
d) Intracerebralis Haematoma. Terjadi karena pukulan
benda tumpul di daerah korteks dan subkorteks yang
mengakibatkan pecahnya vena yang besar atau arteri
pada jaringan otak. Paling sering terjadi dalam
subkorteks. Selaput otak menjadi pecah juga karena
tekanan pada durameter bagian bawah melebar
sehingga terjadilah subduralis haematoma.
5. Berdasarkan Patofisiologi
a. Cedera kepala primer
Akibat langsung pada mekanisme dinamik (acelerasi-
decelerasi rotasi) yang menyebabkan gangguan pada jaringan.
Pada cedera primer dapat terjadi gegar kepala ringan, memar
otak dan laserasi.
b. Cedera kepala sekunder
Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti
hipotensi sistemik, hipoksia, hiperkapnea, edema otak,
komplikasi pernapasan.

D. Manifestasi Klinis
Menurut Wong (2009) orang yang mengalami cedera kepala akut
memiliki beberapa tanda dan gejala, antara lain:

8
1. Cedera ringan
 Tanda dan gejalanya:
a. Dapat menimbulkan hilang kesadaran
b. Periode konfusi (kebingungan) transien
c. Somnolen
d. Gelisah
e. Iritabilitas
f. Pucat
g. Muntah (satu kali atau lebih)
 Tanda-tanda progresitivitas
a. Perubahan status mental (misalnya anak sulit dibangunkan)
b. Agitasi memuncak
c. Timbul tanda-tanda neurologik lateral fokal dan perubahan
tanda-tanda vital yang tampak jelas
2. Cedera berat
 Tanda dan gejalanya:
a. Tanda-tanda peningkatan TIK
b. Perdarahan retina
c. Paralisis ekstraokular (terutama saraf kranial VI)
d. Hemiparesis
e. Kuadriplegia
f. Peningkatan suhu tubuh
g. Cara berjalan yang goyah
h. Papiledema (anak yang lebih besar) dan perdarahan retina
 Tanda-tanda yang menyertai
a. Cedera kulit (daerah cedera pada kepala)
b. Cedera lainnya (misalnya pada ekstremitas)

9
Tanda dan gejala pada trauma kepala secara umum dilihat dari ada
atau tidaknya fraktur tengkorak, riwayat kejadian trauma kepala, tingkat
kesadaran, dan kerusakan jaringan otak (Tarwoto, 2013).

1 Fraktur tengkorak
Fraktur tengkorak dapat melukai pembuluh darah dan saraf-
saraf otak, merobek duramater yang mengakibatkan perembesan
cairan serebrospinalis. Jika terjadi fraktur tengkorak kemungkina
yang terjadi adalah :
a. Keluarnya cairan serebrospinalis atau cairan lain dari hidung
(rhinorrhoe) dan telinga (otorrhoe).
b. Kerusakan saraf cranial
c. Perdarahan dibelakang membrane timpani
d. Ekimosis pada periorbital.
Jika terjadi fraktur basiler, kemungkinan adanya gangguan
pada saraf cranial dan kerusakan bagian dalam telinga. Sehingga
kemungkinan tanda dan gejalanya adalah :
a. Perubahan tajam penglihatan karena kerusakan nervus optikus.
b. Kehilangan pendengaran karena kerusakan pada nervus
auditorius.
c. Dilatasi pupil dan hilangnya kemampuan pergerakan beberapa
otot mata karena kerusakan nervus okulomotorius.
d. Paresis wajah karena kerusakan nervus fasialis
e. Vertigo karena kerusakan otolith dalam telinga bagian dalam.
f. Nistagmus karena kerusakan pada system vestibular
g. Warna kebiruan dibelakang telinga diatas mastoid (Battle
Sign).
2 Kesadaran
Tingkat kesadaran pasien tergantung dari berat ringannya
cedera kepala, ada atau tidaknya amnesia retrograt, mual dan
muntah.

10
3 Kerusakan jaringan otak
Manifestasi klinik kerusakan jaringan otak bervariasi tergantung
dari cedera kepala. Untuk melihat adanya kerusakan cedera kepala
perlu dilakukan pemeriksaan CT scan atau MRI.

E. Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan
glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan di dalam sel-sel saraf
hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai
cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun
sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan
kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh
kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan
glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga
bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala
permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi
kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat
menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia
atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat
metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60
ml/menit/100 gr. jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac
output dan akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan
vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh
darah arteriol akan berkontraksi
Menurut Long (1996) trauma kepala terjadi karena cidera kepala,
kulit kepala, tulang kepala, jaringan otak. Trauma langsung bila kepala
langsung terluka. Semua itu berakibat terjadinya akselerasi, deselerasi
dan pembentukan rongga. Trauma langsung juga menyebabkan rotasi
tengkorak dan isinya, kekuatan itu bisa seketika/menyusul rusaknya otak

11
dan kompresi, goresan/tekanan. Cidera akselerasi terjadi bila kepala
kena benturan dari obyek yang bergerak dan menimbulkan gerakan.
Akibat dari akselerasi, kikisan/konstusio pada lobus oksipital dan frontal
batang otak dan cerebellum dapat terjadi. Sedangkan cidera deselerasi
terjadi bila kepala membentur bahan padat yang tidak bergerak dengan
deselerasi yang cepat dari tulang tengkorak.
Pengaruh umum cidera kepala dari tengkorak ringan sampai
tingkat berat ialah edema otak, deficit sensorik dan motorik.
Peningkatan TIK terjadi dalam rongga tengkorak (TIK normal 4-15
mmHg). Kerusakan selanjutnya timbul masa lesi, pergeseran otot.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena
memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan
atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai
kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area
cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah)
pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial,
semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya
peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat
menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan
hipotensi.
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala
“fokal” dan “menyebar” sebagai kategori cedera kepala berat pada
upaya untuk menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal
diakibatkan dari kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan
hematom intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan
oleh perluasan massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak
menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan
terjadi dalam empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan
otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multipel
pada seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan karena

12
kompresi pada batang otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer
serebral, batang otak, atau dua-duanya.
Sedangkan patofisiologi menurut Markum (1999). trauma pada
kepala menyebabkan tengkorak beserta isinya bergetar, kerusakan yang
terjadi tergantung pada besarnya getaran makin besar getaran makin
besar kerusakan yang timbul, getaran dari benturan akan diteruskan
menuju Galia aponeurotika sehingga banyak energi yang diserap oleh
perlindungan otak, hal itu menyebabkan pembuluh darah robek sehingga
akan menyebabkan haematoma epidural, subdural, maupun intracranial,
perdarahan tersebut juga akan mempengaruhi pada sirkulasi darah ke
otak menurun sehingga suplay oksigen berkurang dan terjadi hipoksia
jaringan akan menyebabkan odema cerebral.
Akibat dari haematoma diatas akan menyebabkan distorsi pada
otak, karena isi otak terdorong ke arah yang berlawanan yang berakibat
pada kenaikan T.I.K (Tekanan Intra Kranial) merangsang kelenjar
pituitari dan steroid adrenal sehingga sekresi asam lambung meningkat
akibatnya timbul rasa mual dan muntah dan anaroksia sehingga masukan
nutrisi kurang (Satya, 1998).

13
F. Pathway

14
Gangguan
perfusi jaringan Kebocoran
kapiler
1. Kaji Status
kesadaran
2. Pantau TTV
3. Kontrol Udem pulmonal
perdarahan
dan eudema

Cerebral
Hematoma

pH Arterial Cerebral Disfungsi Batang Defisit Neurologi


Meningkat Otak

Menstimulus Merangsang
Penggunaan Dilatasi Arteri Gangguan Persepsi
Hipotalamus Hipofisis
antikonvulsan: Sensori
Kerusakan saraf
1. Fenitoin atau
fosfenitoin pada Pelepasan ACTH Streroid motorik
Aliran darah ke
fase akut (1gr adrenalin
dalam kecepatan otak meningkat
50mg/menit) Penghentian
2. Deazepan atau Gangguan
lorazepam Edema serebri sekresi anto Peningkatan
3. Anastesi deuretik asam lambung Mobilitas Fisik
umum jika
kejang Kejang Diabetes
Insipidus Mual Muntah
berlanjut lebih
15
dari 60 menit
acceleration-deselaration

Angular force

impact Direct impact

Shock waves(gel.kejut)

Efek Tekanan

Trauma kepala

Kulit kepala Tulang kepala jaringan otak

Hematoma pd. Kulit fr. Linear, fr.comunited, komusio,hematoma,


fr.depresed, fr. basis

B1 B2 B3 B4 B5 B6

ICP meningkat ADH dilepas Meningkatnya Control motorik Tubuh perlu Rusaknya neuron
Rangsangan dan postural energy untuk motorik pada
simpatis konfusi menurun perbaikan medulla spinalis
Rangsang retensi Na& air
simpatis
meningkat 16
Meningkatkan output urine tah.vaskuler Control spinkter nutrisi kurang Paralisi otot
G.
tahanan vaskuler menurun sistemik&TD urinarius dari keb. tubuh ekstremitas
Sistemik & TD meningkat eksternal
menurun atau
konsentrasi hilang Penghancuran Perubahan
Sistem pembuluh elektrolit System pembuluh Inkontinensia protein otot kekuatan otot,
darah Pulmonal meningkat darah pulmonal urine sebagai sumber tonus dan
tek. rendah tekanan rendah nitrogen utama aktivitas reflek
(00028)resiko (00016)Gangguan menurun
gangguan eliminasi urine
Meningkatkan keseimbangan Tekanan Nitrogen hilang (00085)Hambatan
tek.hidrostatik cairan & hidrostatik mobilitas fisik
elektrolit meningkat
Kebocoran cairan
kapiler (00093)kelelahan/
Edema paru kelemahan fisik
Edema cerebral
Peningkatan
hambatan Difusi
Bertambahnya
O2-CO2
vol. intra cranial
krna perdarahan
otak
Hipoksemia,
hiperkapnea Resiko PTIK,
CPP meningkat,
MAP meningkat
(00032)Ketidak
Efektifna Pola
napas (00024)Ganggaun
perpusi jaringan
(00030)Gangguan Cerebral
Pertukaran gas 17

(00132)Nyeri
Akut
G. Pemeriksaan Penyakit (Fokus Penyakit)
1. Aspek Neurologis
Pengkajian yang dilakukan adalah Tingkat kesadaran, biasanya GCS
kurang dari 15, disorentasi orang/tempat dan waktu, adanya refleks babinski
yang positif, perubahan nilai tanda-tanda vital, adanya gerakan decebrasi
atau dekortikasi dan kemungkinan didapatkan kaku kuduk dengan
brudzinski positif. Adanya hemiparese.
Pada pasien sadar, dia tidak dapat membedakan berbagai
rangsangan/stimulus rasa, raba, suhu dan getaran. Terjadi gerakan-gerakan
involunter, kejang dan ataksia, karena gangguan koordinasi. Pasien juga
tidak dapat mengingat kejadian sebelum dan sesudah trauma. Gangguan
keseimbangan dimana pasien sadar, dapat terlihat limbung atau tidak dapat
mempertahankan keseimbangan tubuh. Nervus kranialis dapat terganggu bila
trauma kepala meluas sampai batang otak karena edema otak atau
pendarahan otak.
2. Aspek Kardiovaskuler
Didapat perubahan tekanan darah menurun, kecuali apabila terjadi
peningkatan intrakranial maka tekanan darah meningkat, denyut nadi
bradikardi, kemudian takhikardia, atau iramanya tidak teratur. Selain itu
pengkajian lain yang perlu dikumpulkan adalah adanya perdarahan atau
cairan yang keluar dari mulut, hidung, telinga, mata. Adanya hipereskresi
pada rongga mulut. Adanya perdarahan terbuka/hematoma pada bagian
tubuh lainnya. Hal ini perlu pengkajian dari kepala hingga kaki.
3. Aspek sistem pernapasan
Terjadi perubahan pola napas, baik irama, kedalaman maupun frekuensi
yaitu cepat dan dangkal, irama tidak teratur (chyne stokes, ataxia brething),
bunyi napas ronchi, wheezing atau stridor. Adanya sekret pada tracheo
brokhiolus. Peningkatan suhu tubuh dapat terjadi karena adanya infeksi atau
rangsangan terhadap hipotalamus sebagai pusat pengatur suhu tubuh.

18
4. Aspek sistem eliminasi
Akan didapatkan retensi/inkontinen dalam hal buang air besar atau kecil.
Terdapat ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, dimana terdapat
hiponatremia atau hipokalemia. Pada sistem gastro-intestinal perlu dikaji
tanda-tanda penurunan fungsi saluran pencernaan seperti bising usus yang
tidak terdengar/lemah, mual dan muntah. Hal ini menjadi dasar dalam
pemberian makanan.

H. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi pada cedera kepala diantaranya:
1. Defisitnya neurologi fokal
2. Kejang
3. Pneumonia
4. Perdarahan gastrointestinal
5. Disritmia jantung
6. Hidrosefalus
7. Kerusakan kontrol respirasi
8. Inkontinensia bladder atau bowel

I. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan untuk pasien dengan trauma
kepala yaitu:
a. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan
perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark /
iskemia jangan dilakukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.
b. MRI
Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.

19
c. Cerebral Angiography
Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti perubahan jaringan otak
sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
d. Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis.
e. X-Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan/edema), fragmen tulang.
f. BAER (Brain Auditory Evoked Respons)
Berfungsi untuk menentukan fungsi korteks dan batang otak.
g. PET (Positron Emission Tomography)
Yaitu untuk menunjukkan perubahan aktivitas metabolisme pada otak.
2. Pemeriksaan Laboratorium
a AGD (PO2, pH, HCO3) untuk mengkaji keadekuatan ventilasi
(mempertahankan AGD dalam rentang normal untuk menjamin aliran
darah serebral adekuat) atau untuk melihat masalah oksigenasi yang
dapat meningkatkan TIK.
b Elektrolit serum. Cedera kepala dapat dihubungkan dengan gangguan
regulasi natrium, retensi Na berakhir dapat beberapa hari, diikuti dengan
diuresis Na, peningkatan letargi, konfusi, dan kejang akibat
ketidakseimbangan elektrolit.
c Hematologi untuk memeriksa leukosit, Hb, albumin, Globulin, protein
serum.
d CSS untuk menentukan kemungkinan adanya perdarahan subarakhnoid
(warna, komposisi, tekanan).
e Pemeriksaan toksikologi untuk mendeteksi obat yang mengakibatkan
penurunan kesadaran.
f Kadar antikonvulsan darah untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup
efektif mengatasi kejang

20
J. Asuhan Keperawatan Pasien dengan Trauma Kepala
1. Pengkajian
Menurut Dewanto et al. (2009) dalam pemeriksaan pada trauma kepala
dapat dilakukan primary dan secondary survei. Survei primer mengkaji
ABCDE (airway, breathing, circulation, disability, exposure), dan survei
sekunder terdiri dari observasi ketat penting pada jam-jam pertama sejak
kejadian cedera.
a. Survei Primer
2) Airway
Daerah tulang servikal harus diimobilisasi dalam posisi netral
menggunakan stiffneck collar, head block, dan diikat pada alas yang
kaku pada kecurigaan fraktur servikal.
Pastikan penanganan jalan nafas dengan teknik kontrol
servikal sehingga dapat memudahkan oksigen masuk ke paru-paru.
Lakukan posisi head up <30 derajat untuk mempermudah aliran
masuk dan keluar darah ke otak. Pada pasien dengan GCS < 8 maka
harus segera dipasang ETT.
3) Breathing
Pastikan asupan oksigen adekuat dengan mempertahankan
saturasai 95 – 100 %. Lihat perkembangan dada apakah simestris
atau tidak, deviasi trakea, suara nafas tambahan, distensi vena
jugularis. Berikan oksigen dengan konsentrasi tinggi melalui
SMRM ataupun SMNRM. Apabila pasien dilakukan pemasangan
ETT maka di anjurkan memakai ventilator mekanik.
4) Circulation
Kaji tekanan darah pasien, frekuensi nadi, suhu, dan adanya
ciri-ciri perdarahan. Pasang IV line 2 jalur pada kasus peningkatan
tekanan intrakranial, frekuensi nadi dan pernapasan menurun,
sedangkan tekanan darah dan suhu meningkat.

21
5) Disability
Ada tidaknya penurunan kesadaran, kehilangan sensasi dan
refleks, pupil anisokor dan nilai GCS. Menurut Arif Mansjoer. Et
all. 2000 penilaian GCS berdasarkan pada tingkat keparahan cidera:
a) Cidera kepala ringan/minor (kelompok resiko rendah)
i) Skor skala koma Glasglow 15 (sadar penuh, atentif, dan
orientatif)
ii) Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya konkusi)
iii) Tidak ada intoksikasi alkohaol atau obat terlarang
iv) Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
v) Pasien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematoma
kulit kepala
vi) Tidak adanya kriteria cedera sedang-berat.
b) Cidera kepala sedang (kelompok resiko sedang)
i) Skor skala koma glasgow 9-14 (konfusi, letargi atau
stupor)
ii) Konkusi
iii) Amnesia pasca trauma
iv) Muntah
v) Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle, mata
rabun, hemotimpanum, otorhea atau rinorhea cairan
serebrospinal).
c) Cidera kepala berat (kelompok resiko berat)
i) Skor skala koma glasglow 3-8 (koma)
ii) Penurunan derajat kesadaran secara progresif
iii) Tanda neurologis fokal
iv) Cidera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi
kranium.

22
6) Exposure
Semua pakaian harus dilepaskan sehingga semua luka dapat
terlihat. Anak-anak sering datang dengan keadaan hipotermia
ringan karena permukaan tubuh mereka lebih luas. Pasien dapat
dihangatkan dengan alat pemancar panas, selimut hangat, maupun
pemberian cairan intravena (yang telah dihangatkan sampai 390C)
(Dewanto et al.2009).

b. Survei Sekunder
1) Keluhan utama
Pada pasien trauma kepala biasanya terjadi penurunan
kesadaran setelah mengalami trauma, selain itu terjadi pula
konvulsi, muntah, dispnea / takipnea, sakit kepala, wajah simetris /
tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi sekret pada saluran
napas, adanya darah dari hidung dan telinga dan kejang.
2) Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui baik yang
berhubungan dengan sistem persarafan maupun penyakit sistemik
lainnya, demikian pula riwayat penyakit keluarga terutama yang
mempunyai penyakit menular. Riwayat kesehatan tersebut dapat
dikaji dari klien atau keluarga sebagai data subyektif. Data-data ini
sangat berarti karena dapat mempengaruhi prognosa klien.
3) Pemeriksaan fisik (B1-B6)
Breathing (B1)
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan
irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas,
kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes
atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing

23
(kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan
produksi sputum pada jalan napas.
Blood (B2)
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah
bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan
transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan
mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung
(bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia,
disritmia).
Brain (B3)
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi
adanya gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran
sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus,
kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Pemeriksaan fokus
pada B3 meliputi:
a) Pemeriksaan tingkat kesadaran dengan Glasgow Coma Scale
(GCS)

NO KOMPONEN NILAI HASIL

1 VERBAL 1 Tidak berespon

2 Suara tidak dapat dimengerti,


rintihan

3 Bicara kacau/kata-kata tidak


tepat/tidak nyambung dengan
pertanyaan

24
4 Bicara membingungkan, jawaban
tidak tepat

5 Orientasi baik

2 MOTORIK 1 Tidak berespon

2 Ekstensi abnormal

3 Fleksi abnormal

4 Menarik area nyeri

5 Melokalisasi nyeri

6 Dengan perintah

3 Reaksi 1 Tidak berespon


membuka mata
2 Rangsang nyeri
(EYE)
3 Dengan perintah (rangsang
suara/sentuh)

4 Spontan

b) Fungsi motorik
Setiap ekstremitas diperiksa dan dinilai dengan skala
berikut yang digunakan secara internasional :

RESPON SKALA

Kekuatan normal 5

Kelemahan sedang 4

25
Kelemahan berat (antigravity) 3

Kelemahan berat (not antigravity) 2

Gerakan trace 1

Tak ada gerakan 0

c) Pemeriksaan Nervus:
i. Nervus I (Olfaktorius) : memperlihatkan gejala
penurunan daya penciuman dan anosmia bilateral.
ii. Nervus II (Optikus), pada trauma frontalis :
memperlihatkan gejala berupa penurunan penglihatan.
iii. Nervus III (Okulomotorius), Nervus IV (Trokhlearis) dan
Nervus VI (Abducens) : kerusakannya akan
menyebabkan penurunan lapang pandang, refleks cahaya
menurun, perubahan ukuran pupil, bola mata tidak dapat
mengikuti perintah, anisokor.
iv. Nervus V (Trigeminus) : gangguannya ditandai dengan
adanya anestesi daerah dahi.
v. Nervus VII (Fasialis) : pada trauma kapitis yang
mengenai neuron motorik atas unilateral dapat
menurunkan fungsinya, tidak adanya lipatan nasolabial,
melemahnya penutupan kelopak mata dan hilangnya rasa
pada 2/3 bagian lidah anterior lidah.
vi. Nervus VIII (Akustikus) : pada pasien sadar gejalanya
berupa menurunnya daya pendengaran dan kesimbangan
tubuh.

26
vii. Nervus IX (Glosofaringeus), Nervus X (Vagus), dan
Nervus XI (Assesorius) : gejala jarang ditemukan karena
penderita akan meninggal apabila trauma mengenai saraf
tersebut. Adanya Hiccuping (cekungan) karena kompresi
pada nervus vagus, yang menyebabkan kompresi
spasmodik dan diafragma. Hal ini terjadi karena kompresi
batang otak. Cekungan yang terjadi, biasanya yang
berisiko peningkatan tekanan intrakranial.
viii. Nervus XII (hipoglosus) : gejala yang biasa timbul,
adalah jatuhnya lidah kesalah satu sisi, disfagia dan
disartria. Hal ini menyebabkan adanya kesulitan menelan.
Blader (B4)
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi,
inkontinensia urin, ketidakmampuan menahan miksi.
Bowel (B5)
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah,
mual, muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami
perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya
proses eliminasi alvi.
Bone (B6)
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese,
paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena
imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau
ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena
rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan
refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus
otot.
5) Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan CT-Scan, MRI, EEG,
X-Ray, pemeriksaan AGD, elektrolit serum, CSS dsb.

27
4 Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Serebral
b. Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas
c. Nyeri Akut
d. Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang dari Kebutuhan Tubuh
e. Kerusakan Integritas Kulit
f. Resiko Infeksi

28
5 Intervensi Keperawatan

No. Diagnosa Keperawatan (NANDA) Nursing Outcome Classification (NOC) Nursing Income Classification (NIC)
1. Ketidakefektifan Perfusi Tujuan: Manajemen Sirkulasi
Jaringan Serebral (00201) 1. Status sirkulasi 1. Pantau nadi perifer
Definisi: penurunan oksigen yang 2. Status perfusi jaringan serebral 2. Catat warna kulit dan temperatur
mengakibatkan kegagalan Status sirkulasi: 3. Cek capilary refil
penerimaan nutrisi ke jaringan a. Tekanan darah dalam batas normal 4. Monitor status cairan, masukan dan keluaran yang sesuai
pada tingkat kapiler. b. Kekuatan nadi dalam batas normal 5. Monitor lab Hb dan Ht
Batasan Karakteristik: c. Rata-rata tekanan darah dalam batas normal 6. Monitor perdarahan
1. Perubahan status mental d. Tekanan vena sentral dalam batas normal 7. Monitor status hemodinamik, neurologis dan tanda vital
2. Perubahan perilaku e. Tidak ada hipotensi ortostatik Monitor Status Neurologi
3. Kesulitan menelan f. Tidak ada bunyi jantung tambahan 8. Monitor ukuran, bentuk, kesimetrisan dan reaksi pupil
4. Kelemahan g. Tidak ada angina 9. Monitor tingkat kesadaran
5. Ketidaknormalan dalam h. Tidak ada suara napas tambahan 10. Monitor tingkat orientasi
berbicara i. AGD dalam batas normal 11. Monitor GCS
Faktor yang berhubungan: j. Perbedaan O2 arteri dan vena dalam batas 12. Monitor tanda vital
1. Gangguan aliran arteri normal 13. Monitor respon pasien terhadap pengobatan
atau vena k. Kekuatan pulsasi perifer
l. Tidak ada pelebaran vena
m. Tidak ada edema perifer
Perfusi jaringan serebral:
a. Pengisian capilary refil
b. Kekuatan pulsasi perifer distal
c. Kekuatan pulsasi perifer proksimal
d. Kesimetrisan pulsasi perifer proksimal
e. Tingkat sensasi normal
f. Warna kulit normal
g. Kekuatan fungsi otot
h. Keutuhan kulit
i. Suhu kulit hangat
j. Tidak ada edema perifer

29
k. Tidak ada nyeri pada ekstremitas
Kriteria Hasil:
Setelah dilakukan intervensi selama 3x24 jam
menunjukkan status sirkulasi, yang dibuktikan
dengan:
1. Tekanan darah sistolik dan diastolik dalam
rentang yang diharapkan
2. Tidak ada ortostatik hipotensi
3. Tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK
4. Klien mampu berkomunikasi dengan jelas
dan sesuai kemampuan
5. Klien menunjukkan perhatian, konsentrasi,
dan orientasi
6. Klien mampu memproses informasi
7. Klien mampu membuat keputusan dengan
benar
8. Tingkat kesadaran klien membaik
2. Ketidakefektifan Bersihan Tujuan: Airway Management:
Jalan Napas (00031) 1. Respiratory status: airway patency 1. Monitor respirasi dan status O2
Definisi: ketidakmampuan untuk Kriteria Hasil: 2. Auskultasi suara napas, catat adanya suara tambahan
membersihkan sekresi atau Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam 3. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan napas
obstruksi dari saluran napas untuk diharapkan pasien mampu menunjukkan status buatan
mempertahankan bersihan jalan pernapasan: kepatenan jalan napas dibuktikan 4. Buka jalan napas, gunakan teknik chin lift atau jaw thrust
napas dengan: bila perlu
Batasan Karakteristik: 1. Mengeluarkan sekret secara efektif 5. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
1. Suara napas tambahan 2. Mempunyai irama dan frekuensi dalam 6. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
seperti ronchi rentang normal 7. Lakukan suction pada mayor
2. Kesulitan untuk berbicara 3. Pada pemeriksaan auskultasi suara napas 8. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
Faktor yang berhubungan: jernih 9. Berikan bronkodilator bila perlu
1. Spasme jalan napas 4. Menunjukkan jalan napas yang paten (klien Airway Suction:
tidak merasa tercekik) 10. Pastikan kebutuhan oral.tracheal suctioning
11. Auskultasi suara napas sebelum dan sesudah suctioning

30
12. Informasikan pada klien dan keluarga tentang suctioning
13. Minta klien napas dalam sebelum suction dilakukan
14. Berikan O2 dengan menggunakan nasal untk
memfasilitasi suction nasotrakeal
15. Gunakan alat yang steril setiap melakukan tindakan
16. Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam setelah
kateter dikeluarkan dari nasotrakeal
17. Monitor status oksigen pasien
18. Ajarkan keluarga bagaimana cara melakukan suction
19. Hentikan suction dan berikan oksigen apabila pasien
menunjukkan bradikardi, peningkatan saturasi O2
Health Education:
20. Anjurkan pasien untuk menghindari posisi telentang
21. Beri dorongan untuk memilih posisi duduk, lateral, tegak
lurus untuk meningkatkan ekspansi paru
22. Anjurkan pasien untuk membuang sputum menggunakan
tisu menjaga personal hygiene ataupun lingkungan
23. Anjurkan pasien untuk melaporkan jika ada perubahan
pada warna sputum
3. Nyeri Akut (00132) Tujuan: Pain Management:
Definisi: sensori yang tidak 1. Pain level 1. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
menyenangkan dan pengalaman 2. Pain control 2. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk
emosional yang muncul secara Kriteria Hasil: lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, skala, kualitas dan
aktuala tau potensial kerusakan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam, faktor presipitasi
jaringan atau menggambarkan pasien diharapkan mampu memperlihatkan nyeri 3. Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri
adanya kerusakan. skala ringan, yang dibuktikan dengan: 4. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri
Batasan Karakteristik: 1. Mampu mengontrol nyeri, penyebab nyeri, seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
1. Mengekspresikan mampu menggunakan teknik non 5. Pilih dan lakukan penangan nyeri (farmakologi,
perilaku farmakologi untuk mengurangi nyeri, nonfarmakologi dan inter personal)
2. Sikap melindungi area mencari bantuan 6. Lakukan tindakan kenyamanan untuk meningkatkan
nyeri 2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan relaksasi, mis. Pemijatan, mengatur posisi, teknik
3. Perubahan posisi untuk menggunakan manajemen nyeri relaksasi

31
menghindari nyeri 3. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, 7. Gunakan teknik panas dan dingin sesuai anjuran untuk
4. Sikap tubuh melindungi frekuensi dan tanda nyeri) meminimalkan nyeri
nyeri 4. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri 8. Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan
Faktor yang berhubungan: berkurang tindakan nyeri tidak berhasil
1. Agen cedera (fisik) 5. Tanda vital dalam rentang normal 9. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
10. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
Analgesic Administration
11. Cek riwayat alergi
12. Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis dan
frekuensi
13. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri
sebelum pemberian obat
14. Pilih analgesik uang diperlukan atau kombinasi dari
analgesik ketika pemberian lebih dari satu
15. Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe dan beratnya
nyeri, tentukan rute pemberian, dan dosis optimal
16. Kolaborasi pemberian analgesik tepat waktu terutama
saat nyeri hebat
17. Evaluasi efektibitas analgesik, tanda dan gejala
4. Ketidakseimbangan nutrisi Tujuan: Monitor Nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh 1. Status nutrisi 1. Monitor BB jika memungkinkan
(00002) 2. Status gizi 2. Monitor adanya gangguan dalam input makanan
Definisi: asupan nutrisi tidak Kriteria Hasil: misalnya adanya mual muntah, perdarahan, bengkak, dsb
mencukupi untuk memenuhi Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam 3. Monitor respon klien terhadap situasi yang
kebutuhan metabolik. diharapkan pasien mampu: mengharuskan klien makan
Batasan Karakteristik: 1. Memperlihatkan status nutrisi pasien 4. Monitor intake nutrisi dan kalori
1. Mual, muntah normal, yang dibuktikan dengan: 5. Monitor kadar energi, kelemahan dan kelelahan
2. Ketidakmampuan a. Intake nutrien normal 6. Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak bersamaan
memakan makanan b. Intake makanan dan cairan normal dengan waktu klien makan
Faktor yang berhubungan: c. Berat badan normal 7. Kolaborasi untuk pemberian terapi sesuai order
1. Ketidakmampuan d. Massa tubuh normal Manajemen Nutrisi
menelan makanan e. Pengukuran biokimia normal 8. Kaji adanya alergi makanan

32
2. Mual, muntah 2. Memperlihatkan status gizi: asupan nutrisi 9. Kaji makanan yang disukai oleh klien
dan cairan yang dibuktikan dengan: 10. Yakinkan diet yang dikonsumsi mengandung cukup serat
a. Pasien mampu menjelaskan komponen untuk mencegah konstipasi
diet gizi adekuat 11. Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi
b. Pasien mentoleransi diet yang 12. Sajikan makanan dengan tampilan yang menarik
dianjurkan 13. Anjurkan klien untuk meningkatkan asupan nutrisi
c. Pasien memiliki nilai laboratorium TKTP dan banyak mengandung vitamin C
dalam batas normal 14. Kolaborasi tim gizi untuk penyediaan nutrisi TKTP
d. Pasien melaporkan tingkat energi yang 15. Kolaborasi pemberian obat antiemetik
adekuat Manajemen Gangguan Makan
16. Yakinkan pasien dan berikan lingkungan yang tenang
selama makan
17. Siapkan kateter pengisap di samping tempat tidur dan
alat pengisap selama makan, bila diperlukan
18. Ubah pasien semi fowler, atau fowler tinggi untuk
memudahkan menelan, biarkan pasien pada posisi ini
selama 30 menit setelah makan untuk mencegah aspirasi
19. Letakkan makanan pada bagian mulut yang tidak
bermasalah untuk memudahkan menelan
Monitoring Cairan
20. Tentukan riwayat jumlah dan tipe cairan dan kebiasaan
eliminasi
21. Tentukan kemungkinan faktor resiko ketidakseimbangan
cairan
22. Monitor serum albumin dan kadar protein total
23. Monitor membran mukosa, turgor kulit, dan rasa haus
24. Monitor warna, kuantitas, dan BJ urin
25. Monitor distensi vena leher, krakles pada paru-paru,
edema perifer dan peningkatan BB
26. Monitor tanda dan gejala asites
Manajemen Cairan
27. Monitor hasil lab yang relevan dengan retensi cairan

33
28.Monitor adanya indikasi retensi cairan
29.Monitor respon pasien terhadap terapi elektrolit
30.Berikan makanan ringan
31.Batasi intake cairan pada kondisi delusional hiponatremi
dengan Na serum dibawah 130 mEq/L
32. Konsulkan dengan dokter jika tanda dan gejala
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit meningkat atau
memburuk
33. Menata keberadaan produk darah untuk tranfusi
34. Siapkan pemberian produk darah
35. Berikan produk darah
Manajemen Berat Badan
36. Diskusikan dengan pasien kondisi medis yang
mempengarhi berat badan
37. Tentukan berat badan ideal pasien
38. Dorong pasien untuk membuat grafik berat badan setiap
minggu, jika sesuai
39. Informasikan pasien adanya dukungan yang bisa
membantunya
40. Bantu pasien untuk membuat perencanaan makanan yang
seimbang dan konsisten dengan tingkat penggunaan
energinya.
Manajemen Elektrolit
41. Monitor elektrolit serum abnormal, jika ada
42. Monitor manifestasi dari ketidakseimbangan elektrolit
43. Monitor respon pasien untuk menentukan therapi
elektrolit
44. Monitor efek samping pemberian suplemen elektrolit
45. Monitor secara ketat tingkat potassium serum pasien
yang mendapatkan obat digitasli dan diuretic
46. Pertahankan pencatatan intake-output cairan secara
akurat

34
47. Pertahankan kandungan elektrolit larutan IV dengan laju
aliran yang konstan, secara tepat
48. Berikan suplemen elektrolit sesuai dengen resep, jika
diperlukan.
49. Berikan zat pengikat elektrolit sesuai dengan yang
diresepkan.
50. Lakukan pengiriman spesimen untuk analisis tingkat
elektrolit di laboratorium
51. Lakukan tindakan untuk mengontrol kahilangan cairan
elektrolit yang berlebih secara tepat
52. Berikan diit yang tepat bagi pasien dengan
ketidakseimbangan elektrolit
53. Sediakan lingkungan yang aman bagi pasien dengan
gangguan neurologis atau neuromuskular sebagai
manifestasi dari ketidakseimbangan elektrolit
54. Konsultasiken dengan dokter jika tanda dan gejala
ketidakseimbangan elektrolit meningkat atau memburuk.
55. Konsultasikan dengan dokter untuk pemberian
electrolyt-sparing medication secara tepat.
Manajemen Elektrolit: Hipokalsemia
56. Hindari pengobatan yang meurunkan kalsium serum
terionisasi
57. Hindari pemberian garam kalsium dengan bikarbonat
untuk mencegah presipitasi
58. Berikan intake vit D yang adekuat
Manajemen Elektrolit: Hiperpospathemia
59. Berikan pengikat phospat dan obat diuretik yang
diresepkan dengan makanan yang menurunkan absorbsi
phospat
60. Berikan kalsium dan vit D yang diresepkan untuk
mengurangi tingkat phospat.
Health Education:

35
61. Ajari keluarga mengenai jenis, penyebab dan pengobatan
ketidakseimbangan elektrolit
62. Anjurkan untuk mengkonsumsi kalsium
63. Hindari makanan kaya dengan phospat
5. Kerusakan Integritas Kulit Tujuan: Pengawasan kulit
(00046) 1. Integritas kulit 1. Observasi ekstremitas untuk warna, keringat, nadi,
Definisi: perubahan/gangguan Kriteria Hasil: tekstur, edema dan luka
epidermis dan/ atau dermis. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2. Inspeksi kulit dan membran mukosa untuk kemerahan,
Batasan Karakteristik: 3x24 jam diharapkan pasien menunjukkan integritas panas, drainase
1. Kerusakan lapisan kulit jaringan kulit, yang dibuktikan dengan: 3. Monitor kulit pada daerah kemerahan
2. Gangguan permukaan 1. Suhu, elastisitas, dehidrasi dan sensasi 4. Monitor penyebab tekanan
kulit 2. Perfusi jaringan 5. Monitor adanya infeksi
Faktor yang berhubungan: 3. Keutuhan kulit 6. Monitor warna kulit
Eksternal: 7. Monitor temperatur kulit
1. Faktor mekanik 8. Catat perubahan kulit dan membran
Internal: 9. Monitor kulit area kemerahan
1. Perubahan turgor Manajemen Tekanan
2. Perubahan sirkulasi 10. Elevasi ekstremitas yang terluka
11. Monitor status nutrisi pasien
12. Monitor sumber tekanan
13. Monitor mobilitas dan aktivitas pasien
14. Mobilisasi pasien minimal setiap 2 jam sekali
15. Ajarkan pasien untuk menggunakan pakaian yang
longgar.
6. Resiko Infeksi (00004) Tujuan: Kontrol Infeksi
Definisi: peningkatakan resiko 1. Meningkatkan status kekebalan pasien 1. Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain
masuknya organisme patogen. 2. Mengontrol infeksi 2. Pertahankan tehnik isolasi
Faktor yang berhubungan: Kriteria Hasil: 3. Batasi pengunjung bila perlu
1. Prosedur invasif Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 4. Instruksikan pengunjung untuk mencuci tangan saat
2. Ketidakcukupan 3x24 jam diharapkan: berkunjung dan setelah berkunjung
pengetahuan untuk 1. Status kekebalan pasien meningkat, yang 5. Gunakan sabun anti mikroba untuk cuci tangan
menghindari paparan dibuktikan dengan kriteria hasil: 6. Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan keperawatan

36
patogen trauma a. Tidak didapatkan infeksi berulang 7. Gunakan universal precaution dan gunakan sarung
3. Kerusakan jaringan dan b. Tidak didapatkan tumor tangan selma kontak dengan kulit yang tidak utuh
peningkatan paparan c. Status respirasi sesuai yang diharapkan 8. Tingkatkan intake nutrisi dan cairan
lingkungan d. Temperatur badan sesuai yang 9. Berikan terapi antibiotik bila perlu
4. Ruptur membran amnion diharapkan 10. Observasi dan laporkan tanda dan gejal infeksi seperti
5. Agen farmasi e. Integritas kulit kemerahan, panas, nyeri, tumor
6. Malnutrisi f. Integritas mukosa 11. Kaji temperatur tiap 4 jam
7. Peningkatan paparan g. Tidak didapatkan fatigue kronis 12. Catat dan laporkan hasil laboratorium, WBC
lingkungan patogen h. Reaksi skintes sesuai paparan 13. Gunakan strategi untuk mencegah infeksi nosokomial
8. Imunosupresi 2. Mengontrol infeksi dengan kriteria hasil 14. Istirahat yang adekuat
9. Ketidakadekuatan imun a. Mendeskripsikan proses penularan 15. Kaji warna kulit, turgor dan tekstur, cuci kulit dengan
buatan penyakit hati-hati
10. Tidak adekuat pertahanan b. Mendeskripsikan faktor yang 16. Ganti IV line sesuai aturan yang berlaku
sekunder mempengaruhi terhadap proses 17. Pastikan perawatan aseptik pada IV line
11. Tidakk adekuat penularan penyakit 18. Pastikan teknik perawatan luka yang tepat
pertahanan tubuh primer c. Mendeskripsikan tindakan yang dapat 19. Berikan antibiotik sesuai autran
dilakukan untuk pencegahan proses 20. Ajari pasien dan keluarga tanda dan gejal infeksi dan
penularan penyakit kalau terjadi melaporkan pada perawa
d. Mendeskripsian tanda dan gejala 21. Ajarkan klien dan anggota keluarga bagaimana
infeksi mencegah infeksi
e. Mendeskripsikan penatalaksanaan yang Proteksi Infeksi
tepat untuk infeksi 22. Monitor tanda dan gejala infeksi
23. Monitor hitung granulosit, WBC
24. Monitor kerentanan terhadap infeks
25. Batasi pengunjung
26. Saring pengunjung terhadap penyakit menular

37
K. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Keperawatan
a. Pertahankan fungsi ABC
b. Observasi status neurologis
c. Observasi 24 jam
d. Tinggikan posisi kepala pasien 30° untuk menurunkan TIK
e. Jaga kebutuhan nutrisi pasien agar tetap terpenuhi
f. Jika pasien muntah, puasakan terlebih dahulu
g. Ajarkan teknik relaksasi napas dalam untuk mengurangi nyeri
h. Awasi kemungkinan munculnya kejang
2. Penatalaksanaan Medis
a. Cairan IV
Cairan intravena harus diberikan sesuai kebutuhan untuk resusitasi
dan mempertahanakan normovolemia. Keadaan hipovolemia pada
pasien sangatlah berbahaya. Namun, perlu juga diperhatikan untuk tidak
memberikan cairan berlebihan. Jangan diberikan cairan hipotonik. Juga,
penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat menyebabkan
hiperglikemia yang berakibat buruk pada otak yang cedera. Karena itu,
cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan Ringer Laktat
atau garam fisiologis. Kadar natrium serum perlu dimonitor pada pasien
dengan cedera kepala. Keadaan hiponatremia sangat berkaitan dengan
endema otak sehingga harus dicegah.
b. Antibiotik
Dapat diberikan terutama untuk cedera kepala terbuka,
pemasangan monitor TIK, atau infeksi pada sistem tubuh lainnya.
c. Obat antikejang (misal : fenitoin, dan karbamazepin)
Epilepsi pascatrauma terjadi pada 5% pasien yang dirawat di RS
dengan cedera kepala tertutup dan 15% pada cedera kepala berat.
Terdapat 3 faktor yang berkaitan dengan insiden epilepsi: (1) Kejang

38
awal yang terjadi dalam minggu pertama, (2) Perdarahan Intrakranial,
atau (3) Fraktur depresi. Penelitian tersamar ganda / double blind
menunjukkan bahwa fenitoin sebagai profilaksis bermanfaat untuk
menurunkan angka insidensi kejang dalam minggu pertama cedera
namun tidak setelahnya. Fenitoin atau fosfenitoin adalah obat yang biasa
diberikan pada fase akut. Untuk dewasa dosis awalnya adalah 1 g yang
diberikan secara intravena dengan kecepatan pemberian tidak lebih
cepat dari 50 mg/menit. Dosis pemeliharaan biasanya 100 mg/8 jam,
dengan titrasi untuk mencapai kadar terapetik serum. Pada pasien
dengan kejang berkepanjangan, diazepam atau lorazepam digunakan
sebagai tambahan selain fenitoin sampai kejang berhenti. Untuk
mengatasi kejang yang terus menerus kadang memerlukan anestesi
umum. Sangat jelas bahwa kejang harus dihentikan dengan segera
karena kejang yang berlangsung lama (30 sampai 60 menit) dapat
menyebabkan cedera otak..
d. Antipiretik
Adalah golongan obat untuk demam. Saat terjadi infeksi, otak kita
akan menaikkan standar suhu tubuh diatas nilai normal sehingga tubuh
menjadi demam. Terdapat banyak jenis obat antipiretik diantaranya
adalah obat – obatan antiradang nonsteroid (ibuprofen, ketoprofen,
nimesulide), aspirin, paracetamol, metimazol.
e. Barbiturat
Barbiturat dosis tinggi (pentobarbital atau tiopental) akan
menginduksi koma, menurnkan TIK, dan mengurangi angka kematian
pada klien dengan TIK yang tidak terkendali yang tahan terhadap semua
tindakan medis dan bedah lainnya. Pada awalnya diberikan 10 mg/kgBB
dalam 30 menit, kemudian dilanjutkan dengan bolus 5 mg/kgBB setiap
jamserta drip 1mg/kg BB/jam untuk mencapai kadar serum 3 – 4 mg%.

39
f. Glukokortikoid (dexamethazone)
Berfungsi untuk mengurangi demam. Obat ini diberikan 10 mg
untuk dosis awal, pada hari ke 2 – 3 diberikan 5 mg/8 jam, hari ke 4
diberikan 5 mg/12 jam, dan pada hari ke 5 diberikan 5 mg/24 jam.
g. Diuretic osmotic (manitol)
Manitol digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial (TIK)
yang meningkat. Sediaan yang tersedia cairan manitol dengan
konsentrasi 20% (20 gram setiap 100 ml larutan). Dosis yang diberikan
0.25 – 1 g/kg BB diberikan secara bolus intravena. Manitol jangan
diberikan pada pasien yang hipotensi, karena manitol tidak mengurangi
tekanan intrakranial pada kondisi hipovolemik dan manitol merupakan
diuretic osmotic yang potensial. Adanya perburukan neurologis yang
akut, seperti terjadinya dilatasi pupil, hemiparesis maupun kehilangan
kesadaran saat pasien dalam observasi merupakan indikasi kuat untuk
diberikan manitol. Pada keadaan tersebut pemberian bolus manitol (1
g/kgBB) harus diberikan secara cepat (dalam waktu lebih dari 5 menit)
dan pasien segera di bawa ke CT scan ataupun langsung ke kamar
operasi bila lesi penyebabnya sudah diketahui.
h. Obat paralitik (pancuronium)
Digunakan jika klien dengan ventilasi mekanik untuk mengontrol
kegelisahan atau agitasi yang dapat meningkatkan resiko peningkatan
TIK.
i. THAM (Tris – Hidroksi – metil – aminometana)
Adalah suatu buffer yang dapat masuk kedalam susunan saraf
pusat dan secara teoritis lebih superior daripada natrium bikarbonat dan
dalam hal ini diharapkan dapat mengurangi TIK.

40
B. Algoritma Penanganan

Algoritma Penatalaksanaan Pasien Cedera Kepala Ringan

Pasien

IRD 1. Stabilisasi airway, breathing dan circulation (ABC)


2. Anamnesis, fisik diagnostik
3. Pemeriksaan radiologis, sesuai indikasi
4. Pemeriksaan lab DL dan GDA + Lab lain sesuai
indikasi
5. Tx. Simtomatik + antibiotik sesuai indikasi
6. Lapor jaga bedah saraf

1. Infus 0,9 NS 1,5 ml/kgBB/jam(anak <2 tahun:


D5 0,25 NS
Operasi MRS di ruang
2. Puasa 6 jam
HCU
3. Obat simptomatik IV atau supp
4. Observasi ketat sebagai pasien cedera otak
ICU 5. Catat keadaan vital dan neurologis bila akan
dikirim ke ruang perawatan
6. Serah terima penderita serta informasi lengkap
keadaan penderita
VS. Stabil

Neurologis Stabil
K. memburuk
R. Perawatan (ICU)

Resusitasi + Rediagnosis
KRS

ICU Operasi

41
Indikasi CT Scan kepala pada Cedera Kepala Ringan :

1. Nilai GCS kurang dari 15 pada 2 jam setelah cedera.


2. Dicurigai adanya fraktur kalvaria.
3. Adanya tanda-tanda fraktur dasar tengkorak.
4. Muntah lebih dari 2 episode.
5. Usia lebih dari 65 tahun.
6. Amnesia lebih dari 30 menit.
7. Kejang.
8. Cedera tembus tengkorak.
9. Adanya defisit neurologis.
10. Mekanisme cedera yang berat.

Penanganan cedera kepala ringan dengan fraktur linear terbuka:

Diagnosa : Bila ada luka terbuka, eksplorasi luka sampai kalvaria sebelum luka
dijahit.

Penanganan :

1. Debridement lokal.
2. Tidak perlu fiksasi tulang.
3. Jahit luka primer.
4. Pasien di rawat inap. Observasi : Level kesadaran (GCS), bila GCS turun
berarti ada lucid interval, kemungkinan ada perdarahan Epidural, maka pasien
dirujuk ke rumah sakit rujukan dengan fasilitas bedah saraf.
5. Pasien dipulangkan bila kesadaran baik setelah beberapa hari rawatan dengan
penjelasan peringatan untuk pasien cedera kepala ringan yang dipulangkan.

Penanganan cedera kepala ringan dengan fraktur basis kranii:

Diagnosa :

1. Rhinorhea, Brill hematoma, anosmia (Fraktur basis kranii anterior).


2. Otorhea, Battle sign (Retroaurikular hematoma), parese N VII/VIII.

Penanganan :

1. Fraktur basis bukan kasus mengancam jiwa (life threatening), bila GCS
memburuk, hal itu disebabkan faktor lain atau komplikasi.
2. Pasien di rawat inap, terapi non operatif.

42
a. Head up 30 derajat.
b. Diet : MB
c. Obat : antibiotik (kontroversi), analgetik.
d. Perawatan rhinorhea/otorhea : biarkan mengalir, jaga kebersihan.
Umumnya berhenti spontan dalam 3 – 5 hari.
3. Observasi :
a. Tanda vital.
b. GCS/pupil/motorik
c. Rhinorhea/Otorhea
d. Tanda-tanda infeksi
e. Defisit neurologis.
4. Rawat jalan, bila :
a. Tanda vital stabil.
b. GCS 15.
c. Rhinorhea/Otorhea berhenti.
d. Tanda-tanda infeksi (-).

43
Algoritma Penatalaksanaan Pasien Cedera Kepala Sedang

Pasien
1. Stabilisasi airway, breathing dan circulation (ABC),
pasang collar brace
IRD
2. Lapor jaga bedah saraf
3. Atasi hipotensi dengan cairan isotonis, cari penyebabnya
4. Pemeriksaan darah (DL, BGA, GDA)
5. Bila tensi stabil, infus 0,9 NS 1,5 ml/kgBB/jam
6. Anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan neurologis
7. Obat simptomatik IV atau supp
8. Bila telah stabil lakukan CT scan kepala, foto leher lat,
thorax, foto AP pemeriksaan radiologis lain atas indikasi
9. Pasang kateter, evaluasi produksi urin

Operatif ICU-ROI MRS di ruang HCU-F

Membaik Memburuk

VS. Stabil 1. Stabilisasi + Resusitasi


Neurologis Stabil 2. Rediagnosis cito

R. Perawatan (LCU)
ICU ROI - 1 Operasi

44
Algoritma Penatalaksanaan Pasien Cedera Kepala Berat

Pasien 1. Resusitasi airway, breathing dan circulation


2. Bersihkan lendir, benda asing, jaw thrust bila perlu kepala tidak boleh
hiperekstensi, hiperflexi atau rotasi, pasang orofaring atau nasofaring tube bila
IRD perlu. Bila ada sumbatan jalan napas akut dilakukan cricothyrotomi dan
persiapan intubasi atau tracheostomi
3. Intubasi + kontrol ventilasi, pasang pipa lambung
4. Pasang collar brace
5. Lihat gerakan napas, auskultasi, palpasi, perkusi dada. Cari tanda-tanda
pneumothorax, hemothorax, flail chest atau fraktur costa
6. Bila shock, berikan cairan isotonis (RL, NaCl atau koloid atau darah). Cari
penyebab, pertahankan tensi >90 mmHg
7. Ada tanda-tanda TIK meningkat dan tidak ada hipotensi atau gagal ginjal dan
atau gagal jantung berikan manitol 20% 200 ml bolus dalam 20 menit atau 5
ml/kgBB, dilanjutkan 2 ml/kgBB dalam 29 menit setiap 6 jam, jaga
Lapor jaga bedah saraf osmolalitas darah <320 mOsm
8. Bila kejang: Diazepam 10 mg IV pelan, dapat ditambah hingga kejang
berhenti. Awasi depresi napas, dilanjutkan phenitoin bolus 10-18 mg/kgBB
encerkan dengan aqua steril 20 ml IV pelan, dilanjutkan 8 mg/kgBB
9. Bila telah stabil infus cairasn isotonis (NaCl 0,9%) 1,5 ml/kgBB/jam
pertahankan euvolume, pemasangan CVP atas indikasi
10. Pemeriksaan lab (DL, BGA, GDA, cross match)
11. Anamnesis pemakaian obat-obatan, sedasi, narkotika, intake terakhir, alergi
12. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
13. Obat simptomatik IV atau supp dan antibiotika sesuai indikasi
14. Pasang kateter, catat keadaan dan produksi urin
15. Tanda vital stabil, lakukan CT scan kepala, foto leher lat, thorax fot AP
16. Pemeriksaan radiologis lain atas indikasi
17. Pemeriksaan refleks batang otak. Hati-hati pada pemeriksaan reflek
oculocephalik
18. Pasang ICP monitor, pertahankan tekanan <15 mmHgg atau <22 cm H2O
pada pasien yang tidak ada indikasi operasi lesi intrakranial. Bila ada lesi
intrakranial indikasi operasi, ICP monitor dipasang bersamaan saat operasi
emergensi

1. Bila keadaan fungsi vital telah stabil


Operasi 2. Catat keadaan terakhir sebelum dikirim ke ruangan ICU
3. Lakukan serah terima secara lengkap (keadaan penderita, obat-obatan
yang diberikan dan rencana perawatan)

MRS di ICU-ROI R. HCU-F R. Perawatan (LCU)

45
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Trauma kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau
penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan
(accelerasi–decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh
perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serata
notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat
perputaran pada tingkat pencegahan
Dari pembahasan yang sudah dijelaskan, bisa disimpulkan bahwa trauma
kepala adalah trauma pada otak yang disebabkan adanya kekuatan fisik dari luar
yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran. Akibatnya dapat
menyebabkan gangguan kognitif, gangguan tingkah laku, atau fungsi emosional.
Gangguan ini dapat bersifat sementara atau permanen, menimbulkan kecacatan
baik partial atau total dan juga gangguan psikososial. Menurut etiologi cedera
kepala adalah Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda,
dan mobil, kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan, cedera
akibat kekerasan.

B. Saran
1. Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan institusi dapat memberikan tambahan referensi tentang trauma
kepala, bagaimana penatalaksanaan dan terapi awal yang harus diberikan.
2. Bagi Tenaga Kesehatan
Penatalaksanaan yang efektif dan efisien pada pasien untuk mendapatkan
hasil maksimal dan mencegah terjadinya komplikasi.

46
3. Bagi Mahasiswa
Diharapkan mahasiswa mampu mengetahui manajemen kegawatdaruratan
trauma kepala sehingga dapat menerapkannya pada praktik klinik
keperawatan di kemudian hari.

47
DAFTAR PUSTAKA

Ariani, T,A. 2012. Sistem Neurobehavior. Jakarta: Salemba Medika.

Brunner and Suddarth. 2011. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Bulechek, M.G., Howard, K.B., Joanne, M.D. (eds). 2013. Nursing Interventions

Classification (NIC). USA: Mosby Elsevier

Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi ed.3. Jakarta : EGC.

David S, Stephen A M, Jennifer A F. Management of Elevated Intracranial Pressure

in Decision Making in Neurocritical Care. Thieme. New York. 2009; 195-218.

Dewanto, George., Suwono, Wita. J., Riyanto, Budi., Turana, Yuda. 2009. Panduan

Praktis Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: ECG.

Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. 2014. NANDA International Nursing Diagnoses:

Definitions & Classification, 2015–2017. 10nded. Oxford: Wiley Blackwell

Hernanta, Iyan. 2013. Ilmu Kedokteran Lengkap Tentang Neurosains. Yogyakarta:

D-Medika.

Hudak CM & Gallo BM, 2010, Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik, Edisi 6,

EGC, Jakarta.

48
Irwana, Olva. 2009. Cedera Kepala.Faculty Of Medicine.Article pdf.Universitas

Pekan Baru Riau

Moorhead, Sue. et al. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC). 5th ed. USA:

Mosby.

Musliha.2010.Keperawatan Gawat Darurat.Yogyakarta:Nuha Medika

Muttaqin, Arif. 2012. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan

Sistem Persarafan. Jakarta:Salemba Medika, p.161.

New South Wales Health Government. 2012. Closed Head Injury in Adults-Initial

Management. 2nd Edition. NSW Health, p.8. Diakses pada

http://www0.health.nsw.gov.au/policies/pd/2012/pdf/PD2012_013.pdf

Satyanegara.2010. Ilmu Bedah Syaraf Edisi IV. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Wijaya, Andra dkk. 2013. KMB 2.Yogyakarta: Nuha Medika.

49

Anda mungkin juga menyukai