Anda di halaman 1dari 61

EFEKTIVITAS MOBILISASI PROGRESIF LEVEL 1 DENGAN TERAPI

MUSIK MOZART TERHADAP PERUBAHAN STATUS HEMODIAMIK


NON INVASIF PADA KLIEN CIDERA KEPALA DENGAN
PENURUNAN KESADARAN DIRUANG ICU

KARYA ILMIAH AKHIR NERS

DISUSUN OLEH

UMMI RUSIANA
P07220419092

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES KALIMANTAN TIMUR


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS
JURUSAN KEPERAWATAN
2020
PERNYATAAN KEASLIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,


Nama : Ummi Rusiana
NIM : P07220419092
Program Studi : Profesi Ners
Efektivitas Mobilisasi Progresif Level 1 dengan Terapi
Musik Mozart terhadap Perubahan Status
Judul KIAN Hemodinamik Non Invasif pada klien cedera kepala
dengan penurunan kesadaran di Ruang Intensive Care
Unit (ICU)

Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa KIAN yang saya tulis ini


benar merupakan hasil karya saya sendiri dan sepanjang pengetahuan saya di
dalam naskah KIAN ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh
orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu perguruan tinggi, dan tidak
terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain,
kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam
sumber kutipan dan daftar pustaka. Apabila di kemudian hari ternyata di dalam
naskah KIAN ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur plagiat, saya bersedia
menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN
Samarinda, 18 November 2020
Yang membuat pernyataan,

Materai 6000

Ummi Rusiana

ii
KARYA ILMIAH AKHIR NERS

EFEKTIVITAS MOBILISASI PROGRESIF LEVEL 1 DENGAN TERAPI


MUSIK MOZART TERHADAP PERUBAHAN STATUS HEMODIAMIK
NON INVASIF PADA KLIEN CIDERA KEPALA DENGAN
PENURUNAN KESADARAN DIRUANG ICU

Disusun dan diajukan oleh:

Ummi Rusiana
P07220419092

Telah diperiksa dan disetujui untuk diseminarkan


Samarinda, Deseember 2020

Pembimbing

Ns. Frana Andrianur, S.Kp., M. Kep


NIDN. 4012127901

Mengetahui,
Ketua Program Pendidikan Profesi Ners
Poltekkes Kemenkes Kaltim

Ns. Parellangi, S. Kep., M. Kep., MH. Kes.


NIP. 197512152002121004

ii
KARYA ILMIAH AKHIR NERS

EFEKTIVITAS MOBILISASI PROGRESIF LEVEL 1 DENGAN TERAPI


MUSIK MOZART TERHADAP PERUBAHAN STATUS HEMODIAMIK
NON INVASIF PADA KLIEN CIDERA KEPALA DENGAN
PENURUNAN KESADARAN DIRUANG ICU
N

Disusun dan diajukan oleh

Ummi Rusiana
P07220419092

Telah dipertahankan dalam sidang seminar hasil


pada tanggal Desember 2020
dan dinyatakan telah memenuhi syarat kelulusan

Menyetujui,
Penguji I Penguji II

Joko Sapto P, S.Kp., M. Kes Ns. Frana Andrianur, S.Kp., M. Kep


NIP. NIP.

Mengetahui,
Ketua Program Pendidikan Profesi Ners
Poltekkes Kemenkes Kaltim

Ns. Parellangi, S. Kep., M. Kep., MH. Kes.


NIP. 197512152002121004

ii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang

telah melimpahkan Rahmat, Taufik dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir Ners “Efektivitas Mobilisasi Progresif Level 1

dengan Terapi Musik Mozart terhadap Perubahan Status

Hemodinamik Non Invasif pada klien cedera kepala dengan penurunan kesadaran

di Ruang Intensive Care Unit (ICU)

RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda”

Dalam melaksanakan Karya Ilmiah Akhir ini, penulis banyak mengalami

hambatan dan kesulitan, namun semua itu menjadi ringan berkat dukungan,

bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis

menyampaikan ucapan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada :

1. H. Supriadi B, S. Kp., M. Kep selaku Direktur Poltekkes Kemenkes Kaltim

2. Hj. Umi Kalsum, S.Pd., M. Kes selaku Ketua Jurusan Keperawatan

3. Ns. Andi Parellangi, M. Kep., MH. Kes selaku Ketua Program Studi Profesi

Ners

4. Joko Sapto Pramono, S.Kp., M. Kes selaku Dosen Penguji Utama

5. Ns. Frana Andrianur, S.Kp., M. Kep selaku Dosen Pembimbing Pendamping

6. Ayahanda dan Ibunda Nasrah, serta suami dan kedua anak saya yang selalu

memberikan dukungan dalam menyusun tugas Karya Ilmiah Akhir Ners

7. Teman-teman Profesi Ners yang sering memberikan masukan.

ii
8. Kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih

banyak, semoga segala bantuan yang telah diberikan kepada penulis

mendapat balasan pahala dari Allah SWT.

Penulis menyadari bahwa Karya Ilmiah Akhir Ners ini jauh dari

kesempurnaan, karena itu dengan hal terbuka penulis mengharapkan kritik dan

saran yang bersifat membangun demi perbaikan dan kesempurnaan Karya

Ilmiah Akhir Ners ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan

semoga Karya Ilmiah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang

membutuhkan.

Samarinda, 18 November 2020

Penulis

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi

baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat

kepada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial,

bersifat temporer atau permanen. Menurut Brain Injury Assosiation of

America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan

bersifat kongenital atau degeneratif tetapi disebabkan oleh

serangan/benturan fisik dari luar yang dapat mengurangi atau mengubah

kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan

fungsi fisik (Brain injury Asociation of America, 2015)

Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologic yang serius

diantara penyakit neurologic yang disebabkan oleh kecelakaan. Cedera

kepala meliputi trauma kulit kepala, otak, dan tengkorak. Cedera kepala

ringan adalah suatu keadaan dimana GCS antara 13-15 ,dapat terjadi

kehilangan kesadaran tidak lebih dari 10 menit. Jika ada penyerta seperti

fraktur tengkorak, kontusio atau hematom (sekitar 55%). Pasien mengeluh

pusing, sakit kepala ada muntah, ada amnesia retrogad dan tidak

ditemukan kelainan pada pemeriksaan neurologi (Brain injury Asociation

of America, 2015)

1
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya

diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10%

meninggal sebelum tiba di rumah sakit, dan sisanya yang memerlukan

perawatan sekitar 80% dikelompokan sebagai cedera kepala ringan (CKR),

10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah

cedera kepala berat. Cedera kepala tersebut terutama terjadi pada

kelompok usia produktif atara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas

merupakan penyebab terbesar yaitu 48%-53%, kemudian jatuh 20%-28%

dan 3%-9% lainnya disebabkan tindakan kekerasan, olahraga dan rekreasi

(Retnanengsih, 2015)

Penyebab utama cedera kepala serius adalah kecelakaan lalu lintas.

Tingkat kematian akibat kecelakaan lalu lintas di dunia pada 2013

mencapai 1,2 juta dan melukai lebih dari 30 juta per tahun, dan 50% dari

mereka menderita cedera kepala. Di Indonesia, berdasarkan data dari

Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) pada 2013, ada 80 orang

per hari atau 3 orang per jam meninggal di jalan raya akibat kecelakaan

lalu lintas dengan cedera kepala ( Lumandung et al., 2014 ).

Kanit Lakalantas Polresta Samarinda menyebutkan angka laporan

kejadian kecelakaan selama tahun 2019 dari bulan Januari sampai dengan

bulan Mei terjadi 54 kasus kecelakaan lalulintas, 25 korban meninggal

dunia, 33 luka berat, 22 luka ringan (RRI Samarinda, 2019). Tingginya

jumlah kecelakaan ini dapat meningkatkan angka kejadian cedera kepala.

1
Cedera kepala mencakup trauma pada kulit kepala, tengkorak (cranium

dan tulang wajah), atau otak

1
Umumnya, pasien dengan cedera kepala dengan penurunan

kesadaran akan mengalami peningkatan tekanan darah dan tekanan

intrakranial (TIK) disertai dengan penurunan denyut nadi dan frekuensi

pernafasan. Otak terletak di dalam tengkorak, kenaikan TIK akan

mengganggu aliran darah ke otak dan mengakibatkan iskemik serebral

(Rihiantoro, Nurachmah, & Hariyati, 2008). Status hemodinamik

merupakan komponen penting dalam pemantauan TIK karena

mempengaruhi fungsi pengiriman oksigen dan melibatkan fungsi jantung

sebagai pompa darah ke seluruh tubuh terutama ke otak ( Leksana, 2011 ).

Pemantauan hemodinamik merupakan perawatan untuk klien yang

penting. Status hemodinamik didefinisikan sebagai pemeriksaan aspek

fisik dari sirkulasi darah, termasuk fungsi jantung dan karakteristik

fisiologis vaskular ( Johnson & Meyenburg 2009 ). Pemulihan status

hemodinamik pasien cedera kepala dapat dilakukan melalui intervensi

keperawatan dengan memberikan rangsangan sensorik atau rangsangan

motorik .

Terapi musik merupakan salah satu bentuk stimulus sensorik

pendengaran yang akan memberikan rangsangan dari sistem saraf untuk

membuat stabilitas status dari hemodinamik yang mempengaruhi

peningkatan perfusi jaringan otak ( Rihiantoro et al., 2008 ). Terapi musik

yang dilakukan selama 90 menit adalah waktu yang diperkirakan memiliki

efek yang bermakna, seperti pada penelitian sebelumnya menunjukkan

bahwa waktu 90 menit mendengarkan musik lembut memiliki efek terapi

7
yang sama dengan menggunakan 10 miligram valium penenang ( Indriani

et al, 2018).

Selain stimulus sensorik untuk mendukung percepatan pemulihan

cedera kepala dengan penurunan kesadaran bisa juga diberikan stimulus

motorik dengan memberikan latihan fisik dalam bentuk mobilisasi. The

American Association of Perawat Critical Care (AACN) memperkenalkan

intervensi progresif bahwa terdiri dari 5 tingkatan: Head of Bed (HOB),

terapi Rank of Motion (ROM) , Continuous Lateral Rotation Therapy

(CLRT), posisi pronasi , gerakan melawan gravitasi, latihan posisi kaki

menggantung, berdiri dan berjalan. Kelima tahapan mobilisasi tersebut

disebut dengan Mobilisasi progresif (Vollman 2010)

Continuous Lateral Rotation Therapy (CLRT) dan Head Of Bed

(HOB) adalah pemberian posisi semi-fowler 300 dan posisi miring kiri dan

kanan 300. Dengan melakukan mobilisasi ini dapat mempengaruhi proses

sirkulasi. Sehingga memperlancar perfusi, difusi, distribusi aliran darah

dan oksigen ke seluruh tubuh ( Thaut et al., 2007 ; Vollman 2010 )

Mobilisasi di ICU dapat dilihat sebagai proses rehabilitasi awal

untuk mempertahankan kekuatan otot dan mencegah perubahan buruk

respon kardiovaskular. Pada pasien yang terpasang ventilator diharapkan

dapat mempercepat proses penyapihan ventilator dan memperpendek

rawat inap di ICU ( Rahmanti & Putri, 2016 ).

Namun, mobilisasi progresif dan terapi musik masih jarang

diimplementasikan di ICU. Dalam banyak studi, baik rangsangan sensorik

8
dalam bentuk terapi musik dan rangsangan motorik bentuk progresif

mobilisasi tingkat I menyatakan bahwa kedua terapi ini baik respon status

hemodinamik dan dapat mempercepat masa pemulihan pasien cedera

kepala. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

efektivitas mobilisasi progresif tingkat I dengan terapi musik terhadap

perubahan status hemodinamik pada pasien dengan cedera kepala dengan

penurunan kesadaran di ICU.

1.2 Tujuan dari tinjauan pustaka

Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan laporan ini meliputi :

a. Menganalisa kasus kelolaan pada pasien cidera kepala berat terhadap

perubahan status hemodinamika di Ruang ICU.

b. Menganalisa intervensi Efektivitas Mobilisasi Progresif Level 1 dengan

Terapi Musik Mozart terhadap Perubahan Status

Hemodinamik Non Invasif pada klien cedera kepala dengan penurunan

kesadaran di Ruang Intensive Care Unit (ICU)

RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda

9
1.3 Sumber Sastra

Sumber literatur dalam penelitian ini sebagian besar berasal dari jurnal

database online yang menyediakan jurnal artikel gratis dalam format PDF,

seperti: Pubmed, Proquest, Google scholar dan EBSCO. Sumber lain seperti,

Laporan Kesehatan Nasional, Tesis dan Disertasi juga dimanfaatkan. Tidak

ada batasan tanggal publikasi selama literatur tersebut relevan dengan topik

penelitian. Akan tetapi, untuk menjaga agar informasi tetap mutakhir,

informasi yang digunakan terutama dari literatur yang dikumpulkan dari

sepuluh tahun terakhir

1.4 Prosedur dalam manajemen sastra

Untuk menyusun tinjuan literatur ini, telah dilakukan prosedur sebagai berikut :

a. Mengumpulkan informasi dari beberapa sumber yang berkaitan dengan

topik studi, kemudian katalog dan dokumentasinya menggunakan

perangkat lunak Mendeley

b. Menyusun data serta mensintesis informasi

c. Review Literatur

Kemudian untuk memastikan bahwa prosedur pengelolaan literatur yang

disebutkan di atas sesuai, metode lain seperti diskusi intensif dengan

pembimbing akademik dan pakar serta mengikuti studi mandiri juga

dilakukan oleh penulis.

10
BAB II

TINJAUAN LITERATUR

2.1 Konsep Teori Cidera Kepala

2.1.1 Definisi

Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak

yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi

otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak (Muttaqin 2008).

Cidera kepala adalah gangguan traumatik pada otak yang

menimbulkan perubahan fungsi atau struktur pada jaringan otak akibat

mendapatkan kekuatan mekanik eksternal berupa trauma tumpul

ataupun penetrasi yang menyebabkan gangguan fungsi kognitif, fisik

maupun psikososial baik sementara ataupun permanen (Dawodu.,

2015 ; Brain Injury Association of America., 2012).

Defisit neorologis terjadi karena robeknya substansia alba,

iskemia dan pengaruh massa karena hemoragig, serta edema cereblal

disekitar jaringan otak yang mencakup trauma pada kulit kepala,

tengkorak cranium dan tulang wajah. Kehilangan fungsi neorologis

seperti misalnya daya ingat atau penglihatan dan penurunan kesadaran

dalam rentang skor GCS 3-8, harus di buktikan dengan pemeriksaan

penunjang CT Scan kepala (Stillwell & Susan (2011) & Batticaca

( 2008)).

7
8

2.1.2 Patofiologi Cedera Kepala

Cedera kepala atau trauma kapitis lebih sering terjadi dari pada

trauma tulang belakang. Trauma dapat timbul akibat gaya mekanik

maupun non mekanik. Taruma kepala dapat disebabkan karena

dipukul, ditampar, atau bahkan terkena sesuatu yang keras. Tempat

yang langsung terkena pukulan atau penyebab tersebut dinamakan

dampak atau impact. Impact dapat terjadi pada indentasi, fraktur

linear, fraktur stelatum, fraktur impresi atau edema subkutan saja.

(Mardjono & Sidharta, 2010)

Selain itu, impact dapat terjadi mengenai saraf-saraf otak akibat

dari trauma langsung, hematoma yang menekan saraf otak, traksi

terhadap saraf otak tergeser karena akselerasi atau kompresi serebral

traumatik akut yang secara sekunder menekan batang otak. Pada

trauma kapitis dapat terjadi komosio atau pinsan sejenak dengan atau

tanpan amnesia retrograd. Sedangkan penurunan kesadaran dalam

waktu lama ditentukan oleh integritas diffise ascending reticular

system. (Mardjono & Sidharta, 2010)

Batang otak yang pada ujung rostral bersambung dengan medula

spinalis yang terbentang dan mudah teregang saat kepala bergerak

secara mendadak. Gerakan mendadak tersebut disebut akselerasi.

Peregangan poros batang otak dapat menimbulkan blokade reversibel

pada lintasan retikularis asenden difus, sehingga selama itu otak tidak

mendapat input eferen. Hal ini mengakibatkan kedasaran dapat


9

mengalami penuruanan bahkan bisa saja terjadi penurunan sampai

derajat yang terendah (koma). (Mardjono & Sidharta, 2010)

2.1.3 Klasifikasi Cedera Kepala

a. Klasifikasi berdasarkan mekanisme terjadinya cedera

Menurut American College Of Surgeon Commite on Trauma

tahun 2014, klasifikasi berdasarkan mekanismenya, cedera kepala

dibagi menjadi:

1) Cedera kepala tumpul, biasanya disebabkan oleh kecelakaan

kendaraan bermotor, jatuh ataupun terkena pukulan benda

tumpul.

2) Cedera kepala tembus, biasanya disebabkan oleh luka

tusukan, atau luka tembak

b. Klasifikasi berdasarkan morfologi

Cedera kepala menurut Tandian (2011) dapat terjadi diarea tulang

tengkorak yang meliputi:

1) Laserasi kulit kepala Laserasi kulit kepala sering didapatkan

pada pasien cedera kepala. Kulit kepala/scalp terdiri dari lima

lapisan (dengan akronim SCALP) yaitu skin, connective tissue

dan perikranii. Diantara galea aponeurosis dan periosteum

terdapat jaringan ikat longgar yang memungkinkan kulit

bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang kepala, sering

terjadi robekan pada lapisan ini. Lapisan ini banyak

mengandung pembuluh darah dan jaringan ikat longgar, maka


10

perlukaan yang terjadi dapat mengakibatkan perdarahan yang

cukup banyak.

2) Fraktur tulang kepala Fraktur tulang tengkorak berdasarkan

pada garis fraktur dibagi menjadi:

a) Fraktur linier

Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis

tunggal atau stellata pada tulang tengkorak yang mengenai

seluruh ketebalan tulang kepala. Fraktur lenier dapat

terjadi jika gaya langsung yang bekerja pada tulang kepala

cukup besar tetapi tidak menyebabkan tulang kepala

bending dan tidak terdapat fragmen fraktur yang masuk

kedalam rongga intrakranial.

b) Fraktur diastasis

Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada

sutura tulamg tengkorak yang mengababkan pelebaran

sutura-sutura tulang 8 kepala. Jenis fraktur ini sering

terjadi pada bayi dan balita karena sutura-sutura belum

menyatu dengan erat. Fraktur diastasis pada usia dewasa

sering terjadi pada sutura lambdoid dan dapat

mengakibatkan terjadinya hematum epidural.

c) Fraktur kominutif

Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang

meiliki lebih dari satu fragmen dalam satu area fraktur.


11

d) Fraktur impresi

Fraktur impresi tulang kepala terjadi akibat benturan

dengan tenaga besar yang langsung mengenai tulang

kepala dan pada area yang kecal. Fraktur impresi pada

tulang kepala dapat menyebabkan penekanan atau laserasi

pada duremater dan jaringan otak, fraktur impresi

dianggap bermakna terjadi, jika tabula eksterna segmen

yang impresi masuk dibawah tabula interna segmen tulang

yang sehat.

e) Fraktur basis krani

Fraktur basis krani adalah suatu fraktur linier yang terjadi

pada dasar tulang tengkorak, fraktur ini seringkali diertai

dengan robekan pada durameter yang merekat erat pada

dasar tengkorak. Fraktur basis kranii berdasarkan letak

anatomi di bagi menjadi fraktur fossa anterior, fraktur

fossa media dan fraktur fossa posterior. Secara anatomi

ada perbedaan struktur di daerah basis kranii dan tulang

kalfaria. Durameter daerah basis krani lebih tipis

dibandingkan daerah kalfaria dan durameter daerah basis

melekat lebih erat pada tulang dibandingkan daerah

kalfaria. Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis dapat

menyebabkan robekan durameter.


12

Hal ini dapat menyebabkan kebocoran cairan

cerebrospinal yang menimbulkan resiko terjadinya infeksi

selaput otak (meningitis). Pada pemeriksaan klinis dapat

ditemukan rhinorrhea dan raccon eyes sign (fraktur basis

krani fossa anterior), atau ottorhea dan batle’s sign (fraktur

basis krani fossa media). Kondisi ini juga 9 dapat

menyebabkan lesi saraf kranial yang paling sering terjadi

adalah gangguan saraf penciuman (N. olfactorius). Saraf

wajah (N. facialis) dan saraf pendengaran (N.

vestibulokokhlearis). Penanganan dari fraktur basis krani

meliputi pencegahan peningkatan tekanan intrakranial

yang mendadak misalnya dengan mencegah batuk,

mengejan, dan makanan yang tidak menyebabkan

sembelit. Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan

telinga, jika perlu dilakukan tampon steril (konsultasi ahli

THT) pada tanda bloody/ otorrhea/ otoliquorrhea. Pada

penderita dengan tandatanda bloody/ otorrhea/

otoliquorrhea penderita tidur dengan posisi terlentang dan

kepala miring ke posisi yang sehat.

c. Klasifikasi cidera kepala di area intrakranial

Menurut Tobing (2011) yang diklasifikasikan menjadi cedera

otak fokal dan cedera otak difus.

1) Cedera otak fokal


13

a) Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH)

Epidural hematom (EDH) adalah adanya darah di ruang

epidural yaitu ruang potensial antara tabula interna tulang

tengkorak dan durameter. Epidural hematom dapat

menimbulkan penurunan kesadaran adanya interval lusid

selama beberapa jam dan kemudian terjadi defisit

neorologis berupa hemiparesis kontralateral dan gelatasi

pupil itsilateral. Gejala lain yang ditimbulkan antara lain

sakit kepala, muntah, kejang dan hemiparesis.

b) Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH)

akut.

Perdarahan subdural akut adalah terkumpulnya darah di

ruang subdural yang terjadi akut (6-3 hari). Perdarahan ini

terjadi akibat robeknya vena-vena kecil dipermukaan

korteks cerebri. Perdarahan subdural biasanya menutupi

seluruh hemisfir otak. Biasanya kerusakan otak

dibawahnya lebih berat dan 10 prognosisnya jauh lebih

buruk dibanding pada perdarahan epidural.

c) Perdarahan subdural kronik atau SDH

Subdural hematom kronik adalah terkumpulnya darah

diruang subdural lebih dari 3 minggu setelah trauma.

Subdural hematom kronik diawali dari SDH akut dengan

jumlah darah yang sedikit. Darah di ruang subdural akan


14

memicu terjadinya inflamasi sehingga akan terbentuk

bekuan darah atau clot yang bersifat tamponade. Dalam

beberapa hari akan terjadi infasi fibroblast ke dalam clot

dan membentuk noumembran pada lapisan dalam

(korteks) dan lapisan luar (durameter). Pembentukan

neomembran tersebut akan di ikuti dengan pembentukan

kapiler baru dan terjadi fibrinolitik sehingga terjadi proses

degradasi atau likoefaksi bekuan darah sehingga

terakumulasinya cairan hipertonis yang dilapisi membran

semi permeabel. Jika keadaan ini terjadi maka akan

menarik likuor diluar membran masuk kedalam membran

sehingga cairan subdural bertambah banyak. Gejala klinis

yang dapat ditimbulkan oleh SDH kronis antara lain sakit

kepala, bingung, kesulitan berbahasa dan gejala yang

menyerupai TIA (transient ischemic attack). Disamping

itu dapat terjadi defisit neorologi yang berfariasi seperti

kelemahan otorik dan kejang.

d) Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematom

(ICH)

Intra cerebral hematom adalah area perdarahan yang

homogen dan konfluen yang terdapat didalam parenkim

otak. Intra cerebral hematom bukan disebabkan oleh

benturan antara parenkim otak dengan tulang tengkorak,


15

tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi dan deselerasi

akibat trauma yang menyebabkan pecahnya pembuluh

darah yang terletak lebih dalam, yaitu di parenkim otak

atau pembuluh darah kortikal dan subkortikal. Gejala

klinis yang ditimbulkan oleh ICH antara lain adanya

penurunan kesadaran. Derajat penurunan kesadarannya

dipengaruhi oleh mekanisme dan energi dari trauma yang

dialami.

e) Perdarahan subarahnoit traumatika (SAH)

Perdarahan subarahnoit diakibatkan oleh pecahnya

pembuluh darah kortikal baik arteri maupun vena dalam

jumlah tertentu akibat trauma dapat memasuki ruang

subarahnoit dan disebut sebagai perdarahan subarahnoit

(PSA). Luasnya PSA menggambarkan luasnya kerusakan

pembuluh darah, juga menggambarkan burukna prognosa.

PSA yang luas akan memicu terjadinya vasospasme

pembuluh darah dan menyebabkan iskemia akut luas

dengan manifestasi edema cerebri.

2) Cidera otak difus

Menurut Sadewa (2011) Cedera kepala difus adalah

terminologi yang menunjukkan kondisi parenkim otak setelah

terjadinya trauma. Terjadinya cedera kepala difus disebabkan

karena gaya akselerasi dan deselarasi gaya rotasi dan translasi


16

yang menyebabkan bergesernya parenkim otak dari permukaan

terhadap parenkim yang sebelah dalam. Fasospasme luas

pembuluh darah dikarenakan adanya perdarahan subarahnoit

traumatika yang menyebabkan terhentinya sirkulasi

diparenkim otak dengan manifestasi iskemia yang luas edema

otak luas disebabkan karena hipoksia akibat renjatan sistemik,

bermanifestasi sebagai cedera kepala difus.

Dari gambaran morfologi pencitraan atau radiologi

menurut (Sadewa, 2011) maka cedera kepala difus

dikelompokkan menjadi .

a) Cedera akson difus (difuse aksonal injury)

DAI Difus axonal injury adalah keadaan dimana serabut

subkortikal yang menghubungkan inti permukaan otak

dengan inti profunda otak (serabut proyeksi), maupun

serabut yang menghubungkan inti-inti dalam satu hemisfer

(asosiasi) dan 12 serabut yang menghbungkan inti-inti

permukaan kedua hemisfer (komisura) mengalami

kerusakan. Kerusakan sejenis ini lebih disebabkan karena

gaya rotasi antara initi profunda dengan inti permukaan.

b) Kontsuio cerebri

Kontusio cerebri adalah kerusakan parenkimal otak yang

disebabkan karena efek gaya akselerasi dan deselerasi.

Mekanisme lain yang menjadi penyebab kontosio cerebri


17

adalah adanya gaya coup dan countercoup, dimana hal

tersebut menunjukkan besarnya gaya yang sanggup

merusak struktur parenkim otak yang terlindung begitu

kuat oleh tulang dan cairan otak yang begitu kompak.

Lokasi kontusio yang begitu khas adalah kerusakan

jaringan parenkim otak yang berlawanan dengan arah

datangnya gaya yang mengenai kepala.

c) Edema cerebri

Edema cerebri terjadi karena gangguan vaskuler akibat

trauma kepala. Pada edema cerebri tidak tampak adanya

kerusakan parenkim otak namun terlihat pendorongan

hebat pada daerah yang mengalami edema. Edema otak

bilateral lebih disebabkan karena episode hipoksia yang

umumnya dikarenakan adanya renjatan hipovolemik.

d) Iskemia cerebri

Iskemia cerebri terjadi karena suplai aliran darah ke

bagian otak berkurang atau terhenti. Kejadian iskemia

cerebri berlangsung lama (kronik progresif) dan

disebabkan karena penyakit degeneratif pembuluh darah

otak.

d. Klasifikasi berdasarkan beratnya


18

Cedera kepala berdasarkan beratnya cedera, menurut

(Mansjoer, 2011) dapat diklasifikasikan penilaiannya berdasarkan

skor GCS dan dikelompokkan menjadi:

1) Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 13 – 15

a) Pasien sadar, menuruti perintah tapi disorientasi

b) Terjadi amnesia tetapi kurang dari 30 menit

c) Tidak ada fraktur tengkorak

d) Tidak ada kontusia cerebral atau hematoma

2) Cedera kepala sedang dengan nilai GCS 9 – 12.

a) Penurunan kesadaran namun masih menuruti perintah

sederhana

b) Amnesia lebih dari 30 menit manun kurang dari 24 jam

c) Mengalami fraktur tengkorak

3) Cidera kepala berat dengan nilai GCS 3-8

a) Kehilangan kesadaran lebih dari 24 jam

b) Terjadi kontusio serebral

c) Laserasi atau hematoma intracranial

2.1.4 Manisfestasi Klinis Cidera Kepala

Cedera kepala yang sudah di uraikan di atas menurut (Judikh

Middleton, 2007) akan menimbulkan gangguan neurologis / tanda-

tanda sesuai dengan area atau tempat lesinya yang meliputi:

a. Lobus frontal atau bagian depan kepala dengan tanda-tanda


19

1) Adanya gangguan pergerakan bagian tubuh (kelumpuhan)

2) Ketidakmampuan untuk melkukan gerakan rumit yang di

perlukan untuk menyelesaikan tugas yang memiliki langkah-

langkah/tahapan

3) Kehilangan spontanitas dalam berinteraksi dengan orang lain

4) Kehilangan fleksibilitas dalam berpikir

5) Ketidakmampuan fokus pada tugas

6) Perubahan kondisi kejiwaan (mudah emosional)

7) Perubahan dalam perilaku social

8) Perubahan dalam personalitas

9) Ketidakmampuan dalam berpikir (kehilangan memory)

b. Lobus parietal, dekat bagian belakang dan atas dari kepala

1) Ketidakmampuan untuk menghadirkan lebih dari satu obyek

pada waktu yang bersamaan

2) Ketidakmapuan untuk memberi nama sebuah obyek (anomia)

3) Ketidakmampuan untuk melokalisasi kata-kata dalam tulisan

(agraphia)

4) Gangguan dalam membaca (alexia)

5) Kesulitan menggambar obyek

6) Kesulitan membedakan kiri dan kanan

7) Kesulitan mengerjakan matematika (dyscalculia)


20

8) Penurunan kesadaran pada bagian tubuh tertentu dan/area

disekitar (apraksia) yang memicu kesulitan dalam perawatan

diri

9) Ketidakmampuan fokus pada perhatian fisual/penglihatan

10) Kesulitan koordinasi mata dan tangan

c. Lobus oksipital, area paling belakang, di belakang kepala

1) Gangguan pada penglihatan (gangguan lapang pandang)

2) Kesulitan melokalisasi obyek di lingkungan

3) Kesulitan mengenali warna (aknosia warna)

4) Teriptanya halusinasi

5) Ilusi visual-ketidakakuratan dalam melihat obyek

6) Buta kata-ketidakmampuan mengenali kata

7) Kesulitan mengenali obyek yang bergambar

8) Ketidakmampuan mengenali gerakan dari obyek

9) Kesulitan membaca dan menulis

d. Lobus temporal : sisi kepala di atas telinga

1) Kesulitan mengenali wajah (prosoprognosia)

2) Kesulitan memahami ucapan (afasiawernicke)

3) Gangguan perhatian selektif pada apa yang dilihat dan

didengar

4) Kesulitan identifikasi dan verbalisai obyek

5) Hilang ingatan jangka pendek

6) Gangguan memori jangka panjang


21

7) Penurunan dan peningkatan ketertarikan pada oerilaku seksual

8) Ketidakmampuan mengkategorikan onyek (kategorisasi)

9) Kerusakan lobus kanan dapat menyebabkan pembicaraan yang

persisten

10) Peningkatan perilaku agresif

e. Batang otak

1) Penurunan kapasitas vital dalam bernapas, penting dalam

berpidato

2) Makanan dan air (dysfagia)

3) Kesulitan dalam organisasi/persepsi terhadap lingkungan

4) Masalah dalam keseimbangan dan gerakan

5) Sakit kepala dan mual (vertigo)

6) Kesulitan tidur (insomnia, apnea saat tidur)

f. Cerebellum : dasar otak

1) Kehilangan kemampuan untuk mengkoordinasi gerakan halus

2) Kehilangan kemampuan berjalan

3) Ketidakmampuan meraih obyek

4) Bergetar (tremors)

5) Sakit kepala (vertigo)

6) Ketidakmampuan membuat gerakan cepat


22

1.5 Patway Cidera Kepala


23

2.2 Konsep Teori Hemodinamik

2.2.1 Definisi Hemodinamik

Hemodinamik adalah pemeriksaan aspek fisik, sirkulasi darah,

fungsi jantung dan karakterisitik fisiologis vaskular perifer (Mosby

1998, dalam Jevon dan Ewens, 2015). Pemantauan Hemodinamik

dapat dikelompokkan menjadi noninvasif, invasif, dan turunan.

Pengukuran hemodinamik penting untuk menegakkan diagnosis yang

tepat, menentukan terapi yang sesuai, dan pemantauan respons

terhadap terapi yang diberikan (gomersall dan Oh 1997, dalam Jevon

dan Ewens, 2015), pengukuran hemodinamik ini terutama dapat

membantu untuk mengenali syok sedini mungkin, sehingga dapat

dilakukan tindakan yang tepat terhadap bantuan sirkulasi (Hinds dan

Watson, 1999, dalam Jevon dan Ewens, 2015).

Dasar dari pemantauan hemodinamik adalah perfusi jaringan

yang adekuat seperti keseimbangan antara pasokan oksigen dengan

yang dibutuhkan, mempertahankan nutrisi, suhu tubuh dan

keseimbangan elektrokimiawi sehingga manifestasi klinis dari

gangguan hemodinamik berupa gangguan fungsi organ tubuh yang

bila tidak ditangani secara cepat dan tepat akan jatuh ke dalam gagal

fungsi organ multipe.


24

2.2.2 Tujuan Pemantauan Hemodinamik

Tujuan pemantauan hemodinamik adalah untuk mendeteksi,

mengidentifikasi kelainan fisiologis secara dini dan memantau

pengobatan yang diberikan guna mendapatkan informasi keseimbangan

homeostatik tubuh. Pemantauan hemodinamik bukan tindakan terapeutik

tetapi hanya memberikan informasi kepada klinisi dan informasi tersebut

perlu disesuaikan dengan penilaian klinis pasien agar dapat memberikan

penanganan yang optimal. Dasar dari pemantauan hemodinamik adalah

perfusi jaringan yang adekuat, seperti keseimbangan antara pasokan

oksigen dengan yang dibutuhkan, mempertahankan nutrisi, suhu tubuh

dan keseimbangan elektro kimiawi sehingga manifestasi klinis dari

gangguan hemodinamik berupa gangguan fungsi organ tubuh yang bila

tidak ditangani secara cepat dan tepat akan jatuh ke dalam gagal fungsi

organ multipel (Erniody, 2013).

2.2.3 Monitoring suhu tubuh

Pemantauan suhu pada pasien kritis merupakan hal yang vital

walaupun sering diabaikan dalam penatalaksanaan pasien kritis. Selain

menekan fungsi organ hipotermia menyebabkan

koagulopati,meningkatkan kehilangan darah, dan meningkatkan respon

adrenergik yang dapat menyebabkan ketidakstabilan kadiovaskuler.

Suhu tubuh ditentukan oleh keseimbangan antara produksi panas

oleh kontraksi otot dan pembebasan panas oleh karena evaporasi tubuh.
25

Produksi panas yang dihasilkan tubuh antara lain berasal dari:

Metabolisme dari makanan (Basal Metabolic Rate), olahraga, shivering

atau kontraksi otot skelet, peningkatan produksi hormone tiroksin

(meningkatkan metabolisme seluler), proses penyakit infeksi,

termogenesis kimiawi (rangsangan langsung dari norepinefrin dan

efinefrin atau dari rangsangan langsung simpatetik. Pengukuran suhu

tubuh oleh otak hipotalamus, permukaan kulit, medula spinalis. Bila

terjadi perangsangan panas akan terjadi vasodilatasi yang menyebabkan

keringat, sebaliknya bila terjadi perangsangan dingin akan terjadi

vasokontriksi dan menggigil agar suhu tubuh dapat kembali mencapai

bantuan normal yakni . Suhu normal berkisar antara 36,5°C - 37.5°C.

2.2.4 Monitoring Tekanan Darah

Tekanan darah merupakan kekuatan lateral pada dinding arteri oleh

darah yang didorong dengan tekanan dari jantung. Tekanan sistemik atau

arteri darah dalam sistem arteri tubuh adalah indikator yang baik tentang

kesehatan kardiovaskuler. Aliran darah mengalir pada sistem sirkulasi

karena perubahan tekanan. Darah mengalir dari daerah yang tekanannya

tinggi ke daerah yang tekanannya rendah. Kontraksi jantung mendorong

darah dengan tekanan tinggi ke aorta. Puncak dari tekanan

maksimumsaat ejeksi terjadi adalah tekanan darah sistolik. Pada saat

ventrikel relaks darah yang tetap dalam arteri menimbulkan tekanan

diastolik atau minimum.


26

Tekanan diastolik adalah tekanan minimal yang mendesak dinding

arteri setiap waktu. Unit standar untuk pengukuran tekanan darah adalah

milimeter air raksa (mmhg).Tekanan darah menggambarkan interelasi

dari curah jantung, tahanan vaskuler perifer, volume darah, viskositas

darah dan elastisitas arteri. Menurut WHO, di dalam guidelines terakhir

tahun 2009, batas tekanan darah yang masih dianggap normal adalah

kurang dari 130/85 mmHg, sedangkan bila lebih dari 140/90 mmHG

dinyatakan sebagai hipertensi; dan di antara nilai tsb disebut sebagai

normal-tinggi. Dinyatakan hipotensi dimana tekanan darah seseorang

turun dibawah angka normal, yaitu mencapai nilai rendah 90/60mmHg.

2.2.5 Monitoring Nadi

Denyut Jantung dalah jumlah ketukan dalam satu menit atau

denyut nadi per menit sementara denyut nadi adalah ukuran tekanan

darah teraba seluruh tubuh. Denyut nadi adalah berapa kali arteri kita

berdenyut permenit yang sebagai dampak dari berdenyutnya jantung.

Frekuensi denyut nadi akan sama persis dengan detak jantung,

tekanannya juga akan menggambarkan tingkat kontraksi jantung, karena

kontraksi jantung ini menyebabkan peningkatan tekanan darah dan

denyut nadi di arteri. Dalam pengukuran denyut nadi dan denyut nadi

merupakan hal yang sama. Denyut jantung digunakan untuk parameter

fungsi tubuh manusia, yang berkisar antara 60-100 denyut permenit

untuk usia dewasa. Rata-rata kecepatan detak jantung menunjukkan

aktifitas jantung. Denyut jantung tidak sehat terbagi menjadi dua


27

klasifikasi yaitu bradikardia dan takikardia. Bradikardia adalah istilah

untuk denyut jantung kurang dari 60. Pada sebagian orang denyut jantung

kurang dari 60 bpm tidak menimbulkan gejala apapun, namun sebagian

orang lainnya denyut jantung kurang dari 60 merupakan tanda masalah

sistem kelistrikan pada jantung. Bradikardia menyebabkan darah tidak

dapat terdistribusi dengan baik ke seluruh tubuh, bahkan dapat

menyebabkan kematian. Denyut jantung melebihi 100 bpm merupakan

istilah dari takikardia. Takikardia dapat menyebabkan denyut jantung

memiliki ritme yang abnormal serta serangan jantung

2.2.6 Monitoring Respirasi

Monitoring respirasi di ICU untuk mengidentifikasi penyakit dan

menilai beratnya penyakit. Monitoring ini juga bersamaan dengan

riwayat penyakit, pemeriksaaan radiografi, analisa gas darah dan

spirometer. Beberapa parameter yang diperlukan kecepatan pernafasan

per menit, volume tidal, oksigenasi dan karbondioksida. Di ICU biasanya

digunakan impedance monitor yang dapat mengukur kecepatan

pernafasan, volume tidal dan alarm apnea. Pernapasan normal dimana

kecepatan 16 - 24 x/mnt, klien tenang, diam dan tidak butuh tenaga untuk

melakukannya, atau tachipnea yaitu pernapasan yang cepat, frekuensinya

lebih dari 24 x/mnt, atau bradipnea yaitu pernapasan yang lambat,

frekuensinya kurang dari 16 x/mnt, ataukah apnea yaitu keadaan

terhentinyapernapasan.
28

Pengukuran oksigen pada memberikan informasi yang penting

pada perawatan dan merupakan hal yang vital dalam pengukuran kondisi

fisiologis. Saturasi oksigen adalah rasio antara jumlah oksigen aktual

yang terikat oleh hemoglobin terhadap kemampuan total Hb darah

mengikat O2. Saturasi oksigen (SaO2) merupakan persentase

hemoglobin (Hb) yang mengalami saturasi oleh oksigen yang

mencerminkan tekanan oksigen arteri darah (PaO2) yang digunakan

untuk mengevaluasi status pernafasan. Dari beberapa pengertian tadi,

maka dapat disimpulkan bahwa saturasi oksigen adalah perbandingan

kemampuan oksigen untuk berikatan dengan hemoglobin dan

dibandingkan dengan jumlah total keseluruhan jumlah darah.

2.2.7 Monitoring Saturasi Oksigen

Pengukuran SaO2 dilakukan dengan mengunakan Oksimeter

denyut (pulse oximetry) yaitu alat dengan prosedur non invasif yang

dapat dipasang pada cuping telinga, jari tangan, ataupun hidung. Pada

alat ini akan terdeteksi secara kontinue status SaO2. Alat ini sangat

sederhana, akurat, tidak mempunyai efek samping dan tidak

membutuhkan kalibrasi. Pulse oximetry bekerja dengan cara mengukur

saturasi oksigen (SaO2) melalui transmisi cahaya infrared melalui aliran

darah arteri pada lokasi dimana alat ini diletakkan. Oksimeter dapat

mendeteksi hipoksemia sebelum tanda dan gejala klinis muncul, seperti

warna kehitaman pada kulit atau dasar kuku. Adapun kisaran SaO2
29

normal adalah 95-100% dan SaO2 dibawah 70% dapat

mengancamkehidupan.

Penelitian Ozyurek et all telah dilakukan 37 sesi mobilisasi

terhadap 31 pasien kritis yang mengalami obesitas, menunjukan

peningkatan SpO2 dari 98% menjadi 99% setelah dilakukanmobilisasi.

Head of bed berpengaruh pada saturasi oksigen karena ketika pasien

mendapatkan perlakuan dari berbaring menjadi duduk ( seperti duduk)

menyebabkan tubuh melakukan berbagai cara untuk beradaptasi secara

psikologis untuk mempertahankan homeoastasis cardiovascular. Sistem

cardiovascular mencoba mengatur dalam 2 cara yaitu dengan pergantian

volume plasma atau dengan telinga bagian dalam sebagai respon

vestibular yang mempengarusi sistem cardiovascular selama perubahan

posisi. Pasien kritis biasanya memiliki irama detak yang lemah, tidak

stabilnya pernapasan atau rendahnya penerimaan cardiovascular sehingga

lebih baik untuk diberikan intervensi dari pada ditinggalkan dalam posisi

yangstatis.

Kemudian CTRL pada pasien terpasang ventilator dilakukan untuk

meningkatakan ventilasi paru dan perfusi ke jaringan dan untuk

mengoptimalkan pertukaran gas. CLRT selain meningkatkan fungsi

fisiologis, mengurangi atelektasis, meningkatkan cairan mobilisasi,

mencegah kerusakan kulit, meningkatkan oksigenasi juga dapat

membantu pemulihan.

2.3 Teori Mobilisasi Progresif


30

2.3.1 Definisi Mobilisasi Progresif

Mobilisasi adalah kemampuan seseorang untuk bergerak secara

bebas, mudah dan teratur yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan

hidup sehat. Setiap orang butuh untuk bergerak. Kehilangan

kemampuan untuk bergerak menyebabkan ketergantungan dan ini

membutuhkan tindakan keperawatan. Mobilisasi diperlukan untuk

meningkatkan kemandirian diri, meningkatkan kesehatan,

memperlambat proses penyakit khususnya penyakit degenerative, dan

untuk aktualisasi diri.

Mobilisasi progresif adalah mobilisasi yang dilakukan secara

bertahap pada pasien-pasien dengan kondisi kritis yang dirawat di

ICU. Protokol mobilisasi berdasarkan Timmerman (2007) dan

American Association of Critical Care Nurses (2010) terdiri dari lima

tahapan. Mobilisasi progresif dimulai dengan safety screening untuk

memastikan kondisi pasien dan menentukan level dari mobilisasi yang

dapat dilaksanakan. Prosedur safety screening dilakukan setiap kali

sebelum pelaksanaan mobilisasi. Pengkajian mobilisasi progresif

dapat dilakukan setelah 8 jam pasien masuk ke ICU dan dilakukan

pengkajian ulang setelah 24 jam.

Pada Pasien yang dirawat di ICU diperlukan mobilisasi.

Mobilisasi progresif diperkenalkan pada tahun 2010 oleh America

Association of Critical Care Nurses (AACN) dan dikembangkan

disana. Mobilisasi progresif yaitu serangkaian rencana yang dibuat


31

untuk mempersiapkan pasien agar mampu bergerak atau berpindah

tempat secara berjenjang dan berkelanjutan.

Tujuan dilaksanakan mobilisasi progresif pada pasien ICU

adalah mengurangi resiko dekubitus, untuk mengurangi insiden

Ventilated Accute Pneumonia (VAP), mengurangi waktu penggunaan

sedasi, menurunkan delirium, meningkatkan kemampuan pasien untuk

berpindah dan meningkatkan fungsi organ-organ tubuh mengurangi

rasa nyeri pda pasien.

2.3.2 Jenis Mobilisasi Progresif

Jenis- jenis posisi pada mobilisasi progresif dibagi menjadi beberapa

tindakan dasar, diantaranya:

a. Head Of Bad (HOB)

Memposisikan tempat tidur pasien secara bertahap hingga

pasien posisi tengah duduk. Posisis ini dapat dimulai dari 300,

kemudian bertingkat ke posisi 450, 650 hingga pasien dapat duduk

tegak. Pada pasien dimulai mobilisasi progresif dengan level I.

Sebelumnya dikaji dulu kemampuan kardiovaskuler dan

pernafasan pasien. Alat untuk mengukur kemiringan head of bed

bisa menggunakan busur ataupun accu angle level. Alat ini dapat

ditempelkan di sisi tempat tidur, karena terdapat magnet dan

terdapat petunjuk derajat kemiringan

b. Range Of Motion (ROM)


32

Ketika otot mengalami imobilisasi akan terjadi pengurangan

massa otot dan mengalami kelemahan. Kegiatan ROM dilakukan

pada semua pasien kecuali pada pasien yang mengalami patah

tulang dan tingkat ketergantungan yang tinggi. Kegiatan ROM

dilakukan pada ekstremitas atas maupun bawah, dengan tujuan

untuk menguatkan dan melatih otot agar kembali ke fungsi

semula. Kegiatan ROM dilakukan sebanyak 2-3 kali dalam sehari.

Kegiatan ROM dilakukan dengan fleksi, ekstensi, rotasi,

hiperekstensi lengan , bahu, maupun kaki. Pasif ROM yang

dilakukan pada ekstremitas atas dilakukan pengulangan sebanyak

5 kali pada setiap gerakan berupa memfleksikan dan

mengekstensikan jari, juga pada pergelangan tangan, deviasi ulnar

dan radial, siku, dan bahu di ekstensi, fleksi, supinasi, pronasi

serta rotasi. Pasif ROM pada ekstremitas bawah dilakukan

pengulangan sebanyak lima kali gerakan berupa memfleksi,

ekstensikan jari kaki, dorsofleksi pergelangan kaki, plantar fleksi,

ekstensi dan fleksikan lutut, fleksi, abduksi, adduksi dan rotasi

pada pinggul.

c. Continous Lateraly Rotation Therapy (CLRT)

CLRT adalah suatu bagian dari mobilisasai progresif,

dilakukan untuk mengurangi komplikasi fungsi pernafasan. CLRT

digunakan pada tahun 1970 dalam upaya untuk mengurangi

komplikasi paru. Pasien Paru setelah dilakukan CLRT


33

menunjukan hasil transfer oksigen ke paru-paru meningkat dengan

rasio lebih besar dari 300 atas perhitungan PaO2/FiO2.5 Terapi ini

dilakukan melalui gerakan kontinue rangka tempat tidur yang

memutar pasien dari sisi ke sisi. CLRT mencapai hasil terbaik saat

dilakukan setidaknya 18 jam perhari setiap 2 jam. Adapun CLRT

yang dilakukan oleh perawat di Irlandia waktu pemberiannya per

2, 3 dan jam sekali selama 12 jam di malam hari selama 3 hari,

karena rata-rata pasien yang menggunakan ventilator selama 2-3

hari.Ketika CLRT dilakukan terjadi perubahan saturasi oksigen,

perubahan parameter fisiologis bukan disebakan oleh CLRT, tetapi

oleh penyakit dasar pasien sendiri.

Posisi miring (side-lying), klien diistirahatkan pada sisi

dengan sebagian berat badan ditopang pada pinggul dan bahu yang

bergantung. Posisi miring 300 direkomendasikan untuk klien yang

beresiko ulkus tekan. Berdasarkan Evidenced Based yang telah

dikemukakan sebelumnya, terbukti bahwa dekubitus dapat

dicegah. Salah satu rekomendasi yang ditawarkan yakni

pengaturan posisi. Saat ini telah dikembangkan bentuk pengaturan

posisi yang dikenal sebagai posisi miring 300 yang menjelaskan

tentang bagaimana mengatur posisi miring 300 pada pasien guna

mencegah terjadinya dekubitus. Prosedur awalnya, pasien

ditempatkan persis ditengah tempat tidur, dengan menggunakan

bantal untuk menyanggah kepala dan leher. Selanjutnya tempatkan


34

satu bantal pada sudut antara bokong dan matras, dengan cara

miringkan panggul setinggi 300. Bantal yang berikutnya

ditempatkan memanjang diantara kedua kaki

Tom Defloor pernah meneliti sepuluh posisi yang berbeda

saat pasien diatas tempat tidur dari kesepuluh posisi itu didapatkan

bahwa tekanan yang paling minimal dicapai oleh tubuh pasien saat

diposisikan miring 30 derajat. Pengaruh posisi miring dengan 30

derajat juga diteliti oleh Seiler tahun 2005. Dimana luka tekan

pada area trokanter dan sakral dapat dieliminasi dengan

memiringkan pasien posisi miring 300 secara teratur dan

menyangganya dengan matras yang sangat lembut. Posisi ini

terbukti menjaga pasien terbebas dari penekanan area trokanter

dan sacra.

d. Posisi Prone

Klien dengan posisi prone terlungkup menyebabkan kepala

dan dada menghadap ke bawah. Kepala klien sering dibalikkan ke

sisi samping, teteapi jika bantal diletakkan di bawah kepala, bantal

harus tipis untuk mencegah fleksi servikal atau ekstensi dan

mempertahankan kesejajaran lumbar. Meletakkan bantal di bawah

tungkai bawah memungkinkan dorsofleksi pergelangan kaki dan

beberapa fleksi lutut yang mendukung relaksasi. jika bantal tidak

tersedia, pergelangan kaki perlu didorsofleksikan pada ujung

matras. Meskipun posisi terlungkup jarang diberikan,


35

pertimbangan posisi ini untuk membantu klien terbiasa tidur

dengan posisi ini.

Posisi prone juga memberikan manfaat pada klien dengan

distress pernfasan akut dan cedera paru akut. Kaji dan koreksi

masalah yang potensial pada sendi klien dengan posisi terlungkup

berikut ini :

1) Hiperekstensi leher,

2) Hiperekstensi lumbar,

3) Plantar fleski pergelangan kaki,

4) Tekanan pada sendi tidak dilindungi pada dagu, siku,

pinggul, lutut dan jari kaki.

e. Posisi Duduk

Posisi duduk pada pasien yang dirawat di ICU dimulai

dengan melatih pasien duduk bersandar di tempat tidur, lalu

dilanjutkan dengan melatih duduk seperti pada posisi duduk di

kursi duduk pantai ( dengan kaki menggantung melawan

gravitasi). Jika pasien sudah mampu mentolelir hal tersebut berarti

pasien sudah mencapai di level II dan II dalam tahapan mobilisasi

progresif. Pasien di level II dapat dilatih posisi duduk sebanyak

dua kali dalam sehari. Pasien yang sudah dilatih dalam posisi

duduk biasanya memiliki kriteria hemodinamik sudah stabil

dengan ciri tidak terjadi perdarahan, HR : 60-120x/menit, MAP >


36

60, SpO2 >90%, RR >30x/menit, PaO2 >60 mmHg, pasien tidak

tampak kekelelahan, nyeri dan tidak nyaman.

f. Posisi Berdiri

Posisi berdiri dimulai dari pasien berdiri di samping tempat

tidur. Jika pasien sudah mampu mentolelir kegiatan tersebut

kemudian ditingkatkan dengan berdiri tanpa bantuan, lalu mulai

melangkah. Pasien yang sudah berlatih pada tahap ini adalah

pasien dengan level IV dalam tahapan mobilisasi progresif. Pasien

yang melakukan aktifitas ini pasien sudah dalam kondisi baik dan

siap untuk dipindahkan ke ruang perawatan biasa.

g. Posisi Berjalan

Posisi berjalan dapat dilakukan dengan pasien yang

menggunakan ventilator, yaitu memakai ventilator portabel (yang

dapat dipindah-pindahkan). Proses berlatih berjalan dimulai

dengan menggunakan alat bantu seperti walker/ alat bantu jalan.

Pasien yang sudah menjalani program berjalan adalah pasien

dalam level V dalam tahapan mobilisasi progresif pasien. Kegiatan

pertama sebelum berlatih berjalan yaitu dengan berlatih duduk,

lalu berdiri, kemudian melangkah. Latihan ini dilakukan sebanyak

dua hingga tiga kali dalam sehari.

h. Tahapan Mobilisasi Progresif


37

Pada kegiatan mobilisasi progresif terdapat lima tahapan

atau level dalam pelaksanaannya yang disebut Richmond

Agitation Sedation Scale (RASS) diantaranya :

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan

mobilisasi progresif adalah sebagai berikut:

 Tidak ditemukan iskemik miokard dalam 24 jam terakhir.

 Tidak ditemukan disritmia yang membutuhkan pemberian agen

antidisritmia dalam 24 jam terakhir.

 FiO2 < 0.6; PEEP < 10 cmH2O

 Tidak ada peningkatan dosis pemberian vasopressor dalam 2

jam terakhir.

2.4 Konsep Dasar Terapi Musik


38

2.4.1 Definisi musik

Musik didefenisikan sebagai ilmu atau seni yang menggunakan

rangkaian nada atau suara. Suatu kesatuan atau kesinambungan

komposisi diproduksi oleh kombinasi nada, dan suara, dan hubungan

sementara. Musik dibentuk oleh beberapa hal yang dinamakan

elemen. Ketenangan yang diciptakan melalui musik dapat diperoleh

dengan menggunakan elemen ini (Estrella,2010, Snyder & Lindquist,

2002; Stouffer, Shirk & Pollomano, 2007; Trinity School Nottingham,

2007) dalam penelitian (Hariati 2010).

Menurut Hendra (2010, dalam Utomo & Natalia, 1999, hlm. 30)

menyatakan bahwa musik klasik / mozart merupakan musik yang

memiliki nilai seni dan nilai ilmiah yang tinggi. Musik klasik yang

paling sering didengarkan adalah musik klasik barat karya musisi

seperti Mozart, Bach, Bethoven, Handel, Hydn dan lain sebagainya.

Para musisi klasik pada zaman tersebut memiliki variasi yang berbeda,

baik dari segi irama, melodi, dan frekuensi. Mozart memiliki

keunggulan dalam kesederhanaan dan kemurnian bunyi, Bach mampu

membuat jalinan musik yang serba rumit bagaikan hitungan

matematika, sedangkan Bethoven menciptakan musik yang dapat

membangkitkan gelombang-gelombang emosi yang naik-turun

(Hendra, 2010, dalam Campbell, 2001, hlm. 30).

Menurut Reeder (2011) bahwa musik merupakan salah satu

penatalaksanaan penurunan intensitas nyeri secara non farmakologis.


39

Musik terbukti mampu mengurangi kecemasan fisiologis pada

individu yang siap menjalani perawatan serta tercatat adanya

penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik pasien. Pemberian

fasilitas musik ini menunjukkan penurunan denyut jantung, tingkat

respirasi dan kebutuhan oksigen. Musik juga dapat menimbulkan efek

neuroendokrin yang berguna bagi pasien. Musik bisa meningkatkan

suatu respons seperti endorphin yang dapat memengaruhi suasana

hati, sehingga mampu menurunkan kecemasan, dalam hal ini menurut

para ahli musik mengalihkan pasien dari rasa nyeri, memecah siklus

kecemasan dan ketakutan yang meningkatkan reaksi nyeri, serta

memindahkan perhatian pada sensasi yang menyenangkan (Aizid,

2011) Tindakan perawat Nursing Diagnosis Handbook with NIC

Interventions and NOC Outcomes menjelaskan terapi musik

merupakan salah satu tehnik ditraksi dalam managemen nyeri

(Bulechek et.al, 2013).

2.4.2 Ciri-ciri musik

Ciri-ciri Musik Menurut Hendra ( 2010, hlm. 29), menyatakan

ciri-ciri musik pada zaman klasik anatara lain adalah sebagai berikut :

a. Musik klasik menggunakan peralihan dinamik dari lembut sampai

keras (crescendo) dan dari keras menjadi lembut (decressendo)

b. Perubahan-perubahan tempo terjadi dengan percepatan

(accelerundo) danperlambatan (ritardando)

c. Hiasan/oramentik di perhemat pemakainya


40

d. Pemakaian akord tiga nada

2.4.3 Manfaat terapi musik mozart

Musik karya Mozart memiliki tempo yang lambat, seperti yang

disampaikan oleh Jenskins (Abdillah dan Saleh, 2010) Sonata for Two

Pianos in D Major merupakan salah satu karya Mozart yang

mempunyai karakter yang lambat. Djohan (2016) berpendapat bahwa

musik dengan tempo lambat memiliki dampak positif. Seseorang yang

berada pada kondisi seimbang akan lebih mudah dalam mengakses

pikiran dan pemahaman. Kondisi seimbang tersebut terjadi ketika

semua fungsi fisik seseorang sedang melambat. Musik dengan tempo

ini mampu memperlambat detak jantung yang bergerak cepat.

Satiadarma dan Campbell (Ade Primadita, 2012) menjelaskan

bahwa intervensi dengan musik klasik berdampak secara fisik dapat

mempengaruhi aktivitas sistem saraf otonom tubuh, munculnya

beberapa respon yang bersifat spontan dan tidak terkontrol, misalnya

mengetukkan jari. Musik klasik juga dapat mempengaruhi pernafasan,

denyut jantung, denyut nadi, tekanan darah, mengurangi ketegangan

otot dan memperbaiki gerak dan kordinasi tubuh, meningkatkan

produktivitas suhu tubuh, serta mengatur hormon-hormon yang

berkaitan dengan stres.

Musik klasik (efek mozart) memang memberikan pengaruh

positif bagi subyek pada kelompok eksperimen selama pemberian

perlakuan maupun setelah mereka menerapkan secara individu. Musik


41

klasik (efek mozart) mempunyai manfaat dan fungsi terhadap

kejenuhan (burnout) belajar, antara lain musik sebagai hiburan atau

relaksasi (mendamaikan hati, memberikan rasa santai dan nyaman),

terapi kesehatan (mereduksi kelelahan fisik, denyut jantung),

peningkatan kecerdasan (keterkaitan dengan peningkatan kognitif

seseorang), ekspresi emosional (mengontrol perasaan emosi),

gambaran kepribadian (dapat meningkatkan motivasi sesorang ketika

merasa lelah), dan peningkatan konsentrasi (Djohan, 2016)

2.4.4 Cara Kerja Musik Mozart sebagai Terapi

Mekanisme cara kerja musik sebagai alat terapi yakni

memengaruhi semua organ sistem tubuh. Menurut Nurseha dan

Djafaar (2002) dalam penelitian Kustiningsih (2008) mengatakan

bahwa musik klasik mempunyai fungsi menenangkan pikiran dan

katarsis emosi, serta dapat mengoptimalkan tempo, ritme, melodi dan

harmoni yang teratur serta dapat menghasilkan gelombang alfa dalam

gendang telinga sehingga memberikan ketenangan yang membuat

otak siap menerima masukan baru, efek rileks dan menidurkan.

Menurut Reeder dkk (2011) mengatakan bahwa pada umumnya

sepanjang kontraksi dan diantara kontraksi jika wanita menginginkan

ia akan mendengarkan musik yang telah dipilih maka kondisi ini akan

memberikan stimulus kepada indra pendengar yang sulit diabaikan .

Untuk input visual akan berfokus pada sebuah benda atau menutup
42

matanya dan membayangkan sesuatu yang dinyatakan oleh syair

musik tersebut.

Berdasarkan teori Gate Kontrol bahwa impuls nyeri dapat diatur

atau dihambat oleh mekanisme pertahanan disepanjang sistem saraf

pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat

sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah

pertahanan ditutup. Salah satu cara menutup mekanisme pertahanan

ini adalah dengan merangsang sekresi endorphin yang akan

menghambat pelepasan substansi.

Musik klasik Mozart sendiri juga dapat merangsang peningkatan

hormon endorphin yang merupakan substansi sejenis morfin yang

disuplai oleh tubuh, sehingga pada saat neuron nyeri perifer

mengirimkan sinyal ke sinaps, terjadi antara neuron perifer dan neuron

yang menuju otak tempat seharusnya substansi akan menghantarkan

impuls, pada saat tersebut endorphin akan memblokir lepasnya

substansi dari neuron sensorik, sehingga transmisi impuls nyeri di

medulla spinalis menjadi terhambat dan sensasi nyeri menjadi

berkurang.

2.5 Memahami Mobilisasi progresif level 1 dengan terapi music Mozart

terhadap perubahan status hemodinamik

Peningkatan tekanan darah disebabkan oleh aktivitas vasomotor di

medula yang menyebabkan vasokontriksi arteriol dan meningkatnya resistensi

ferifer. Sedangkan peningkatan dneyut jantung dipengaruhi oleh stres,


43

kecemasan, nyeri atau kondisi yang menghasilkan konpensasi pelepasan

ketekotamin endogen seperti hipovolemia, demam, anemia dan hipotensi

(Burns,2006; Jevon,2009) .

Mobilisasi progresif tingkat 1 yang diberikan diharapkan dapat

mencegah luka tekan dan menimbulkan respon hemodinamik yang baik. Pada

posisi duduk tegak kinerja paru-paru baik dalam proses ventilasi, secara perfusi

akan membaik selama diberikan mobilisasi. Proses sirkuasi darah juga

dipengaruhi oleh posisi tubuh dan perubahan gravitasi. Sehingga distribusi

darah dan oksigen dapat mengalir ke seluruh tubuh (Vollman, 2010)

Penelitian yang dilakukan oleh Kurniawan (2015) mengungkapkan

bahwa posisi lateral mempengaruhi peningkatan MAP sekitar 4-5 mmHg.

Secara tidak langsung keadaan tersebut membuat curah jantung meningkat dan

hemodinamik pun meningkat. MAP merupakn indikator untuk mengetahui

perfusi rata-rata sirkulasi darah sistemik. Penting untuk menjaga MAP di atas

60 mmHg untuk memastikan perfusi otak, arteri koroner dan perfusi ginjal

dalam keadaan yang stabil.

Menurut hasil penelitian (Rahmanti & Putri, 2016) menunjukkan tidak

ada perbedaan denyut jantung setelah diberikan intervensi mobilisasi progresif

I. Penelitian ini sejalan dengan studi sebelumnya menunjukkan bahwa tidak

ada pengaruh yang signifikan dari pemantauan pulse sebelum dan setelah

mengingat tingkat mobilisasi progresif I. Namun, mobilisasi dini untuk sistem

kardiovaskular dapat meningkatkan output jantung, meningkatkan kontraksi

miokard dan memperkuat otot jantung.Dalam sistem pernafasan, mobilisasi


44

dapat menurunkan kerja otot pernapasan namun tidak berpengaruh signifikan

terhadap saturasi oksigen.

Terapi musik merupakan salah satu bentuk intervensi keperawatan yang

dapt dilakukan oleh perawat sebagai stimulus kepada pasien. Diharapkan dapat

berdampak pada pemulihan dan penyembuhan pasien. Terapi musik yang

diberikan kepada pasien cidera kepala, stroke, post operasi dengan penurunan

kesadaran akan memberikan stimulasi pada sistem syaraf untuk menciptakan

kestabilan hemodinamik (Rihiantoro, 2008).

Terapi musik Mozart memiliki dampak yang signifikan pada status

hemodinamik (tekanan darah, denyut nadi dan dan pernafasan) pada pasien

koma. Orang yang mendengarkan musik yang sesuai maka denyut nadinya dan

tekanan darah dapat menurun juga dapat menstabilkan gelombang otak serta

otot otak menjadi rileks.

Musik yang dihasilkan dari rangsangan yang gelombang diubah melalui

ossicles di telinga tengah dan melalui cairan koklea ke saraf pendengaran serta

ke daerah saraf otonom dan kemudian saraf pendengaran memberikan sinyal-

sinyal ke korteks pendengaran dilobus dan kemudian merangsang pelepasan

endophine. Hormon ini memiliki efek relaksasi pada tubuh yang dapat

menurunkan ketegangan otot, meningkatkan ambang kesadaran, dan

menstabilkan hemodinamik dengan menurunkan denyut jantung, pernapasan

dan tekanan darah (Novita 2012).

Musik dianggap mempengaruhi irama pernafasan dan memiliki efek

yang signifikan pada saturasi oksigen. Musik terbukti efektif dalam


45

menstabilkan tingkat oksigen dalam darah. Musik klasik Mozart, merupakan

suara musik yang dapat mengirim impuls hipotalamus ke kelenjar medula

adrenal untuk menekan pelepasan hormon epinefrin dan norepinefrin atau

pelepasan katekolamin ke dalam pembuluh darah menurun. Akibatnya,

konsentrasi katekolamin dalam plasma menjadi rendah, sehingga denyut

jantung dan oksigen darah meningkat tingkat, yang akhirnya membuat itu

frekuensi pernapasan menjadi lambat. Musik Mozart memiliki efek yang lebih

besar dalam meningkatkan saturasi oksigen pada pasien dengan cedera kepala

dengan kondisi kritis di ruang perawatan intensif selain terapi medis untuk

memperpendek lama tinggal di ICU (Kirby, et al (2010) ; Kitong,et al, 2014)

Dalam pemberian pengaturan head of bed 30 dan continous lateraly

rotation therapy (CLRT) mungkin saja ditemukan masalah berupa tidak

lengkapnya ketersediaan bahan dan alat seperti tempat tidur terapeutik yang

sedemikian rupa dapat diatur secara mudah. Alat tersebut dapat dimodifikasi

dengan menggunakan peralatan seadanya tanpa mengurangi prinsip dasar dari

peraturan tersebut. Misalnya untuk menggunakan bantal kecil dapat diganti

dnegan penggunaan handuk ataupun kain yang digulung sehingga dapat

digunakan sebagai pengganti bantal kecil tersebut.

Tempat tidur terapeutik yang dapat diatur juga dapat diganti dengan

tempat tidur biasa. Untuk mendapatkan posisi istirahat dengan sudut yang

diinginkan dapat menggunakan bantal beberapa buah untuk menopang

punggung pasien sampai membentuk sudut 30. Dalam terapi musik jika tidak

mempunyai mp3 bisa menggunakan Handphone karena dijaman moderen


46

kebanyakan orang sudah memiliki alat elektronik canggih yang didalamnya

terdapat mp3 untuk mendengarkan musik.

Jika mobilisasi progresif dan terapi musik tidak dapat dilaksanakan, ada

beberapa terapi lain yang bisa dilakukan untuk menstabilkan status

hemodinamik pada pasien cidera kepala. Misalnya foot masage dan pemebrian

aroma terapi. Foot masage dapat menimbulkan vasomotor di medula yang

meransang saraf parasimpatis untuk menurunkan fungsi jantungyang

selanjutnya meningkatkan curah jantung sehingga pengiriman oksigen menjadi

adekuat (Setyawati,2016). Selain itu terapi aroma mempunyai efek positif

karena diketahui bahwa aroma yang segar, harum merangsang sensori, reseptor

dan pada akhirnya mempengaruhi organ yang lainnya sehingga dapat

menimbulkan efek. Aroma ditangkap oleh reseptor dihidung yang kemudian

memberikan emosi lebih jauh ke area diotak yang yang mengontrol emosi dan

memori maupun memberikan informasi juga ke Hipotalamus yang merupakan

pengatur sistem internal tubuh, termasuk sistem peredaran darah, suhu tubuh

dan reaksi terhadap stress (Sulistyowati, 2009).

2.6 Riset Pendukung

Penelitian ini didasarkan pada teori-teori dan hasil-hasil penelitian sebelumnya

yang berkisar 10 tahun terakhir dan merupakan suatu theoritical mapping atau

merupakan suatu keaslian penelitian. Riset pendukung dalam penelitian ini

berkaitan dengan Mobilisasi progresif level 1 dengan terapi musik Mozart

sebagai variabel bebas sedangkan kecemasan dan terhadap perubahan status


47

hemodinamik variabel terikat sehingga didapatkan beberapa jurnal yang

dilakukan review sebagai berikut :


23

N Judul Desain Sampel dan Variabel Instrumen Analisis Hasil Database


Penelitian teknik
o
sampling
1. Pengaruh Quasi Sampel : 19 Mobilisasi Alat Paired T- Hasil analisis Journal Of
Mobilisasi Eksperiment orang Progresif monitoring sampel Test Bivariat Health
Progresif Level responden level 1, Status Status didapatkan ada
1 Terhadap Hemodinamik hemodinami perbedaan
Status Teknik : k bermakna
Hemodinamik Purposive antara status
Pada Pasien sampling hemodinamik
Kritis Di yang
Intensif Care mengalami
Unit perbaikan
sebelum dan
Wahyu Rima sesudah
(2020) intervensi
Mobilisasi
Progresif Level
1
2. Pengaruh Quasi Sampel : 21 Pengaruh Alat Paired T- Hasil analisis Jurnal
Terapi Musik Eksperiment orang terapi musik, monitoring sampel Test bivariat dengan keperawatan
Terhadap responden status Status tes T dependen indonesia
Status hemodinamik hemodinami menyimpulkan
Hemodinamika Teknik : k bahwa terdapat
Pada Pasien Consecutive pengaruh yang
Koma Di sampling bermakna terapi
Ruang Icu musik terhadap
Sebuah Rumah
Sakit Di MAP frekuensi
Lampung jantung,
frekuensi napas,
Penurunan
Tori
indikator status
(2010)
hemodinamika
pada pasien
koma dengan
cidera kepala
dan stroke akan
membantu
stabilisasi
hemodinamika
pasien sekaligus
membantu
proses
pemulihan
pasien

3. Pengaruh Pra Sampel : 16 Mobilisasi Alat Wilcoxon Terdapat Indonesian


Mobilisasi Eksperiment orang Progresif monitoring test pengaruh Journal for
Progresif Level responden level 1, Status Status mobilisasi Health
1 Hemodinamik hemodinami progresif level I Sciences
24

Terhadap Teknik : k terhadap


Tekanan Darah Consecutive tekanan darah
Dan Saturasi sampling sistole dan
Oksigen Pasien diastole,
Dengan Terdapat
Penurunan pengaruh
mobilisasi
Kesadaran
progresif level I
terhadap
saturasi oksigen

4 Comparison Of Quasi Sampel : 17 Mobilisasi Alat Paired T- Hasil analisis Science


Effectiveness Eksperiment orang Progresif monitoring Test Bivariat direct
Of A responden level 1, terapi Status Wilcoxon didapatkan ada
Progressive music mozart, hemodinami test perbedaan
Mobilization Teknik : Status k bermakna
And Mozart Consecutive Hemodinamik antara status
Music Therapy sampling hemodinamik
On Non- yang
Invasive mengalami
Hemodynamic perbaikan
Status Changes sebelum dan
In Patients sesudah
With Head intervensi
Injury In The Mobilisasi
Intensive Care Progresif Level
Unit 1 dan Terapi
Musik Mozart
Novi Indriani
(2018)
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Mobilasasi progresif tingkat 1 dan terapi musik dapat membantu

dan membawa peningkatan derajat kesehatan bagi pasien hal dinilai dari

status hemodinamik pasien yang stabil. Dimana terjadi penurunan tekanan

darah dan terjadi peningkatan saturasi oksigen pada pasien. Hemodinamik

menjadi modal penting dalam proses pemulihan pasien.

3.2 Saran

Saran dari peneliti antara lain, diharapkan intervensi Mobilisasi

Progresif Level 1 dengan kombinasi Terapi Musik dapat diterapkan pada

pasien sehingga dapat memperbaiki ataupun menstabilkan status

hemodinamik pada pasien cedera kepala dengan penurunan kesadaran yang

sedang dilakukan perawatan diruang Intensif Care Unit (ICU).


DAFTAR PUSTAKA

Adhe Primadita. (2012). Efektivitas Intervensi Terapi Musik Klasik Terhadap


Stress Dalam Menyusun Skripsi Pada Mahasiswa PSIK UNDIP Semarang.
Jurnal PSIK FK UNDIP Semarang

American College Of Surgeons Commitee On Trauma. (2008) Trauma Toraks.


Dalam ATLS Student Course Manual 8th Al Eassa, E. M., Almarshada, M.
J., Elsherif, A., Eid, H. O. (2013). Factors Affecting Mortality Of
Hospitalized Chest Trauma Patients In United Arab Emirates. Journal Of
Cardiothoracic Surgery. 8. H.57. Edition. USA

Batticaca, F.B. (2012). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan


Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika

Brain Injury Association Of America. Types Of Brain Injury. (2012).


Http://Www.Biausa.Org, Diperoleh Tanggal 25 Juli 2019.

Bulechek, G.(2013). Nursing Intervention Classification (NIC).6th Edition.


Missouri:Elseiver

Darmayanti, N. N. T., & Oktamianti, P. (2014). Analisis Kompetensi Perawat


Ruang Intensif (Intensive Care Unit) Rumah Sakit Umum Tabanan Tahun
2013. Jurnal Sumber Daya Manusia Kesehatan, 1(1).

Djohan, (2009). Psikologi Musik. Yogyakarta: Best Publisher

Erniody. (2012). Pemantauan Hemodinamik Invasif, Semiinvasif Atau


Noninvasif, Jakarta: Rumah Sakit Husada.

Hegde, S. (2014). Music-Based Cognitive Remediation Therapy For Patients With


Traumatic Brain Injury. Frontiers In Neurology, 5, 34.

Hendra, A. 2010. Pengaruh Pemberian Musik Klasik Terhadap Prestasi Belajar


Matematika Anak. Jurnal Psikologi.Vol VIII No. 2

Indriani, Novi Et Al . (2018). Comparison Of Effectiveness Of A Progressive


Mobilization And Mozart Music Therapy On Noninvasive Hemodynamic
Status Changes In Patients With Head Injury In The Intensive Care Unit.
Belitung Nursing Journal. 2018 April;4(2):135-144
Kitong, B. I., Mulyadi, N., & Malara, R. (2014). Pengaruh Tindakan Penghisapan
Lendir Endotrakeal Tube (Ett) Terhadap Kadar Saturasi Oksigen Pada Pasien
Yang Dirawat Di Ruang Icu Rsup Prof. Dr. Rd Kandou Manado. Jurnal
Keperawatan, 2(2).

Kurniawan, S. T. (2015). Pengaruh Nafas Dalam Dan Mendengarkan Bacaan


Murottal Terhadap Tingkat Nyeri Dan Status Hemodinamika Pada Pasien
Post Orif Di RS Karima Utama Kartasura. Universitas Mohamadiyah
Yogyakarta.

Leksana, E. (2011). Pengelolaan Hemodinamik. Jurnal CDK 188, 38(7), 537-540.

Lumandung, F. T., Siwu, J. F., & Mallo, J. F. (2014). Gambaran Korban


Meninggal Dengan Cedera Kepala Pada Kecelakaan Lalu Lintas Di Bagian
Forensik BLU RSUP PROF. Dr. RD Kandou Manado Periode Tahun 2011-
2012. E- Clinic, 2(1).

Mardjono & Sidharta. 2010; Neurologi Klinik Dasar, Cetakan Ke 15; Dian
Rakyat, Jakarta.

Muttaqin, Arif. (2011). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan


Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika

Ningtyas, N. W. R., Pujiastuti, R. R. S. E., & Indriyawati, N. (2017).


EFFECTIVENESS OF PROGRESSIVE MOBILIZATION LEVEL I AND
II ON HEMODYNAMIC STATUS AND DECUBITUS ULCER RISK IN
CRITICALLY ILL PATIENTS. Belitung Nursing Journal, 3(6), 662-669.

Novita, D. (2012). Pengaruh Terapi Musik Terhadap Nyeri Post Operasi Open
Reduction And Internal Fixation (ORIF) Di RSUD DR. H Abdul Moeloek
Propinsi Lampung. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

Olviani, Y. (2015). PENGARUH PELAKSANAAN MOBILISASI PROGRESIF


LEVEL I TERHADAP NILAI MONITORING HEMODINAMIK NON
INVASIF PADA PASIEN CEREBRAL INJURY DI RUANG ICU RSUD
ULIN BANJARMASIN TAHUN 2015. Caring, 2(1), 37-48.

Rahmadevita, S. A. M., Rustina, Y., & Syahreni, E. (2013). Memperbaiki Saturasi


Oksigen, Frekuensi Denyut Jantung, Dan Pernafasan Neonatus Yang
Menggunakan Ventilasi Mekanik Dengan Terapi Musik. Jurnal Keperawatan
Indonesia, 16(3), 154-160.

Rahmanti, A., & Putri, D. K. (2016). Mobilisasi Progresif Terhadap Perubahan


Tekanan Darah Pasien Di Intensive Care Unit (ICU). Jurnal Ilmiah
Kesehatan Keperawatan, 12(1).

Reeder, Dkk. 2011. Keperawatan Maternitas Kesehatan Wanta, Bayi Dan


Keluarga. Edisi 8. Jakarta: EGC

Rifai, A. (2015). PERUBAHAN STATUS RESPIRASI SETELAH


DILAKUKAN MOBILISASI DINI PASIEN INFARK MIOKARD. Interest:
Jurnal Ilmu Kesehatan, 4(2).

Rihiantoro, T., Nurachmah, E., & Hariyati, R. T. S. (2008). Pengaruh Terapi


Musik Terhadap Status Hemodinamika Pada Pasien Koma Di Ruang ICU
Sebuah Rumah Sakit Di Lampung. Jurnal Keperawatan Indonesia, 12(2),

Sadewa, W 2011, Kumpulan Ilmu Bedah Saraf, Sagung Seto, Jakarta.

Suherly, M., & Meikawati, W. (2012). Perbedaan Tekanan Darah Pada Pasien
Hipertensi Sebelum Dan Sesudah Pemberian Terapi Musik Klasik Di RSUD
Tugurejo Semarang. STIKES Telogorejo Semarang.

Tandian, David (2011). Sinopsis Ilmu Bedah Saraf. Jakarta : CV Sagung Seto

Thaut, M. H., Leins, A. K., Rice, R. R., Argstatter, H., Kenyon, G. P., Mcintosh,
G. C., . . . Fetter, M. (2007). Rhythmic Auditor Y Stimulation Improves Gait
More Than NDT/Bobath Training In Near-Ambulatory Patients Early
Poststroke: A Single-Blind, Randomized Trial. Neurorehabilitation And
Neural Repair, 21(5),

Tobing, HG 2011, Prinsip Ilmu Bedah Saraf, Sagung Seto, Jakarta.

Vollman, K. M. (2010). Introduction To Progressive Mobility. Critical Care


Nurse, 30(2), S3-S5.

Widaryati, W. (2016). PENGARUH TERAPI MUROTAL AL QUR’AN


TERHADAP HEMODINAMIK DAN GCS PASIEN CEDERA KEPALA.
Universitas' Aisyiah Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai