Anda di halaman 1dari 52

PENGARUH ROM PASIF TERHADAP LAJU PERNAPASAN DAN SPO2 PADA

PASIEN POST CRANIOTOMY DI RUANG PERAWATAN ICU

KARYA ILMIAH AKHIR NERS

DISUSUN OLEH

DIDIT ADITIYA DIMAS MONIT


P07220419059

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES KALIMANTAN TIMUR


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS
JURUSAN KEPERAWATAN
2020
PERNYATAAN KEASLIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,


Nama : Didit Aditiya Dimas Monit
NIM : P07220419059
Program Studi : Profesi Ners
Pengaruh ROM Pasif Terhadap Laju Pernapasan Dan
Judul KIAN SpO2 Pada Pasien Post Craniotomy Diruang Perawatan
ICU

Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa KIAN yang saya tulis ini


benar merupakan hasil karya saya sendiri dan sepanjang pengetahuan saya di
dalam naskah KIAN ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh
orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu perguruan tinggi, dan tidak
terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain,
kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam
sumber kutipan dan daftar pustaka. Apabila di kemudian hari ternyata di dalam
naskah KIAN ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur plagiat, saya bersedia
menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN


Samarinda, November 2020
Yang membuat pernyataan,

Materai 6000

Didit Aditiya Dimas Monit

ii
KARYA ILMIAH AKHIR NERS

PENGARUH ROM PASIF TERHADAP LAJU PERNAPASAN DAN SPO2


PADA PASIEN POST CRANIOTOMY DI RUANG PERAWATAN ICU

Disusun dan diajukan oleh:

Didit Aditiya Dimas Monit


P07220419059

Telah diperiksa dan disetujui untuk diseminarkan


Samarinda, Desember 2020

Pembimbing

Ns. Andi Lis A.G, S. Kep., M. Kep


NIDN. 4029036801

Mengetahui,
Ketua Program Pendidikan Profesi Ners
Poltekkes Kemenkes Kaltim

Ns. Parellangi, S. Kep., M. Kep., MH. Kes.


NIP. 197512152002121004

iii
KARYA ILMIAH AKHIR NERS

PENGARUH ROM PASIF TERHADAP LAJU PERNAPASAN DAN SPO2


PADA PASIEN POST CRANIOTOMY DI RUANG PERAWATAN ICUN

Disusun dan diajukan oleh

Didit Aditiya Dimas Monit


P07220419059

Telah dipertahankan dalam sidang seminar hasil


pada tanggal, Desember 2020
dan dinyatakan telah memenuhi syarat kelulusan

Menyetujui,
Penguji I Penguji II

Ns. Joko Sapto P, S.Kp., MPHM Ns. Andi Lis A.G, S. Kep., M. Kep
NIDN. 4026116602 NIDN. 4029036801

Mengetahui,
Ketua Program Pendidikan Profesi Ners
Poltekkes Kemenkes Kaltim

Ns. Parellangi, S. Kep., M. Kep., MH. Kes.


NIP. 197512152002121004

iv
PENGARUH ROM PASIF TERHADAP LAJU PERNAPASAN DAN SPO2 PADA
PASIEN POST CRANIOTOMY DI RUANG PERAWATAN ICUN

Didit Aditiya Dimas Monit1), Andi Lis Arming Gandini2)


1
Mahasiswa Program studi Profesi Ners, Poltekkes Kemenkes Kaltim
2
Dosen Program studi Profesi Ners, Poltekkes Kemenkes Kaltim

ABSTRAK

Pendahuluan: Craniotomy merupakan prosedur bedah saraf yang sudah umum,


Craniotomy adalah tindakan pembedahan dengan membuka tulang tengkorak untuk
memberikan akses secara langsung ke otak. Cedera kepala adalah trauma mekanik
pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian
dapat berakibat kepada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif,
psikososial, bersifat temporer atau permanen disertai gangguan hemodinamik, terapi
ROM Pasif merupakan salah satu intervensi keperawatan yang biasa di pergunakan
untuk memperbaiki status hemodinamik pasien post Craniotomy. Tujuan Penulisan
ini yaitu untuk mengetahui pengaruh ROM Pasif terhadap laju pernapasan dan SpO2
pada pasien post Craniotomy.
Metode: Metode Penelitian ini adalah studi Pustaka, literatur dicari melalui database
elektronik seperti Google Schoolar, Science Direct, dan Pubmed. Kriteria Inklusi
meliputi artikel teks lengkap dan tahun publikasi paling lama 10 tahun terakhir mulai
dari 2010 sampai dengan tahun 2020
Hasil dan Kesimpulan : Berdasarkan hasil pembahasan jurnal bahwa ROM Pasif
memiliki pengaruh terhadap perbaikan laju pernapasan dan SpO2 pasien post
Craniotomy yang dirawat diruang ICU, sehingga di harapkan ROM Pasif dapat
diterapkan dalam asuhan keperawatan karena memiliki pengaruh dalam memperbaiki
status Hemodinamik pasien post Craniotomy

Kata Kunci: Post Craniotomy, ROM Pasif, Laju pernapasan, SpO2

v
THE EFFECT OF ROM PASSIVE TOWARDS RESPIRATION AND SPO2 ON
POST CRANIOTOMY PATIENTS IN INTENSIV CARE UNIT

Didit Aditiya Dimas Monit1), Andi Lis Arming Gandini2)


1
Students of the Nurse Professional Study Program, Poltekkes Kaltim
2
Lecturer at Nurse Professional Study Program, Poltekkes Kaltim

ABSTRACT

Background :Craniotomy is a common neurosurgical procedure,Craniotomy is a


surgical procedure that opens the skull to provide direct access to the brain. Head
injury is a mechanical trauma to the head that occurs either directly or indirectly
which can then result in neurological, physical, cognitive, psychosocial, temporary
or permanent disturbances with hemodynamic disorders, Passive ROM therapy is
one of the common nursing interventions in used to improve the hemodynamic status
of post craniotomy patients. The purpose of this paper is to determine the effect of
passive ROM on respiratory rate and SpO2 in post craniotomy patients.
Methods :This research method is literature study, the literature is searched through
electronic databases such as Google Schoolar, Science Direct, and Pubmed. The
inclusion criteria include full text articles and publication year, no longer than the
last 10 years from 2010 to 2020
Results and Conclusions : Based on the results of the journal discussion that Passive
ROM has an effect on improving the respiratory rate and SpO2 of post craniotomy
patients who are treated in the ICU, so it is expected that Passive ROM can be
applied in nursing care because it has an effect on improving the hemodynamic
status of post craniotomy patients.

Keywords :Post Craniotomy, Passive ROM, Respiratory rate, SpO2

vi
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang

telah melimpahkan Rahmat, Taufik dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir Ners “Pengaruh ROM Pasif Terhadap Laju

Pernapasan Dan SpO2 Pada Pasien Post Craniotomy Di Ruang Perawatan ICU”

Dalam melaksanakan Karya Ilmiah Akhir ini, penulis banyak mengalami

hambatan dan kesulitan, namun semua itu menjadi ringan berkat dukungan,

bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis

menyampaikan ucapan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada :

1. H. Supriadi B, S. Kp., M. Kep selaku Direktur Poltekkes Kemenkes Kaltim

2. Hj. Umi Kalsum, S.Pd., M. Kes selaku Ketua Jurusan Keperawatan

3. Ns. Andi Parellangi, M. Kep., MH. Kes selaku Ketua Program Studi Profesi

Ners

4. Joko Sapto Pramono, S.Kp., M. Kes selaku Dosen Penguji Utama

5. Ns. Andi Lis A. G, S. Kep., M. Kep selaku Dosen Pembimbing Pendamping

6. Orang tua serta saudara saya yang selalu memberikan dukungan dalam

menyusun tugas Karya Ilmiah Akhir Ners

7. Teman-teman Profesi Ners yang sering memberikan masukan.

8. Kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih

banyak, semoga segala bantuan yang telah diberikan kepada penulis mendapat

balasan pahala dari Allah SWT.

vii
Penulis menyadari bahwa Karya Ilmiah Akhir Ners ini jauh dari kesempurnaan,

karena itu dengan hal terbuka penulis mengharapkan kritik dan saran yang

bersifat membangun demi perbaikan dan kesempurnaan Karya Ilmiah Akhir

Ners ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan semoga Karya

Ilmiah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang membutuhkan.

Samarinda, November 2020

Penulis

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
ii
iii
iv
v
vi
vii
ix
xi
DAFTAR PUSTAKA

ix
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 : Literature Review....................................................................31

x
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Craniotomy merupakan prosedur bedah saraf yang sudah umum,

Craniotomy adalah tindakan pembedahan dengan membuka tulang tengkorak

untuk memberikan akses secara langsung ke otak. Prosedur ini dilakukan dengan

membuka tulang tengkorak yang bertujuan menghilangkan massa atau hematom

yang terdapat di otak. Craniotomy diindikasikan pada pasien dengan cedera

kepala berat, tumor otak, serta kelainan pembuluh darah pada otak, cedera kepala

berat dapat disebabkan karena kecelakaan lalu lintas (Holloway, 2014).

Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara

langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan

fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau

permanen. Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah

suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital atau degeneratif tetapi

disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar yang dapat mengurangi atau

mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif

dan fungsi fisik (Brain injury Asociation of America, 2015)

1
2

Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologic yang serius diantara

penyakit neurologic yang disebabkan oleh kecelakaan. Cedera kepala meliputi

trauma kulit kepala, otak, dan tengkorak. Cedera kepala ringan adalah suatu
3

keadaan dimana GCS antara 13-15 ,dapat terjadi kehilangan kesadaran tidak lebih

dari 10 menit. Jika ada penyerta seperti fraktur tengkorak, kontusio atau hematom

(sekitar 55%). Pasien mengeluh pusing, sakit kepala ada muntah, ada amnesia

retrogad dan tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan neurologi (Brain injury

Asociation of America, 2015)

Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan

mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di

rumah sakit, dan sisanya yang memerlukan perawatan sekitar 80% dikelompokan

sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS),

dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat. Cedera kepala tersebut terutama

terjadi pada kelompok usia produktif atara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas

merupakan penyebab terbesar yaitu 48%-53%, kemudian jatuh 20%-28% dan

3%-9% lainnya disebabkan tindakan kekerasan, olahraga dan rekreasi

(Retnanengsih, 2015)

Penyebab utama cedera kepala serius adalah kecelakaan lalu lintas. Tingkat

kematian akibat kecelakaan lalu lintas di dunia pada 2013 mencapai 1,2 juta dan

melukai lebih dari 30 juta per tahun, dan 50% dari mereka menderita cedera

kepala. Di Indonesia, berdasarkan data dari Kepolisian Negara Republik

Indonesia (POLRI) pada 2013, ada 80 orang per hari atau 3 orang per jam
4

meninggal di jalan raya akibat kecelakaan lalu lintas dengan cedera kepala

(Lumandung et al., 2014 ).

Menurut WHO tahun 2006, kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab

kematian urutan ke sebelas diseluruh dunia, menelan korban jiwa sekitar 1,2 juta

setiap tahun dan 500.000 kasus cedera kepala setiap tahunnya (Depkes RI, 2007).

Di Indonesia, dari 70% korban kecelakaan lalu lintas yang mengalami cedera,

cedera kepala merupakan urutan pertama dari semua jenis cedera yang dialami

korban kecelakaan, perdarahan subdural akut menjadi indikasi untuk dilakukan

operasi (Yushermanet al, 2008). Berdasarkan penelitian oleh Hendra di RSUP

Dr.Karyadi pada tahun 2012, menyebutkan bahwa pada periode februari 2010-

februari 2012 terdapat 103 pasien yang menjalani craniotomy.

Pasien Post Craniotomy akan mengalami penurunan kesadaran dan

gangguan mobilisasi untuk sementara waktu. Pasien dengan kondisi bedrest dapat

terjadi penurunan kekuatan otot sehingga dapat mempengaruhi otot pernapasan

(Asmadi, 2009). Untuk mencegah kelemahan otot atau penurunan kekuatan otot,

perawat dapat memberikan program rehabilitasi fisik. Rehabilitasi fisik terdiri

dari mobilisasi dini, latihan berjalan dengan alat bantu, latihan ambulasi, dan

latihan Range of Motion (ROM).


5

Range of Motion (ROM) merupakan latihan yang dilakukan untuk

mempertahankan atau memperbaiki tingkat kesempurnaan kemampuan

menggerakan persendian secara normal dan lengkap untuk meningkatkan massa

otot dan tonus otot (Potter & Perry, 2005). ROM bertujuan untuk

mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan kelenturan otot,

mempertahankan fungsi kardiorespirasi, menjaga fleksibilitas persendian,

mencegah kontraktur sendi. Latihan ROM ada dua jenis yaitu ROM Pasif dan

ROM aktif (Asmadi, 2009).

ROM pasif adalah latihan ROM yang di lakukan pasien dengan bantuan

perawat pada setiap gerakan. Di ruang ICU, latihan yang digunakan adalah latihan

ROM pasif (Suratun, dkk, 2008). Peningkatan aktivitas secara bertahap dapat

mengurangi kelemahan otot dan meningkatkan daya tahan tubuh (Carpenito,

2009).

Syarat pasien Post Craniotomy yang akan dilakukan tindakan ROM Pasif

antara lain, pasien yang mengalami kelemahan otot, tirah baring, Post Craniotomy

hari kedua, hemodinamik dalam kondisi stabil, pasien tidak mempunyai

komplikasi penyakit lain (penyakit pada sistem pernapasan, dan penyakit jantung),

tidak terjadi perdarahan pasca bedah, pasien dalam keadaan tenang atau tidak

gelisah. ROM dilakukan sesuai dengan kondisi pasien, untuk pasien dengan Post

Craniotomy jika tidak ada komplikasi lain dapat dimulai setelah 24 jam pasca

trauma. Pelaksanaan dilakukan secara rutin dengan waktu latihan 10-15 menit
6

sebanyak 1-2 kali untuk memperbaiki kekuatan otot pasien. Salah satu tujuan

dilakukan latihan ROM pasif pada pasien kritis di ICU adalah untuk

mempertahankan fungsi jantung dan pernapasan (kardiorespirasi) (Potter & Perry,

2005).

Faktor yang dapat mempengaruhi peningkatan laju napas dan kedalaman

pernapasan adalah latihan fisik, hal ini sebagai akibat dari pemenuhan kebutuhan

oksigen. Saturasi oksigen merupakan indikasi persentase hemoglobin jenuh

dengan oksigen pada saat pengukuran, SpO2 dapat diukur dengan menggunakan

pulse oksimetri. Penurunan saturasi oksigen merupakan indikasi terjadinya

hipoksia. Semakin tinggi frekuensi pernapasan maka saturasi oksigen semakin

tinggi (Kathryn, 2010).

Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang

pengaruh tindakan ROM pasif terhadap laju pernapasan dan SpO2 pada pasien

Post Craniotomy yang dituangkan dalam penulisan Karya Ilmiah Akhir Ners

Yang berjudul “Pengaruh ROM Pasif Terhadap Laju Pernapasan Dan SpO2 Pada

Pasien Post Craniotomy Di Ruang Perawatan ICU”


7

1.2 Tujuan dari tinjauan pustaka

Tujuan dari tinjauan pustaka ini adalah untuk mengidentifikasi dan

mendeskripsikan bukti-bukti berdasarkan pengetahuan terkini terkait dengan

penggunaan ROM Pasif terhadap Laju Pernapasan Dan SpO2 Pada Pasien Post

Craniotomy diruang ICU. Untuk mencapai tujuan tersebut di atas, review akan

diatur sebagai berikut:

a. Menjelaskan konsep Craniotomy

b. Memahami konsep Laju Pernapasan dan SpO2 Pada pasien Post Craniotomy

c. Memahami konsep Intervensi ROM Pasif

d. Memahami pengaruh ROM Pasif terhadap Laju Pernapasan Dan SpO2 Pada

Pasien Post Craniotomy


8

1.3 Sumber Sastra

Sumber literatur dalam penelitian ini sebagian besar berasal dari jurnal database

online yang menyediakan jurnal artikel gratis dalam format PDF, seperti:

Pubmed, Proquest, Google scholar dan EBSCO. Sumber lain seperti, Laporan

Kesehatan Nasional, Tesis dan Disertasi juga dimanfaatkan. Tidak ada batasan

tanggal publikasi selama literatur tersebut relevan dengan topik penelitian. Akan

tetapi, untuk menjaga agar informasi tetap mutakhir, informasi yang digunakan

terutama dari literatur yang dikumpulkan dari sepuluh tahun terakhir

1.4 Prosedur dalam manajemen sastra

Untuk menyusun tinjuan literatur ini, telah dilakukan prosedur sebagai berikut :

a. Mengumpulkan informasi dari beberapa sumber yang berkaitan dengan topik

studi, kemudian katalog dan dokumentasinya menggunakan perangkat lunak

Mendeley

b. Menyusun data serta mensintesis informasi

c. Review Literatur

Kemudian untuk memastikan bahwa prosedur pengelolaan literatur yang

disebutkan di atas sesuai, metode lain seperti diskusi intensif dengan

pembimbing akademik dan pakar serta mengikuti studi mandiri juga

dilakukan oleh penulis.


BAB II

TINJAUAN LITERATUR

2.1 Konsep Craniotomy

2.1.1 Definisi

Menurut Brown CV (2014), Craniotomy adalah operasi untuk

membuka tengkorak (tempurung kepala) dengan maksud untuk mengetahui

dan memperbaiki kerusakan otak. Menurut Hamilton M (2007), Craniotomy

adalah operasi pengangkatan sebagian tengkorak. Menurut Chesnut RM

(2006), Craniotomy adalah prosedur untuk menghapus luka di otak melalui

lubang di tengkorak (kranium).

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian

dari Craniotomy adalah operasi membuka tengkorak (tempurung kepala)

untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan yang diakibatkan oleh

adanya luka yang ada di otak.

2.1.2 Indikasi Craniotomy

Indikasi tindakan kraniotomi atau pembedahan intrakranial adalah

sebagai berikut:
10

1. Pengangkatan jaringan abnormal baik tumor maupun kanker

2. Mengurangi tekanan intrakranial


11

3. Mengevakuasi bekuan darah

4. Mengontrol bekuan darah

5. Pembenahan organ-organ intrakranial

6. Tumor otak

7. Perdarahan (hemorrage)

8. Kelemahan dalam pembuluh darah (cerebral aneurysms)

9. Peradangan dalam otak

10. Trauma pada tengkorak (Cicilia UzuMaki BanGeuD di 20.53, 2011)

2.1.3 Etiologi

Etiologi dilakukannya Kraniotomi karena :

1. Adanya benturan kepala yang diam terhadap benda yang sedang

bergerak. Misalnya pukulan-pukulan benda tumpul, kena lemparan

benda tumpul.

2. Kepala membentur benda atau objek yang secara relative tidak bergerak.

Misalnya membentur tanah atau mobil.

3. Kombinasi keduanya. (Aca.Erlind Dolphin di 18.57, 2011)

2.1.4  Manifestasi Klinis

Menurut Brunner dan Suddarth (2000:65) gejala-gejala yang ditimbulkan

pada klien dengan Craniotomy antara lain :

1. Penurunan kesadaran, nyeri kepala hebat, dan pusing


12

2. Bila hematoma semakin meluas akan timbul gejala deserebrasi dan

gangguan tanda vital dan fungsi pernafasan.

3. Terjadinya peningkatan TIK setelah pembedahan ditandai dengan

muntah proyektil, pusing dan peningkatan tanda-tanda vital.

2.1.5 Patofisiologi

Ketika terjadi trauma kepala maka akan menyebabkan perlukaan

dikulit kepala, serta akan menyebabkan hematoma pada kulit kepala akibat

benturan yang akan menyebabkan cedera pada otak. Ketika terjadi trauma

kepala disitu juga akan terjadi patahan/fraktur tulang kepala. Diantaranya

fraktur linear, fraktur communited, fraktur depressed, dan fraktur basis yang

akan menyebabkan tekanan intra kranial meningkat.

Ketika terjadi trauma kepala akan menyebabkan kerusakan pula pada

jaringan otak dan akan menyebabkan hematom, edema, dan konkusio. Hal

tersebut akan menyebabkan meningkatnya tekanan intra kranial. Dari semua

itu maka akan ditemukan kelainan respon fisiologis otak yang berakibat

pada cedera otak sekunder dan peningkatan kerusakan sel otak.

Peningkatan TIK dapat pula dilakukan proses pembedahan untuk

mencegah peningkatan TIK dapat dilakukan dengan 3 cara yang pertama

kraniotomi, kraniektomi, kranioplasti. Dari proses pembedahan itu akan

menyebabkan perlukaan pada kulit kepala yang merupakan tempat

masuknya mikroorganisme yang dapat menyebabkan resiko tinggi infeksi.

Dapat pula menyebabkan nyeri karena dari proses pembedahan itu


13

menyebabkan terputusnya kontinuitas jaringan yang merangsang reseptor

nyeri, biasanya pasien dengan kraniotomi akan mengalami intoleransi

aktivitas karena kelemahan fisik akibat nyeri.

Dari proses inflamasi juga akan didapatkan respon yang

memungkinkan terjadinya edema otak yang akan menyebabkan gangguan

perfusi jaringan. Dari proses pembedahan dapat pula menyebabkan resti

kekurangan cairan dan nutrisi akibat efek dari anastesi selama proses

pembedahan. Prosedur anastesi dan pengguanaan ETT pada proses

pembedahan akan menimbulkan iritasi pada saluran pernapasan yang akan

memungkinkan terjadinya resiko jalan napas tidak efektif. (Muttaqin, 2007:

152 dan Dongoes, 2000 : 271, Brunner & Suddarth. 2000)

2.1.6 Komplikasi

1. Edema cerebral

2. Syok Hipovolemik

3. Hydrocephalus

4. Perdarahan subdural, epidural, dan intracerebral

5. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis.

Tromboplebitis post operasi biasanya timbul 7 - 14 hari setelah operasi.

Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari

dinding pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke

paru-paru, hati, dan otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki

post operasi, ambulatifdini.


14

6. Infeksi

Infeksi luka sering muncul pada 36  –   46 jam setelah operasi.

Organisme yang paling sering menimbulkan infeksi adalah stapylococus

auereus, organism garam positif stapylococus mengakibatkan

pernanahan. Untuk menghindari infeksi luka yang paling penting adalah

perawatan luka dengan memperhatikan aseptic dan antiseptic.

7. Kerusakan integritas kulit sehubungan dengan dehisiensi luka atau

eviserasi. Dehisiensi luka merupakan terbukanya tepi-tepi luka.

Eviserasi luka adalah keluarnya organ-organ dalam melalui insisi.

Faktor penyebab dehisensi atau eviserasi adalah infeksi luka, kesalahan

menutup waktu pembedahan.

2.1.7 Penatalaksanaan

Tujuan utama penatalaksanaan pada Post Craniotomy adalah

1. Mengurangi komplikasi akibat pembedahan

2. Mempercepat penyembuhan

3. Mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum

operasi.

4. Mempertahankan konsep diri pasien

5. Mempersiapkan klien pulang


15

Tindakan keperawatan post operasi craniotomy:

1. Monitor kesadaran, tanda –  tanda vital, CVP, intake dan out put

2. Observasi dan catat sifat drain (warna, jumlah) drainage.

3. Dalam mengatur dan menggerakkan posisi pasien harus hati-hati jangan

sampai drain tercabut.

4. Perawatan luka operasi secara steril

5. Makanan, pada klien pasca pembedahan biasanya tidak diperkenankan

menelan makanan sesudah pembedahan, makanan yang dianjurkan pada

pasien post operasi adalah makanan tinggi protein dan vitamin C.

Protein sangat diperlukan pada proses penyembuhan luka, sedangkan

vitamin C yang mengandung antioksidan membantu meningkatkan daya

tahan tubuh untuk pencegahan infeksi. Pembatasan diit yang dilakukan

adalah NPO (nothing peroral). Biasanya makanan baru diberikan jika

perut tidak kembung, peristaltik usus normal, flatus positif, bowel

movement positif.

6. Mobilisasi

Klien diposisikan untuk berbaring ditempat tidur agar keadaanya stabil.

Biasanya posisi awal adalah terlentang, tapi juga harus tetap dilakukan

perubahan posisi agar tidak terjadi dekubitus.


16

7. Pemenuhan kebutuhan eliminasi

Control volunteer fungsi perkemihan kembali setelah 6  –   8 jam post

anesthesia. inhalasi, IV, spinal anesthesia, infus IV, manipulasi operasi

untuk mengetahui ada tidaknya retensio urine.

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan diagnostik yang diperlukan pada klien dengan Post

Craniotomy meliputi hal-hal dibawah ini :

1. Pemeriksaan tengkorak dengan sinar X, CT scan atau MRI dapat dengan

cermat mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan

ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui

adanya infark / iskemia jangan dilakukan pada 24 - 72 jam setelah injuri

(Corwin, 2000: 177)

2. Angiografi Serebral. Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti :

perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan

trauma.

3. EEG Berkala.  Electroencephalogram (EEG) adalah suatu test untuk

mendeteksi kelainan aktivitas elektrik otak (Campellone, 2006).

4. Foto rotgen, mendeteksi perdarahan struktur tulang (fraktur) perubahan

struktur garis (perarahan/edema), fragmen tulang.

5. PET ( Possitron Emission Tomography), mendeteksi perubahan aktivitas

metabolisme otak
17

6. Kadar elektrolit, untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai

peningkatan tekanan intra kranial

7. Skrining toksikologi untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga

menyebabkan penurunan kesadaran

8. Analisis Gas Darah (AGD) adalah salah satu tes diagnostik untuk

menentukan status respirasi. Status respirasi dapat digambarkan melalui

pemeriksaan AGD ini adalah status oksigenasi dan status asam basa.

(Manjoer, 2008).
18

2.2 Konsep Saturasi Oksigen

2.2.1 Definisi

Saturasi oksigen adalah presentasi hemoglobin yang berikatan

dengan oksigen dalam arteri, saturasi oksigen normal adalah antara 95 –

100 %. Dalam kedokteran , oksigen saturasi (SO2), sering disebut sebagai

"SATS", untuk mengukur persentase oksigen yang diikat oleh hemoglobin

di dalam aliran darah. Pada tekanan parsial oksigen yang rendah, sebagian

besar hemoglobin terdeoksigenasi, maksudnya adalah proses

pendistribusian darah beroksigen dari arteri ke jaringan tubuh ( Hidayat,

2007). Pada sekitar 90% (nilai bervariasi sesuai dengan konteks klinis)

saturasi oksigen meningkat menurut kurva disosiasi hemoglobin-oksigen

dan pendekatan 100% pada tekanan parsial oksigen> 10 kPa. Saturasi

oksigen atau oksigen terlarut (DO) adalah ukuran relatif dari jumlah

oksigen yang terlarut atau dibawa dalam media tertentu. Hal ini dapat

diukur dengan probe oksigen terlarut seperti sensor oksigen atau optode

dalam media cair.

2.2.2 Pengukuran Saturasi Oksigen

Pengukuran saturasi oksigen dapat dilakukan dengan beberapa tehnik.

Penggunaan oksimetri nadi merupakan tehnik yang efektif untuk memantau

pasien terhadap perubahan saturasi oksigen yang kecil atau mendadak

(Tarwoto, 2006). Adapun cara pengukuran saturasi oksigen antara lain :

a. Saturasi oksigen arteri (Sa O2) nilai di bawah 90% menunjukan keadaan
19

hipoksemia (yang juga dapat disebabkan oleh anemia ). Hipoksemia

karena SaO2 rendah ditandai dengan sianosis . Oksimetri nadi adalah

metode pemantauan non invasif secara kontinyu terhadap saturasi

oksigen hemoglobin (SaO2). Meski oksimetri oksigen tidak bisa

menggantikan gas-gas darah arteri, oksimetri oksigen merupakan salah

satu cara efektif untuk memantau pasien terhadap perubahan saturasi

oksigen yang kecil dan mendadak. Oksimetri nadi digunakan dalam

banyak lingkungan, termasuk unit perawatan kritis, unit keperawatan

umum, dan pada area diagnostik dan pengobatan ketika diperlukan

pemantauan saturasi oksigen selama prosedur.

b. Saturasi oksigen vena (Sv O2) diukur untuk melihat berapa banyak

mengkonsumsi oksigen tubuh. Dalam perawatan klinis, Sv O2 di bawah

60%, menunjukkan bahwa tubuh adalah dalam kekurangan oksigen, dan

iskemik penyakit terjadi. Pengukuran ini sering digunakan pengobatan

dengan mesin jantung-paru (Extracorporeal Sirkulasi), dan dapat

memberikan gambaran tentang berapa banyak aliran darah pasien yang

diperlukan agar tetap sehat.

c. Tissue oksigen saturasi (St O2) dapat diukur dengan spektroskopi

inframerah dekat . Tissue oksigen saturasi memberikan gambaran

tentang oksigenasi jaringan dalam berbagai kondisi.

d. Saturasi oksigen perifer (Sp O2) adalah estimasi dari tingkat kejenuhan

oksigen yang biasanya diukur dengan oksimeter puls.


20

Pemantauan saturasi O2 yang sering adalah dengan menggunakan oksimetri

nadi yang secara luas dinilai sebagai salah satu kemajuan terbesar dalam

pemantauan klinis (Giuliano & Higgins, 2005). Untuk pemantauan saturasi

O2 yang dilakukan di perinatalogi ( perawatan risiko tinggi ) Rumah Sakit

Islam Kendal juga dengan menggunakan oksimetri nadi. Alat ini merupakan

metode langsung yang dapat dilakukan di sisi tempat tidur, bersifat

sederhana dan non invasive untuk mengukur saturasi O2 arterial (Astowo,

2005 )

2.2.3 Alat yang digunakan dan tempat pengukuran

Alat yang digunakan adalah oksimetri nadi yang terdiri dari dua diode

pengemisi cahaya (satu cahaya merah dan satu cahaya inframerah) pada satu

sisi probe, kedua diode ini mentransmisikan cahaya merah dan inframerah

melewati pembuluh darah, biasanya pada ujung jari atau daun telinga,

menuju fotodetektor pada sisi lain dari probe (Welch, 2005)

2.2.4 Faktor yang mempengaruhi bacaan saturasi

Kozier (2010) menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi

bacaan saturasi :

a. Hemoglobin (Hb) Jika Hb tersaturasi penuh dengan O2 walaupun nilai

Hb rendah maka akan menunjukkan nilai normalnya. Misalnya pada

klien dengan anemia memungkinkan nilai SpO2 dalam batas normal.

b. Sirkulasi Oksimetri tidak akan memberikan bacaan yang akurat jika


21

area yang di bawah sensor mengalami gangguan sirkulasi.

c. Aktivitas Menggigil atau pergerakan yang berlebihan pada area sensor

dapat menggangu pembacaan SpO2 yang akurat

2.3 Konsep Respirasi

2.3.1 Definisi

Sistem pernapasan termasuk hidung, rongga hidung dan sinus, faring,

laring (kotak suara),trakea (tenggorokan), dan saluran-saluran yang lebih

kecil yang mengarah ke pertukaran gas di permukaan paru-paru. Saluran

pernapasan terdiri dari saluran udara yang membawa udara dari dan ke

permukaan tersebut. Saluran pernapasan dapat dibagi menjadi bagian

konduksi dan bagian pernapasan. Bagian konduksi terdapat dari jalan masuk

udara dihidung ke rongga hidung kebronkiolus terkecil dari paru-paru .

Bagian pernapasan termasuk saluran bronkiolus pernapasan dan kantung

udara halus , atau alveoli ( al - VE ), di mana terjadi pertukaran gas . Sistem

pernapasan termasuk saluran pernapasan dan jaringan terkait, organ, dan

struktur pendukung. Saluran-saluran kecil ini menyesuaikan kondisi udara

dengan menyaring, pemanasan, dan melembabkan itu, sehingga melindungi

bagian konduksi yang peka dan melindungi pertukaran sistem pernapasan

bawah dari partikel-partikel, patogen, dan lingkungan ekstrem.(Martini et al

2012)

Saluran pernafasan dari atas kebawah dapat dirinci sebagai berikut,

rongga hidung, faring, laring, trakea, percabangan bronkus, paru- paru


22

(bronkiolus,alveolus). Rongga hidung dilapisi selaput lender yang sangat

kaya akan pembuluh darah, dan bersambung dengan lapisan faring dan

selaput lender. Faring adalah pipa berotot yang berjalan dari dasar tengkorak

sampai persambungannya dengan oesofagus pada ketinggian tulang rawan

krikoid. Faring terbagi menjadi 3 bagian yaitu nasofaring, orofaring dan

laringofaring kemudian Laring, laring berperan untuk pembentukan suara

dan untuk melindungi jalan nafas terhadap masuknya makanan dan cairan.

Trakea, merupakan lanjutan dari laring yang dibentuk oleh 16 sampai 20

cincin kartilago yang terdiri dari tulang tulang rawan yang terbentuk seperti

C. Bronkus merupakan percabangan trachea. Setiap bronkus primer

bercabang 9 sampai 12 kali untuk membentuk bronki sekunder dan tersier

dengan diameter yang semakin kecil. Struktur mendasar dari paru-paru

adalah percabangan bronchial yang selanjutnya secara berurutan adalah

bronki,bronkiolus,bronkiolus terminalis, bronkiolus respiratorik, duktus

alveolar, dan alveoli. Dibagian bronkus masih disebut pernafasan

extrapulmonar dan sampai memasuki paru-paru disebut intrapulmonary.

Terakhir adalah Paru-paru yang berada dalam rongga torak,yang terkandung

dalam susunan tulang-tulang iga dan letaknya disisi kiri dan kanan

mediastinum yaitu struktur blok padat yang berada dibelakang tulang dada.

Paru-paru berbentuk seperti spins dan berisi udara dengan pembagian udara

Antara Paru kanan, yang memiliki tiga lobus Dan paru kiri dua lobus

(Setiadi, 2007)
23

2.3.2 Proses Respirasi

Respirasi adalah suatu peristiwa ketika tubuh kekurangan oksigen

(O2) dan O2 yang berada di luar tubuh dihirup (inspirasi) melalui organ

pernapasan. Pada keadaan tertentu tubuh kelebihan karbon diksida (CO2),

maka tubuh berusaha untuk mengeluarkan kelebihan tersebut dengan

menghembuskan napas (ekspirasi) sehingga terjadi suatu keseimbangan

antara O2 dan CO2 di dalam tubuh. Sistem respirasi berperan untuk

menukar udara ke permukaan dalam paru. Udara masuk dan menetap dalam

sistem pernapasan dan masuk dalam pernapasan otot. Trakea dapat

melakukan penyaringan, penghangatan, dan melembapakan udara yang

masuk, melindungi permukaan organ yang lembut. Hantaran tekanan

menghasilkan udara ke paru melalui saluran pernapasan atas. Tekanan ini

berguna untuk menyaring,mengatur udara, dan mengubah permukaan

saluran napas bawah. (Syaifuddin,2012)

Proses pernapasan berlangsung melalui beberapa tahapan, yaitu :

1. Ventilasi paru, yang berarti pertukaran udara antara atmosfer dan

alveolus paru

2. Difusi oksigen dan karbondioksida antara alveoli dan darah

3. Pengangkutan oksigen dan karbondioksida dalam darah dan cairan

tubuh ke dan dari sel jaringan tubuh (Guyton, 2006).

Udara bergerak masuk dan keluar paru karena adanya selisih tekanan yang

terdapat antara atmosfer dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot.


24

Diantaranya itu perubahan tekanan intrapulmonar, tekanan intrapleural, dan

perubahan volume paru (Guyton, 2006). Keluar masuknya udara pernapasan

terjadi melalui 2 proses mekanik, yaitu :

1. Inspirasi : proses aktif dengan kontraksi otot-otot inspirasi untuk

menaikkan volume intratoraks, paru-paru ditarik dengan posisi yang

lebih mengembang, tekanan dalam saluran pernapasan menjadi negatif

dan udara mengalir ke dalam paru-paru.

2. Ekspirasi : proses pasif dimana elastisitas paru (elastic recoil) menarik

dada kembali ke posisi ekspirasi, tekanan recoil paru-paru dan dinding

dada seimbang, tekanan dalam saluran pernapasan menjadi sedikit

positif sehingga udara mengalir keluar dari paru-paru, dalam hal ini

otot-otot pernapasan berperan ( Sherwood,2012)

Fungsi dari sistem pernapasan adalah:

1. Menyediakan area yang memadai untuk pertukaran gas antara udara

dan sirkulasi darah

2. transport udara dari dan ke pertukaran permukaan di paru-paru;

3. Melindungi permukaan pernafasan dari dehidrasi, perubahan suhu,

dan variasi lingkungan lainnya;

4. Mempertahankan sistem pernapasan, dan jaringan lain dari invasi

oleh pathogen mikroorganisme;

5. Memproduksi suara yang terlibat dalam berbicara, bernyanyi, atau

komunikasi nonverbal;
25

6. Membantu dalam regulasi volume darah, tekanan darah, dan control

pH cairan tubuh (Martini et al 2012)

2.3.3.Faktor yang mempengaruhi kapasitas fungsi paru

Ada beberapa metode suction menurut Linda, et al (2017),

diantaranya yaitu. Penurunan fungsi paru dapat terjadi secara bertahap dan

bersifat kronis sebagai frekuensi lama seseorang bekerja pada lingkungan

yang berdebu dan faktor-faktor internal yang terdapat pada diri pekerja yang

antara lain adalah :

1. Jenis kelamin. Kapasitas vital rata-rata pria dewasa muda lebih kurang

4,6 liter dan perempuan muda kurang lebih 3,1 liter. Volume paru pria

dan wanita berbeda dimana kapasitas paru total pria 6,0 liter dan wanita

4,2 liter.

2. Posisi tubuh. Nilai ka\pasitas fungsi paru lebih rendah pada posisi tidur

dibandingkan posisi berdiri. Pada posisi tegak, ventilasi persatuan

volume paru di bagian basis paru lebih besar dibandingkan dengan

bagian apeks. Hal ini terjadi karena pada awal inspirasi, tekanan

intrapleura di bagian basis paru kurang negatif dibandingkan bagian

apeks, sehingga perbedaan tekanan intrapulmonal-intrapleura di bagian

basis lebih kecil dan jaringan paru kurang teregang. Keadaan tersebut

menyebabkan persentase volume paru maksimal posisi berdiri lebih

besar nilainya.
26

3. Kekuatan otot-otot pernapasan. Pengukuran kapasitas fungsi paru

bermanfaat dalam memberikan informasi mengenai kekuatan otot-otot

pernapasan. Apabila nilai kapasitas normal tetapi nilai FEV1 menurun,

maka dapat mengakibatkan rasa nyeri, contohnya pada penderita asma.

4. Ukuran dan bentuk anatomi tubuh. Obesitas meningkatkan resiko

penurunan kapasitas residu ekspirasi dan volume cadangan ekspirasi

dengan semakin beratnya tubuh. Pada pasien obesitas, volume cadangan

ekspirasi lebih kecil dari pada kapasitas vital sehingga dapat

mengakibatkan sumbatan saluran napas.

5. Proses penuaan atau bertambahnya umur. Umur meningkatkan resiko

mortalitas dan morbiditas. Selain itu juga dapat terjadi penurunan

volume paru statis, arus puncak ekspirasi maksimal, daya regang paru,

dan tekanan O2 paru. Aktivitas refleks saluran napas berkurang pada

orang yang lanjut usia, akibatnya kemampuan daya pembersih saluran

napas juga berkurang. Insiden tertinggi gangguan pernapasan biasanya

pada usia dewasa muda. Pada wanita frekuensi mencapai maksimal pada

usia 40-50 tahun, sedangkan pada pria frekuensi terus meningkat sampai

sekurang-kurangnya mencapai usia 60 tahun.

6. Daya pengembangan paru (compliance). Peningkatan volume dalam

paru menghasilkan tekanan positif, sedangkan penurunan volume dalam

paru menimbulkan tekanan negatif. Perbandingan antara perubahan


27

volume paru dengan satuan perubahan tekanan saluran udara

menggambarkan compliance jaringan paru dan dinding dada.

Compliance paru sedikit lebih besar apabila diukur selama pengempisan

paru dibandingkan diukur selama pengembangan paru.

7. Masa kerja dan riwayat pekerjaan. Semakin lama tenaga kerja bekerja

pada lingkungan yang menyebabkan gangguan kesehatan, maka

penurunan fungsi paru pada orang tersebut akan bertambah dari waktu

ke waktu.

8. Riwayat penyakit paru. Banyak para pekerja yang terkena gangguan

pernapasan bukan karena keturunan, melainkan akibat tertular oleh

kuman atau basilnya. Biasanya kuman tersebut berasal dari lingkungan

rumah, pasar, terminal, stasiun, lingkungan kerja, ataupun tempat-tempat

umum lainnya.

9. Olahraga rutin. Kebiasaan olah raga akan meningkatkan denyut jantung,

fungsi paru, dan metabolisme saat istirahat.

10. Kebiasaan merokok. Tembakau merupakan penyebab penyakit

gangguan fungsi paru-paru yang bersifat kronis dan obstruktif, yang

pada akhirnya dapat menurunkan daya tahan tubuh (Yulaekah, 2007).

2.3.4 Gangguan Fungsi Paru


28

Pada individu normal terjadi perubahan (nilai) fungsi paru secara

fisiologis sesuai dengan perkembangan umur dan pertumbuhan parunya

(lung growth). Mulai dari fase anak sampai kira- kira umur 22-24 tahun

terjadi pertumbuhan paru sehingga pada waktu itu nilai fungsi paru semakin

besar bersamaan dengan pertambahan umur. Beberapa waktu nilai fungsi

paru menetap (stasioner) kemudian menurun secara gradual, biasanya pada

usia 30 tahun mulai mengalami penurunan, selanjutnya nilai fungsi paru

mengalami penurunan rata-rata sekitar 20 ml tiap pertambahan satu tahun

usia seseorang ( Sherwood,2012).

Gangguan fungsi ventilasi paru menyebabkan jumlah udara yang

masuk ke dalam paru-paru akan berkurang dari normal. Gangguan fungsi

ventilasi paru yang utama adalah :

1. Restriksi, yaitu penyempitan saluran paru-paru yang diakibatkan oleh

bahan yang bersifat alergen seperti debu, spora jamur, dan sebagainya,

yang mengganggu saluran pernapasan.

2. Obstruksi, yaitu penurunan kapasitas fungsi paru yang diakibatkan oleh

penimbunan debu-debu sehingga menyebabkan penurunan kapasitas

fungsi paru.

3. Kombinasi obstruksi dan restriksi (mixed), yaitu terjadi juga karena

proses patologi yang mengurangi volume paru, kapasitas vital dan

aliran udara, yang juga melibatkan saluran napas. Rendahnya


29

FEVl/FVC (%) merupakan suatu indikasi obstruktif saluran napas dan

kecilnya volume paru merupakan suatu restriktif (Edward,2012).

2.4 ROM (Range Of Motion)

2.4.1 Definisi

Range Of Motion (ROM), merupakan istilah baku untuk menyatakan

batas/besarnya gerakan sendi baik normal. ROM juga di gunakan sebagai

dasar untuk menetapkan adanya kelainan batas gerakan sendi abnormal

(HELMI, 2012). Menurut (potter, 2010) Rentang gerak atau (Range Of

Motion) adalah jumlah pergerakan maksimum yang dapat di lakukan pada

sendi, di salah satu dari tiga bdang yaitu: sagital, frontal, atau transversal.

Range Of Motion (ROM), adalah gerakan yang dalam keadaan normal dapat

dilakukan oleh sendi yang bersangkutan. Range Of Motion dibagi menjadi

dua jenis yaitu ROM aktif dan ROM pasif. (Suratun,Heryati,Manurung, &

Raenah, 2008).

Range of motion adalah latihan gerakan sendi yang memungkinkan

terjadinya kontraksi dan pergerakan otot, di mana klien menggerakan

masing-masing persendiannya sesuai gerakan normal baik secara aktif

ataupun pasif. Tujuan ROM adalah : (1). Mempertahankan atau memelihara

kekuatan otot, (2). Memelihara mobilitas persendian, (3) Merangsang

sirkulasi darah, (4). Mencegah kelainan bentuk. (Potter dan Perry (2006).
30

2.4.2 Klasifikasi ROM

Menurut (Suratun,Heryati,Manurung, & Raenah, 2008) klasifikasi ROM

sebagai berikut:

1. ROM aktif adalah latihan yang di berikan kepada klien yang mengalami

kelemahan otot lengan maupun otot kaki berupa Latihan pada tulang

maupun sendi dimana klien tidak dapat melakukannya sendiri, sehingga

klien memerlukan bantuan perawat atau keluarga.

2. ROM pasif adalah latihan ROM yang dilakukan sendiri oleh pasien

tanpa bantuan perawat dari setiap gerakan yang dilakukan. Indikasi

ROM aktif adalah semua pasien yang dirawat dan mampu melakukan

ROM sendi dan kooperatif.

2.4.3 Tujuan ROM

Menurut Johnson (2005), Tujuan range of motion (ROM) sebagai berikut:

1. Mempertahankan tingkat fungsi yang ada dan mobilitas ekstermitas

yang sakit.

2. Mencegah kontraktur dan pemendekan struktur muskuloskeletal.

3. Mencegah komplikasi vaskular akibat imobilitas.

4. Memudahkan kenyamanan.

Sedangkan tujuan latihan Range Of Motion (ROM) menurut Suratun,

Heryati, Manurung, & Raenah (2008).

1. Mempertahankan atau memelihara kekuatan otot.


31

2. Memelihara mobilitas persendian.

3. Merangsang sirkulsi darah.

4. Mencegh kelainan bentuk

2.4.4 Prinsip Dasar ROM

Prinsip dasar latihan range of motion (ROM) menurut Suratun, Heryati,

Manurung, & Raenah (2008) yaitu:

1. ROM harus di ulangi sekitar 8 kali dan di kerjakan minimal 2 kali sehari

2. ROM dilakukan perlahan dan hati-hati sehinga tidak melelahkan pasien.

3. Dalam merencanakan program latihan range of motion (ROM),

Memperhatikan umur pasien, diagnosis, tanda vital, dan lamanya tirah

baring.

4. ROM sering di programkan oleh dokter dan di kerjakan oleh ahli

fisioterapi

5. Bagian-bagian tubuh yang dapat dilakukan ROM adalah leher, jari,

lengan, siku, bahu, tumit, atau pergelangan kaki.

6. ROM dapat dilakukan pada semua persendian yang di curigai

mengurangi proses penyakit.

7. Melakukan ROM hrus sesuai waktunya, misalnya setelah mandi atau

perawatan rutin telah dilakukan.


32

2.4.5 Gerakan ROM

Rom aktif Merupakan latian gerak isotonik (Terjadi kontraksi dan

pergerakan otot )yang dilakukan klien dengan menggerakan masingmasing

persendiannya sesuai dengan rentang geraknya yang normal. (Kusyati Eni,

2006 ) Rom pasif merupakan latihan pergerakan perawat atau petugas lain

yang menggerakkan persendian klien sesuai dengan rentang geraknya.

(Kusyati Eni, 2006 ) Prosedur pelaksanaan:

Gerakan pinggul dan panggul

1. Fleksi dan ekstensi lutut dan pinggul

a. Angkat kaki dan bengkokkan lutut

b. Gerakkan lutut ke atas menuju dada sejauh mungkin

c. Kembalikan lutut ke bawah, tegakkan lutut, rendahkan kaki sampai

pada kasur.

2. Abduksi dan adduksi kaki

a. Gerakkan kaki ke samping menjauh klien

b. Kembalikan melintas di atas kaki yang lainnya

3. Rotasikan pinggul internal dan eksternal

a. Putar kaki ke dalam, kemudian ke luar

Gerakkan telapak kaki dan pergelangan kaki

1. Dorsofleksi telapak kaki


33

a. Letakkan satu tangan di bawah tumit

b. Tekan kaki klien dengan lengan anda untuk menggerakkannya ke

arah kaki

2. Fleksi plantar telapak kaki

a. Letakkan satu tangan pada punggung dan tangan yang lainnya

berada pada tumit

b. Dorong telapak kaki menjauh dari kaki

3. Fleksi dan ekstensi jari-jari kaki

a. Letakkan satu tangan pada punggung kaki klien, letakkan tangan

yang lainnya pada pergelangan kaki

b. Bengkokkan jari-jari ke bawah

c. Kembalikan lagi pada posisi semula

4. Intervensi dan eversi telapak kaki

a. Letakkan satu tangan di bawah tumit, dan tangan yang lainnya di

atas punggung kaki

b. Putar telapak kaki ke dalam, kemudian ke luar.


34

2.5 Riset Pendukung

Penelitian ini didasarkan pada teori-teori dan hasil-hasil penelitian sebelumnya

yang berkisar 10 tahun terakhir dan merupakan suatu theoritical mapping atau

merupakan suatu keaslian penelitian. Riset pendukung dalam penelitian ini

berkaitan dengan penelitian ROM Pasif sebagai variable bebas, dan laju

pernapasan dan SpO2 pasien Post Craniotomy sebagai variable terikat sehingga

didapatkan beberapa jurnal yang dilakukan review sebagai berikut :

Tabel 2.1 Riset pendukung


No Judul Desain Sampel Variabel Instrumen Analisis Hasil Database
Penelitian dan
teknik
sampling
1 Pengaruh Pra Sampel : Rom Pasif, Lembar Dependen Hasil penelitian Google
ROM Pasif Eksperimen 30 orang Laju Monitoring t T-Test menyatakan Scholar
Terhadap t responden Pernapasan status ada pengaruh
Laju , SpO2, hemodinami ROM Pasif
Pernapasan Teknik : Post k terhadap
Dan Spo2 Purposive Craniotom respirasi rate
Pada Pasien sampling y dan saturasi
Post oksigen dengan
Craniotomy nilai
Di Icu Rsud signifikansi
Dr. Moewardi yang sama
Surakarta yaitu (p) 0,00
dimana nilai
Nopitasari p<0,05 yang
(2015) menunjukkan
bahwa Ho
ditolak dan Ha
diterima
dengan
perubahan rata-
rata respirasi
rate sebesar
35

3,967 dan
perubahan rata-
rata saturasi
oksigen sebesar
1,133

2 Penerapan Quasi Sampel : Rom Pasif, Lembar Dependen Hasil penelitian Google
Range Of Eksperimen 30 orang Status Monitoring t T-Test menyatakan Scholar
Motion t responden Hemodina status ada pengaruh
(Rom) mik hemodinami ROM Pasif
Terhadap Teknik : k terhadap
Peningkatan Purposive peningkatan
Status sampling status
Hemodinamik hemodinamik
(Spo2, pasien
Tekanan
Darah, Map)
Dan Kekuatan
Otot Pada
Pasien Stroke

Asri Endah
(2018)

3 Efektivitas Observasio Sampel : 7 ROM Lembar Dependen Hasil penelitian Google


Rom Pasif nal orang Pasif, Monitoring t T-Test menyatakan Scholar
Terhadap responden Hemodina status ada pengaruh
Parameter mik, Nyeri hemodinami ROM Pasif
Hemodinamik Teknik : k,Skala terhadap
Dan Nyeri Consecutiv Ukur Nyeri perbaikan
Pada Pasien e sampling status
Yang Nyeri hemodinamik
Pada Pasien dan terjadi
Yang penurunan
Terpasang skala nyeri
Ventilator Di yang dirasakan
Ruang Icu oleh pasien
RSUD Ulin yang terpasang
Banjarmasin ventilator

Bernadetta
(2017)
36

4 Effectiveness Quasi Sampel : Range of Lembar Dependen hasil penelitian Google


of Passive Eksperimen 40 orang Motion, Monitoring t T-Test yang Scholar
Range of t responden Hemodyna status menyatakan
Motion mic hemodinami bahwa terjadi
Exercises on Teknik : parameter k,Skala penurunan
Hemodynami Purposive s, Ukur Nyeri tekanan darah,
c parameters sampling Behavioral respirasi, dan
and pain SpO2 pada
Behavioral Intensity pasien Post
pain Intensity Craniotomy
among Adult yang sedang
Mechanically dilakukan
Ventilated perawatan
Patients diruang ICU

Gehan A
(2015)
37

2.6 Pembahasan Literatur Review Pengaruh ROM Pasif Terhadap Laju

Pernapasan Dan SpO2 Pada Pasien Post Craniotomy Di Ruang Perawatan

ICU

Berdasarkan penelitian yang di lakukan oleh Nopitasari (2015) dengan

judul peleitian Pengaruh ROM Pasif Terhadap Laju Pernapasan Dan Spo2

Pada Pasien Post Craniotomy Di Icu Rsud Dr. Moewardi Surakarta dengan

kesimpulan penelitian bahwa Ada pengaruh ROM Pasif terhadap respirasi rate

dan saturasi oksigen dengan nilai signifikansi yang sama yaitu (p) 0,00

dimana nilai p<0,05 yang menunjukkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima

dengan perubahan rata-rata respirasi rate sebesar 3,967 dan perubahan rata-

rata saturasi oksigen sebesar 1,133 (Nopitasari, 2015)

Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Bernadetta

(2017) dengan judul penelitian Efektivitas Rom Pasif Terhadap Parameter

Hemodinamik Dan Nyeri Pada Pasien Yang Nyeri Pada Pasien Yang

Terpasang Ventilator Di Ruang Icu RSUD Ulin Banjarmasin dengan hasil

penelitian yang menyatakan ada pengaruh ROM Pasif terhadap perbaikan

status hemodinamik dan terjadi penurunan skala nyeri yang dirasakan oleh

pasien yang terpasang ventilator (Bernadetta, 2017)

Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Gehan A (2015) Effectiveness of Passive Range of Motion Exercises on

Hemodynamic parameters and Behavioral pain Intensity among Adult

Mechanically Ventilated Patients dengan hasil penelitian yang menyatakan


38

bahwa terjadi penurunan tekanan darah, respirasi, dan SpO2 pada pasien Post

Craniotomy yang sedang dilakukan perawatan diruang ICU (Gehan A, 2015)

Menurut Hidayat (2006), Faktor ketidakmampuan, dimana pasien

cedera kepala terjadi ketidakmampuan untuk beraktivitas sehingga mengalami

imobilisasi, dimana efek dari imobilisasi akan mempengaruhi pada kondisi

psikologis dan fisiologis individu. Pengaruh secara fisiologis diantaranya;

perubahan metabolik, perubahan sistem pernapasan, perubahan sistem

muskuloskeletal, perubahan sistem integument dan perubahan sistem

eliminasi.

Perubahan pada sistem pernapasan diantaranya; ekspansi paru

menurun, dan terjadinya lemah otot yang dapat menyebabkan proses

metabolisme terganggu. Penurunan ekspansi paru dapat terjadi karena tekanan

yang meningkat oleh permukaan paru akibatnya dapat terjadi penumpukan

sekret di saluran pernapasan. Maka dari itu perlu dilakukan mobilisasi untuk

mencegah terjadinya penumpukan sputum. Mobilisasi yang dapat dilakukan

pada pasien cedera kepala dengan melakukan latihan rentang gerak

pasif/ROM pasif. Gerakan ROM pasif bermanfaat untuk mempertahankan

fungsi respirasi.

Menurut Zakiyyah (2014), ROM Pasif yang diberikan kepada pasien

diharapkan dapat menimbulkan respon hemodinamik yang baik. Proses

sirkulasi darah juga dipengaruhi oleh posisi tubuh dan perubahan gravitasi

tubuh sehingga perfusi, difusi, distribusi aliran darah dan oksigen dapat
39

mengalir ke seluruh tubuh. Efek samping yang ditimbulkan tidak adanya

mobilisasi atau pergerakan ekstremitas dapat menyebabkan perubahan

saturasi oksigen kurang dari 90 %.

Dari uraian diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa ada pengaruh

ROM Pasif terhadap Respirasi rate dan saturasi oksigen, dimana ROM Pasif

dapat meningkatkan respirasi rate dan saturasi oksigen. Hal ini dikarenakan

ROM pasif dapat meningkatkan sirkulasi darah, mencegah penumpukan

sputum melalui mobilisasi sehingga saturasi oksigen akan mengalami

peningkatan dan terjadi perbaikan pada respirasi rate pasien.


BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Craniotomy adalah operasi untuk membuka tengkorak (tempurung

kepala) dengan maksud untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan otak,

pasien Post Craniotomy umumnya mengalami peningkatan hemodinamik yang

meliputi tekanan darah, nadi, respirasi, dan SpO2. ROM Pasif merupakan

intervensi keperawatan yang memiliki pengaruh dalam memperbaiki status

hemodinamik pasein hal ini di tunjang dari berbagai macam jurnal yang ada,

dimana ROM Pasif dapat meningkatkan respirasi rate dan saturasi oksigen. Hal

ini dikarenakan ROM pasif dapat meningkatkan sirkulasi darah, mencegah

penumpukan sputum melalui mobilisasi sehingga saturasi oksigen akan

mengalami peningkatan dan terjadi perbaikan pada respirasi rate pasien.

3.2 Saran

Saran dari peneliti yaitu diharapkan intervensi keperawatan ROM Pasif

dapat diterapkan dalam pemberian pelayanan asuhan keperawatan pada pasien

Post Craniotomy yang mengalami gangguan hemodinamik agar intervensi ini

dapat memperbaiki status hemodinamik pasien Post Craniotomy.


41

DAFTAR PUSTAKA

Aditianingsih, D. 2013. Presentasi Kasus Indikasi Ventilasi Mekanik.Departemen


Anestesiologi dan  Intensive Care. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

American College Of Surgeons Commitee On Trauma. (2008) Trauma Toraks.


Dalam ATLS Student Course Manual 8th Al Eassa, E. M., Almarshada, M. J.,
Elsherif, A., Eid, H. O. (2013). Factors Affecting Mortality Of Hospitalized
Chest Trauma Patients In United Arab Emirates. Journal Of Cardiothoracic
Surgery. 8. H.57. Edition. USA

Asmadi. (2009). Teknik Prosedural Keperawatan Konsep dan Aplikasi Kebutuhan


Dasar Klien. Jakarta : Salemba Medika.

Batticaca, F.B. (2012). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta : Salemba Medika

Berry A, Beattie K, Bennett J, Cushway S and Hassan A. Physical Activity and


Movement: a Guideline for Critically Ill Adults, Agency for Clinical Innovation
NSW Government, ISBN, 2014; 978-1-74187-976-6

Brain Injury Association Of America. Types Of Brain Injury. (2012).


Http://Www.Biausa.Org, Diperoleh Tanggal 25 Juli 2019.

Carpenito, L.J. (2009). Buku Saku Diagnosa Keperawatan, edisi 8. Jakarta : EGC.

Ekawati, K, Lalenoh, D & Kumaat, L. 2015. Profil Nyeri Dan Perubahan


Hemodinamik Pasca Bedah Perut Bawah Dengan Ketorolac 30 Mg Intravena.
Jurnal e-Clinic (eCl), volume 3, nomor 1.

Hidayat, A.A. (2008).Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data.


Jakarta: Salemba Medika.

Holloway, N.M. (2014). MedicalSurgical Care Planing 4th ed. USA : Lippincott
Williams & Wilkins.

Japardi, I. (2003). Astrositoma : insidens dan pengobatannya. Jurnal Kedokter


42

Trisakti. September-Desember 2003, Vol.22.

Jevon, P.,& Beverley, E. (2009). Pemantauan Pasien Kritis, Edisi 2. Jakarta:


Erlangga.

Kathryn, L. (2010). Pathophysiologyn The Biologic Basic for Disease in Adult and
Children 6th Edition. Canada : Mosby Elseveir.

Koniyo, M.A. (2011). Efektifitas ROM Pasif Dalam Mengatasi Konstipasi Pada
Pasien Stroke Di Ruang Neuro. Jurnal health & Sport. Volume 3.

Lumandung, F. T., Siwu, J. F., & Mallo, J. F. (2014). Gambaran Korban Meninggal
Dengan Cedera Kepala Pada Kecelakaan Lalu Lintas Di Bagian Forensik BLU
RSUP PROF. Dr. RD Kandou Manado Periode Tahun 2011-2012. E- Clinic,
2(1).

Ozyurek, S. (2012). Respiratory and Hemodynamic Responses to Mobilization of


Critically III Obese Patients. Journal Cardiopulmonary Physical Therapy. 23 (1):
14-18.

Potter, P.A., & Perry, A.G. (2005). Fundamentals of Nursing, Edisi 4. ST Louis:
Mosby Elseveir.

Schurt, SL. (2001). AACN Prosedure Manual for Critical Care, Fourth Edition. W.B.
Sounders.

Siahaan, F. M.R. (2011). Karakteristik Penderita Trauma Kapitis yang dilakukan


Tindakan Craniotomy di RS Umum Materna Medan Tahun 2008-2009.Jurnal
Fakultas Kesehatan MasyarakatUniversitas Sumatera Utara Medan.

Suratun. (2008).Klien dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta : EGC.

Szaflarski, J.P., Sangha, S., Lindsell, C.J., &Shutter, L.A. (2010). Prospective,
randomized, single-blinded comparative trial of intravenous levetiracetam
versus phenytoin for seizure prophylaxis. Neurocritical care.; 12 (2): 165–172.

Yusherman, J. (2008). Epidemiologi Kecelakaan Lalu Lintas. Bandung : Rineka


Cipta.

Anda mungkin juga menyukai