1.Matateori Interpretasi
Di pengaruhi oleh aliran oleh aliran atau tradisi
filsafat hukum tertentu, matateori interpretasi yang
ada telah lazim dikategorikan menjadi teori
formalisme, teori realisme dan teori normativisme.
Teori-teori tersebut pada hakikatnya merupakan
bentuk penerapan aliran filsafat hukum tertentu
kedalam ajudikasi sehingga konsekuensinya lebih di
kenal dengan predikat teori ajudikasi, yaitu: “theories of
how judge do or should decide cases”. Atau lebih tepatnya
tentang. “how should a judge decide what law governs the
case before her?”.Dalam arti demikian maka yang menjadi
fokus teori-teori tersebut adalah judisial reasoning
sebagai spesies dari legal reasoning. Teori-Teori
tersebut sangat penting dalam rangka fungsionalitas
badan yudisial dan hakim, terutama hakikat fungsi
hakim dan makna atau hakikat hukum di dalamnya.
Thomas menyatakan: “a basic understanding of lehal
theory is essential for the complete performance of the judicial
function....To fulfil their judicial function, and to be able to
assesss whether they are fulfilling that function, judge must
explore, examine and know the theoritical framework for their
judicial thinking.”Pernyataan ini sangat tepat sasaran
manakala diyakini bahwa ajudikasi dan_______
Brianleiter, “legal formalism and legal realisme: What is
the Issue?,”16 Legal Theory 2010, h.111.
Robert Justin Lipkin, “Conventionalism, Pragmatism
and Constitutional Revolution ,” 21 UC Davis Law
Review 1988,h.651.
E.W.Thomas, The Judisial Process: Realism ,
Pragmatism, Practical Reasoning and Principles,
Cambrige University Press, Cambrige, 2005,h.1.bdgk.
dengan Aharon Barak, The judge in a Democracy,
Princeton University Press, New Jersey, 2006,h.115-
117. Barak mengklaim aspek aksiologis teori adalah “to
understand the law and the role of the judge.” Oleh karena
itu, Barak menyimpulkan: “Judge need theories of law , and
theories of law need judges.” Pendapat Barak menunjukan
bahwa filsafat hukum dan teori hukum adalah praktikal
(untuk menunjang kepentingan praktik hukum).
Formalisme
Formalisme adalah teori ajudikas paling dominan
dalam paksis ajudikasi. Tidak berarti karena dominan
maka lantas teori_____
Bidang Penerapan praktikal lainnya adalah legislasi
dalam arti luas.
Anthony D’Amato, Analytic Jurisprudence Anthology,
Anderson Publishing Co.,Cincinnati-Ohio, 1995,g.1.
pendapat senada di kemukakan oleh MacCromick:
“theories about the nature of law can be tested out in terms of
their implication in relation to legal reasoning.” Neil
MacCormick, Legal Reasoning adn Legal Theory, Clarendon
Press, Oxford, 1978,h.229.
Dengan Pengertian lain, Berdasarkan penjelasan
Bodenheirmer, semua putusan yudisial (dalam hal ini
judicial reasoning-nya) harus di susun dan di tulis
dengan berdasarkan pada logika supaya persuasif dan
meyakinkan (Holmes sendiri tidak menyangkal hal itu
sebagaimana tampak dari kutipan atas pendapatnya
yang lain). Bahasa putusan yudisial harus logis
meskipun berangkat dari posisi atau pendirian yang
berbeda-beda dalam argumennya(judicial reasoning):
formalis e ,realisme ataukah normativisme.
Dalam putusan yudisial, teori realisme menolak premis
mayor dari judisial reasoning yang rule-bassed
manakala legal rule-nya indeterminate. A fortiori, hal
ini berimplikasi pada penerapan pertimbangan
berdasarkan rule. Dengan sendirinya konsep judicial
legislation adalah hal yang normal atau lazim dalam
judicial reasoning menurut teori realisme.Dikaitkan
dengan konsep experience yang di kemukakan oleh
Holmes,_____
Andrew Halpin , Reasoning with law , Hart Publishing ,
Oxford-Portland,2001,h.143
Hilaire McCoubrey & Nigel D.white , Op.cit., h . 202.
Normativisme
Sub-Judul ini berargumen bahwa memutus menurut
“lex” (yaitu peraturan perundang-undangan dalam
artis luas termasuk undang-undang dasar) dengan
memutus menurut “ius” (hukum) tidak selalu identik
maknanya. Sehingga, legal reasoning serta judicial
reasoning yang lebih dari sekedar merujuk kepada
peraturan perundang-undagan (formalisme) adalah
esensi yang menjadikan teori normativisme khas ,
termasuk dengan realisme (memutus dengan
mempertimbangkan social demands).
Normativisme berbeda dengan formalisme
menyangkut isu hubungan antara hukum dengan
moral: “although we do separate law and morals, we do not
separate them entirely”. Normativisme juga berbeda
dengan realisme, walau sama-sama bertolak dari tesis
Indeterminate legal rules. Normativisme lebih
berorientasi pada penilaian (morality, justice,fairness)
namun realisme kebalikannya, lebih berorientasi pada
fakta (wealth maximization, efficiency, costbenefit).
Normativisme lahir sebagai kritik terhadap formalisme
maupun realisme. Formalisme dikritik karena pendirian
bebas nilanya. Sementara realisme dikritik karena
kecenderungan matematis dan pragmatismenya.
Anotasi
Pada sub-judul ini penulis akan menguji apakah
pendekatan normativisme sebagai teori ajudikasi dapat
dijadikan acuan bertindak yang seyogyanya bagi MKRI
dalam menjalankan fungsi dan kewenangan pengujian
yudisial konstitusionalitas undang-undang pada kasus-
kasus HAM (yaitu pengujian yudisial konstitusional
undang-undang berdasarkan bab XA UUD NKRI 1945).
Berdasarkan pembahasan sebelumnya penulis akan
secara spesifik mengevaluasi kemungkinan
keberlakuan pendekatan normativisme Dworkin
(dengan latar belakang pemikiran Amerika Serikat serta
pandangan berpikir yang liberal) sebagai teori ajudikasi
bagi NKRI. Argumen penulis adalah afirmatif untuk
pendekatan normativisme (khususnya Dworkin).
Ada 2 argumen penulis untuk menjustifikasi pilihan
pendekatan normativisme supaya menjadi teori
ajudikasi bagi NKRI. Pertama, hakikat dari pembelaan
terhadap institusi pengujian yudisial konstitusionalitas
undang-undang berdasarkan pendekatan hak.
Komitmen pada pendekatan hak ini seyogyanya lebih
diperkuat oleh badan yudisial dalam ajudikasi (dengan
judicial activism dan interpretasilebih bebas yang
berorientasi pada kepentingan HAM. Kompatibilitas
pilihan pendekatan normativis dengan ajudikasi
terhadap HAM adalah karena keduanya sama-sma
merefleksi komitmen keadilan berporos pada
kepentingan manusia per se yang seyogiyanya
dilindungi karena pertimbangan haknya. Secara
singkat, padat dan jelas.
Bagaimana mengontrol objektivitas pendekatan
normativisme dalam ajudikasi? Ideal atau nilai-nilai
tersebut harus objektif dan dapat digeneralisasi. Bukan
ideal atau nilai-nilai subjektif(individual). Kembali pada
pemikiran Dworkin, isu ini telah diantisipasi dengan
menekan pentingnya akar sejarah dari nilai/idealyang
diyakini, objektivitas dengan dengan generalisasi dan
dengan konsep integrity.
2.2 Textualism
Titik otak dari teori interpretasi textualism adalah teks,
focusing intently in the words of a given constitutional
provision in splendid isolation.
Satu contoh teori textualism sering dipertautkan
dengan teori original meaning. Sehingga menurut teori
ini semua originalis adalah textualis.
Pengertian ini melahirkan tuntutan kepada pembentuk
undang-undang maupun penyusun konstitusi untuk
menggunakan bahasa yang jelas karena secara
prospektif hal ini akan berkorelasi dengan daya kerja
dari undang-undang dasar. Karena semakin tinggi
tingkat kekaburan atau abstraksi dari kata2 yang
digunakan maka hal itu akan mempersulit keberlakuan
teori interprestasi ini .
Satu contoh kasus menarik adalah olmstead v.United
states 1928 tentang perolehan barang bukti untuk
proses hukum melalui penyadapan telepon tanpa satu
surat perintah pengadilan (warrant). Kasus ini diuji
kedepan the supreme court of the United States
dengan dasar pelanggaran terhadap the amandement
IV of the constitution of the United State yang
menjamin constitusional setiap orang.
Tetapi bagaimana dengan constitusi ( undang-undang
dasar) yang merupakan the supreme law of the land ?
Pada konstitusi , makna sistem adalah internal , bahwa
ketentuan –ketentuan konstitusional didalamnya
adalah satu kesatuan pengaturan. Teknik ini digunakan
amar ketika menjustifikasi argumentnya tentang
eksistensi asas separation of powers dan checks and
balance didalam the constitution of the united state.
Sistem pada konstitusi sesungguhnya juga dapat
bermakna eksternal , manakala diakui eksistensi dari
pengaturan supranational , dalam hal ini hukum
internasional. Terhadap yang terakhir ini penulis
berargumen afirmatif dengan implikasi interpretasi
UUD 1945 harus konsisten atau kohern dengan hukum
internasional.
2.6 Anotasi
Berdasarkan pembahasan di atas tampak bahwa
batas-batas masing-masing teori interpretasi konstitusi
secara tradisonal semakin menyempit dan kabur
(khususnya ketika pembahasan dilakukan semakin
detail menyangkut kelemahan dan kekuatan)
Langkah-langkah evolusioner untuk memperbaiki
kelemahan dalam masing-masing teori pada gilirannya
melahirkan teori interpretasi yang karakternya hybrid,
kehilangan otensitas tradisional. Hal ini berimplikasi
pada keprcayaan terhadap satu teori interpretasi
adalah tidak niscaya lagi, terutama ketika berangkat
dari satu pra pemahaman spesifik bahwa hasil
interpretasi seyogyanya sebaik dan setepat mungkin
sebagai judicial reasoning yang menjustifikasi putusan
seperti menjadi aspirasi dari teori ajudikasi
normativisme.
Sebagai catatan penutup, praksis Interpretasi konstitusi
dengan interpretasi peraturan perundang-undangan
biasa seyogyanya dibedakan karena karakter masing-
masing produk hukum yang berbeda. Dalam
interpretasi peraturan perundang-undagan biasa,
interpretasi yudisial sangat dibatasi oleh isu separation
of powers, sehingga sangat dimaklumi jika orientasi
interpretasinya bersifat jangka pendek mengingat
peraturan perundang-undangan biasa lebih mudah
diubah ketimbang undang-undang dasar. Kutipan atas
judicial opinion Chief Justice Dickson, the supreme
Court of Canada dalam kasus Hunter v. Southam, inc
1984 untuk kesekian kalinya dirasa sebagai doktrin
paling memuaskan