Anda di halaman 1dari 34

UPAYA MENGURANGI EMISI GAS RUMAH KACA MELALUI SKEMA REDD

(STUDI KASUS: PENDANAAN NORWEGIA TERHADAP


INDONESIA DAN BRAZIL)

OLEH : WARITSA YOLANDA (1501115622)

JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS RIAU

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perubahan iklim telah menjadi fenomena yang mendera dunia bahkan lebih dari 100
tahun yang lalu, dan telah menjadi topik yang diperbincangkan di forum-forum
internasional. Masyarakat internasional, dewasa ini semakin sadar akan adanya fenomena
yang mengancam lingkungan hidup dan kemanusiaan. Kesadaran akan hal tersebutlah
menjadi awal dari terbentuknya UNFCCC (United Nations Framework Convention on
Climate Change) tahun 1992, meskipun sebelum-sebelumnya juga telah terdapat beberapa
konferensi mengenai perubahan iklim, namun UNFCCC lah yang menjadi institusi bagi
negara-negara di dunia untuk berdiskusi mengenai perubahan iklim untuk menemukan cara
mengurangi atau bahkan menghindari efeknya bagi lingkungan hidup dan manusia yang
mana dari diskusi dan upaya-upaya, diharapkan dapat diperoleh hasil sehingga kelangsungan
lingkungan hidup tidak terganggu. UNFCCC kemudian diratifikasi oleh negara-negara di
dunia, yang pertemuan-pertemuannya diadakan setiap tahunnya dengan panel yang disebut
sebagai CoP (Conferences of Parties), CoP pertama diadakan pada tahun 1995 di Berlin.

Yang menjadi tujuan utama dari konvensi perubahan iklim sendiri adalah
sebagaimana yang tercantum dalam pasal 2 nya yaitu untuk menstabilkan konsentrasi gas
rumah kaca di atmosfer pada tingkat tertentu dari kegiatan manusia yang membahayakan
sistem iklim. Maka, untuk mencapai tujuan tersebut disepakatilah prinsip-prinsip dasar
konvensi yang menekankan pada prinsip kesetaraan (equality principle) dan prinsip kehati-
hatian (precautionary principle), sebagaimana yang tercantum juga dalam pasal 3 konvensi
tersebut bahwa setiap pihak memiliki tanggung jawab umum yang sama misalnya dalam
pasal 4 dijelaskan bahwa konvensi tersebut berlaku untuk seluruh pihak, salah satunya yaitu
kerjasama untuk saling mengembangkan dan berbagi penelitian ilmiah, teknologi, informasi
sosio-ekonomi dan hukum yang terkait dengan sistem iklim dan perubahan iklim serta
konsekuensi ekonomi dan sosial dari berbagai strategi kebijakan. Namun secara khusus
tanggung jawab harus dibedakan sesuai dengan kemampuannya (common but differentiated
responsibilities), antara negara-negara industri dan negara-negara berkembang.

2
Dalam perjalanan dan pelaksanaan Konvensi tersebut, terbentuk dua blok besar yaitu
blok negara-negara maju dan blok negara-negara berkembang, yang mana kedua blok
tersebut terbagi lagi dalam berbagai kelompok. Annex I dari Uni Eropa (15), JUSSCANNZ
(7), Kelompok Payung (9), Rusia dan CEIT (14), sedangkan negara-negara yang Non-
Annex 1, terdiri dari G77 + Cina (131), OPEC (11), GRULAC (33), kelompok Afrika (53),
APSIS (42), dan CEIT (11). Terlepas dari itu semua, sebagaimana yang telah disebutkan
sebelumnya bahwa pertemuan-pertemuan diadakan setiap tahunnya, namun yang menjadi
titik awal dari implementasi dan komitmen dari UNFCCC adalah CoP ketiga yang diadakan
di Kyoto, Jepang yang menghasilkan suatu kerangka kerja yang mana inilah menjadi
kerangka kerja pertama atau titik awal komitmen negara-negara untuk mengurangi emisi
Gas Rumah Kaca, yang disebut dengan Protokol Kyoto.

Tentunya tak berhenti sampai disitu saja kebijakan, langkah-langkah dan usaha
negara-negara dalam menghadapi perubahan iklim karena tentunya usaha ataupun kerangka
kerja yang telah ada mengalami kendala dan hambatan sehingga usaha dan kerangka kerja
lainnya dibutuhkan, misalnya dalam pertemuan-pertemuan (CoP) lainnya seperti CoP ke –
11 di Kanada, menjadi ide awal munculnya gagasan REDD (Reducing Emissions from
Deforestation and Degradations), yang kemudian pada CoP ke 13 di Bali, dihasilkan Bali
Roadmap yang salah satu tujuannya adalah untuk mengadopsi usul REDD yang sebelumnya
telah digagas, dari sana terciptalah komitmen dari masing-masing negara baik maju maupun
berkembang dalam mengurangi emisi gas rumah kaca melalui skema REDD, lalu kita perlu
melihat sejauh mana usaha dan implementasi skema tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang diuraikan sebelumnya, maka rumusan masalah yang
akan dijawab dalam pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana upaya UNFCCC menghadapi perubahan iklim ?

2. Apa itu REDD?

3. Bagaimana implementasi program REDD (studi kasus dana Norwegia kepada


Indonesia dan Brazil)?

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan makalah ini secara umum adalah untuk memenuhi tugas Mata
Kuliah Politik Internasional dan sebagai bahan bacaan bagi penstudi hubungan internasional

3
maupun yang tertarik dengan pembahasan yang berkaitan dengan isu-isu perubahan iklim.
Sedangkan tujuan penulisannya secara khusus adalah untuk :

1. Menjelaskan fenomena perubahan iklim terutama yang berkaitan dengan emisi gas
rumah kaca,
2. Menguraikan upaya PBB (UNFCCC) dalam menghadapi perubahan iklim- sampai
terciptanya kerangka kerja REDD,
3. Menguraikan REDD secara umum
4. Menjelaskan garis besar implementasi program REDD dalam studi kasus dana
bantuan Norwegia kepada Indonesia dan Brazil.

1.4 Metode Penulisan


Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode kepustakaan. Cara-
cara yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah studi pustaka, dimana penulis
menjadikan sumber-sumber seperti, buku referensi, artikel, dan jurnal serta berbagai
sumber dari internet yang berhubungan dengan mengurangi gas emisi rumah kaca
dalam skema REDD dan juga mengenai dana bantuan yang diberikan oleh Norwegia
terhadap Indonesia dan Brazil sebagai dukungan terhadap program tersebut, sebagai
bahan dalam menyusun makalah ini.

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Fenomena Perubahan Iklim


Fenomena perubahan iklim bukanlah lagi menjadi sesuatu yang dipertentangkan,
jauh hari penelitian ilmiah telah membuktikan bahwa karbondioksida (CO2) di lapisan
atmosfir yang merupakan konsekuensi hasil sisa pembakaran dari batu bara, kayu hutan,
minyak, dan gas, telah meningkat sejak dimulainya revolusi industri. Kawasan perindustrian
yang dibangun hampir di seluruh daratan benua dunia telah menghasilkan limbah “Gas
Rumah Kaca” (GRK), seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrousoksida
(N2O), yang mangakibatkan naiknya suhu di permukaan bumi. Hal yang menyebabkan
emisi GRK menjadi masalah yang besar adalah karena dalam jangka panjang, bumi harus
melepaskan energi dengan laju yang sama ketika bumi menerima energi dari matahari.

Penyebab GRK yang paling besar adalah aktivitas manusia dari bahan bakar fosil
yang dibentuk dari jasad tumbuhan dan hewan yang telah lama mati, selain itu pembakaran
batu bara, minyak dan gas bumi melepaskan milyaran ton karbon ke atmosfer setiap
tahunnya, juga metana dan nitrous oksida dalam jumlah besar, dan yang paling besar
imbasnya adalah ketika pohon-pohon ditebang dan tidak tidak ditanami kembali, maka akan
lebih banyak karbondioksida yang dilepaskan ke atmosfer. Sementara itu, ternak-ternak
dalam jumlah besar akan mengemisikan metana, begitu pula pertanian dan pembuangan
limbah, sebab penggunaan pupuk dapat menghasilkan nitrous oksida. Gas-gas dengan waktu
hidup/waktu tinggal yang lama seperti CFC, HFC dan PFC, yang digunakan pada alat
pendingin ruangan dan lemari pendingin (kulkas) juga merupakan gas yang berbahaya jika
berada di atmosfer.

Jelas terlihat bahwa Perubahan iklim memiliki dampak negatif terhadap kehidupan
manusia, termasuk kehidupan manusia dan negara-negara ataupun lingkungan hidup
manusia, bahkan sejumlah peneliti menyebutkan bahwa negara-negara berkembang
cenderung mengalami dampak kerusakan yang lebih buruk dari pada negara-negara maju,
misalnya saja kekeringan, cuaca ekstrim, dan sebagainya, selain dampak kerusakan,
perubahan iklim juga tentunya menyebabkan terancamnya ketahanan pangan di negara
berkembang.

NASA menyebutkan bahwa contoh Inti es yang diambil dari Greenland, Antartika,
dan gunung tropis Gletser didapatkan bahwa hasilnya menunjukkan bahwa iklim bumi
5
merespon terhadap tingkat perubahan gas rumah kaca. Selain itu juga disebutkan bahwa
bukti nyata yang saat ini bahwa perubahan iklim terjadi sangat cepat adalah naiknya
permukaan air laut, naiknya temperature global, pemanasan laut, menyusutnya es di
Greenland dan Antartika,dan kejadian atau bencana ekstrim lainnya. Konsekuensi masa
depan terhadap perubahan iklim juga diprediksi akan lebih dramatis lagi dan menggangu
kehidupan umat manusia, seperti terancamnya distribusi vegetasi alami dan keanekaragaman
hayati, erosi dan badai yang akan memaksa relokasi penduduk di sepanjang pantai, beban
biaya yang sangat besar untuk rekonstruksi infrastruktur pembangunan, meningkatnya
alokasi dana untuk pengendalian potensi kebakaran dan beragam penyakit, serta investasi
yang sangat besar untuk pelayanan kesehatan. Ketika menyadari sepenuhnya dampak yang
sangat besar dari perubahan iklim, maka sudah seharusnya diambil langkah-langkah penting
dan strategis guna mengurangi kerusakan yang sudah terjadi dan mencegah kerusakan yang
mungkin lebih besar.

2.2 Upaya PBB (UNFCC) Menghadapi Isu Perubahan Iklim


Desakan mengenai dilakukannya suatu upaya ataupun usaha dalam menghadapi
perubahan iklim ini sebenarnya sudah cukup lama dirasakan oleh PBB. UNFCCC (United
Nations Conference for Climate Change) sendiri lahir dari desakan publik internasional
sebagai langkah nyata ataupun titik awal dari upaya dan usaha yang dilakukan kedepannya.
Semua bermula sekitar dua dekade silam, jauh sebelum mata publik internasional tertuju
pada isu perubahan iklim. Pada saat itu, tepatnya 1985 Amerika Serikat gempar ketika
beredar pemberitaan bahwa ditemukan lubang pada lapisan ozon di Antartika pada 1985.
Beberapa riset ilmuwan mengenai perubahan iklim yang sebelumnya hanya menjadi
tumpukan kertas, mulai diulas. Namun, isu perubahan iklim baru mulai menggema di
Amerika Serikat pada 1988. Meskipun efek perubahan iklim masih hanya dirasakan di AS,
isu ini menjadi perbincangan hangat pula di beberapa negara lain.

Pada awal 1990an, isu perubahan iklim pun menggema di berbagai belahan dunia. Di
tengah tekanan publik pada Desember 1990, Majelis Umum PBB sepakat untuk membentuk
perjanjian untuk menangani perubahan iklim. Maka dibentuklah The Intergovernmental
Negotiating Committee for a Framework Convention on Climate Change (INC/FCCC)
sebagai wadah tunggal proses negosiasi antar pemerintah di bawah naungan Majelis Umum
PBB. Selanjutnya, komite ini mengadakan pertemuan sebanyak empat kali sepanjang
Februari 1991 hingga Mei 1992, menyusun kerangka kerja perubahan iklim yang akan

6
diluncurkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro,
Brazil. Pada Mei 1992, INC/FCCC mengajukan draf akhir untuk diadopsi di New York.

Sepekan kemudian, draf dirilis dan dibuka untuk penandatanganan oleh para pihak
yang terlibat dalam KTT Bumi (Earth Summit). Dalam KTT tersebut, 154 negara
menandatangi kerangka kerja perubahan iklim yang disebut The United Nations Framework
Convention on Climate Change (UNFCCC), dan menjadi wadah resmi bagi negara-negara
di dunia untuk berdiskusi mengenai perubahan iklim dan menemukan cara atau upaya untuk
menghadapi dan mencegah efek dari perubahan iklim terhadap manusia dan lingkungan
hidup. Pada Maret 1994, konvensi perubahan iklim pun mulai berlaku bagi semua pihak.
Sebagaimana dalam pasal 3 konvensi tersebut, disebutkan bahwa setiap pihak memiliki
tanggung jawab umum yang sama dan dalam pasal 4 dijelaskan bahwa konvensi tersebut
berlaku untuk seluruh pihak, Namun secara khusus tanggung jawab harus dibedakan sesuai
dengan kemampuannya (common but differentiated responsibilities), antara negara-negara
industri dan negara-negara berkembang.

Seluruh anggota dari Konvensi setuju untuk berkomitmen pada point-poin perihal
perubahan iklim. Seluruh anggota harus membuat dan secara periode memberikan laporan
khusus yang disebut dengan National Communication (NC). NC ini harus berisi informasi
emisi GRK masing-masing dan menjelaskan langkah-langkah yang telah dilakukan untuk
menerapkan komitmen dari Konvensi. Disamping itu, Konvensi juga mengharuskan seluruh
anggotanya menerapkan program secara nasional dan langkah-langkah dalam mengkontrol
emisi GRK dan mengatasi pengaruh dari perubahan iklim. Anggota juga harus setuju
untuk mendorong pengembangan dan penggunaan teknologi ramah-iklim, mendorong
pendidikan dan kesadaran publik pada perubahan iklim serta dampaknya, manajemen
berkelanjutan pada sektor kehutanan dan ekositemnya yang dapat menyerap CO2 di
atmosfer, dan bekerjasama antara seluruh anggotan dalam masalah ini.

Semua pihak yang terlibat dalam penandatangan UNFCCC pun menggelar


pertemuan tahunan guna membahas strategi menghadapi perubahan iklim. Pertemuan ini
disebut Conference of the Parties (CoP) atau konferensi pihak-pihak terkait dalam
UNFCCC. Disamping itu, UNFCCC membentuk dua badan subsider, yaitu Subsidiary Body
for Scientific and Technological Advice (SBSTA) dan Subsidiary Body for Implementation
(SBI) yang akan memberikan rekomendasi atau mandat spesifik bagi CoP. CoP pertama atau
CoP 1 digelar di Berlin, Jerman atau dikenal dengan nama The Berlin Mandate. Dalam

7
pertemuan ini, semua pihak menyuarakan kesulitan yang mereka hadapi untuk mencapai
komitmen SBSTA dan SBI, dan dilanjutkan dengan CoP ke-2 yang dihelat di Swiss.

Namun, sebuah sejarah yang dianggap sebagai tonggak pergerakan melawan


perubahan iklim ditorehkan saat CoP ke-3 yang digelar pada tahun 1997 di Kyoto, Jepang.
Dengan proses negosiasi panjang dan rumit, menghasilkan suatu kerangka kerja pertama
yang berlaku bagi semua negara untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang
dikenal sebagai The Kyoto Protocol. Dengan tujuan untuk mengurangi konsentrasi GRK
melalui mekanisme Join Implementation (JI), Emission Trading (ET), dan Clean
Development Mechanism (CDM). JI merupakan mekanisme yang memungkinkan negara-
negara maju membangun proyek bersama yang dapat menghasilkan kredit penurunan atau
penyerapan emisi GRK. ET adalah mekanisme yang memungkinkan negara maju untuk
menjual kredit penurunan emisi GRK kepada negara maju lainnya. Sedangkan CDM yaitu
mekanisme yang memungkinkan negara non-ANNEX I untuk berperan aktif dalam
membantu penurunan emisi GRK melalui proyek yang diimplementasikan oleh negara maju.

Walaupun sempat mengalami keraguan efektivitas pemberlakuannya akibat adanya


penarikan dukungan dari Amerika Serikat dan Rusia, namun akhirnya Protokol Kyoto
tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap setelah terpenuhinya 2 (dua) syarat utama
sebagaimana diatur dalam Pasal 25, yaitu: Pertama, berhasil diratifikasi oleh 55 negara pada
tanggal 23 Mei 2002; dan Kedua, tercapainya jumlah emisi total dari negara ANNEX I lebih
dari 55% pada tanggal 16 Februari 2005. Walaupun Protokol Kyoto mengatur ketentuan
pengurangan emisi GRK hanya selama periode pertama dari tahun 2008 hingga 2012,
namun target jangka panjangnya adalah adanya pengurangan rata-rata cuaca global antara
0,02°C dan 0,28°C pada tahun 2050.

Namun setelah hampir satu dekade setelah itu, CoP sering diwarnai perang
kepentingan politik dan negosiasi rumit mengenai jumlah emisi yang harus dikurangi.
Seperti yang telah disebutkan bahwa usaha dan kerangka kerja lainnya tentu dibutuhkan
dalam menghadapi perubahan iklim, kesepakatan besar kembali dicapai pada 2005, yaitu
CoP 11 yang dihadiri oleh lebih dari 10 ribu delegasi, terbanyak sepanjang sejarah. Untuk
pertama kalinya, isu pencegahan deforestasi dibicarakan dalam CoP ke-11 di Montreal,
Kanada pada tahun 2005. Penggagas ide mengenai avoided deforestation yang pertama kali
ini adalah Papua nugini dan Costa Rica, dimana keduanya selaku ketua dari Coalition for
Rainforest Nations (CfRN), dimana ide inilah yang nantinya menjadi cikal bakal dari
kerangka kerja REDD.
8
Ide dasar mengenai pencegahan deforestasi ini adalah negara-negara maju membayar
negara-negara berkembang untuk mengurangi tingkat kerusakan hutan di negara mereka.
Insentif dari negara maju ini dimaksudkan untuk mengganti potensi pendapatan yang akan
didapat oleh negara berkembang jika mereka membuka hutan untuk kegiatan industri
maupun perkebunan. Konsep ini dikenal sebagai Reducing Emissions from Deforestation
(RED). RED mendapatkan banyak masukan dari beberapa negara lain seperti Republik
Demokratik Kongo, Indonesia, Panama, Paraguay, Tanzania, dan beberapa negara lainnya
yang mengusulkan bahwa RED bukan hanya mengatur tentang avoided deforestation, tapi
juga avoided forest degradation. Namun dalam pertemuan ini ide mengenai Reducing
Emissions from Deforestations and Degradations belum diwujudkan dalam kerangka kerja.
Pertemuan di Montreal, Kanada ini akhirnya menghasilkan Rencana Aksi Montreal, yang
berisi kesepakatan untuk memperpanjang berlakunya Protokol Kyoto yang seharusnya
kedaluwarsa pada 2012. Dengan demikian, semakin panjang pula waktu bagi para pihak
yang tak setuju, termasuk AS, untuk meratifikasi Protokol Kyoto.

Setelah itu, konferensi bersejarah lainnya adalah CoP 13 pada tahun 2007, yang
diselenggarakan di Bali, Indonesia. Dalam pertemuan tersebut, para peserta pertemuan
termasuk Amerika Serikat bersedia menerima konsensus bersama yang dituangkan dalam
Peta Jalan Bali (Bali Roadmap), berisi kerangka kerja dan struktur negosiasi setelah 2012,
batas berlakunya Protokol Kyoto pertama. Secara ringkas, hasil pokok dari Bali Roadmap
tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, respons atas temuan IPCC bahwa keterlambatan
pengurangan emisi GRK akan menghambat peluang tercapainya tingkat stabilisasi emisi
yang rendah, serta meningkatkan risiko lebih sering terjadinya dampak buruk perubahan
lingkungan; Kedua, pengakuan bahwa pengurangan emisi yang lebih besar secara global
diharuskan untuk mencapai tujuan utama; Ketiga, keputusan untuk meluncurkan proses yang
menyeluruh yang memungkinkan dilaksanakannya keputusan UNFCCC secara efektif dan
berkelanjutan; Keempat, penegasan kesediaan sukarela negara berkembang untuk
mengurangi emisi secara terukur, dilaporkan, dan dapat diverifikasi dalam konteks
pembangunan berkelanjutan dengan didukung oleh teknologi, dana, dan peningkatan
kapasiatas; Kelima, penguatan kerjasama di bidang adaptasi atas perubahan iklim,
pengembangan dan alih teknologi untuk mendukung mitigasi dan adaptasi; dan Keenam,
memperkuat sumber-sumber dana dan investasi untuk mendukung tindakan mitigasi,
adaptasi, dan alih teknologi terkait perubahan iklim.

9
Sedangkan komitmen dasar yang dihasilkan dari Bali Roadmap, yaitu: Pertama,
memulai pencairan dana adaptasi Protokol Kyoto (2008-2012); Kedua, menjalankan
program strategis untuk memacu investasi dalam transfer teknologi; Ketiga, mengadopsi
usul reduksi emisi dari mekanisme pencegahan deforestasi degradasi hutan di negara
berkembang (Reduction Emission from Deforestation and Degradation/REDD); Keempat,
melipatgandakan skala CDM dari sektor kehutanan; Kelima, memasukan teknologi carbon
capture and storage ke CDM; dan Kelima, menyepakti perluasan kerja kelompok pakar
untuk adaptasi di negara LDC (Least Developed Countries). Dapat bahwa ide dasar dari
REDD yang dicetuskan di Montreal, Kanada akhirnya di adopsi dalam pertemuan di Bali.

Norwegia juga meluncurkan Prakarsa Internasional tentang Iklim dan Hutan


(International Climate and Forest Initiative). Melalui prakarsa ini, Norwegia siap
mengalokasikan 3 miliar NOK per tahun untuk menyokong upaya REDD di negara-negara
berkembang selama 5 tahun. Jumlah tersebut juga akan terus ditambah sesuai dengan
kebutuhan yang mungkin terjadi di kemudian hari untuk menyelamatkan hutan-hutan tropis
di seluruh kawasan di dunia. Dengan menjanjikan bantuan dana yang besar, Norwegia
menunjukkan kepada dunia internasional sebagai penyumbang terbesar dalam usaha global
untuk menyelamatkan hutan yang terancam kelestariannya. Dimana, niat dan koimitmen
baik Norwegia untuk berkontribusi besar-besaran dalam penyelamatan hutan sebagai
langkah dan tindakan yang diambil dalam menghadapi perubahan iklim ini disambut dengan
baik oleh komunitas internasional.

2.3 REDD Secara Umum


Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation atau REDD
(Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan) merupakan sebuah mekanisme
untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca dengan cara memberikan kompensasi kepada
pihak-pihak yang melakukan pencegahan deforestasi dan degradasi hutan.1 Cara kerja
REDD adalah dengan melakukan pengurangan emisi atau deforestasi yang dihindari
diperhitungkan sebagai kredit. Jumlah kredit karbon yang diperoleh dalam waktu tertentu
dapat dijual di pasar karbon. Sebagai alternatif, kredit yang diperoleh dapat diserahkan ke
lembaga pendanaan yang dibentuk untuk menyediakan kompensasi finansial bagi negara
negara peserta yang melakukan konservasi hutannya. Skema REDD memperbolehkan
konservasi hutan untuk berkompetisi secara ekonomis dengan berbagai kegiatan ekonomi

1
Apa itu REDD. Diakses dari < http://www.greenpeace.org/seasia/id/campaigns/melindungi-hutan-alam-
terakhir/apa-itu-redd/ > pada 18 Maret 2017

10
lainnya yang memicu deforestasi. Pemicu tersebut saat ini menyebabkan terjadinya
pembalakan yang merusak dan konversi hutan untuk penggunaan lainnya, seperti padang
penggembalaan ternak, lahan pertanian, dan perkebunan.2

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa dalam CoP ke-13 di Bali
pada 2007 dituangkan dalam Bali Roadmap dan menghasilkan Rencana Aksi Bali (Bali
Action Plan), sebuah rencana atau peta jalan negosiasi strategi iklim global untuk
melanjutkan Protokol Kyoto. Rencana ini mengakui pentingnya hutan dalam mengatasi
perubahan iklim dan besarnya potensi yang terkandung maka diadopsilah mekanisme kerja
dalam REDD yang tujuan utamanya adalah mengurangi emisi GRK. Ketika REDD pertama
kali dicanangkan di COP 13 pada tahun 2007, ide tersebut sangat diminati oleh negara-
negara dengan laju deforestasi yang tinggi. Negara-negara tersebut memiliki potensi terbesar
untuk secara signifikan mengurangi emisi dari hilangnya hutan dan untuk memperoleh
keuntungan terbesar jika mereka dapat melakukannya. Inisiatif REDD dalam mitigasi
perubahan iklim dapat memberikan berbagai macam manfaat dan keuntungan lain yang
menyertainya. Termasuk di dalamnya adalah manfaat untuk memberikan perlindungan bagi
jasa lingkungan yang disediakan oleh hutan, meningkatkan penghidupan masyarakat sekitar
hutan dan memperjelas hak kepemilikan lahan.

Satu tahun setelah Rencana Aksi Bali disetujui, pertemuan kembali diadakan, yaitu
CoP ke-14 di Poznań, Polandia. Mereka mencapai konsensus umum bahwa kegiatan REDD
sebaiknya diperluas sehingga mencakup peranan konservasi, manajemen hutan yang
berkelanjutan dan peningkatan cadangan karbon hutan di negara-negara berkembang. REDD
yang diperluas ini dikenal dengan REDD+. REDD-plus menambahkan tiga areal strategis
terhadap dua hal yang telah ditetapkan sebelumnya di Bali. Kelima hal tersebut bertujuan
untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di negara negara berkembang.
Dua ketetapan awal REDD adalah mengurangi emisi dari deforestasi dan mengurangi emisi
dari degradasi hutan, dan beberapa strategi yang ditambahkan untuk mengurangi emisi yaitu
melalui peranan konservasi, pengelolaan hutan secara lestari, dan peningkatan cadangan
karbon hutan.

Dalam CoP ke-15 di Copenhagen, Denmark Hasilnya untuk REDD masih belum
lengkap. Meskipun beberapa kemajuan sudah dibuat, namun kelemahan-kelemahan penting
masih terjadi terutama mengenai kesesuaian target, dan masih ada beberapa isu yang belum

2
Ibid.

11
tuntas, termasuk referensi terhadap emisi dan usaha-usaha di tingkat subnasional. Namun,
Perjanjian Kopenhagen telah meneguhkan sebuah tonggak, dimana Australia, Perancis,
Jepang, Norwegia, Inggris dan Amerika Serikat telah menawarkan paket bantuan sebesar 3,5
triliun USD untuk persiapan REDD. Perjanjian tersebut juga menerangkan beberapa poin
teknis yang dapat menyediakan dukungan yang dibutuhkan oleh negara-negara yang
berminat untuk bergabung segera.

REDD+ menjadi faktor penting dalam berbagai negosiasi internasional. Prinsipnya


“common but differentiated responsibility” (kewajiban sama dengan tanggung jawab yang
berbeda), sebagaimana yang terdapat dalam prinsip-prinsip konvensi perubahan iklim,
dimana semua negara bertanggung jawab atas permasalahan lingkungan hidup ini namun
bentuk pertanggung jawabannya berbeda-beda sesuai dengan kapasitas masing-masing
negara. Negara maju yang menghasilkan emisi dari proses industrialisasi dan untuk
menopang gaya hidup, menyediakan dana dan teknologi untuk negara berkembang sebagai
bentuk komitmen dampak emisi karbon mereka. Sementara negara berkembang akan
diberikan insentif untuk menjaga dan melestarikan hutannya.

Melalui REDD+ diharapkan dapat diterapkan cara baru untuk membatasi emisi CO2
melalui pembayaran atau konpensasi dari negara-negara industri kepada negara-negara
perkembang terutama yang berkomitmen menjaga kelestarian hutannya, sehingga tindakan
tersebut dapat mencegah hilangnya hutan atau degradasi, dan negara-negara industri maju
tetap bisa menjalankan kegiatan industrinya, karena mereka dapat bekerjasama dengan
pemilik hutan seperti Brazil dan Indonesia dalam upaya pelestarian dan penyelamatan hutan
sebagai bentuk pembayaran hutan karbon (carbon debt) mereka dikarenakan instrumen-
instrumen dalam REDD+ akan lebih mampu mengakordinir kebutuhan maupun kesulitan
yang ditemukan baik bagi negara maju maupun negara berkembang.

a. Mekanisme REDD+
Telah disebutkan bahwa ide dasar mengenai pencegahan deforestasi ini adalah
negara-negara maju membayar negara-negara berkembang untuk mengurangi tingkat
kerusakan hutan di negara mereka. Insentif dari negara maju ini dimaksudkan untuk
mengganti potensi pendapatan yang akan didapat oleh negara berkembang jika mereka
membuka hutan untuk kegiatan industri maupun perkebunan, maka mekanismenya pun akan
sejalan dengan ide dasarnya, dimana negara-negara industri maju harus berkomitmen
memberikan insentif kepada negara-negara berkembang untuk mengurangi tingkat

12
kerusakan hutan di negara mereka, maka dapat dilihat bahwa cara kerjanya sederhana,
dimana diperlukan komitmen dan kerjasama antara negara industri dan negara berkembang.

Mekanisme REDD+ didasarkan pada imbalan bersyarat untuk mengurangi emisi


karbon, yang memerlukan sebuah sistem untuk menunjuk siapa yang akan dihargai,
mengapa, dalam kondisi apa, dalam proporsi apa dan untuk berapa lama. Sistem seperti ini
dikenal sebagai mekanisme pembagian manfaat, istilah luas yang mencakup segala cara
kelembagaan, struktur dan instrumen untuk mendistribusikan keuangan dan keuntungan
bersih lainnya dari program REDD+. Mekanisme pembagian keuntungan yang dirancang
dengan baik juga dapat mendukung efektivitas pengelolaan hutan dan meningkatkan
efisiensi program REDD+. Target dari proyek ini adalah para pembuat kebijakan di negara-
negara berkembang, khususnya Brazil, Kamerun, Indonesia, Peru, Tanzania, dan Vietnam,
termasuk organisasi non-pemerintah dan pelaku swasta.3

b. Pendanaan REDD+
Mengurangi emisi karena deforestasi tentunya membutuhkan biaya atau insentif,
karena perlindungan hutan menyebabkan hilangnya pendapatan dari penebangan kayu,
tanaman dan ternak. Kerangka kerja insentif yang muncul untuk mengurangi emisi karena
deforestasi dan degradasi hutan dan peran konservasi, pengelolaan berkelanjutan dan
pengayaan hutan, disebut sebagai REDD+, berupaya untuk menggalakkan perkembangan
dan pertumbuhan ekonomi tanpa merusak SDA. Dalam konteks REDD+, negara-negara
telah sepakat untuk “secara kolektif bertujuan memperlambat, menghentikan dan
memulihkan tutupan hutan dan karbon yang hilang”, dan untuk melakukan hal ini “dalam
konteks penyediaan dukungan yang memadai dan dapat diprediksi bagi negara-negara
berkembang.” pelindung atau pelestari hutan saat ini bisa diberi kompensasi atas kehilangan
yang dideritanya atau menerima imbalan atas tindakan yang dilakukannya. Pembayaran
kompensasi atau imbalan dapat berasal dari sumber-sumber internasional atau nasional dan
akan disalurkan melalui lembaga-lembaga nasional.

Kita dihadapkan pada beberapa pilihan dalam pendanaan REDD, Apakah sebaiknya
negara maju menyediakan dana lansung untuk memberikan penghargaan bagi negara-negara
yang dapat mengurangi emisinya dari deforestasi? Atau apakah sebaiknya pengurangan
emisi ini dikaitkan dengan sistem perdagangan karbon yang berbasis pasar? Kita perlu

3
REDD+ benefit sharing. Center for International Forestry Research. Diakses dari < http://www.cifor.org/redd-
benefit-sharing/ > pada 18 Maret 2017

13
mencari sistem pasar yang paling sesuai. Peneliti dan para pembuat kebijakan mulai
menyadari bahwa skema REDD tidak akan menjadi solusi yang cocok untuk semua keadaan
di setiap negara. Cara terbaik yang mungkin dilakukan dalam merancang dan menerapkan
REDD secara global adalah memberikan kesempatan bagi negara-negara peserta untuk
melakukannya secara paralel dengan berbagai model yang berbeda. Dengan cara ini,
diharapkan akan muncul berbagai skema baru sehingga tiap negara dapat memilih model
yang paling cocok dan dapat diadopsi untuk situasi dan kondisi mereka masing-masing.

Sebagai cerminan dari prinsip ‘tanggung jawab bersama dalam bentuk yang
berbeda’, alokasi biaya pelaksanaan REDD+ telah menjadi bagian integral dari negosiasi
REDD+ di bawah Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UN Framework
Convention on Climate Change/UNFCCC). Pendanaan merupakan bagian implisit dalam
konteks masalah-masalah teknis, seperti pengukuran dan tingkat acuan yang didiskusikan
oleh Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice atau, secara eksplisit, dalam
konteks negosiasi di bawah Kelompok Kerja Ad Hoc dari Long Term Cooperative Action.
Pada bulan Desember 2011, yaitu sesi ke 17 dari Conference of The Parties to the UNFCCC
(COP17), para pihak setuju bahwa “pendanaan berbasiskan hasil yang disediakan bagi pihak
pihak negara berkembang yang bersifat baru, berupa tambahan dan dapat diprediksi bisa
berasal dari berbagai sumber publik maupun swasta, bilateral dan multilateral, termasuk
sumber-sumber alternatif” dan bahwa “pendekatan berbasiskan pasar yang tepat untuk
mendukung tindakan berbasiskan hasil oleh negara-negara yang sedang berkembang” dapat
dikembangkan (UNFCCC 2012).

14
4

Dari berbagai kegiatan REDD+, para pihak juga mengadopsi pedoman tingkat acuan
untuk memperhitungkan pengurangan emisi. Namun, masih belum jelas tentang syarat apa
yang harus dipenuhi dan bagaimana tingkat-tingkat acuan tersebut bisa dikaitkan dengan
insentif pendanaan ‘berbasiskan hasil’ di masa depan. Ada beberapa sumber pendanaan
REDD+, yakni publik, swasta, nasional dan internasional, disamping itu ada Dua inisiatif
global sedang dilakukan untuk membantu negara-negara berkembang mengimplementasikan
mekanisme REDD-plus di masa yang akan datang:

1. Program REDD PBB (UN-REDD), menawarkan dukungan secara ekstensif bagi negara
berkembang untuk menghadapi isu deforestasi dan degradasi hutan. Program tersebut
menawarkan pembangunan kapasitas, membantu merancang strategi nasional dan
menguji pendekatan nasional serta perencanaan kelembagaan untuk mengawasi dan
melakukan verifikasi pengurangan hilangnya hutan. UN-REDD beroperasi di sembilan
negara: Bolivia, Republik Demokratik Kongo, Indonesia, Panama, Papua Nugini,
Paraguay, Tanzania, Vietnam dan Zambia. Proyek percontohan sudah dimulai di
beberapa kawasan hutan tropis dan akan dilakukan kajian secara khusus bagaimana
praktek REDD akan berhasil dalam penerapannya.

4
Nature Resources Development Center. Konsep REDD+ dan implementasinya. Di akses dari
http://www.nature.or.id/publikasi/laporan-panduan-kehutahan/modul-konsep-redd.pdf

15
2. Bank Dunia, mengkoordinasikan inisiatif berupa Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan
(Forest Carbon Partnership Facility, FCPF). Serupa dengan UN-REDD, namun dalam
skala dan partisipasi yang lebih besar. Program ini beroperasi di 37 negara: Argentina,
Bolivia, Chili, Costa Rica, Ekuatorial Guinea, El Salvador, Etiopia, Gabon, Ghana,
Guatemala, Guyana, Honduras, Indonesia, Kamboja, Kamerun, Kenya, Kolombia,
Liberia, Madagaskar, Meksiko, Mozambik, Nepal, Nikaragua, Panama, Papua Nugini,
Paraguay, Peru, Republik Afrika Tengah, Republik Demokratik Kongo, Republik
Kongo, Republik Demokratik Laos, Suriname, Tanzania, Thailand, Uganda, Vanuatu
dan Vietnam.

Kedua inisiatif akan mengkoordinasikan misinya ketika diterapkan di negara yang


sama dan melaksanakan pertemuan mengenai kebijakan-kebijakan mereka secara bersama-
sama agar para peserta dapat saling bertukar informasi. Kedua inisiatif juga memiliki
beberapa aktivitas percontohan REDD yang sedang berjalan di berbagai negara dalam
rangka memberikan pemahaman tentang implementasi REDD dan menguji bagaimana
REDD dapat dilaksanakan dengan menggunakan berbagai pendekatan. Kemajuan dan hasil
dari inisiatif tersebut akan membantu para juru runding UNFCC dalam menentukan apakah
emisi CO2 yang berkaitan dengan hutan dapat dihitung dan apakah mekanisme REDD yang
diusulkan dapat dilaksanakan.

Kompleksitas proses-proses ilmiah yang terjadi dalam hutan menjadikan persoalan


rinci mengenai peran hutan dalam perubahan iklim banyak menimbulkan perdebatan di
kalangan para pakar, bagaimana memasukkan peran hutan dalam kesepakatan negosiasi isu

5
GCP, Sebuah panduan proposal pemerintah dan lembaga non pemerintah untuk mengurangi emisi dari deforestasi
dan degradasi hutan. Diakses dari http//www.globalcanopy.org/

16
perubahan iklim khususnya dalam skema REDD+. Ini terlihat dari perkembangan sejak
masuknya kegiatan Aforestasi (Afforestation) dan Reforestasi (Reforestation) dalam
Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism/CDM) pada COP ke 3
tahun 1997 di Tokyo, Jepang dan kemudian dalam pertemuan COP ke 11 di Montreal,
Kanada tahun 2005 dengan konsep RED, yang berkembang menjadi REDD di COP 13 di
Bali, Indonesia, dan akhirnya REDD+, dengan masuknya SFM, konservasi, dan peningkatan
simpanan karbon) yang baru diterima dan disahkan pada pertemuan COP ke 16 di Cancun,
Meksiko. Tidak hanya sampai di situ, bahkan pada pertemuan COP 18 tahun 2012 di Doha,
Qatar masalah metodologi terkait Measurement, Reporting, and Verification (MRV), dan
Safeguard untuk REDD+ masih menjadi isu yang belum disepakati sehingga persoalan
komitmen pendanaan REDD+ ikut terpengaruh dan kemudian menjadi topik yang terus
berkembang tanpa kesepakatan. Namun demikian konsep dasar REDD+ sebenarnya telah
disepakati sebagaimana hasil pertemuan di Bali tahun 2007. Konsep dasar REDD+ ini tidak
berubah sampai saat ini.

2.4 Implementasi REDD


Implementasi REDD dapat dilihat dalam berbagai proyek yang ada di dunia
Terhitung sejak bulan November 2011, sedikitnya ada 200 proyek REDD+ di seluruh dunia.
Proyek yang tersebar luas melintasi banyak negara merupakan hal penting untuk
meneguhkan perkembangan rezim REDD+ di masa depan, yang harus inklusif untuk
menghindari kebocoran internasional. Namun, sementara banyak negara memiliki satu atau
dua proyek, sebagian besar terpusat di tiga negara saja: Brasil, Indonesia dan Peru. Di
Indonesia, terdapat 51 proyek karbon hutan, 44 proyek lainnya (banyak di Kalimantan)
melibatkan kombinasi pengurangan deforestasi, pengurangan degradasi, restorasi
(pemulihan), reforestasi dan pengelolaan hutan. Dan untuk Brazil terdapat 56 proyek,
sebagian besar terletak di daerah hutan pesisir Atlantik, dan 36 proyek yang melibatkan
kombinasi berbagai strategi yang dapat diberi label REDD+, sebagian besar terletak di
Amazon. Peru memiliki 41 proyek karbon hutan.

Proyek karbon hutan sedang diimplementasikan oleh pemerintah, berbagai lembaga


masyarakat dan sektor swasta, yang menghasilkan variasi penting dalam penekanan dan
keefektifannya. Mayoritas proyek karbon hutan yang kami katalogkan sedang
diimplementasikan oleh berbagai LSM, biasanya dengan misi lingkungan hidup atau
pembangunan berkelanjutan. Dengan proyek yang dipimpin oleh berbagai organisasi

17
lingkungan hidupinternasional seperti Conservation International, The Nature Conservancy,
Faunaand Flora International, dan Jane Goodall Institute; organisasi pembangunan
internasional lainnya, dan juga organisasi lingkungan hidup nasional seperti Amazon
Environmental Research Institute, Tanzania Forest Conservation Group dan Centre for
Environment and Development.

Dari ke 65 proyek ini, 20 (30%) dipimpin oleh LSM yang basisnya di Amerika
Serikat, dengan LSM lainnya dari Eropa (misalnya, Jerman, Swiss dan Inggris), Asia
(misalnya, Australia dan Jepang) dan negara-negara tuan rumah program REDD tersebut
ditujukan misalnya Brasil dan Indonesia, 43% proyek adalah pemrakarsa dari sektor swasta.
Pemain lainnya dalam lanskap proyek ini mencakup para pemberi dana dan organisasi
(penentu) standar, bersama para pemberi sertifikasi atau auditor yang memverifikasi
kepatuhan dengan standar-standar yang ditetapkan.

Selain dari berbagai proyek yang tercipta, imlementasi REDD juga dapat dilihat
melalui pendanaan dari negara-negara maju.

(1) Jepang, Jepang membiayai REDD + melalui kemitraan bilateral dengan pemerintah,
serta hibah untuk dana multi-nasional seperti sebagai Global Environment Facility
(GEF). Sebelum 2010, Jepang telah mengalokasikan sekitar US $ 4 miliar untuk
kegiatan REDD + dan bantuan teknis (+ Survey REDD, 2010), dimana sekitar 60%
adalah pinjaman, hibah, dan bantuan teknis yang diberikan melalui hubungan bilateral.
Antara 2010 dan 2012 - yaitu selama periode Fast Start Finance (FSF) - Jepang
mengalokasikan sekitar US $ 720.000.000 untuk REDD+. Jepang juga telah mendirikan
Mekanisme Joint Crediting (JCM) untuk melengkapi CDM. Menggunakan perjanjian
bilateral dengan negara-negara hutan, Jepang dapat memperoleh pengurangan emisi dari
Proyek REDD+. Serupa dengan Jerman, Jepang mengakui kebutuhan untuk mengambil
tindakan dini untuk membayar kinerja, sebagaimana dibuktikan oleh penciptaan dari
JCM. Pendanaan untuk strategis ini Intervensi dibangun di atas tindakan bilateral.
(2) Norwegia, Norwegia adalah salah satu negara yang paling berkomitmen dalam upaya
pengurangan emisi GRK melalui skema REDD, dengan rencana penurunan emisi 30
persen pada tahun 2020,terhitung dari level emisi pada tahun 1990. Langkah ini diawali
ketika pada tahun 2007, Norwegia menjanjikan bantuan sebesar 500 juta USD, yang
akan dibayar secara bertahap untuk mendukung program REDD di negara berkembang.
Pada tahun 2008, Norwegia mewujudkan janji tersebut dengan mengaktifkan Norway’s
International Climate and ForestInitiative (NICFI), yang bertugas untuk menanganani
18
pengawasan, penilaian, pelaporanserta verifikasi deforestasi dan degradasi hutan di
negara-negara berkembang yang dibantupendanaan program REDD-nya oleh Norwegia.
Pembentukan NICFI dilakukan oleh Norwegian Agency for Development Cooperation
(NORAD), yaitu bagian dari Kementrian Luar Negeri Norwegia yang bertanggung
jawab untuk menjaga efisiensi bantuan luar negeri Norwegia.
Norwegia menyalurkan pendanaan melaluibeberapa institusi multilateral seperti UN-
REDD, Forest Carbon Partnership Facility yang dikelolaoleh World Bank, dan Non-
GovernmentalOrganization (NGO) lingkungan di seluruh dunia. Selain itu, Norwegia
juga menjalin hubungan bilateral dengan negara-negara pemilik hutan hujan terbesar di
dunia seperti Brazil, Indonesia, Meksiko, Kongo, Tanzania, Nepal, Mozambique dan
Guyana dengan tujuan untuk berkontribusi dalam mempercepat pengurangan emisi GRK
melalui sektordeforestasi. Bahkan Norwegia berkomitmen untuk menyumbangkan 1
Milyar USD bagi Indonesia danBrazil jika kedua negara tersebut berhasil mengurangi
deforestasi dan degradasi serta mereformasi manajemen pengelolaan hutan menjadi lebih
ramah lingkungan di masing-masing wilayah negaranya. Komitmen Norwegia inilah
yang menjadikannya sebagai donor finansial terbesar di dunia untuk aktivitas REDD,
yaitu dengan total 1.193,58 juta USD terhitung dari perjanjian selama tahun 2008-2013.
(3) Australia, Australia mendanai REDD + melalui Hutan Internasional Carbon Initiative,
hubungan bilateral dengan Indonesia dan Papua Nugini, dan inisiatif. Selain itu
Australia juga memberikan dananya melalui International Forest Carbon Initiative
(IFCI) untuk membantu mengembangkan negara berkembang menerapkan REDD.
(4) Jerman, Jerman membiayai kegiatan REDD + dalam mengembangkan negara melalui
Kementerian Federal Ekonomi Kerjasama dan Pembangunan (BMZ). Federal
Kementerian Lingkungan Hidup, Konservasi Alam dan Keamanan Nuklir (BMU) juga
mendukung proyek perlindungan iklim melalui Climate Initiative International (ICI).
(5) Inggris, Selama COP19 di Warsawa, Inggris membuat komitmen untuk mengalokasikan
US $ 120 juta untuk Dana Bio Carbon Inisiatif untuk Hutan Lestari Landscapes (ISFL).
Sebuah intervensi strategis yang akan membangun Komitmen kuat untuk mengirim
pendanaan 2012. Dan dengan konsisten dan komitmen keuangan saat ini yang dibuat
oleh Inggris, Inggris juga mengumumkan kesediaan untuk mendanai tambahan program
Dana Karbon FCPF, asalkan program yang kredibel yang cukup disetujui. Terakhir,
namun tidak sedikit, dalam sebuah surat bersama dengan Norwegia dan Jerman, Inggris
menyatakan dukungannya untuk program untuk mencapai tujuan deforestasi net zero di
Amazon dan Kolombia pada tahun 2020.

19
(6) Amerika Serikat, Di Kopenhagen pada bulan Desember 2009, Amerika Serikat
berjanji sekitar US $ 1 miliar untuk REDD + 2010-2012. Dimana pada 2010, Amerika
Serikat memenuhi 25% dari keseluruhan janjinya, mengalokasikan sekitar US $ 250 juta
untuk REDD+. Ini sebagian besar melalui US AID, dan dengan menyediakan hibah
untuk GEF, FCPF dan FIP. Pada tahun 2011, pengeluaran REDD + naik menjadi US $
277 juta, Secara keseluruhan, selama 2010-2012, yang USA mengalokasikan sekitar US
$ 887.000.000 terhadap REDD+. Tambahan US $ 75 juta mungkin diarahkan untuk
mendukung proyek-proyek hutan dan penggunaan lahan melalui Millennium Challenge
Corporation (MCC).
(7) Spanyol, Sebelum 2010, Spanyol telah mengalokasikan sekitar US $ 16,5 juta untuk
REDD +, dengan 44% dialokasikan untuk FCPF Dana kesiapan dan 56% untuk GEF.
Antara 2010 dan 2012 Spanyol menghabiskan sekitar US $ 49 juta pada REDD+.
Meskipun Spanyol telah mengalokasikan sumber daya secara langsung ke beberapa
negara melalui Kerjasama Internasional yang dan Badan Pembangunan, sumber daya ini
lebih kecil dari negara-negara donor lainnya. Di Meksiko, \ Misalnya, Spanyol
mengalokasikan sekitar US $ 55.000. Dalam kasus lain, seperti Senegal, DRC dan
Indonesia, kuantitasnya tidak diketahu. komitmen keuangan dan perannya dalam
meningkatkan permintaan untuk pengurangan emisi REDD+ pasca 2012 belum begitu
jelas.
(8) Swiss, Pada bulan Februari 2011, Federal Parlemen Swiss menyetujui janji FSF sekitar
US $ 160 juta. (Selama tahun 2011, Swiss mengalokasikan sekitar US $ 11 juta untuk
mendukung pengelolaan hutan lestari di negara berkembang, terutama dalam bentuk
hibah untuk FCPF. Pada tahun 2012, Swiss menghabiskan tambahan dana untuk
REDD+. Kontribusi total untuk periode 2010-2012 periode sekitar US $ 24 juta. Pada
tahun 2013 Swiss mengalokasikan sekitar lain US $ 8 juta untuk REDD+, Meskipun
kontribusinya lebih kecil dari negara-negara donor lainnya, Swiss diperkirakan akan
terus mendukung REDD+.

Implementasi dari REDD lainnya dapat dilihat dari negara-negara yang bekerja sama
baik secara bilateral ataupun multilateral berupa bantuan dana yang diberikan oleh beberapa
negara industri kepada negara berkembang yang mempunyai hutan yang luas.
(1) Indonesia dan Norwegia, Pada Oktober 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
berkomitmen untuk mengurangi emisi CO2 Indonesia sampai 26%, pada tahun 2020.
Pemerintah Norwegia menyambut baik komitmen ini dan menyetujui penandatanganan

20
Surat Niat Letter of Intent (LoI) pada 26 Mei 2010. Norway akan memberikan kontribusi
kepada Indonesia berdasarkan pengurangan emisi yang terverifikasi yang sejalan dengan
skema REDD+. Pada bulan September 2010, Presiden Yudhoyono mendirikan Satuan
Tugas REDD+ untuk memastikan bahwa implementasi REDD+ berjalan dengan baik
melalui Keputusan Presiden No.19/2010. Dr. Kuntoro Mangkusubroto dipilih sebagai
Ketua dari satuan tugas lintas sektoral ini, dan Kalimantan Selatan dipilih oleh Presiden
sebagai provinsi percontohan dari program REDD+ di Indonesia pada bulan Desember
2010. Strategi REDD+ di Indonesia bertujuan untuk mengatur sumber daya alam secara
berkelanjutan sebagai asset nasional demi kesejahteraan bangsa. Tujuan tersebut dapat
tercapai melalui implementasi di lima area fungsional pembangunan institusi dan proses
yang menjamin peningkatan tata kelola hutan dan lahan gambut, pengkajian ulang dan
peningkatan kerangka peraturan, meluncurkan program strategis untuk manajemen
lansekap, merubah paradigma lama dan melibatkan pemangku kepentingan utama secara
bersamaan. Sebagai provinsi percontohan, Kalimantan Tengah akan menjadi
laboratorium untuk uji coba penerapan dari lima area fungsional di atas. Provinsi lainnya
di Indonesia akan menerapkan strategi REDD+ sesuai dengan kepentingan masing-
masing provinsi. Untuk pelaksanaan di tingkat provinsi dan pusat, Satgas REDD+ akan
membentuk institusi untuk memonitor, mengkoordinasi, dan mengimplementasi kegiatan
REDD+; serta institusi untuk memonotir, melaporkan, dan meverifikasi. Sejalan dengan
itu, instrumen pendanaan akan ditetapkan untuk memastikan ketersediaan dana.
Prinsip skema REDD+ menekankan manfaat yang sebesar-besarnya kepada masyarakat
dan perbaikan lingkungan. Skema REDD+ merupakan pilihan, dan bukan kewajiban bagi
masyarakat. Peranan penduduk asli dan masyarakat tradisional dalam skema REDD+
sangat penting. Mereka harus dilibatkan lebih banyak lagi dalam proses pengambilan
keputusan dan upaya-upaya untuk membawa keuntungan sosial dan ekonomi, seperti
pendistribusian insentif dan jaminan bahwa lahan dan hak mereka terhadap sumber daya
hutan diakui. Indonesia dan Brazil, di antara negara-negara berhutan, berada di posisi
depan dalam hal menciptakan kemitraan multi-bilateral. Apa yang kita lakukan, dapat
dan perlu menjadi referensi bagi negara-negara lainnya. Indonesia membangun dari
bawah ke atas, mengindentifikasi persoalan yang terhampar di bawah, dan
menjalinkannya dengan dunia satu per-satu secara bilateral - dan kemudian secara multi-
bilateral. Norwegia, tentu saja, menjadi penghubungnya. Setelah Indonesia dan Brazil,
mungkin saja terdapat beberapa multi-lateral satelit yang terhubung dengan Guyana,
dengan Costa Rica dan seterusnya menjadi besar.

21
(2) Indonesia dan Australia, Upaya yang dilakukan Australia memainkan peran kunci dalam
forum kerjasama ini. Australia turut mengambil langkah dalam negosiasi di bawah
UNFCCC dan Protokol Kyoto mengenai insentif untuk REDD+. Sebagai upaya untuk
mengurangi emisi gas karbon terkait mekanisme REDD+, Australia telah memberikan
kontribusinya dalam melaksanakan upayanya. Upaya tersebut dilaksanakan melalui
penyaluran dana dukungan kepada Indonesia. Upaya awal yang dilakukan Australia
untuk keberlangsungan program, dilakukan melalui pengupayaan dana awal sebesar $200
juta AUD oleh The International Forest Carbon Initiative (IFCI) terhadap Indonesia. Hal
ini menjadi kontribusi kunci Australia terkait dengan aksi global mengenai REDD+. IFCI
merupakan suatu lembaga inisiatif yang dikelola secara administratif oleh Departemen
Perubahan Iklim Australia (DCC) dan AusAID. IFCI sendiri adalah bagian penting dari
kepemimpinan Internasional Australia pada pengurangan emisi gas karbon dari
deforestasi. Dalam pelaksanaannya, lembaga ini mendukung upaya-upaya internasional
untuk mengurangi deforestasi serta degradasi lahan hutan melalui konvensi kerangka
kerja PBB terkait perubahan iklim. Tentunya hal ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa
pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dapat menjadi perjanjian
internasional yang adil dan efektif pada perubahan iklim. Pada pelaksanaan program
IAFCP, dana yang dibutuhkan Australia dalam melaksanakan program secara total
tercatat sebesar $ 100 juta AUD. Australia melalui IFCI menggabungkan $30 juta AUD
untuk KFCP, paket bilateral senilai $ 10 juta AUD, dan tambahan $ 60 juta AUD lainnya
untuk mendukung Indonesia tentang pengelolaan hutan. Berikut rincian pengupayaan dan
oleh Australia terhadap Indonesia. Pada tahap pertama, bulan Juli di tahun 2008,
pemerintah Australia berkomitmen sebesar $ 10 juta AUD untuk Indonesia dengan
pembagian, $ 1 juta AUD untuk The Indonesia Forest and limate Alliane (IFCA) guna
membantu Indonesia terkait persiapan kebijakan REDD+, $ 3 juta AUD untuk
mendukung rancangan konsep metodologi REDD+, $ 3 juta AUD untuk manajemen api
dan lahan gambut, $ 2 juta AUD untuk pemantauan dan penilaian karbon hutan, dan $ 1
juta AUD untuk memulai program pengelolaan. Kedua, Pada bulan September 2008
tambahan alokasi dana sebesar $ 30 juta AUD untuk memulai KFCP dengan pendekatan
perlindungan dan rehabilitasi di lahan gambut Kalimantan Tengah. Program ini
merupakan program pertama atas kegiatan demonstrasi REDD+ skala besar di Indonesia
yang bertujuan untuk menunjukkan pendekatan yang terpercaya, adil efektif untuk

22
REDD+ termasuk dari degradasi lahan gambut. Fokus awal dari program ini adalam di
atas lahan seluas lebih dari 100.000 hektar lahan gambut yang terdegradasi dan hutan di
Kalimantan Tengah. Selanjutnya ketiga, pada bulan November 2008 kemudian Australia
kembali mengumumkan komitmen sebesar $ 30 juta AUD untuk rencana penambahan
proyek demonstrasi kedua tepatnya di Provinsi Jambi, Sumatera dengan melihat hasil dari
implementasi KFCP.
Tidak hanya sampai disana pengupayaan dan oleh Australia juga dilanjutkan pada bulan
Desember 2010, Australia menambahkan dana sebesar $ 30 juta AUD untuk IAFCP
sebagai tambahan dukungan kebijakan program. Sehingga total pengupayaan dana oleh
Pemerintah Australia sebesar $ 100 juta AUD. Melalui dana ini, Australia telah
melaksanakan upayanya untuk membiayai segala aktivitas untuk berlangsungnya
program dalam mencapai tujuannya mengurangi emisi gas karbon dari deforestasi dan
degradasi lahan hutan di Indonesia. Indonesia telah berhasil membangun sistem
perhitungan karbon di Indonesia.Walaupun berdasarkan hasil yang diperoleh INCAS
terkait tabel diatas terlihat penurunan emisi gas karbon yang terjadi di Kalimantan
Tengah masih fluktuatif dari tahun ke tahunnya, namun emisi dari tingkat degradasi
terlihat menurun secara signifikan dari tahun 2008 hingga 2011. Selain itu upaya – upaya
yang dilakukan Australia juga telah memberikan dampak positif bagi peningkatan tata
kelola hutan yang lebih baik bagi Indonesia terkait dengan mekanisme REDD+. Australia
juga turut serta dalam meningkatkan kesadaran masyarakat maupun pemerintah untuk
mengurangi emisi gas karbon Indonesia dengan mendorong terbentuknya berbagai
kebijakan peningkatan kapasitas sistem di Indonesia.
Dari kebijakan-kebijakan yang telah dibuat ataupun sedang dijalankan dapat dilihat
bahwa implementasi skema REDD sejatinya telah dan sedang diupayakan oleh negara-
negara di dunia, komitmen dan peran dari negara-negara maju sebagai pemberi insentif dan
negara berkembang sebagai penerima insentif dan yang menjalankan program REDD
dinegaranya harus dioptimalkan lagi, sehingga penurunan emisi dari deforestasi, degradasi
hutan, pemeliharaan dan peningkatan cadangan karbon, melalui; konservasi hutan,
pengelolaan hutan berkelanjutan (SFM), Rehabilitasi dan restorasi kawasan yang rusak, dan
penciptaan mamfaat tambahan disamping manfaat dari karbon bisa diperoleh melalui skema
kerja REDD+.

23
2.5 Studi Kasus : Dana bantuan Norwegia kepada Indonesia dan Brazil
Norwegia merupakan suatu Negara kecil nan kaya akan sumber daya alam berupa
minyak bumi dan gas alam. Kegiatan ekstraksi minyak bumi dan gas alam yang dilakukan
oleh Norwegia ini tidak terlepas dari pasokan minyak bumi dan gas alam yang banyak
terdapat di Negara ini sehingga tidak mengherankan jika Negara ini dikenal sebagai salah
satu Negara penghasil minyak terbesar di dunia di luar Negara di kawasan Timur Tengah.
Kegiatan industri yang dilakukan oleh Negara Norwegia memberikan dampak positif bagi
perekonomian Negara dan juga dampak negatif bagi lingkungan dunia.B anyaknya kegiatan
industri yang dilakukan oleh Norwegia ini justru memiliki andil yang cukup besar dalam
menyumbangkan emisi gas yang merusak lingkungan global.

Norwegia melakukan berbagai cara untuk mengurangi emisi gas yang telah
dihasilkannya. Pada tanggal 9 Juli 1993 Norwegia meratifikasi Konvensi Kerangka
Perubahan Iklim (UNFCCC) serta Protokol Kyoto pada 30 Mei 2002. Di bawah Protokol
Kyoto, Norwegia termasuk ke dalam negara Annex 1 yang memiliki kewajiban untuk
menurunkan emisi hingga 5.2% di bawah tingkat emisi tahun 1990. Total emisi Gas Rumah
Kaca Norwegia adalah sekitar 54,8 juta ton CO2 pada tahun 2003. Emisi ini naik sekitar 9%
pada periode 1990-2003.Faktor utama di balik pertumbuhan CO2 ini didapat dari sektor
perminyakan, industrialisasi, penggunaan energi fosil dan transportasi.

Emisi Gas Rumah Kaca Norwegia Tahun 1990-2003

Keterangan : Emisi Gas Rumah Kaca Norwegia tahun 1990-2003 serta proyeksi emisi
gasrumah kaca tahun 2010 dan 2020. Diukur dalam satuan juta ton CO2. (Sumber :
Departemen Kewenangan Pengendalian Pencemaran dan Statistik Norwegia.
Norwegia berkomitmen untuk menjaga emisi Gas Rumah Kaca nya tidak
melebihi tingkat emisi pada tahun 1990 lebih dari 1% pada periode 2008-2012. Namun

24
Norwegia dan sebagian besar negara-negara lain yang termasuk ke dalam negara Annex 1
merasa kesulitan untuk melakukan hal tersebut dikarenakan dalam upaya menurunkan emisi
Gas Rumah Kaca hingga 5.2% itu berarti negara-negara tersebut diharuskan untuk
mengurangi emisi 6 jenis Gas Rumah Kaca, salah satunya CO2 yang berarti mereka harus
mengurangi aktivitas industrial di dalam Negara mereka masing-masing. Untuk
membantu negara Annex 1 yang terikat kewajiban penurunan emisi, Protokol Kyoto
menetapkan berbagai mekanisme fleksibel (flexible mechanisms) seperti perdagangan emisi
(emission trading), mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanisms), dan
implementasi bersama (joint implementation). Mekanisme tersebut memungkinkan negara
industri untuk memperoleh kredit emisi dengan cara membiayai proyek pengurangan emisi
di negara di luar negara Annex 1. Protokol Kyoto memiliki masa komitmen yang berakhir
pada tahun 2012.

Namun, hingga masa berakhirnya Protokol Kyoto, nampaknya tidak ada komitmen
yang ditunjukkan lewat konvensi legal oleh negara-negara maju untuk menekan tingkat
emisi, terungkap dalam fakta bahwa emisi karbon malah meningkat 2,6% di tahun 2012 atau
sekitar 58% jauh lebih tinggi dibandingkan emisi karbon dunia tahun 1990. Dengan tidak
berhasilnya pelaksanaan Protokol Kyoto kemudian dilanjutkan dengan skema penurunan
emisi baru yang dikenal dengan nama Reducing Emission fromDeforestation and Forest
Degradation (REDD) yang diharapkan dapat menjadi mekanisme penurunan emisi yang
lebih baik dibandingkan Protokol Kyoto. Norwegia sendiri telah memulai inisiatif untuk
mencegah deforestasi dan degradasi hutan pada pertemuan COP-13 yang diadakan di Bali
pada bulan September 2007 dan disampaikan oleh Jens Stotelnberg yang merupakan
perdana menteri Norwegia saat itu. Inisiatif ini disebut dengan Norway’s International
Climate and Forest Initiative (NICFI). Inisiatif ini akan terus dilakukan dengan utjuan untuk
mencapai hasil jangka panjang. Badan ini nantinya juga akan menjamin dana yang
dikeluarkan kepada Negara-negara pemilik hutan dapat diunakan secara efektif dan efisien.

NICFI telah memberikan dukungan dalam program REDD internasional berupa


pendanaan bertahap, total yang dijanjikan NICFI sebesar 19,8 Miliar NOK (3,3 Miliar
Dolar) untuk disalurkan kepada lembaga dan Negara pengurus REDD. Sebesar 68% total
pendanaan disalurkan kepada Negara mitra antara lain Brazil, Indonesia dan Guyana.
Adapun rincian pencairan pendanaan REDD hingga tahun 2013 adalah sebgai berikut:

1. 10,3 Miliar NOK (1,7 Miliar Dollar) sudah dicairkan NICFI selama tahun 2008-2013
2. Diakhir tahun 2013 dicairkan 75% total pendanaan NICFI yaitu kepada:
25
a. Forest Carbon Partneship Facility (1,2 Miliar Dollar, sekitar 11%)
b. UN-REDD Programme (1,1 Miliar NOK, sekitar 11%)
c. Civil Society/Masyarakat sipil (1 Miliar NOK, sekitar 9%)
d. Brazil (4,6 Miliar NOK, sekitar 44%)
e. Dan sisanya untuk Meksiko, Vietnam, Indonesia, Tanzania dan Guyana (Sekitar
25%)6

Perbandingan Implementasi Dana Norwegia Di Indonesia Dan Brazil.


Komitmen Norwegia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca melalui skema
REDD+ menjadikannya sebagai donor finansial terbesar di dunia untuk aktivitas REDD,
Brazil dan Indonesia merupakan dua Negara yang paling banyak dijanjikan pendanaan
REDD oleh Norwegia. Pelaksanan pengurangan emisi gas rumah kaca melalui dana bantuan
REDD di kedua Negara ini menunjukkan hasil yang berbeda. Hasil implementasinya dari
tahun 2008 hingga tahun 2013 bisa dilihat melalui grafik berikut:

6
Real Time Evolution of Norway’s International Climate and Forest Initiative (NICFI) Synthesising Report 2007-2013,
Melaluihttps://www.norad.no/en/toolspublications/publications/2014/real-time-evaluation-of-norways-
international-climate-and-forest-initiative.-synthesising-report-2007-2013/. Diakses tanggal 21 Maret 2017

26
Grafik pertama menjelaskan berapakah pengeluaran yang telah dikeluarkan

Norwegia untuk REDD dari tahun 2008-2013. Disana diperlihatkan bahwa Brazil

mendapatkan 40% pendanaan dari keseluruhan, sedangkan Indonesia hanya

mendapatkan 2%. Sedangkan Grafik kedua memperlihatkan berapa hibah yang telah

dijanjikan oleh Norwegia kepada Negara-negara berkembang untuk mengurangi

deforestasi, degradasi dan gas rumah kaca melalui REDD dari tahun 2008 – 2013. Dari

grafik di atas dapat dilihat bahwa meskipun Indonesia telah dijanjikan pendanaan yang

sama besar dengan Brazil yaitu sekitar 30%, namun pengeluaran yang diberikan oleh

Norwegia terhadap Indonesia baru 2% sedangkan Brazil tetap mendapatkan hibah yang

sesuai.

Alasan-alasan yang menyebabkan adanya perbedaan dalam pemberian dana

bantuan antara Negara Indonesia dan Brazil disebabkan oleh beberapa faktor. Sebelum

menjelaskan faktor-faktornya, terlebih dahulu dijelaskan bagaimana implementasi dana

bantuan REDD di kedua Negara. Di Indonesia sendiri penerapan REDD Kerjasaman

Indonesia dan Norwegia yang tertuang dalam Letter of Intent yang ditandatangani oleh

kedua Negara ini akan dilakukan dalam tiga fase, yang mana dijelaskan dalam tabel

berikut:

Tabel Fase kerjasama Indonesia dan Norwegia dalam Letter of Intent (LOI)

Fase Program
Fase I (Persiapan) 1. Pembentukan Rencana Aksi Nasional
(Strategi Nasional REDD di
Indonesia)
2. Pembentukan Satuan Tugas (Satgas)
REDD untuk mengkoordinasikan
usaha-usaha pengembangan dan
implementasi REDD

27
3. Merancang dan menetapkan
instrument pengelolaan dana hibah
4. Menetapkan Provinsi Percontohan
(Kalimantan Tengah)
Fase II (Transformasi) 1. Mekanisme MRV (Measurement,
Reporting and Verification)
2. Penebitan Moratorium
3. Membangun database Hutan Rusak
untuk pembangunan Ekonomi dan
Investasi
4. Penegakan Hukum Pemberantasan
Illegal Logging
5. Penyelesaian Konflik lahan
Fase III (pengurangan Emisi 1. Implementasi dari mekanisme
Berdasarkan Kontribusi yang pengurangan emisi berdasarkan
diverifikasi) kontribusi yang diverifikasi

Kerjasama pengurangan emisi gas karbondioksida ini menuntut Indonesia untuk


melakukan upaya dalam melindungi hutannya agar tidak menyumbang gas
karbondioksida. Kondisi hutan di Indonesia sedikit lebih unik karena pada umumnya
tanah di Indonesia merupakan tanah gambut, jadi apabila terjadi kebakaran hutan maka
akan sangat sulit untuk memadamkan api sehingga akan banyak menyumbangkan gas
karbondioksida ke udara sebagai hasil dari pembakaran hutan tersbut. Melalui LOI ini
juga menuntut Norwegia untuk membantu Indonesia melindungi hutan di Indonesia agar
tidak menyumbang gas karbondioksida di udara sehingga emisi gas Norwegia bisa
berkurang. Norwegia akan memberikan sejumlah dana hibah kepada Indonesia untuk
digunakan Indonesia sebagai modal untuk melindungi hutan Indonesia.

Pemerintah Norwegia melalui LOI ini akan berkomitmen memberikan dana hibah
kepada Indonesia dalam fase persiapan dan fase transformasi dana sebesar US$ 200 Juta
pada fase I dan fase 2 dan akan memberikan dana kembali pada fase 3 sebesar US$ 800
Juta pada tahun 2014 berdasarkan pada penurunan angka emisi yang dilakukan Indonesia

28
pada tahun 2013.7 Namun, setelah enam tahun LOI antara Indonesia dan Norwegia
ditandatangani, belum terlihat progress yang signifikan dari hasil yang diberikan oleh
Indonesia, Indonesia masih belum bisa mengurangi tingkat ddeforestasinya secara
signifikan seperti yang diharapkan oleh Norwegia, karena prinsipnya “No Result, No
Payment”. Lebih lanjut, Vidar Helgesen, Menteri Iklim dan Lingkungan Norwegia
mengatakan Indonesia telah gagal mencegah deforestasi. Sejauh ini, dari 1 Miliar US
Dollar yang Norwegia tawarkan kepada Indonesia untuk mengurangi deforestasi, hanya
60 juta US Dollar yang baru diberikan kepada Indonesia.

Berbeda di Brazil yang memiliki kemajuan besar dalam penerapan REDD. Tahun
2009, Norwegia setuju untuk membayar 1 Miliar US$ kepada Dana Amazon Brazil, jika
Brazil berhasil mengurangi deforestasi di Amazon. Norwegia sejauh ini telah
memberikan 900 juta US$ dan membayar 100 juta US$ pada akhir 2016.8 Brazil menjadi
contoh yang menarik karena membuat kemajuan besar dalam membangun kerangka
Undang-undang REDD. Selain itu, dengan mempertimbangkan keterlibatan masyarakat
adat dan beberapa NGO menjadi salah satu pendukung implementasi REDD. Dua
inisiatif REDD telah diluncurkan oleh Pemerintah Nasional Brazil, yaitu: 1) Rencana
Aksi Nasional untuk Mencegah dan Kontrol Deforestasi di Amazon (PPCDAM), yang
meliputi peraturan teritorial dan pemantauan lingkungan, serta mendorong pembangunan
berkelanjutan di kawasan ini. 2) Rencana Nasional Perubahan Iklim (2008), yang
menetapkan target nasional untuk pengurangan emisi di beberapa sektor dan termasuk
Amazon. Tujuannya adalah untuk mencapai pengurangan 80 persen pada tahun 2020.

Sejalan dengan aksi-aksi politik ini, Brazil telah mendirikan Dana Amazon,
dikelola oleh Bank Nasional Brasil untuk Pembangunan Ekonomi dan Sosial (BNDES).
Dibuat pada tahun 2008, (Cerbu, 2009) ini adalah mekanisme pembiayaan non-
penggantian yang membantu untuk mendorong pelestarian hutan Amazon, memberikan
kontribusi untuk mencegah dan memerangi deforestasi, serta mempromosikan inisiatif
pembangunan berkelanjutan.

7
Ringkasan Eksekutif Greenpeace. Surat Niat Indonesia – Norwegia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca
dari deforestasi dan degradasi hutan.Kajian Kemajuan dari Greenpeace November 12.Diakses tanggal 21 Maret
2017.
8
Norway pays Brazil US$1 billion. But what for, exactly?
http://www.redd-monitor.org/2015/10/01/norway-pays-brazil-us1-billion-but-what-for-exactly/ Diakses
tanggal 21 Maret 2017

29
Ban Ki-moon, Sekretaris Jendral PBB mengatakan bahwa hubungan partner
antara Brazil dan Norwegia melalui Dana Amazon memperlihatkan dukungan yang
intensif terhadap salah satu aksi mitigasi perubahan iklim yang paling membuahkan hasil
dalam dekade terakhir ini. Hubungan partner ini merupakan contoh dari kerjasama
internasional yang dibutuhkan untuk menjamin keberlangsungan planet bumi di masa
depan.9

9
Ibid

30
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Fenomena perubahan iklim bukan saja menjadi tanggung jawab suatu negara
namun merupakan tanggung jawab bersama negar-negara di dunia sebagai masyarakat
internasional karena dampak serius yang akan dihadapi akan mengancam kehidupan
umat manusia, berangkat dari kenyataan tersebut, pembahasan mengenai perubahan
iklim mulai dibahas di forum-forum internasional, sampai pada akhirnya tahun 1992
dalam Earth Summit (KTT Bumi) disusunlah United Nation Framework Conference for
Climate Change (UNFCCC, yang lahir dari desakan dan kebutuhan masyarakat
internasional dalam mengahadapi perubahan iklim, dan menjadi wadah resmi bagi
negara-negara untuk membahas dan mengupayakan cara dan kerangka kerja menghadapi
perubahan iklim.

Berawal dari UNFCCC, maka setiap tahunnya sejak 1995 diadakan pertemuan
dengan panel yang disebut CoP, pertemuan-pertemuan tersebutlah yang menghasilkan
berbagai upaya-upaya dan kerangka kerja yang disetujui bersama, dari Protokol Kyoto
hingga REDD+, dimana Ide mendasar tentang Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan
Degradasi Hutan (REDD) sangat sederhana: Negara-negara yang berkeinginan dan
mampu untuk mengurangi emisi dari deforestasi hutan harus diberikan kompensasi
secara finansial untuk melakukan hal tersebut. Pendekatan-pendekatan sebelumnya untuk
mengatasi deforestasi hutan secara global selama ini tidak berhasil, akan tetapi, REDD
memberikan sebuah kerangka kerja baru bagi negara-negara penebang hutan untuk dapat
menghentikan trend lama ini.

REDD yang pada dasarnya adalah pengurangan emisi. Rencana Aksi Bali yang
diputuskan di Konferensi para Pihak (COP) pada sesi ke 13 menyatakan bahwa
pendekatan komprehensif untuk mengurangi perubahan iklim harus mencakup:
“Pendekatan kebijakan dan insentif positif tentang isu yang terkait dengan pengurangan
emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di negara-negara berkembang.” Tetapi,
mekanisme REDD di masa yang akan datang memiliki potensi yang lebih luas. REDD
dapat langsung mengatasi perubahan iklim dan kemiskinan di daerah pedesaan, dalam
waktu bersamaan melestarikan keanekaragaman hayati dan menjaga jasa-jasa ekosistem
yang penting. Meskipun keuntungan-keuntungan ini nyata dan merupakan pertimbangan

31
yang penting, pertanyaan yang krusial muncul yaitu bagaimana kedua tujuan
pembangunan dan konservasi akan membantu keberhasilan kerangka kerja REDD secara
keseluruhan atau apakah akan memperumit dan sehingga memungkinkan menghambat
proses negosiasi REDD.

Sedangkan untuk penyebab deforestasi hutan bermacam-macam dan kompleks


serta bervariasi dari satu negara ke negara lain. Tekanan lokal muncul dari masyarakat
yang memanfaatkan hutan sebagai sumber bahan pangan, bahan bakar, dan lahan
pertanian. Kemiskinan dan tekanan penduduk dapat mengakibatkan hilangnya lapisan
hutan, yang kemudian membuat orang terperangkap dalam kemiskinan yang terus
menerus. Sementara jutaan orang masih menebang pohon untuk menghidupi
keluarganya, penyebab utama deforestasi hutan saat ini semakin meluas yaitu
meningkatnya aktifitas pertanian berskala besar yang didorong olehpermintaan
konsumen. Dalam dekade terakhir, deforestasi hutan telah beralih dari program besar
pemerintah ke proses yang didorong oleh perusahaan. Pendorong permintaan untuk lahan
pertanian bervariasi secara global.

Maka, Dari kebijakan-kebijakan yang telah dibuat ataupun sedang dijalankan


dapat dilihat bahwa implementasi skema REDD sejatinya telah dan sedang diupayakan
oleh negara-negara di dunia, komitmen dan peran dari negara-negara maju sebagai
pemberi insentif dan negara berkembang sebagai penerima insentif dan yang
menjalankan program REDD dinegaranya harus dioptimalkan lagi, sehingga penurunan
emisi dari deforestasi, degradasi hutan, pemeliharaan dan peningkatan cadangan karbon,
melalui; konservasi hutan, pengelolaan hutan berkelanjutan (SFM), Rehabilitasi dan
restorasi kawasan yang rusak, dan penciptaan mamfaat tambahan disamping manfaat dari
karbon bisa diperoleh melalui skema kerja REDD+. Dan diharapkan kedepannya
implementasi REDD maupun REDD+ dapat memberi dampak lansung terhadap upaya
negara-negara dunia dalam menghadapi perubahan iklim.

32
DAFTAR PUSTAKA
Buku

Winarno, Budi. 2014. Dinamika Isu-Isu Global Kontemporer. Yogyakarta: CAPS.

E-book

Greenpeace. Executive Summary: The Indonesia - Norway Agreement to reduce


greenhouse gas emissions from deforestation and forest degradation Greenpeace
Assessment of Progress. Diakses tanggal 21 Maret 2017.

Natural Resource Development Center. Konsep REDD+ dan Implementasinya.


http://www.nature.or.id/publikasi/laporan-dan-panduan-kehutanan/modul-konsep-
redd.pdf

Skripsi

Aprillia, Dwi Monica. 2016. Faktor-Faktor Penghambat Implementasi Kerjasama


Indonesia dan Norwegia dalam Skema REDD+ di Kabupaten Kapuas Provinsi
Kalimantan Tengah (2013-2015). Jurusan Hubungan Internasional, Universitas
Riau.

Sani, Iqbal. 2016. Kepentingan Indonesia Bekerjasama dengan Norwegia dalam


Kerangka Reducing Emission from Deforestation and Degradation (REDD) tahun
2010. Skripsi Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Riau.

Jurnal

Aiman, Mahardy Azhar dan Supriyadi. 2012. Kerjasama Norwegia dan Indonesia
Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca Melalui Skema Reducing Emissions From
Deforestation And Forest Degradation (REDD). UNIVERSITAS JEMBER

Website

Greenpeace. Apa itu REDD.http://www.greenpeace.org/seasia/id/campaigns/melindungi-


hutan-alam-terakhir/apa-itu redd/ Diakses pada 17 Maret 2017

Lang, Chris. Norway admits that “We haven’t seen actual progress in reducing
deforestation” in Indonesia. Diakses dari http://www/Redd-monitor.org pada 20
Maret 2017

Norad. 2014. Real Time Evolution of Norway’s International Climate and Forest
Initiative (NICFI) Synthesising Report 2007-2013. Diakses dari
https://www.norad.no/en/toolspublications/publications/2014/real-time-evaluation-
of-norways-international-climate-and-forest-initiative.-synthesising-report-2007-
2013/. Pada 21 Maret 2017

33
Public Policy Indonesia. REDD+: A Failed Story in Indonesia? Diakses dari
https://publicpolicyindonesia.wordpress.com/2017/02/10/redd-a-failed-story-in-
indonesia/ pada 21 Maret 2017

Redd Monitor. 2015. Norway pays Brazil US$1 billion. But what for, exactly?Diakses
dari http://www.redd-monitor.org/2015/10/01/norway-pays-brazil-us1-billion-but-
what-for-exactly/ pada 21 Maret 2017

REDD+ Benefit Sharing. Center for International Forestry Research. Diakses dari
http://www.cifor.org/redd-benefit-sharing/pada 18 Maret 2017

Shibao, Pek. REDD+, Sejauh Mana Keberhasilannya di Indonesia?Diakses dari


http://www.mongabay.co.id/2015/04/22/redd-sejauh-mana-inisiatif-ini-berhasil-di-
indonesia/ pada 20 Maret 2017

34

Anda mungkin juga menyukai

  • MEG
    MEG
    Dokumen1 halaman
    MEG
    Faaaa
    Belum ada peringkat
  • Poly
    Poly
    Dokumen3 halaman
    Poly
    Faaaa
    Belum ada peringkat
  • LLLL
    LLLL
    Dokumen1 halaman
    LLLL
    Faaaa
    Belum ada peringkat
  • Tugas TRK Lanjut 1
    Tugas TRK Lanjut 1
    Dokumen9 halaman
    Tugas TRK Lanjut 1
    Faaaa
    Belum ada peringkat
  • Tugas TRK Lanjut 1
    Tugas TRK Lanjut 1
    Dokumen9 halaman
    Tugas TRK Lanjut 1
    Faaaa
    Belum ada peringkat
  • MKL
    MKL
    Dokumen1 halaman
    MKL
    Faaaa
    Belum ada peringkat
  • Tugas
    Tugas
    Dokumen1 halaman
    Tugas
    Faaaa
    Belum ada peringkat
  • MKL
    MKL
    Dokumen1 halaman
    MKL
    Faaaa
    Belum ada peringkat
  • Cargo
    Cargo
    Dokumen1 halaman
    Cargo
    Faaaa
    Belum ada peringkat
  • Pendahuluan
    Pendahuluan
    Dokumen2 halaman
    Pendahuluan
    Faaaa
    Belum ada peringkat
  • Cargo
    Cargo
    Dokumen1 halaman
    Cargo
    Faaaa
    Belum ada peringkat
  • LNG
    LNG
    Dokumen1 halaman
    LNG
    Faaaa
    Belum ada peringkat
  • Istilah LPG
    Istilah LPG
    Dokumen1 halaman
    Istilah LPG
    Faaaa
    Belum ada peringkat
  • Keluarga
    Keluarga
    Dokumen1 halaman
    Keluarga
    Faaaa
    Belum ada peringkat
  • Arti Hidup Dalam Islam
    Arti Hidup Dalam Islam
    Dokumen1 halaman
    Arti Hidup Dalam Islam
    Faaaa
    Belum ada peringkat
  • Metana
    Metana
    Dokumen1 halaman
    Metana
    Faaaa
    Belum ada peringkat
  • MUUUU
    MUUUU
    Dokumen1 halaman
    MUUUU
    Faaaa
    Belum ada peringkat
  • MUUUU
    MUUUU
    Dokumen2 halaman
    MUUUU
    Faaaa
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen4 halaman
    Daftar Isi
    Faaaa
    Belum ada peringkat
  • Tugas
    Tugas
    Dokumen1 halaman
    Tugas
    Faaaa
    Belum ada peringkat
  • Gas Alam
    Gas Alam
    Dokumen1 halaman
    Gas Alam
    Faaaa
    Belum ada peringkat
  • Rumus
    Rumus
    Dokumen1 halaman
    Rumus
    Faaaa
    Belum ada peringkat
  • Shaft Furnace
    Shaft Furnace
    Dokumen2 halaman
    Shaft Furnace
    Faaaa
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Dokumen5 halaman
    Daftar Pustaka
    Faaaa
    Belum ada peringkat
  • 3.daftar Gambar
    3.daftar Gambar
    Dokumen1 halaman
    3.daftar Gambar
    Faaaa
    Belum ada peringkat
  • 2.daftar Isi KP
    2.daftar Isi KP
    Dokumen2 halaman
    2.daftar Isi KP
    Faaaa
    Belum ada peringkat
  • Pie 2
    Pie 2
    Dokumen1 halaman
    Pie 2
    Faaaa
    Belum ada peringkat
  • LLLLLL
    LLLLLL
    Dokumen1 halaman
    LLLLLL
    Faaaa
    Belum ada peringkat
  • 10.bab Vi
    10.bab Vi
    Dokumen2 halaman
    10.bab Vi
    Faaaa
    Belum ada peringkat