Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Saat ini masyarakat dan bangsa Indonesia telah memasuki abad 21,suatu

era globalisasi yang penuh tantangan. Kondisi ini menuntut kesiapan sumber

daya manusia yang kreatif dan inovatif sehingga mampu menyikapi dan

mengantisipasinya. Dalam mewujudkan sumber daya manusia yang akan

datang, pendidikan mempunyai fungsi yang sangat strategis dan peranan

penting sebab tanpa pendidikan kepribadian manusia sebagai subyek belum

dapat memberikan jaminan mewujudkan cita-cita pembangunan (Hariwung,

1989).
Pada hakekatnya pendidikan adalah suatu usaha penyiapan peserta didik

untuk menghadapi lingkungan hidup yang selalu mengalami perubahan.

Melalui pendidikan diharapkan dapat meningkatkan kualitas kehidupan pribadi

dan masyarakat. Pentingnya peran pendidikan telah dinyatakan dalam

penjelasan Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional. Pendidikan hendaknya dikelola secara profesional dan oleh tenaga-

tenaga yang mempunyai motivasi kerja yang tinggi, hal ini agar tujuan

pendidikan dapat dicapai.


Naisbit (1990) mengingatkan pentingnya pendidikan nilai bagi masa

depan. Pematangan materi agama saat memasuki era globalisasi ini sangat

diperlukan, sebagai penstabil kepribadian manusia dalam menyikapi

kehadirannya. Hal inilah yang seharusnya dicermati dan direspon sebagai

tantangan dan sekaligus peluang untuk mengembangkan pendidikan agama

Islam di Indonesia.

1
2

Madrasah mengandung arti tempat anak mengikuti proses pembelajaran.

Maksudnya di madrasah itulah anak menjalani proses belajar secara terarah,

terpimpin dan terkendali. Dengan demikian, secara teknis madrasah

menggambarkan proses pembelajaran secara formal yang tidak berbeda dengan

sekolah. Hanya dalam domain kultural, madrasah memiliki kekhususan. MA

adalah sekolah menengah keagamaan yang diselenggarakan oleh Departemen

Agama (PP No 29 Tahun1990 Pasal 4). Madrasah pada mulanya merupakan

lembaga pendidikan Islam tradisional yang dikenal dengan nama madrasah

“diniyah”. Namun madrasah tidak seperti pesantren yang sangat fleksibel dan

tidak memiliki sistem kelas dan tingkatan yang formal. Sistem madrasah

mengaplikasikan sistem kelas dan jenjang-jenjang pendidikan seperti sekolah-

sekolah modern.
Madrasah Aliyah sebagai lembaga pendidikan yang bersifat kompleks dan

unik memerlukan tingkat koordinasi yang tinggi. Keberhasilan madrasah

adalah keberhasilan kepala sekolah. Kepala sekolah yang berhasil apabila

mereka memahami keberadaan madrasah sebagai organisasi yang kompleks

dan unik, serta mampu melaksanakan peranan kepala sekolah sebagai seorang

yang diberi tanggung jawab untuk memimpin madrasah.


Dalam kajian manajemen pendidikan, kegiatan menggerakkan orang lain

ke arah dan tujuan adalah kepemimpinan (leadership), kepemimpinan yang

menentukan arah dan tujuan, memberikan bimbingan, dan menciptakan iklim

kerja yang mendukung pelaksanaan proses administrasi secara keseluruhan

dan kegiatan belajar mengajar.


Stoner (1986) menyatakan bahwa kepemimpinan adalah subyek penting

bagi manajer karena peran penting yang dimainkan pemimpin untuk efektifitas
3

kelompok dan organisasi. Sedang menurut Bartky ( 1956 ), kepemimpinan

pendidikan merupakan suatu bentuk tindakan dalam memberi pengaruh,

arahan, dan mempelopori terhadap kegiatan pendidikan yang terkait untuk

mewujudkan tujuan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 1992 pasal 3 ayat 3 ini

untuk menjelaskan bahwa pengelola satuan pendidikan terdiri atas kepala

sekolah, direktur, ketua, rektor dan pimpinan satuan pendidikan disebut sebagai

administrator, dan juga sebagai manajer pendidikan (Hersey & Blanchard,

1982).
Kepala sekolah sebagai manajer harus mampu mendorong, mengajak,

menuntun, menggerakkan semua orang yang berkerja sama dalam organisasi

sekolah agar proses belajar mengajar berjalan dengan lancar sesuai dengan

tujuan yang telah ditetapkan. Menurut Gorton (1976: 105) “scholls are

organized in order to facilitate the accomplishment of the objectives of efficient

and effective teaching and learning”. Sekolah sebagai suatu organisasi

pendidikan formal merupakan wadah kerja sama sekelompok orang (guru, staf,

kepala sekolah dan siswa) untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Pencapaian

tujuan sekolah, baik kuantitas maupun kualitasnya sangat tergantung pada

orang-orang yang terhimpun dalam lembaga tersebut.


Perilaku kepemimpinan kepala sekolah dalam mengarahkan,

mempengaruhi dan mempelopori guru-guru madrasah dalam upaya mencapai

tujuan program menggunakan dua gaya perilaku. Menurut Stoner (1986) yang

pertama, yaitu: perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada tugas (task

oriented behavior), yang mengarahkan dan mengawasi secara ketat bawahan

untuk menjamin agar tugas dilaksanakan secara memuaskan. Kedua, perilaku


4

kepemimpinan yang berorientasi pada karyawan atau hubungan antar manusia

(relationship oriented), yang berusaha lebih memotivasi karyawan dari pada

mensupervisi bawahan. Owens (1997) menyebutkan bahwa kepemimpinan

yang dapat diterima oleh bawahan yaitu kepemimpinan yang memberikan

sumber motivasi dan kepuasan kerja. Dalam hal ini perilaku kepemimpinan

kepala sekolah ikut mempengaruhi tingkat profesionalisme kerja guru.


Salah satu tenaga yang memegang peranan penting dalam pencapaian

tujuan pendidikan adalah guru. Guru bertindak sebagai fasilitator dan mediator

yang memungkinkan terciptanya kondisi yang kondusif bagi peserta didik

untuk belajar dan bertanggung jawab atas tercapainya hasil belajar peserta

didik. Oleh karena itu untuk memperoleh mutu pendidikan yang berkualitas

dicerminkan dengan menghasilkan peserta didik yang berprestasi, dalam hal ini

diperlukan guru yang bermutu. Dengan kata lain, guru harus profesional yang

dicirikan dengan: ahli di bidang teori dan praktek ilmu keguruan, senang

memasuki organisasi khususnya organisasi profesi keguruan, memiliki latar

pendidikan yang memadai, melaksanakan kode etik guru, memiliki otonomi

dan rasa tanggung jawab, memiliki rasa pengabdian kepada masyarakat dan

bekerja atas panggilan hati nurani.


Dalam kenyataannya di lapangan, tidak semua guru memiliki cirri-ciri

tersebut diatas. Hal ini berarti tidak semua guru mempunyai profesionalisme

yang memadai. Ketidak profesionalan guru ini dipengaruhi oleh berbagai

faktor baik faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal misalnya,

minatnya yang kurang untuk menjadi guru, motivasi kerjanya rendah,

kompetensinya yang rendah, dan lain sebagainya. Faktor eksternal yang


5

mempengaruhi profesionlisme guru rendah antara lain: iklim kerjanya yang

tidak kondusif, lingkungan kerjanya yang kurang memadahi, status guru yang

rendah, dan lain sebagainya.


Dalam upaya peningkatan mutu pendidikan, faktor sumber daya

manusianya perlu mendapat perhatian serius. Hal ini berarti profesionalisme

guru hendaknya dapat ditingkatkan. Profesionalisme guru dipahami sebagai

salah satu komponen yang amat penting sebagai bagian integral peningkatan

mutu, relevansi dan efesiensi pendidikan secara keseluruhan. Sekolah yang

baik dan berkualitas memanfaatkan pengetahuan dan kecakapan

profesionalisme guru dan kepala sekolah untuk menciptakan kondisi yang

memungkinkan setiap anak dapat mengembangkan potensinya secara optimal


( Suwaji, 2000).
Kenyataan menunjukkkan bahwa peningkatan mutu pendidikan saat ini

belum cukup berarti, kecuali pada beberapa sekolah dengan jumlah relatif

kecil (Umaedi, 1999). Salah satu indikator kekurang berhasilan ini ditunjukkan

antara lain dengan perolehan hasil ujian akhir siswa pada berbagai bidang studi

di Madrasah Aliyah yang tidak memperlihatkan kenaikan yang berarti, bahkan

boleh dikatakan konstan dari tahun ke tahun.


Kompetensi profesional merupakan kapasitas untuk melaksanakan

sejumlah perilaku yang saling berhubungan untuk menghasilkan suatu produk.

Dalam hal ini kualitas proses belajar mengajar sangat dipengaruhi oleh

kompetensi profesional guru. Kompetensi profesional guru yaitu kemampuan

seorang guru yang berkaitan dengan tugasnya memberikan materi pelajaran.

Dalam hal ini kompetensi profesional berkaitan dengan kemampuan guru

dalam penguasaan akademik (materi pelajaran) dan kemampuan mengajarnya.


6

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, hasil kajian proyek

pengembangan pendidikan guru (P3G) menetapkan 10 (sepuluh) karakteristik

kompetensi profesional seorang guru, yaitu: (1) menguasai bahan, (2)

mengelola program belajar mengajar, (3) mengelola kelas, (4) menggunakan

media, (5) menguasai landasan pendidikan, (6) mengelolah interaksi belajar

mengajar, (7) menilai prestasi siswa, (8) mengenal fungsi dan program layanan

bimbingan dan penyuluhan, (9) mengenal dan menyelenggarakan administrasi

sekolah, serta (10) memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil-hasil

penelitian guna keperluan pengajaran (Arikunto, 1993). Dengan demikian

sebagai seorang guru yang memiliki kompetensi profesional, maka guru

tersebut harus memiliki kompetensi yang berkaitan dengan tugas mengajar.


Supriadi (2001) menguraikan bahwa seseorang yang memiliki kompetensi

profesional yang rendah, mengisyaratkan bahwa seseorang tersebut memiliki

profesionalisme kerja yang rendah walaupun orang tersebut memiliki motivasi

kerja tinggi. Dalam hal ini kompetensi profesional harus ditunjukkan sebagai

tanda dimilikinya profesionalisme, karena kompetensi merupakan suatu

tujuan..
Megginson, Jennifer dan Paul (1993) menegaskan bahwa hasil produksi

akan meningkat manakala kompetensi profesionalnya meningkat. Peningkatan

kompetensi profesional berarti akan meningkatkan profesionalisme secara

langsung dan proporsional. Hal ini sejalan dengan pernyataan Djojonegoro

(1994), bahwa masih diperlukan upaya peningkatan mutu profesionalisme guru

dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pengelolaan proses belajar

mengajar.
7

Motivasi kerja guru merupakan salahsatu faktor yang memegang peranan

penting di dalam pencapaian tujuan pendidikan. Karena itu kepala sekolah

sebagai manajer pendidikan hendaknya berusaha meningkatkan

profesionalisme guru-guru yang dipimpinnya melalui perilaku

kepemimpinannya serta motivasi kerja guru. Menurut Burton,(dalam Pasaribu

dan Simanjutak 1983), pada garis besarnya motivasi dipengaruhioleh dua

faktor yaitu: faktor instrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor instrinsik

berhubungan dengan faktor yang dating dari dalam individu sendiri. Sementara

itu faktor ekstrinsik berkaitan dengan faktor yang timbul dari luar individu itu

sendiri. Secara lebih tegas Frederick Herzberg yang dikutip oleh Owens (1995)

menyatakan bahwa motivasi dapat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu:

Motivational factors dan Maintenance factors atau Hygine factors.


Motivational factors meliputi: prestasi kerja, pengakuan, pekerjaan itu

sendiri, tanggung jawab dan kenaikan pangkat. Sedangkan yang termasuk

Maintenance factors adalah gaji, peluang untuk berkembang, hubungan

interpersonal dengan teman sejawat, cara mensupervisi, kebijakan dan

administrasi, kondisi kerja, kehidupan pribadi, dan keamanan kerja.


Dalam hal ini, motivasi kerja guru yang diduga dapat mempengaruhi

profesionalisme guru. Motivasi dapat diartikan sebagai usaha pemberian

dorongan pada seseorang agar mau berbuat sesuatu. Motivasi adalah suatu

keadaan dalam individu yang menyebabkan seseorang melakukan kegiatan

tertentu untuk mencapai tujuan yang tertentu pula (Pasaribu & Simanjutak,

1983). Oleh karena itu motivasi guru perlu dibangun, dalam hal ini motivasi

merupakan dorongan untuk bekerja.


8

Menurut Sergiovanni (1987) motivasi adalah keinginan (desire) dan

kemauan (willingness) seseorang untuk mengambil keputusan , bertindak dan

menggunakan seluruh kemampuan yang ada pada dirinya, baik kemampuan

psikis, fisik maupun daya untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Mengingat

pentingnya motivasi guru ditumbuhkan terhadap pekerjaanya, dalam hal ini

kepala sekolah harus selalu mendorong untuk terciptanya peningkatan

profesionalisme guru tersebut.


Madrasah Aliyah sebagai jalur pendidikan sekolah berciri khas keagamaan

(Islam), yang memiliki peranan yang cukup strategis dalam menyikapi

kebutuhan akan ilmu pengetahuan umum dan pendidikan nilai serta agama

dalam waktu yang bersamaan. Oleh karena itu masalah profesionalisme guru

masih menjadi persoalan utama dalam peningkatan mutu pendidikan madrasah.

Hal ini akan mempengaruhi pengembangan pendidikan di madrasah.

Berdasarkan hasil uraian di atas dapat dikatakan, bahwa profesionalisme guru

di madrasah aliyah dipengaruhi oleh tiga variable maka peneliti terdorong

untuk mengetahui Hubungan pengaruh perilaku kepemimpinan kepala

sekolah, kompetensi profesional guru dan motivasi kerja guru terhadap

profesionalisme guru di Madrasah Aliyah Darut Taqwa Sengonagung

Purwosari Kabupaten Pasuruan.


B. Rumusan Masalah
Berpijak pada latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan dalam

penelitian ini adalah apakah ada hubungan pengaruh perilaku kepemimpinan

kepala sekolah, kompetensi profesional guru dan motivasi kerja guru terhadap

profesionalisme guru di Madrasah Aliyah Darut Taqwa Sengonagung

Purwosari Kabupaten Pasuruan ?


9

Bertitik tolak dari pokok masalah tersebut, maka dapat dibuat beberapa

inti masalah sebagai berikut:


1. Berapa besar pengaruh perilaku kepemimpinan kepala sekolah terhadap

kompetensi profesional guru di Madrasah Aliyah Darut Taqwa Sengonagung

Purwosari Kabupaten Pasuruan?


2. Berapa besar pengaruh perilaku kepemimpinan kepala sekolah terhadap

motivasi kerja guru di Madrasah Aliyah Darut Taqwa Sengonagung

Purwosari Kabupaten Pasuruan?


3. Berapa besar pengaruh perilaku kepemimpinan kepala sekolah terhadap

profesionalisme guru di Madrasah Aliyah Darut Taqwa Sengonagung

Purwosari Kabupaten Pasuruan?


C. Tujuan Penelitian
Berangkat dari inti masalah penelitian tersebut di atas, penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui hubungan pengaruh perilaku kepemimpinan

kepala sekolah, kompetensi profesional guru dan motivasi kerja guru terhadap

profesionalisme guru di Madrasah Aliyah Darut Taqwa Sengonagung

Purwosari Kabupaten Pasuruan. Bertitik tolak dari tujuan pokok tersebut, maka

dapat dibuat beberapa tujuan penelitian sebagai berikut:


1. Untuk mengetahui berapa besar pengaruh perilaku kepemimpinan kepala

sekolah terhadap kompetensi profesional guru di Madrasah Aliyah Darut

Taqwa Sengonagung Purwosari Kabupaten Pasuruan?


2. Untuk mengetahui berapa besar pengaruh perilaku kepemimpinan kepala

sekolah terhadap motivasi kerja guru di Madrasah Aliyah Darut Taqwa

Sengonagung Purwosari Kabupaten Pasuruan?


3. Untuk mengetahui berapa besar pengaruh perilaku kepemimpinan kepala

sekolah terhadap profesionalisme guru di Madrasah Aliyah Darut Taqwa

Sengonagung Purwosari Kabupaten Pasuruan?


10

4. Hipotesis Penelitian
Atas dasar tujuan penelitian yang telah ditetapkan di atas, maka secara

umum hipotesis penelitian yang diajukan dalam penelitian ini adalah bahwa

terdapat pengaruh perilaku kepemimpinan kepala sekolah terhadap kompetensi

profesional guru dan motivasi kerja guru terhadap profesionalisme guru di

Madrasah Aliyah Darut Taqwa Sengonagung Purwosari Kabupaten Pasuruan.

Berdasarkan hipotesis tersebut dapat diajukan hipotesis-hipotesis secara lebih

rinci sebagai berikut:


1. Ada pengaruh perilaku kepemimpinan kepala sekolah terhadap

kompetensi profesional guru di Madrasah Aliyah Darut Taqwa

Sengonagung Purwosari Kabupaten Pasuruan.


2. Ada pengaruh perilaku kepemimpinan kepala sekolah terhadap motivasi

kerja guru di Madrasah Aliyah Darut Taqwa Sengonagung Purwosari

Kabupaten Pasuruan.
3. Ada pengaruh perilaku kepemimpinan kepala sekolah terhadap

profesionalisme guru di Madrasah Aliyah Darut Taqwa Sengonagung

Purwosari Kabupaten Pasuruan.


D. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan yang diharapkan dapat diperoleh dari hasil

penelitian ini adalah:


1. Bagi kepala Madrasah Aliyah Darut Taqwa Sengonagung Purwosari

Kabupaten Pasuruan. sebagai bahan masukan untuk mengembangkan dan

meningkatkan mutu pendidikan dengan tingkat profesionalisme guru yang

tinggi melalui perilaku kepemimpinan madrasah.


2. Dapat digunakan sebagai bahan bagi guru untuk mempelajari diri dalam

upaya meningkatkan kualitas pendidikan melalui profesionalismenya.


3. Sebagai sumbangan pikiran terhadap upaya peningkatan profesionalisme

guru dalam melaksanakan tugasnya bagi peningkatan mutu pendidikan


11

khususnya di Madrasah Aliyah Darut Taqwa Sengonagung Purwosari

Kabupaten Pasuruan.
E. Asumsi Penelitian
Penelitian ini menggunakan beberapa asumsi, yaitu :
1. Perilaku kepemimpinan dapat dipersepsi oleh para pemimpin atau

bawahan yang merasakan langsung akibat dari kepemimpinan itu (Hoy &

Miskel, 1997).
2. Guru Madrasah Aliyah Darut Taqwa Sengonagung Purwosari Kabupaten

Pasuruan, dianggap telah memahami konsep-konsep profesionalisme guru,

dan perilaku kepemimpinan.


3. Guru Madrasah Aliyah Darut Taqwa Sengonagung Purwosari Kabupaten

Pasuruan yang menjawab seluruh butir instrument, dianggap mampu

menjawab sesuai dengan perasaan atau pendapatnya dengan jujur.


F. Definisi Operasional
1. Perilaku Kepemimpinan
Banyak pakar mendefinisikan tentang kepemimpinan dan mereka

berbeda-beda dalam mendefinisikannya. Seperti Yulk (1994:2) mengemukakan

bahwa”para peneliti biasanya mendefinisikan kepemimpinan sesuai prespektif-

prespektif individual dan aspek dari fenomena yang paling menarik perhatian

mereka, yaitu kaitannya dengan cirri-ciri individual, perilaku, pengaruh

terhadap orang lain, pola-pola interaksi, hubungan peran, tempatnya pada suatu

posisi administrasi, serta persepsi oleh orang lain mengenai pengaruh”.


Kotler (1988:16) mengemukakan dalam terjemahan bebas”kata

kepemimpinan digunakan dalam dua hal mendasar dalam percakapan sehari-

hari: (1) Mengacu pada proses gerakan suatu kelompok orang dalam arah yang

sama tanpa paksaan, dan (2) mengacu pada orang yang memainkan peran

dimana kepemimpinan (dalam definisi pertama) diharapkan”. Kepemimpinan

merupakan “perilaku seorang individu yang memimpin aktivitas suatu


12

kelompok kesuatu tujuan yang ingin dicapai bersama (sharedgoal)”(Yulk,

1994:17).
Kepemimpinan adalah sebuah proses member arti (pengarahan yang

berarti) terhadap usaha kolektif, dan yang mengakibatkan kesediaan untuk

melakukan usaha yang diinginkan untuk mencapai sasaran, (Jacob & Jacques,

dalam Yulk, 1994).


Kepemimpinan berarti kemampuan dan kesiapan yang dimiliki oleh

seseorang untuk mempengaruhi mendorong, mengajak, menuntun,

menggerakkan orang lain agar ia menerima pengaruh itu dan selanjutnya

berbuat sesuatu yang dapat membantu pencapaian tujuan yang telah ditentukan

sebelumnya.
Menurut Greenberg dan Baron (1995), bahwa perilaku kepemimpinan

bisa berorientasi pada tugas dan juga bisa berorientasi pada kemanusiaan.

Perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada tugas adalah kepemimpinan

yang lebih menaruh perhatian kepada perilaku pemimpin yang mengarah pada

penyusunan rencana, penetapan pola organisasi, adanya saluran komunikasi,

metode kerja, dan prosedur pencapaian tujuan yang jelas (Hezberg, 1991).
Sedangkan perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan

kemanusiaan adalah kepemimpinan yang menaruh perhatian dan mengarah

pada hubungan kesejawatan, saling mempercayai, saling menghargai, dan

hubungan yang penuh kehangatan antara pimpinan dan stafnya (Bernard,

1988).
Dengan demikian perilaku kepemimpinan dalam penelitian ini

menekankan pada tindakan dan respon kepala sekolah yang dipersepsi oleh

guru dalam hubungan pribadi dan hubungan formal. Perilaku Kepemimpinan

Kepala sekolah terdiri atas dua orientasi yaitu: perilaku kepemimpinan yang
13

berorientasi pada tugas dan perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada

hubungan-hubungan manusiawi. Pengukuran perilaku kepemimpinan ini dapat

diperoleh dengan menyebarkan kuesioner.


2. Kompetensi profesional guru
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (WJS. Purwadarmita),

kompetensi berarti kewenangan kekuasaan untuk menentukan atau

memutuskan sesuatu hal. Pengertian dasar kompetensi (competency) yakni

kemampuan atau kecakapan. Kompetensi merujuk pada performance atau

perbuatan yang bersifat rasional dan memenuhi spesifikasi tertentu da dalam

pelaksanaan tugas-tugas kependidikan ( Depdikbud, 1986). Broke and Stone,

1975 (dalam Usman, 2002) mengartikan kompetensi sebagai gambaran hakikat

kualitatif dari pelaku guru yang tampak sangat berarti.


Jelasnya kompetensi mengarah pada perilaku-perilaku khusus dengan

cara-cara yang relevan dengan tugas-tugas tertentu. Harris (1979)

mengemukakan bahwa kompetensi menggambarkan perilaku-perilaku yang

dikaitkan dengan penampilan-penampilan yang diinginkan dan juga

menggambarkan konteks pekerjaan dimana perilaku-perilaku itu harus

diwujudkan. Kompetensi sebagai suatu kumpulan prilaku yang mengandung

pola penampilan “yang khas” dapat menggambarkan pelaksanaan tugas yang

relevan. Dalam hal ini yang dimaksud dengan kompetensi profesional guru

adalah suatu indicator kemampuan guru dalam berbuat, yang dapat diamati dan

merupakan konsep kemampuan yang mencakup aspek-aspek kognitif, afektif,

dan psikomotorik dalam melaksanakan tugas kependidikan yang diperoleh

melalui pendidikan dan latihan (Saputro, 1993).


14

Dengan demikian kompetensi profesional guru adalah sejumlah

kecakapan yang dikuasai guru Madrasah Aliyah Darut Taqwa dalam

melaksanakan tugas profesionalnya. Sejumlah kemampuan tersebut tertuang

dalam sepuluh kompetensi profesional guru tercermin dalam tingkah laku guru

selama melaksanakan tugas profesinya yaitu dalam hal merencanakan

pengajaran, melaksanakan pengajaran dan menilai pengajaran.

3. Motivasi kerja guru


Motivasi berasal dari kata motif yang berarti tenaga dari dalam diri

manusia yang menyebabkan individu mau bergerak atau bekerja (Soerjabrata,

1981). Senada dengan hal tersebut Sardiman (1990) berpendapat, motif adalah

daya pendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Dalam pengertian yang

lebih umum Hoy dan Miskel (1987) mengemukakan bahwa motivasi mengacu

pada proses menentukan pilihan oleh seorang individu di antara berbagai

bentuk aktivitasnya yang bersifat sukarela. Dengan demikian, motivasi dapat

dikatakan sebagai daya penggerak seseorang untuk melakukan aktivitas-

aktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan.


Motivasi kerja adalah yang menyebabkan, menyalurkan dan

menunjang perilaku orang (Stoner, 1992). Terjemahan Alfonsus Sirait,

mengemukakan bahwa Motivasi juga merupakan suatu dorongan untuk

melakukan suatu tindakan. Menurut Buford dan Bedeian

(1988:145)”Motivation is a predisposition to behave in a purposive manner to

achieve specific, unmet needs”. Dalam terjemahan bebas motivasi merupakan

penyebab sesorang berperilaku dalam tujuan tertentu untuk mencapai

kebutuhan yang belum tercapai. Motivasi kerja merupakan suatu dorongan


15

untuk melakukan suatu pekerjaan atau performansi seseorang. Motivasi kerja

yang tinggi akan menyebabkan seseorang melakukan pekerjaannya dengan

lebih semangat, karena dalam melakukan pekerjaan itu dilaksanakan dengan

senang hati serta dorongan yang kuat untuk melakukannya (Gorton, 1976).
Motivasi kerja guru yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

keseluruhan kondisi instrinsik maupun ekstrinsik yang menjadi tenaga

penggerak pada diri guru Madrasah Aliyah Darut Taqwa dalam rangka

memenuhi kebutuhan atau untuk melaksanakan tugasnya. Adapun kondisi yang

menjadi tenaga penggerak tersebut meliputi: prestasi kerja, pengakuan,

pekerjaan itu sendiri, tanggung jawab, kenaikan pangkat, gaji/penghasilan,

kemungkinan untuk bertumbuh, hubungan dengan bawahan, status/kedudukan,

hubungan dengan atasan, hubungan dengan teman sekerja,teknik mensupervisi,

kebijakan dan administrasi, kondisi kerja, kehidupan pribadi dan keamanan

kerja. Kondisi-kondisi tersebut dapat diukur dengan menggunakan kuesioner.


4. Profesionalisme guru
Profesionalisme guru adalah karakteristik pendidik yang mampu

mengakui jabatan atau tugas yang dicirikan dengan ahli di bidang teori dan

praktek ilmu keguruan, senang memasuki organisasi khususnya organisasi

profesi keguruan, memiliki latar belakang pedidikan keguruan yang memadai,

melaksanakan kode etik guru, memiliki otonomi, memiliki rasa tanggung

jawab, memiliki rasa pengabdian kepada masyarakat dan bekerja yang

didasarkan atas panggilan hati nurani.


Adapun beberapa kompetensi profesionalisme yang di miliki oleh

seorang guru adalah sebagai berikut:

1. Kompetensi Pedagogik
16

Kompetensi pedagogik meliputi pemahaman guru terhadap peserta

didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan

pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang

dimilikinya.
2. Kompetensi kepribadian
Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan personal yang

mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa,

menjadi teladan bagi peserta didik, dan beakhlak mulia.


3. Kompetensi sosial
Kompetensi sosial merupakan kemampuan guru untuk berkomunikasi

dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesame pendidik, tenaga

kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.


4. Kompetensi profesional
Kompetensi profesional merupakan penguasaan materi pembelajaran

secara luas dan mendalam, yang mencakup penguasaan materi kurikulum mata

pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi materinya, serta

penguasaan terhadap struktur dan metodologi keilmuannya.

Anda mungkin juga menyukai