Anda di halaman 1dari 7

NAMA : DELYA LUSIANA

NPM : 200110170068
KELAS :D
MATKUL : PRODUKSI TERNAK PERAH

PERAN USAHA PERBIBITAN DALAM PENGEMBANGAN TERNAK

SAPI PERAH DI INDONESIA

Perbibitan merupakan upaya untuk meningkatkan populasi dan kualitas

genetic ternak. Industry perbibitan merupakan upaya peningkatan populasi dan

kualitas berskala besar dengan menggunakan teknologi perbibitan. Berdasarkan

peraturan menteri pertanian No. NOMOR : 36/Permentan/OT.140/8/2006 Tentang

system perbibitan ternak nasional, yaitu perbibitan, bibit ternak, dan benih.

Perbibitan merupakan kegiatan budidaya menghasilkan bibit ternak. Bibit

ternak adalah semua hasil pemuliaan ternak yang memenuhi persyaratan tertentu

untuk dikembangbiakan.

Benih adalah pemuliaan ternak yang berupa semen, sel, telur tetas dan

embrio.

Kegiatan perbibitan dimaksudkan untuk menghasilkan bibit ternak yang


baik dan merupakan upaya untuk menyelamatkan plasma nutfah atau generasi

ternak agar tidak punah.

Perbibitan sapi perah bertujuan untuk meningkatkan populasi dan kualitas

genetic sapi perah untuk melestarikan sapi perah tersebut. Hasil perbibitan dari sapi

perah tentunya akan mengahsilkan bibit sapi perah. Bibit sapi perah adalah

semuasapi perah hasil pemuliaan ternak yang emmenuhi persyaratan tertentu untuk
dikembangbiakan (Peraturan Menteri Pertanian Nomor

55/Permentan/OT.140/10/2006). Jadi untuk menghasilkan bibit sapi perah yang

memenuhi syarat dan berkualitas harus melalui bebrapa tahap agar menghasilkan

bibit sapi perah yang berkualitas baik. Tahapan yang dimaksud adalah seperti

pemerintah telah berupaya untuk meningkatkan pasokan bibit sapi perah ke

peternak, baik itu dengan mensuplai semen beku atau mensuplai embrio beku.

Namun, yang paling efektif yang dijalankan oleh para peternak adalah dengan

introdusir semen beku dengan inseminasi buatan. Ada beberapa unit pelaksana

teknis (UPT) pemerintah pusat yang menangani perbenihan (semen dan embrio

beku) dan perbibitan ternak, yaitu perbenihan ada abalai besar inseminasi buatan

(BBIB) Singosari dan balai insemninasi buatan (BBIB) lembang memproduksi

semen beku, serta balai embrio transfer (BET) Cipelang yang memproduksi embrio

beku, dan untuk perbibitan sapi perah ada BBPTU sapi perah yang memproduksi

bibit sapi perah unggul.

Jika total populasi sapi perah sebanyak 376.534 ribu ekor tahun 2009, dan

diperkirakan yang produktifnya 60% (225.920 ekor) maka diperkirakan kebutuhan

semen untuk inseminasi buatan adalah 451.840 dosis semen.

Semen beku mampu memenuhi permintaan akan semen beku untuk

keperluan inseminasi buatan. Berdasarkan data yang dikeluaran BIB-Lembang dan

BIBB-Singosari menunjukan bahawa masing-masing balaai mampu memproduksi

semen beku sebanyak 237.157 dosis dan 497.009 dosis bila dsatukan mencapai

734.166 dosis pada tahun 2009.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa rata-rata per conception

(rata-rata keberhasilan sampai betina sapi perah itu bunting) adalah 2 (Utami, Sri,

dkk., 2004 dan Nababan, 2008). Maka semen yang diintrodusir ke betina akan
menghasilkan jumlah betina bunting 451.840 ekor. Hasil riset menunjukan tingkat

kegagalan kelahiran pada sapi adalah 10-15 %, maka pedet yang dihasilkan

sebanyak 380.064 ekor. Jika, rasio kelahiran pedet jantan dan betina adalah 50;50,

maka pedet betina yang akan dihasilkan sebanyak 192.032 ekor sebagai ternak

pengganti (Replacemet stock). Namun berdasrakan kenyataannya dari 2002-2009

data Direktorat Jendral Peternakan (2009) menunjukan bahwa populasi sapi perah

sekitar 350-370 ribu ekor, padahal apabila dilihat angka produksi semen beku yang

dihasilkan 2 balai seharusnya rata-rata populasi sapi meningkat 190 ribu ekor/tahun.

Kondisi tersebut harus dilakukan penelitian lebih lanjut tingkat kegagalan kelahiran

dan kematian pedet/tahunnya. oleh, sebab itu peranan pengembangan perbibitan

sapi perah bukan hanya dilakukan oleh pemerintah saja tetapi harus oleh pelakunya

juga, seperti koperasi persusuan/KUD dengan melakukan Replacement stock

misalnya dengan melakukan rearing/pembesaran pedet untuk kepentingan

Replacement stock , melakukan impor bibit sapi perah. Bagi para peternak dijawa

barat cenderung tidak memelihara pedet betina untuk Replacement stock dan tidak

adanya recording sapi perah ditingkat peternak yang semakin memperburam

kualitas bibit sapi perah.

Jika usaha perbibitan (rearing) sapi perah dibandingkan dengan usaha

produksi susu sapi perah, usaha perbibitan mempunayi nilai finansial. Hal tersebit

bisa digambarkan jika usaha perbibitan pedet betina sapi perah 4 ekor dengan

pemeliharaan 3 ekor sapi laktasi. Hasilnya, sapi perah laktasi selama 18 bulan

belum mampu menghasilkan keuntungan karena tingginya biaya investasi,. Namun

3 tahun kedepan akan memberikan keuntungan. Sedangkan usaha perbibitan

sebanyak ekor pedet betina selama pemeliharaan 18 bulan diharpkan bobot dara

mencapai 300 kg dan dapat bunting pada umur 15-16 buan sehingga ketika dijual
umur 20 bulan telah bunting sekitar 4-5 bulan. Jadi, sebenarnya peternak bisa

melakukan perbibitan sambil melakukan produksi susu,, dan akan mendapatkan

hasil dari penjualan susu dan pedet jantan, dan akan mendapatkan juga income dari

penjualan dara bunting yang dipelihara sejak pedet (Firman, dkk. 2010)

DAFTAR PUSTAKA

Firman, Achmad. 2010. Agribisnsi Sapi Perah : Dari Hulu Sampai Hilir. Draft

Buku Teks. Fakultas Peternakan, Unpad. Jatinangor.

Fakultas Peternakan Unpad. 2006. Monitoring Dan Evaluasi Pembangunan

Peternakan Tahun 2006. Kerjasama Fakultas Peternakan Unpad Dengan

Direktorat Jendral Peternakan. Jatinangor.

Nababan, Randy Leonardus. 2008. Usaha Pemeliharaan Sapi Perah di PT. Taurus

Dairy Farm, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi. Fakultas

Peternakan, Universitas Jendral Soedirman Purwokerto.

Sri Utami, Siswandi Dan Abungamar Yahya. 2004. Lecture Note Manajemen

Ternak Perah. Fakultas Peternakan Universitas Jendral Soedirman.

Purwokerto
EVALUASI PENAMPILAN REPRODUKSI SAPI PERAH

(STUDI KASUS DI PERUSAHAAN PETERNAKAN SAPI PERAH KUD

SINARJAYA )

Untuk mendapatkan gambaran mengenai penampilan performans

reproduksi sapi perah FH pada berbagai periode laktasi dalam suatu manajemen

pemeliharaan diperusahaan peternakan sapi perah. populasi sapi perah sebanyak

2.255 ekor sapi FH, dengan jumlah sapi induk 1.500 ekor (Anonimous, 2008).

Metode penelitian adalah dengan catatan reproduksi induk sapi perah FH

betina produktif dengan meliputi catatan masa kosong, selang beranak, dan juga

catatan perkawinaan tiap individu induk pada berbagai periode laktasi. Penelitian

dilakukan dengan penelitian deskriptif diaman pengambilan data dilakukan melalui

metode penelitan sensus terhadap induk yang telah beranak 2 kali.pemilihan sample

dan pengumpulan data dilakukan menurut metode sampling. Metode sampling yang

digunakan adalah purposive sampling (berdasarkan pertimbangan). Pertimbangan

yang diambil adalah bahwa individu induk yang dapat diambil sebagai sampel

adalah seluruh induk yang memiliki catatan reproduksi lengkap dari 2 kejaidan

beranak berturut-turut.

Perubahan yang akan diamati yaitu penampilan sifat reproduksi seperti

selang beranak (Calving Interval) yang dihitung dari jarak waktu antara dua

kejadian beranak yang berurutan, dan satuan yang digunakan adalah hari. Hasil

analisis adata dari catatan 2 kejadian beranak yang berurutan selama 2003-2005

menunjukan bahwa sapi FH betina yang dijadikan sampel memiliki selang beranak

310-557 hari dengan mode 398 ± 42,15 hari atau 31,1 bulan dan untuk selang
beranak yang ideal adalah 12-14 bulan dan selang beranak di KUD Sinarjaya

masih dalam kisaran ideal.

Masa kosong kandang (Days Open) yang dihitung dari tanggal beranak

hingga tanggal perkawinan terakhir yang menghasilkan kebuntingan, dan satuan

yang digunakan adalah hari. Masa kosong kandang di KUD Sinarjaya adalah 37-

267 hari. Subandrio dan sitorus (1979) menyatakan bahwa masa kosong sapi perah

FH didaerah tropis berkisar antara 91-164 hari. Masa kosong kandang disebabkan

oleh keputusan peternak yang terlalu dini mengawinkan sapi betinanya setelah sapi

tersebut beranak. Sedangkan tingginya masa kosong disebabkan karena kesulitan

untuk mendapatkan kebuntingan setelah beberapa kali dikawinkan. Ketidakyakinan

peternak dalam 1 kali mengkawinkan sapinya adalah alasan mengapa perrkawinana

dilakukan sesegera mungkin setelah sapi betina beranak, pada beberapa kondisi

mengawinkan sapi betina pada saat birahi pertama setelah beranak dapat

menimbulkan risiko kegagalan reproduksi.

Jumlah kawin per kebuntingan (Service Per Conception) yaitu jumlah

perkawinan yang telah dilakukan untuk menghasilkan suatu kebuntingan dari setiap

individu. Menurut Ball And Peters (2004) menyatakan bahwa rata-rata angka

pencapaian jumlah kawin perkebuntingan yang dianggap normal adalah 1,6-2,0 kali

atau idealnya seekor sapi betina harus mengalami kebuntingan setelah menjalani 1-

2 kali proses perkawinan. Apabila perkawinan lebih dari 3 kali maka adanya

gangguan reproduksi.

Perkawinan pertama setelah beranak (First Service Postpartum) adalah

jarak waktu sejak sapi beranak hingga dikawinkan kembali untuk pertama kalinya

setelah beranak. Data dari Sinarjaya selama 2003-2005 terhadap 197 ekor induk

menunjukan rata-rata mulai dikawinkan dengan interval 32-188 hari. Menurut Ball
And Peters 2004) menyatakan bahwa untuk menghindari gangguan reproduksi dan

mendapatkan angka konsepsi yang tinggi, maka sebaiknya sapi betina mulai

dikwainkan aling sedikit 60 hari setelah melahirkan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonious, 2005. Catatan Reproduksi Sapi Perah FH. Tatat Usaha KUD Sinarjaya

. Ujungberung, Bandung.

Ball, P.J., and Peters, A.R., 2004. Reprodction in Cattle. 3nd ed. Blackwell Science,

Inc.

Subandrio Dan P. Sitorus., 1979. Performans Turunan Pertama Hasil IB Mani Beku

Impor Dengan Sapi Perah Fries Holland Local. Dalam Proccesings

Seminar Penelitian Dan Penunjang Pengembangan Peternakan,

Lembang Penelitian Peternakan, Badan Penelitian Dan Pengembangan

Pertanian.

Anda mungkin juga menyukai