Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pengalaman Spiritual


2.1.1 Definisi Spiritual
Spiritualitas (spirituality) merupakan sesutu hal yang dipercaya oleh
seseorang yang ada sangkut pautnya dengan kekuatan yang lebih tinggi (tuhan), yang
menimbulkan suatu kebutuhan serta kecintaan terhadap adanya tuhan, dan
permohonan maaf atas segala kesalahan yang pernah diperbuat (Hidayat, 2014: 270),
sedagkan pengalaman spiritual adalah pengalaman akan kejadian yang berhubungan
dengan spiritualitas (Cahyono, 2011: 3). Spiritual memiiki beberapa aspek yaitu,
berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui, menemukan arti dan tujuan hidup,
menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri sendiri
(Mubarak, et.al, 2015: 60).

2.1.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Spiritual


Menurut Taylor dan Craven (1997, dalam Mubarak, et.al, 2015: 61-62), faktor-
faktor yang mempengaruhi spiritual seseorang yaitu :
1. Usia
Usia perkembangan dapat menentukan proses pemenuhan kebutuhan spiritual,
karena setiap tahap perkembangan memiliki cara meyakini terhadap tuhan.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap anak-anak, ditemukan bahwa mereka
mempunyai persepsi tentang tuhan dan bentuk sembahyang yang berbeda
menurut usia, seks, agama, dan kepribadian anak.
2. Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan terdekat dan pengalaman pertama anak dalam
mempersiapkan kehidupan di dunia, maka pandangan anak pada umumnya
diwarnai oleh pengalaman mereka dalam berhubungan dengan saudara dan
orang tua. Keluarga memiliki peran yang cukup strategis dalam memenuhi
kebutuhan spritual, karena keluarga memiliki ikatan emosional yang kuat dan
selalu berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari.
3. Latar belakang etnik dan budaya
Ras atau suku memiliki keyakinan atau kepercayaan yang berbeda, sehingga
proses pemenuhan kebutuhan spiritual pun berbeda sesuai dengan keyakinan
yang dimiliki.
4. Pengalaman hidup sebelumnya
Pengalama hidup baik yang positif maupun pengalaman negatif dapat
memengaruhi spiritual seseorang. Pengalaman hidup yang menyenangkan
seperti pernikahan, kelulusan, atau kenaikan pangkat menimbulkan syukur
pada tuhan. Peristiwa buruk dianggap sebagai suatu cobaan yang diberikan
Tuhan pada manusia untuk menguji imannya.
5. Krisis dan perubahan
Krisis sering dialami ketika seseorang menghadapi penyakit, penderitaan,
proses penuaan, kehilangan, dan bahkan kematian. Bila klien dihadapkan pada
kematian, maka keyakinan spiritual dan keinginan untuk sembahyang atau
berdoa lebih meningkat.
6. Terpisah dari ikatan spiritual
Hilangnya kebiasaan sehari-hari akibat sakit atau hilangnya hubungan dengan
sosialnya membuat individu terpisah atau kehilangan kebebasan, sehingga yang
biasanya memberikan dukungan setiap saat diinginkan tidak ada lagi.
Terpisahnya individu dari ikatan spiritual beresiko terjadinya perubahan fungsi
spiritual.
7. Isu moral terkait dengan terapi
Pada kebanyakan agama, proses penyembuhan dianggap sebagai cara tuhan
untuk menunjukkan kebesaran-Nya walaupun ada juga agama yang menolak
intervensi pengobatan, dimana prosedur pengobatan sering kali dapat
dipengaruhi oleh agama.
8. Agama yang dianut
Keyakinan terhadap agama tertentu yang dimiliki oleh seseorang dapat
menentukan arti pentingnya kebutuhan spiritual. Adanya kegiatan keagamaan
dapat selalu mengingatkan keberadaan dirinya dengan tuhan, dan selalu
mendekatkan diri kepada penciptanya.
2.1.3 Konsep yang Terkait dengan Spiritual
Sulitnya membedakan antara spiritual dengan aspek-aspek lain yang ada dalam
diri manusia, khususnya membedakan spiritual dari agama. Selain itu perlunya
pemahaman dan perbedaan dimensi spiritual dengan dimensi psikologi, serta
memperkirakan bagaimana kebudayan dengan spiritual saling berhubungan. Berikut ini
penjelasan mengenai konsep yang terkait dengan pengalaman spiritual menurut
(Mubarak et.al, 2015: 63-64).
1. Peran Keluarga
Peran norang tua merupakan hal yang sangan menentukan dalam
perkembangan spiritual anak. Hal ini mencakup apa yang dipelajari anak
mengenai Tuhan, kehidupan, diri sendiri dari perilaku orang tua mereka.
Karena keluarga merupakan lingkungan terdekat dan pengalaman pertama
anak dalam mempersiapkan kehidupan di dunia.
2. Peran Agama
Agama merupakan suatu sistem kepercayaan dan praktik yang berhubungan
dengan Yang Maha Kuasa. Agama sebagai suatu pencari kebenaran tentang
cara-cara yang berhubungan dengan korban atau persembahan. Agama dan
spiritual merupakan hal yang berbeda, dimana agama merupakan sebuah
konsep yang lebih sempit daripada spiritual. Sedangkan spiritual lebih mengacu
pada suatu bagian dalam diri manusia, yang berfungsi untuk mencapai makna
hidup melalui hubungan intrapersonal, interpersonal, dan transpersonal. Jadi
dapat dikatakan agama merupakan jembatan menuju spiritual yang membantu
cara berpikir, merasakan, dan berprilaku serta membantu seseorang
menemukan makna hidup. Sementara praktik religi merupakan cara seorang
individu untuk mempraktekkan spiritualnya.
3. Peran Kebudayaan
Kebudayaan merupakan kumpulan cara hidup dan berpikir yang dibangun oleh
sekelompok orang dalam suatu daerah tertentu. Kebudayaan terdiri atas niali,
kepercayaan, tingkah laku sekelompok masyarakat. Kebudayaan juga meliputi
perilaku, peran dan praktik keagamaan yang diwariskan turun-temurun.
4. Peran Dimensi psikologi
Dimensi psikologi berhubungan dengan hubungan antar manusia seperti
berduka, kehilangan, dan permasalahan emosional. Sementara dimensi spiritual
merupakan segala hal dalam diri manusia yang berhubungan dengan pencarian
makna, nilai-nilai, dan hubungan dengan yang Maha Kuasa.

2.1.4 Karakteristik Spiritual


Karakteristik spiritual menurut Mubarak, et.al, (2015: 64-65) terdapat empat aspek
yaitu :
1. Hubungan dengan diri sendiri, sebagai kekuatan dalam dan self reliance yang
tergambar dalam pengetahuan diri ( siapa dirinya dan apa yang dapat
dilakukannya) dan sikap (percaya diri sendiri, percaya pada kehidupan/masa
depan, ketenangan dan keselarasan dengan diri sendiri.
2. Hubungan dengan alam, sebagai wujud harmoni dengan cara mengetahui
tentang alam, iklim, margasatwa, dan berkomunikasi dengan alam (berjalan
kaki, bertanam), serta mengabadikan dan melindungi alam.
3. Hubungan dengan orang lain sebgai harmoni melalui berbagai waktu
pengetahuan, dan sumber secara timbal balik, serta mengasuh anak, orang tua,
dan orang sakit, meyakini kehidupan dan kematian (mengunjungi, melayat).
Sementara yang tidak harmonis misalnya konflik dengan orang lain, resolusi
yang menimbulkan ketidak harmonisan dan friksi.
4. Hubungan dengan ketuhanan, berupa agamis atau tidak agamis yaitu
sembahyang/berdoa/meditasi, perlengkapan keagamaan, dan bersatu dengan
alam.
Oleh karenanya dapat disimpulkan bahwa seseorang terpenuhi kebutuhan akan
pengalaman spiritualnya apabila mampu :
1. Merumuskan arti personal yang positif tentang tujuan keberadaannya
didunia
2. Mengembangkan arti penderitaan dan meyakini hikmah dari suatu
kejadian atau penderitaan
3. Menjalin hubungan positif dan dinamis melalui keyakinan, rasa
percaya, dan cinta
4. Membina integritas personal dan merasa diri berharga
5. Merasa kehidupan yang terarah yang terlihat melalui harapan
6. Mengembangkan hubungan antar manusia yang positif
(Mubarak, et.al, 2015: 64-65)
2.2 Konsep Depresi

2.2.1 Definisi Depresi

Depresi menurut WHO merupakan suatu gangguan mental umum yang


ditandai dengan mood tertekan, kehilangan kesenangan atau minat, perasaan bersalah
atau harga diri rendah, gangguan makan atau tidur, kurang energi, dan konsentrasi yang
rendah. Masalah ini dapat akut atau kronik dan menyebabkan gangguan kemampuan
individu untuk beraktivitas sehari hari. Beberapa faktor yang menyebabkan depresi
yaitu faktor genetik, faktor biokimia, faktor lingkungan, dan faktor psikologis.
Penyebab depresi yang paling banyak diteliti saat ini adalah abnormalitas monoamin
yang merupakan neurotransmiter otak, ada sekitar 30 neurotransmiter yang telah
diketahui dan tiga diantaranya mempengaruhi terjadinya depresi, yaitu serotonin,
norepinefrin, dan dopamin. Secara umum ketiga neurotransmiter tersebut berperan
dalam mengatur emosi, reaksi terhadap stres, pola tidur, dan nafsu makan. Jumlah
serotonin yang tinggi menyebabkan agresivitas dan gangguan tidur, sedangkan jumlah
rendah menyebabkan iritabilitas, ansietas, letargi, dan tindakan atau pemikiran bunuh
diri. Pada keadaan depresi, norepinefrin yang berperan dalam regulasi respons “fight or
flight” terganggu. Fungsi dopamin untuk mengatur emosi, pergerakan motor,
pembelajaran, berpikir, memori, dan perhatian. Jumlah dopamin rendah akan
mempengaruhi fungsi tersebut yang dapat menyebabkan depresi (Irawan, 2013: 2).

2.2.2 Proses Terjadinya Masalah

Gambar 2.2 Proses Terjadinya Depresi


Seseorang dengan depresi biasanya diawali dari persepsi yang negatif terhadap
stressor. Pada orang depresi ia menganggap masalah sebagai sesuatu yang seratus
persen buruk. Karena persepsi yang salah tersebut maka akan menuntut klien untuk
berpikir dan bertindak salah. Munculnya akumulasi stresor dimana stresor yang lain
turut memper buruk keadaan, maka seseorang tersebut akan merasa tidak berdaya dan
akhirnya ada niat untuk mencederai diri dan mengakhiri hidup. Hal ini menjadi pemicu
munculnya harga diri rendah yang akan menjadi internal stressor (Yosep & Sutini, 2014:
282).

2.2.3 Tanda dan Gejala Depresi


Menurut Ayu, (2007) pada umumnya lansia mengalami depresi ditandai dengan
mood depresi menetap yang tidak naik, gangguan nyata fungsi dan aktifitas sehari-hari
seperti:
a. Alam perasaan tertekan yang menetap
b. Penurunan minat atau kesenamham pada aktivitas sehari-hari
c. Gangguan tidur
d. Rasa bersalah yang tidak tepat
e. Kehilangan energi
f. Konsentrasi buruk
g. Perubahan selera makan
h. Retardasi psikomotor atau agitasi
i. Keinginan ingatan jangka pendek
j. Iritabilitas
k. Rentang perhatian pendek
l. Pemikiran untuk bunuh diri

Sedangkan menurut Stanley, M (2006: 367-368) dikatakan bahwa gejala-gejala


penting dari depresi menyerang kira-kira 10 sampai 15% dari semua orang yang berusia
lebih dari 65 tahun yang tidak diinstitusionalisasi. Gejala-gejala depresi ini sering
berhubungan dengan penyesuaian yang terlambat terhadap kehilangan dalam hidup
dan stresor (mis., pensiun yang terpaksa, kematian pasangan dan penyakit fisik). Angka
depresi meningkat secara drastis di antara lansia yang berada di institusi, dengan sekitar
50% sampai 75% penghuni perawatan jangka panjang memiliki gejala depresi ringan
sampai berat.

2.2.4 Teori Biologi Tentang Gangguan Mood/Depresi


Menurut Irawan (2013:2) depresi pada lansia disebabkan karena adanya
perubahan struktur otak seperti abnormalitas jalur frontostriatal yang menyebabkan
gangguan fungsi eksekutif, psikomotor, perasaan apatis, volume struktur subkortikal,
abnormalitas makromolekular di (korpus kalosum genu dan splenium, nukleus
kaudatus, dan putamen), penurunan jumlah glia di korteks singulata anterior subgenual,
abnormalitas neuron di korteks dorsolateral, atrofi kortikal, gangguan substansia alba,
abnormalitas struktur subkortikal, peningkatan volume amigdala yang berperan dalam
emosi negatif dan gangguan mekanisme koping, dan penurunan volume hipokampus
dan striatum ventral. Perubahan tersebut berdampak pada perubahan neurotransmiter
yang menyebabkan lansia depresi.
Sedangkan Menurut Nasir & Abdul Muhith, (2011) faktor yang menyebabkan
terjadinya depresi sesuai dengan teori biologi di bagi menjadi sebelas faktor, yaitu :
1. Data Genetik
Risiko terjadi nya depresi akan meningkat pada seseorang yang memiliki riwat
dalam keluarga. Berdasarkan beberapa data yang diperoleh bahwa tahap awal
depresi adalah munculnya delusi, dan komorbiditas dengan gangguan
kecemasan dan alkoholisme meningkatkan resiko pada keluarga.
2. Neurochemistry dan mood disorder
Dua neurotransmiter yang berperan dalam gangguan mood adalah norepinefrin
dan serotonin. Norepinefrin terkait dengan gangguan bipolar, dimana tingkat
norephinefrin yang rendah menyebabkan depresi dan jika tinggi menyebabkan
gangguan mania. Sementara serotonin yang rendah juga dapat menyebabkan
depresi. Terdapat dua kelompok obat untuk depresi yaitu tricyclics dan
monoamine oxidase (MAO) inhibitors.
3. Sistem Neuroendokrin
Area limbik di otak berhubungan dengan emosi yang mempengaruhi
hipotalamus. Hipotalamus kemudian mengontrol kelenjar endokrin dan
tingkat hormon yang dihasilkannya. Hormon yang dihasilkan hipotalamus juga
mempengaruhi kelenjar pituitari. Relevansinya terkait dengan gejala vegetatif
pada gangguan depresi, seperti ganggua tidur dan rangsangan selera.
Sedangkan produksi kortisol yang berlebih juga dapat menyebabkan semakin
banyaknya kelenjar adrenal. Banyaknya kortisol tersebut juga berhubungan
dengan kerusakan pada hipokampus dan peletian juga telah membuktikan
bahwa orang dengan depresi menunjukkan hipokampal yang tidak normal.
4. Teori Neurobiologis
Teori biologi memfokuskan pada abnormalitas norepinefrin (NE) dan
serotonin (5-HT). Hipotesis ketekolamin menyatakan bahwa depresi
disebabkan oleh rendahnya kadar NE otak, dan peningkatan NE menyebabkan
mania. Hipotesis indolamin menyatakan bahwa rendahnya neurotransmiter
serotonin otak dapat menyebabkan depresi dan peningkatan serotonin yang
dapat menyebabkan mania.
5. Neurotransmiter dan Sinaps
Jaringan otak terdiri dari berjuta-juta sel otak yang disebut neuron. Sel ini terdiri
atas badan sel, ujung akson, dan dendrit. Bagian diantara ujung sel neuron satu
dengan yang lain terdapat celah yang disebut celah sinaptik atau sinapsis. Satu
neuron menerima berbagai macam informasi yang datang, mengolah atau
mengintegrasikan informasi tersebut, lalu mengeluarkan respon yang dibawa
oleh neurotransmiter. Terjadinya potensial aksi dalam membran sel neuron
memungkinkan dilepaskannya molekul neurotransmiter dari akson terminalnya
(prasinaptik) ke celah sinaptik, lalu ditangkap oleh reseptordi membran sel
dendrit dari neuron berikutnya. Kemudian terjadilah loncatan listrik dan
komunikasi neurokimia antara dua neuron. Pada reseptor bisa terjadi
supersensitivitas dan subsensitivitas. Supersensitifitas berati respon reseptor
lebih tinggi dari biasanya, yang menyebabkan neurotransmiter yang ditarik ke
celah sinaptik tersebut. Subsentivitas reseptor adalah bilaterjadi sebaliknya. Bila
reseptor di blok oleh obat tertentu, maka kemampuan menerima
neurotransmiter akan hilang dan neurotransmiter yang ditarik ke celah sinaps
akan berkurang sehingga menyebabkan menurunnya jumlah neurotransmiter
tertentu di celah sinaps. Neurotransmiter terdiri dari dopamin, norepinefrin,
serotonin, asetilkholin, dan histamin. Dopamine, norepinefrin, epinefrin
disintesis dari asam amino yang sama. Serotonin disintesis dari asam amino
triptofan dan merupakan satu-satunya indolamin dalam kelompok itu. Selain
kelompok amin biogenik, ada neurotransmiter lain dari asam amino. Asam
amino dikenal sebagai pembangun blok protein, dua neuro transmiter utama
dari asam amino adalah gamma-aminobutyric acid (GABA) dan glutamat.
GABA adalah asam amino inhibitor (penghambat), sedangkan glutamat adalah
asam amino eksitator. Cara yang digunakan untuk melihat kerja otak ialah
dengan melihat keseimbangan dari kedua neurotransmiter tersebut. Bila karena
suatu hal, misalnya subsensitivitas reseptor-reseptor pada membran sel
paskinaptik, neurotransmiter epinefrin, norepinefrin, serotonin, dopamin
menurun kadarnya pada celah sinaptik, terjadilah sindrom depresi. Demikian
juga bila terjadi disregulasi asetilkolin yang menyebabkan menurunyya kadar
neurotransmiter asetilkolin di celah sinaps dapat terjadilah gejala depresi.
6. Monoamin dan depresi
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa zat-zat yang menyebabkan
berkurangnya monoamin, seperti reserpin dapat menyebabkan depresi.
Akibatnya , timbul teori yang menyatakan bahwa berkurangnya ketersediaan
neurotransmiter monoamin, terutama NE dan serotonin, dapat menyebabkan
depresi
7. Serotonin
Neuro serotonergik berproyeksi dari nukleus rafe dorsalis batang otak ke
korteks serebri, hipotalamus, talamus, ganglia basalis, septum, dan
hipokampus. Serotonin berfungsi sebagai pegatur tidur, selera makan, dan
libido. Sistem serotinin yang berproyeksi ke nukleus suprakiasma hipotalamus
berfungsi mengatur ritmik sirkadian (siklus tidur dan bangun, temperatur
tubuh, dan fungsi aksis Hypothalamic-Pituitary-Adrenal). Serotonin bersama-
sama dengan norepinefrin dan dopamin memfasikitasi gerak motorik yang
terarah dan bertujuan. Serotonin menghambat perilaku agresif pada mamalia
dan reptilia. Neurotransmiter serotonin terganggu pada depresi.
8. Noradrenergik
Badan sel neuron adrenergik yang menghasilkan norepinefrin terletak di locus
ceruleus (LC) batang otak dan berproyeksi ke korteks serebri, sistem limbik,
basal ganglia, hipotalamus, dan talamus. Ia berperan dalam memulai dan
mempertahankan keterjagaan (proyeksi ke limbiks dan korteks). Proyeksi
noredrenergik ke hipokampus terlibat dalam sensitisasi perilaku terhadap
stresor dan pemanjangan aktivitas locus ceruleus dan juga berkontribusi
terhadap rasa ketidak berdayaan yang dipelajari. Locus ceruleus juga tempat
neuron-neuron yang berproyeksi ke medula adrenal dan sumber utama sekresi
norepinefrin ke dalam sirkulasi darah perifer. Stresor akut dapat meningkatkan
aktivitas LC. Selama terjadi aktivitas fungsi LC, fungsi vegetatif seperti makan
dan tidur menurun.
9.` Dopamin
Ada empat jaras dopamin di otak, yaitu tuberoinfundobulair, nigrostriatal,
mesolimbik, mesokorteks-mesolimbik. Sistem ini berfungsi untuk mengatur
motivasi, konsentrasi, memulai aktivitas yang bertujuan, terarah dan kompleks,
serta tugas-tugas fungsi eksekutif. Penurunan aktivitas dopamin pada sistem ini
dikaitkan dengan gangguan kognitif, motorik, dan anhedonia yang merupakan
manifestasi simtom depresi.
10. Neurotransmiter lain
Neuro kolinergik mengandung asetilkolin yang terdistribusi difus di korteks
serebri dan mempunyai hubungan timbal balik dengan sistem monoamin.
Abnormal kadar kolin (prekursor asetilkolin) terdapat di otak pasien depresi.
11. HPA aksis (Hypothalamic-Pituitary-Adrenal)
Kadar kortisol yang meningkat menyebabkan umpan balik, yaitu hipotalamus
menekan sekresi cortikotropik-releasing hormone (CRH), kemudian mengirimkan
peran ini ke hipofisis sehingga hipofisis juga menurunkan produksi
adrenocortictropin hormon (ACTH). Akhirnya pesan ini juga diteruskan kembali ke
adrenal untuk mengurangi produksi kortisol. Pengalaman buruk pada masa lalu
merupakan faktor yang bermakna terhadap terjadinya hangguan mood pada
masa berikutnya. Stresor pada awal masa lalu dapat menyebabkan perubahan
yang menetap pada sistem saraf yang berfungsi merespon stresor tersebut.
Akibatnya, seseorang menjadi rentan terhadap stresor dan resiko terhadap
penyakit/masalah yang berkaitan dengan stresor yang meningkat, seperti
terjadinya depresi.

2.3 Hubungan Pengalaman Spiritual dengan Depresi


Agama merupakan petunjuk perilaku karena didalam agama terdapat ajaran
baik dan larangan yang dapat berdampak pada kehidupan dan kesehatan seseorang.
Agama juga sebagai sumber dukungan bagi seseorang yang mengalami kelemahan
untuk membangkitkan semangat untuk sehat, atau juga dapat mempertahankan
kesehatan untuk mencapai kesejahteraan (Hidayat & Uliyah, 2014: 270).
Banyak orang mempunyai kecenderungan alami untuk berpaling pada agama
dalam memperoleh kekuatan dan hiburan. Bagi yang percaya, keyakinan yang kuat dan
menjadi anggota aliran tertentu serta tujuan yang sama dapat menanggulangi
penderitaan dan depresi. Berdoa merupakan salah satu cara untuk menanggulangi
depresi. Ketika berdoa dapat memberikan kesempatan untuk menghentikan kegiatan
dan jalan arus hidup seseorang. Dengan berdo’a seseorang dapat memperoleh waktu
untuk istirahat, mengalihkan perhatian, dan mengambil kesibukan mental yang lain.
Apa pun pengertian seseorang tentang do’a, tujuan dan caranya, do’a dapat
mendatangkan ketenangan lahir dan batin, serta terlepaskan dari ketegangan fisik dan
mental (Lubis, 2009: 171).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Roh HW, et.al, (2015) “Participation in
Physical, Social, and Religious Activity and Risk of Depression in the Elderly: A Community-Based
Three-Year Longitudinal Study in Korea” Partisipasi dalam aktivitas fisik, sosial, dan religius
berhubungan dengan penurunan risiko depresi pada orang tua. Selain itu, risiko depresi
jauh lebih rendah pada orang lanjut usia yang berpartisipasi dalam dua atau tiga jenis
aktivitas di atas daripada orang tua yang tidak. Sehingga hasil dari penelitian ini
menunjukkan hasil yang signifikan antara aktivitas fisik, sosial, dan keagamaan
terhadap gejala depresi. Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Rosmarin
DH, et.al, (2014) “Spiritual Struggle and Affective Symptoms among Geriatric Mood Disordered
Patients” dalam penelitian ini menunjukkan bahwa afiliasi agama, keyakinan pada
Tuhan, dan frekuensi kehadiran ibadah, dan doa pribadi cukup terkait dengan tingkat
depresi yang lebih rendah yang di ukur dengan menggunakan Geriatric Depression Scale
(GDS). Namun dalam penelitian ini terdapat kesenjangan yaitu letak geografis dari
penelitian dan sampel yang relatif tidak beragama. Penelitian yang dilakukan oleh
Anyfantakis, et.al, (2015) “Effect of religiosity/spirituality and sense of coherence on depression
within a rural population in Greece: the Spili III project” hasil dari penelitian ini menunjukkan
bahwa peserta yang berpartisipasi dalam penelitian religius yang diidentifikasi oleh
skala Royal Free Interview for Spiritual and Religious Beliefs (RFI-SRB), menunjukkan
kemungkinan terjadinya depresi yang lebih rendah, seperti yang ditunjukkan oleh skala
Beck Depression Inventory (BDI). Dalam penelitian ini keyakinan agama dapat
membantu pasien untuk mengatasi situasi stres dengan lebih baik dan dapat
memberikan arti dan harapan dalam hidupnya. Selanjutnya, keterlibatan religius dan
spiritual juga dapat mengakibatkan terjadinya praktek gaya hidup yang lebih sehat
seperti kesetiaan dalam perkawinan, dan menghindari konsusmsi alkohol, obat-obatan
dan merokok. Penelitian yang dilakukan oleh KOENIG G. HAROLD (2010)
“Spirituality and Mental Health” dalam penelitian ini keyakinan spiritual tampaknya
terkait dengan kesehatan mental yang lebih baik, secara khusus dapat mengurangi gejala
depresi, kecemasan, dan penyalahgunaan obat-obatan. Keterlibatan spiritual dapat
meningkatkan dukungan sosial, menjadi pedoman untuk hidup sehat dan untuk
berhubungan dengan orang lain, dan memberikan makna dan tujuan terutama di
tengah-tengah penderitaan dan cobaan yang sedang dialami. Penelitian yang dilakukan
oleh Bamonti Patricia, et.al (2016) “Spirituality Attenuates the Association Between Depression
Symptom Severity and Meaning in Life” dalam penelitian ini memiliki tujuan untuk menguji
apakah spiritualitas ada hubungan dengan keparahan gejala depresi dan makna dalam
kehidupan lansia. Hasil dalam penelitian ini yaitu menunjukkan bahwa perawatan
kesehatan mental Pada tingkat spiritualitas yang lebih rendah, ada hubungan yang kuat
dengan keparahan gejala depresi dan perasaan bahwa hidup tidak ada artinya.
Sedangkan Pada tingkat spiritualitas yang tinggi, hubungan antara gejala depresi dan
perasaan tidak berarti dilemahkan dan tidak signifikan. Pada tingkat depresi yang lebih
rendah, menunjukkan makna hidup yang tinggi untuk sebagian besar peserta. Namun,
pada tingkat depresi yang tinggi, makna hidup bervariasi, dengan mereka yang
melaporkan tingkat spiritualitas tinggi melaporkan tingkat yang sebanding untuk
makna dalam hidup mereka yang tidak depresi tinggi.

Anda mungkin juga menyukai