1.3. Etiologi
1. Penyebab Umum
2.Penyebab Khusus
a. Pirogen endogen
Infeksi
Keganasan
Alergi
Panas karena steroid
Penyakit kolagen
1.4. Patogenesis
Demam adalah peningkatan suhu akibat infeksi atau peradangan. Sebagai respon dari masukya
mikroba , sel fagosit mengeluarkan pirogen endogen bekerja pada pusat termoregulasi
hipotalamus untuk meningkatkan pasokan thermostat .
Hipotalamus mempertahankan suhu tubuh pada tingkatan yang baru ( lebih tinggi ) dan tidak
mempertahankan pada suhu normal tubuh .
Contohnya pirogen endogen menaikkan titik patokan menjadi 102 F ( 38 ,9 C ) , hipotalamus
mendeteksi bahwa suhu pra demam ( normal ) terlalu dingin sehingga harus dinaikkan sehingga
memicu mekanisme-mekanisme respon dingin untuk menaikkan suhu menjadi 102 F .
Hipotalamus memicu menggigil agar produksi panas meningkat dan vasokontriksi kulit untuk
mengurangi pengeluaran panas mendorong suhu untuk naik . Kejadian ini ditandai dengan
rasa mengigil tiba-tiba dank arena merasa dingin yang bersangkutan memakai selimut sebagai
mekanisme voulenteer untuk meningkatkan dan menahan panas di tubuh .
Setelah suhu tubuh baru tercapai , suhu tubuh di atur secara normal tapi dengan patokan yang
lebih tinggi jadi demam merupakan respon dari infeksi bukan kerusakan mekanisme
termoregulasi .
Selamam demam pirogen endogen menaikkan titik patokan dengan memicu prostaglandin yaitu
mediator kimiawi local yang bekerja langsung pada hipotalamus . Aspirin mengurangi demam
dengan mneghambat sintesis prostaglandin , aspirin tidak menurunkan suhu orang yang tidak
demam karena yang dihambat adalah prostaglandin karena efek dari pirogen endogen .
Ketika titik patok kembali normal sehingga titik patok demam 102 F menjadi terlalu tinggi maka
maka terjadi mekanisme respon untuk mendinginkan tubuh , yaitu vasodilatasi kulit dan
pengeluaran keringat sehingga menurunkan suhu tubuh kembali menjadi normal. Sherwood,
Lauralee. 2014.Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem edisi 10. Jakarta: EGC.
2.2. Patogenesis
S typhi dan S paratyphi A menyebabkan infeksi pada manusia dan ditularkan dari sumber
manusia . Tetapi hewan juga bisa sebagai hospes reservoir yaitu unggas , babi , hewan pengerat
, sapi , dan hewan piaraan .
Organisme ini masuk lewat mulut bersama dengan makanan dan minuman yang terkontaminasi
. Diosis rata-rata untuk menimbulkan infeksi klinik adalah 10 5 – 10 8 ( cukup 10 3 untuk S typhi )
. Faktor inang cukup berperan dalam resistensi terhadap S thphi yaitu ke-asaman lambung , flora
normal usus , dan daya tahan usus . Widoyono. 2011. Penyakit Tropis. Jakarta: Erlangga
3.3. Patogenesis
Masuknya kumal Salmonella typhi dan paratyphi ke dalam tubuh lewat makanan yang sudah
terkontaminasi sebagian kuman dimusnahkan di lambung dan sebagian lagi lolos masuk ke usus
halus dan selanjutny berkembang biak . Jika respon imunitas humoral mukosa ( IgA ) usus kurang
baik kuman akan menembus sel-sel epitel ( terutama sel-M ) dan selanjutnya ke lamina propia .
Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh makrofag . kuman dapat hidup dan
berkembang biak dalam makrofag dan dibawa ke plak Peyeri ileum distal dibawa ke kelenjar
getah bening mesentrika . Selanjutnya melalui ductus torasikus kuman yang ada di makrofag
masuk ke peredaran darah ( mengakibatkan bakteremia I yang asimtomatik ) dan menyebar ke
seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama di hati dan limpa . Di organ ini kuman
meinggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di ruang sinusoid selanjutnya
masuk peredaran darah ( mengakibatka bakteremia II ditandai dengan gejala penyakit infeksi
sistemik .
Kuman masuk kedalam kandung empedu berkembang biak diekskresikan bersama cairan
empedu ke lumen usus . sebagian ada yang dikeluarkan menjadi feses dan sebagian lagi lolos
menembus usus , mengulangi proses yang terulang kembali. Karena makrofag telah teraktivasi ,
hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan mediator inflamasi
menimbulkan reaksi inflamasi sistemik seperti demam , sakit kepala , dan sakit perut .
Di dalam plak eyeri makrofag hiperaktif menyebabkan hyperplasia jaringan . Pendarahan saluran
cerna terjadi akibat erosi pembuluh darah di sekitar plague Peyeri yang sedang mengalami
nekrosis dan hiperplesia akibat akumulasi sel-sel monuklear di dinding usus . Proses patologis
jaringan limfoid dapat berkembang hingga ke lapisan otot , serosa susu , dapat mengakibatkan
perforasi .
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler akibat timbulnya komplikasi seperti
kardiovaskular dan pernapasan
Nelwan, R.H.H. 2009. Demam: Tipe dan Pendekatan dalam Sudoyo, Aru W. et.al. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI.
3.4 Manifestasi klinik
Masa inkubasi demam adalah 10-14 hari , gejala Klinis yang timbul sangat bervariasi dari
asimtomatik hingga komplikasi dan menyebabkan kematian .
Mingggu pertama :
Seperti gejala penyakit infeksi akut lain yaitu demam , nyeri kepala , pusing , nyerti otot ,
anoreksia mual , muntah , dan diare. Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu meningkat dan
sifat demam meningkat pada sore hingga malam hari
Minggu kedua :
Gejala-gejala semakin jelas demam brakikarida relative peningkatan suhu 1 C tidak diikuti
dengan peningkatan denyut nadi 8 kali per menit , lidah yang berselaput ( kotor di tengah , tepi
, dan ujung merah seperti tremor ) , hepatomegaly , splenomegaly , meteorismus , ganggguan
mental ( somnolen , sopor koma )
Nelwan, R.H.H. 2009. Demam: Tipe dan Pendekatan dalam Sudoyo, Aru W. et.al. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid III edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI.
Nelwan, R.H.H. 2009. Demam: Tipe dan Pendekatan dalam Sudoyo, Aru W. et.al. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid III edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI.
3.6 Penatalaksanaan
1.Istirahat dan perawatan
Langkah ini dimaksudkan untuk mencegah komplikasi. Penderita sebaiknya istirahat total di
tempat tidur selama 1 minggu setelah bebas dari demam. Mobilisasi dilakukan secara bertahap,
sesuai dengan keadaan penderita,. Mengingat mekanisme penularan penyakit ini, kebersihan
perorangan perlu dijaga karena ketidakberdayaan pasien untuk buang air besar dan kecil.
Nelwan, R.H.H. 2009. Demam: Tipe dan Pendekatan dalam Sudoyo, Aru W. et.al. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid III edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI.
3.7 Pencegahan
Kebersihan makanan dan minuman sangat penting untuk mencegah demam tifoid . Merebus air
minum sampai mendidih dan memasak makanan sampai matang juga sangat membantu . Perlu
dilakukan juga sanitasi lingkungan ( membuah sampah pada temoatnya ) dan program imunisasi
.
3.8 Epidemiologi
USA dan eropa :
insiden demam tifoid menurun dikarenakan kesediaan air bersih dan system pembuangan yang
baik dan ini belum dipunyai di Negara berkembang
Asia tengah , selatan , tenggara :
Insiden demam tifoid tinggi ( > 100 kasus per 100.000 populasi pertahun
Afrika dan Amerika latin :
Insiden demam tifoid sedang ( 10-100 kasus per 100.000 populasi pertahun )
Oceania ( kecuali Australia dan SelandiaBaru )
<10 kasus per 100.000 populasi pertahun
Di Indonesia , insidens demam tifoid banyak dijumpai pada usia 3-19 tahun ( < 20 tahun ) . Ditjen
Bina Upaya Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan RI meleaporkan demam tifoid
menempati uruta ke 3 dari 10 penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit Indonesia
( 41.081 kasus ) Nelwan, R.H.H. 2009. Demam: Tipe dan Pendekatan dalam Sudoyo, Aru W.
et.al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
3.9. Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan
sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang
adekuat, angka mortalitas < 1%.Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%, biasanya
karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi seperti
perforasi gastrointestinal atau pendararahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia,
mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Angka kematian pada anak-anak 2,6% dan pada orang dewasa 7,4%, rata-rata 5,7%. Prognosis
demam tifoid umumnya baik asal penderita cepat berobat.Mortalitas pada penderita yang
dirawat adalah 6%. Prognosis menjadi kurang baik atau buruk bila terdapat gejala klinis yang
berat seperti:
1. Panas tinggi (hiperpireksia) atau febris continual.
2. Kesadaran menurun sekali.
3. Terdapat komplikasi yang berat misalnya dehidrasi dan asidosis, peritonitis
4. Keadaan gizi penderita buruk (malnutrisi protein)
3.10. Komplikasi
1. Komplikasi Intestinal
a. Perdarahan Usus
Pada plak payeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat terbentuk
tukak/luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen
usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus
dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Selain karena factor luka, perdarahan juga dapat terjadi
karena gangguan koagulasi darah (KID) atau gabunagn kedua factor. Sekitar 25% penderita
demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak membutuhkan transfuse darah.
Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut
darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam dengan factor
hemostasis dalam batas normal. Jika penanganan terlambat, mortalitas cukup tinggi sekitar 10-
32%, bahkan ada yang melaporkan sampai 80%. Bila transfuse yang diberikan tidak dapat
menimbangi perdarahan yang terjadi, maka tindakan bedah perlu dipertimbangkan.
b. Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu ketiga
namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain gejala umum demam tifoid yang biasa
terjadi maka penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama
di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan
tanda-tanda ileus. Bising usus melemah pada 50% penderita dan pekak hati terkadang tidak
ditemukan karena adanya udara bebas di abdomen. Tanda-tanda perforasi lainnya adalah nadi
cepat, tekanan darah turun, dan bahkan dapat syok. Bila pada gambaran foto polos abdomen
(BNO/3 posisi) ditemukan udara pada rongga peritoneum atau subdiafragma kanan, maka hal ini
merupakan nilai yang cukup menentukan terdapatnya perforasi usus pada demam tifoid. Beberapa
factor yang dapat meningkatkan kejadian perforasi adalah umur (biasanya berumur 20-30 tahun),
lama demam, modalitas pengobatan, beratnya penyakit, dan mobilitas penderita.
Antibiotic diberikan secara selektif bukan hanya untuk mengobati kuman S.typhi tetapi
juga untuk mengatas kuman yang bersifat fakultatif dan anaerobic pada flora usus. Umumnya
diberikan antibiotic spectrum luas dengan kombinasi kloramfenikol dan ampisilin intravena.
Untuk kontaminasi usus dapat diberikan gentamisin/metronidazol. Cairan harus diberikan dalam
jumlah yang cukup serta penderita dipuasakan dan dipasang nasogastric tube. Transfusi darah
dapat diberikan bila terdapat kehilangan darah akibat perdarahan intestinal.
Ileus paralitik
Pancreatitis
2. Komplikasi Ekstraintestinal
a Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (syok, sepsis), miokarditis,
trombosis dan tromboflebitis.
b Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi intravaskuler
diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
c Komplikasi paru : pneumoni, empiema, dan pleuritis
d Komplikasi hepar dan kandung kemih : hepatitis dan kolelitiasis
Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai ada 50% kasus dengan tifoid dan lebih
banyak dijumpai karena S.typhi dari pada S.paratyphi. untuk membedakan apakah hepatitis ini
oleh karena tifoid, virus, malaria, atau amuba maka perlu diperhatikan kelainan fisik, parameter
laboratorium, dan bila perlu histopatologik hati. Pada demam tifoid kenaikan enzim transaminase
tidak relevan dengan kenaikan serum bilirubin (untuk membedakan dengan hepatitis oleh karena
virus). Hepatitis tifosa dapat terjadi pada pasien dengan malnutrisi dan system imun yang kurang.
Meskipun sangat jarang, komplikasi hepatoensefalopati dapat terjadi.
e Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis
f Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis
g Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningismus, meningitis, polineuritis
perifer, psikosis, dan sindrom katatonia.
Manifestasi neuropsikiatrik dapat berupa delirium dengan atau tanpa kejang, semi-koma,
Parkinson rigidity/ transient parkinsonism, sindrom otak akut, mioklonus generalisata,
meningismus, skizofrenia, sitotoksik, mania akut, hipomania, ensefalomielitis, meningitis,
polyneuritis perifer, sindrom Guillain-Barre, dan psikosis.