Anda di halaman 1dari 14

1.

Memahami dan menjelaskan demam


1.1. Suhu tubuh normal
Suhu tubuh normal yang diukur di mulut dianggap sebesar 98,6 F ( 37,8 C ) namun suhu tubuh
bervariasi sepanjang hari 96 F pada pagi hari , 99,9 F pada malam hari dengan rata-rata 98,2 F (
36,7C) . Tidak ada suhu tubuh tunggal bervariasi dari organ ke organ . tubuh dianggap sebagai
suatu inti sentral yang dikelilinigi oleh selubung luar . suhu inti sental berada dibawah regulasi
ketat untuk mempertahankan kestabilan homeostatic . berfungsi paling baik sekitar 100 F (
37,8 C ) dan relative konstan
Kulit dan jaringan subkutan membentuk selubung luar , berbeda dari shu inti yang biasanya
tinggi . Suhu di selubung ini lebih dingin berfluktuasi antara 68 F – 104 F ( 20 C dan 40 C )
Suhu kulit sengaja diubah-ubah sebagai tindakan control untuk membantu mempertahankan
suhu inti yang konstan . Sherwood, Lauralee. 2014.Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem edisi
10. Jakarta: EGC.

1.2. Pola demam


a. Demam Septik
Pada tipe demam septik, suhu badan berangsur naik ke tingkat yang tinggi sekali pada
malam hari dan turun kembali ke tingkat di atas normal pada pagi hari. Sering disertai
keluhan menggigil dan berkeringat. Bila demam yang tinggi tersebut turun ke tingkat yang
normal dinamakan juga demam hetik.
b. Demam Remiten
Pada tipe demam remiten, suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak pernah mencapai suhu
badan normal. Perbedaan suhu yang mungkin tercatat dapat mencapai dua derajat dan tidak
sebesar perbedaan suhu yang dicatat pada demam septik.
c. Demam Intermiten
Pada tipe demam intermiten, suhu badan turun ke tingkat yang normal selama beberapa
jam dalam satu hari. Bila demam seperti ini terjadi setiap dua hari sekali disebut tersiana
dan bila terjadi dua hari bebas demam diantara dua serangan demam disebut kuartana.
d. Demam Kontinyu
Pada demam kontinyu variasi suhu sepanjang hari tidak berbeda lebih dari satu derajat.
Pada tingkat demam terus menerus tinggi sekali disebut hiperpireksia.
e. Demam Siklik
Pada demam siklik terjadi kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang diikuti oleh
periode bebas demam untuk beberapa hari yang kemudian diikuti oleh kenaikan suhu
seperti semula.

1.3. Etiologi
1. Penyebab Umum

 Infeksi virus dan bakteri;


 Flu dan masuk angina
 Radang tenggorokan;
 Infeksi telinga
 Diare disebabkan bakterial atau diare disebabkan virus.
 Bronkitis akut, Infeksi saluran kencing
 Infeksi saluran pernafasan atas (seperti amandel, radang faring atau radang laring)
 Obat-obatan tertentu
 Kadang-kadang disebabkan oleh masalah-masalah yang lebih serius seperti pneumonia, radang
usus buntu, TBC, dan radang selaput otak.
 Demam dapat terjadi pada bayi yang diberi baju berlebihan pada musim panas atau pada
lingkungan yang panas.
 Penyebab-penyebab lain: penyakit rheumatoid, penyakit otoimun, Juvenile rheumatoid
arthritis, Lupus erythematosus, Periarteritis nodosa, infeksi HIV dan AIDS, Inflammatory
bowel disease, Regional enteritis, Ulcerative colitis, Kanker, Leukemia, Neuroblastoma,
penyakit Hodgkin, Non-Hodgkin's lymphoma

2.Penyebab Khusus

 Set point hipotalamus meningkat

a. Pirogen endogen
 Infeksi
 Keganasan
 Alergi
 Panas karena steroid
 Penyakit kolagen

b. Penyakit atau zat


 Kerusakan susunan saraf pusat
 Keracunan DDT
 Racun kalajengking
 Penyinaran
 Keracunan epinefrin

 Set point hipotalamus normal


a. Pembentukan panas melebihi pengeluaran panas
 Hipertermia malignan
 Hipertiroidisme
 Hipernatremia
 Keracunan aspirin
b. Lingkungan lebih panas daripada pengeluaran panas
 Mandi sauna berlebihan
 Panas di pabrik
 Pakaian berlebihan
 Pengeluaran panas tidak baik (rusak)
 Displasia ektoderm
 Kombusio (terbakar)
 Keracunan phenothiazine
 Heat stroke

 Rusaknya pusat pengatur suhu


a. Penyakit yang langsung menyerang set point hipotalamus:
 Ensefalitis/ meningitis
 Trauma kepala
 Perdarahan di kepala yang hebat
 Penyinaran

1.4. Patogenesis
Demam adalah peningkatan suhu akibat infeksi atau peradangan. Sebagai respon dari masukya
mikroba , sel fagosit mengeluarkan pirogen endogen  bekerja pada pusat termoregulasi
hipotalamus untuk meningkatkan pasokan thermostat .
Hipotalamus mempertahankan suhu tubuh pada tingkatan yang baru ( lebih tinggi ) dan tidak
mempertahankan pada suhu normal tubuh .
Contohnya pirogen endogen menaikkan titik patokan menjadi 102 F ( 38 ,9 C ) , hipotalamus
mendeteksi bahwa suhu pra demam ( normal ) terlalu dingin sehingga harus dinaikkan sehingga
memicu mekanisme-mekanisme respon dingin untuk menaikkan suhu menjadi 102 F .
Hipotalamus memicu menggigil agar produksi panas meningkat dan vasokontriksi kulit untuk
mengurangi pengeluaran panas  mendorong suhu untuk naik . Kejadian ini ditandai dengan
rasa mengigil tiba-tiba dank arena merasa dingin yang bersangkutan memakai selimut sebagai
mekanisme voulenteer untuk meningkatkan dan menahan panas di tubuh .
Setelah suhu tubuh baru tercapai , suhu tubuh di atur secara normal tapi dengan patokan yang
lebih tinggi jadi demam merupakan respon dari infeksi bukan kerusakan mekanisme
termoregulasi .
Selamam demam pirogen endogen menaikkan titik patokan dengan memicu prostaglandin yaitu
mediator kimiawi local yang bekerja langsung pada hipotalamus . Aspirin mengurangi demam
dengan mneghambat sintesis prostaglandin , aspirin tidak menurunkan suhu orang yang tidak
demam karena yang dihambat adalah prostaglandin karena efek dari pirogen endogen .
Ketika titik patok kembali normal sehingga titik patok demam 102 F menjadi terlalu tinggi maka
maka terjadi mekanisme respon untuk mendinginkan tubuh , yaitu vasodilatasi kulit dan
pengeluaran keringat sehingga menurunkan suhu tubuh kembali menjadi normal. Sherwood,
Lauralee. 2014.Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem edisi 10. Jakarta: EGC.

2. Memahami dan menjelaskan bakteri Salmonella typhi


2.1. Morfologi dan struktur
Morfologi :
-panjangannya bervariasi
- bergerak dengan flagel peritrika
- mudah tumbuh pada perbenihan biasa tapi tidak meragikan laktosa / sukrosa
- membentuk asam dan H2S
- resisten terhadap zat kimia tertentu ( hijau brilian , natrium tetrationat ) yang menghambat
bakteri enterik lainnya . Sehingga senyawa2 ini bermanfaat untuk mengisolasi Salmonella dari
tinja . Mikrobiologi
Struktur antigen :
Golongan dan spesies Salmonella diidentifikasi berdasarkan anti gennya
- Anti gen O
- Anti gen H
- Anti gen simpai ( K/Vi )  bias mengganggu anti serum O , antigen ini dihubungkan
dengan sifat invasif
- Tes aglutinasi dengan anti serum serapan untuk anti gen O dan H dasar untuk klasifikasi
Salmonella secara serologik

Jawetz; Melnick; dan Adelberg’s. 2005. Mikrobiologi Kedokteran. SalembaMedika.


Jakarta.

2.2. Patogenesis
S typhi dan S paratyphi A menyebabkan infeksi pada manusia dan ditularkan dari sumber
manusia . Tetapi hewan juga bisa sebagai hospes reservoir yaitu unggas , babi , hewan pengerat
, sapi , dan hewan piaraan .
Organisme ini masuk lewat mulut bersama dengan makanan dan minuman yang terkontaminasi
. Diosis rata-rata untuk menimbulkan infeksi klinik adalah 10 5 – 10 8 ( cukup 10 3 untuk S typhi )
. Faktor inang cukup berperan dalam resistensi terhadap S thphi yaitu ke-asaman lambung , flora
normal usus , dan daya tahan usus . Widoyono. 2011. Penyakit Tropis. Jakarta: Erlangga

3. Memahami dan menjelaskan demam tifoid


3.1. Definisi
Demam tifoid adalah infeksi akut saluran pencernaan yang disebabkan oleh Selmonella typhi .
Demam paratifoid adalah penyakit sejenis yang disebabkan oleh Salmonella paratyphi A , B , C .
Gejalan dan tanda kedua penyakit hamper sama tapi manifestasi klinis paratifoid lebih ringan .
Ada terminology yang lain yaitu typhoid fever , typhus , demam enterik . Widoyono. 2011.
Penyakit Tropis. Jakarta: Erlangga
3.2. Etiologi
Penyebab demam tifoid adalah bakteri Salmonella typhi . Salmonela adalah bakteri Gram-negatif
, tidak berkapsul , mempunyai flagella , dan tidak membentuk spora. Bakteri ini akan mati pada
pemanasan 57 C selama beberapa menit.
Manifestasi klinis demam tifoid tergantung virulensi dan daya tahan tubuh dengan masa inkubasi
10-20 hari .
Widoyono. 2011. Penyakit Tropis. Jakarta: Erlangga

3.3. Patogenesis

Masuknya kumal Salmonella typhi dan paratyphi ke dalam tubuh lewat makanan yang sudah
terkontaminasi sebagian kuman dimusnahkan di lambung dan sebagian lagi lolos masuk ke usus
halus dan selanjutny berkembang biak . Jika respon imunitas humoral mukosa ( IgA ) usus kurang
baik kuman akan menembus sel-sel epitel ( terutama sel-M ) dan selanjutnya ke lamina propia .
Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh makrofag . kuman dapat hidup dan
berkembang biak dalam makrofag dan dibawa ke  plak Peyeri ileum distal  dibawa ke kelenjar
getah bening mesentrika . Selanjutnya melalui ductus torasikus kuman yang ada di makrofag
masuk ke peredaran darah ( mengakibatkan bakteremia I yang asimtomatik ) dan menyebar ke
seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama di hati dan limpa . Di organ ini kuman
meinggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di ruang sinusoid  selanjutnya
masuk peredaran darah ( mengakibatka bakteremia II ditandai dengan gejala penyakit infeksi
sistemik .

Kuman masuk kedalam kandung empedu  berkembang biak  diekskresikan bersama cairan
empedu ke lumen usus . sebagian ada yang dikeluarkan menjadi feses dan sebagian lagi lolos
menembus usus , mengulangi proses yang terulang kembali. Karena makrofag telah teraktivasi ,
hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan mediator inflamasi
menimbulkan reaksi inflamasi sistemik seperti demam , sakit kepala , dan sakit perut .

Di dalam plak eyeri makrofag hiperaktif menyebabkan hyperplasia jaringan . Pendarahan saluran
cerna terjadi akibat erosi pembuluh darah di sekitar plague Peyeri yang sedang mengalami
nekrosis dan hiperplesia akibat akumulasi sel-sel monuklear di dinding usus . Proses patologis
jaringan limfoid dapat berkembang hingga ke lapisan otot , serosa susu , dapat mengakibatkan
perforasi .

Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler akibat timbulnya komplikasi seperti
kardiovaskular dan pernapasan
Nelwan, R.H.H. 2009. Demam: Tipe dan Pendekatan dalam Sudoyo, Aru W. et.al. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI.
3.4 Manifestasi klinik
Masa inkubasi demam adalah 10-14 hari , gejala Klinis yang timbul sangat bervariasi dari
asimtomatik hingga komplikasi dan menyebabkan kematian .
Mingggu pertama :
Seperti gejala penyakit infeksi akut lain yaitu demam , nyeri kepala , pusing , nyerti otot ,
anoreksia mual , muntah , dan diare. Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu meningkat dan
sifat demam meningkat pada sore hingga malam hari
Minggu kedua :
Gejala-gejala semakin jelas demam brakikarida relative  peningkatan suhu 1 C tidak diikuti
dengan peningkatan denyut nadi 8 kali per menit , lidah yang berselaput ( kotor di tengah , tepi
, dan ujung merah seperti tremor ) , hepatomegaly , splenomegaly , meteorismus , ganggguan
mental ( somnolen , sopor koma )
Nelwan, R.H.H. 2009. Demam: Tipe dan Pendekatan dalam Sudoyo, Aru W. et.al. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid III edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI.

3.5 Pemeriksaan laboratorium


1. Pemeriksaan rutin
Pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia dapat pula terjadi
leukosit normal atau leukositosis  bisa terjadi walau tanpa infeksi sekunder . Selain itu
ditemukan anemia ringan , trombositopenia , dan peningkatan laju endap darah , . SGOT dan
SGPT meningkat tapi normal kembali setelah sembuh
2. Uji widal
Dilakukan untuk deteksi anti bodi terhadap bakteri Salmonella typhi , anti bodinya disebut
agglutinin. Antigen yang digunakan dari Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah .
Tujuannya adalah untuk menentukan adalanya agltuinin dalam serum serum tersangka
penderita demam tifoid .
Agglutinin O ( dari tubuh kuman )
Aglutinin H ( dari flagella kuman 0
Agglutinin K / Vi ( dari simpai / kapsul kuman )
Yang diperlukan untuk diagnosis demam tifoid adalah agglutinin O dan H
Pembentukan agglutinin
Mula-mula terbentuk pada minggu pertama demam dan meningkat sampai mencapai puncak
pada minggu keempat . Pada orang yang telah sembuh masih di jumpai antigen O ( 4-6 bulan )
dan H ( 9-12 bulan ) uji widal tidak bisa menentukan i kesembuhan penyakit
3. Uji Typhidot
Mendeteksi antibody IgM dan IgG yang terdapat pada protein member luar Salmonella typhi .
Hasil positif didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi IgM dan IgG
terhadap anti gen S. typhi dengan sensitivitas 98 % dan spesifisitas 84 %
4. Pengujian IgM dipstick test
mendeteksi adanya antibodi yang dibentuk karena infeksi S. typhi dalam serum penderita.
Pemeriksaan IgM dipstick dapat menggunakan serum dengan perbandingan 1:50 dan darah 1 : 25.
Selanjutnya diinkubasi 3 jam pada suhu kamar. Kemudian dibilas dengan air biarkan kering.. Hasil
dibaca jika ada warna berarti positif dan Hasil negatif jika tidak ada warna. Interpretasi hasil 1+,
2+, 3+ atau 4+ jika positif lemah.
5. Kultur darah
Hasil darah yang positif memastikan demam tifoid tetapi jika hasil negatif tidak menyingkirkan
demam tifoid karena ada beberapa factor
1) Telah mendapatkan terapi antibiotic sehingga pertumbuhan kuman terhambat dan hasil
menjadi negative
2) Volume darah yang kurang ( minimal 5 cc )
3) Riwayat vaksinasi yang menimbulkan adanya antibody pada tubuh pasien sehingga
menghambat pertumbuhan kuman  hasil menjadi negative
Pengambilan darah setelah mingu pertama ketika aglutinin semakin meningkat

Nelwan, R.H.H. 2009. Demam: Tipe dan Pendekatan dalam Sudoyo, Aru W. et.al. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid III edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI.

3.6 Penatalaksanaan
1.Istirahat dan perawatan
Langkah ini dimaksudkan untuk mencegah komplikasi. Penderita sebaiknya istirahat total di
tempat tidur selama 1 minggu setelah bebas dari demam. Mobilisasi dilakukan secara bertahap,
sesuai dengan keadaan penderita,. Mengingat mekanisme penularan penyakit ini, kebersihan
perorangan perlu dijaga karena ketidakberdayaan pasien untuk buang air besar dan kecil.

2.Terapi penunjang secara simptomatis dan suportif serta diet


agar tidak memperberat kerja usus, pada tahap awal penderita diberi makan berupa bubur saring.
Selanjutnya penderita dapat diberi makanan yang lebih padat dan akhirnya nasi biasa, sesuai
dengan kemampuan dan kondisinya. Pemberian kadar gizi dan mineral perlu dipertimbangkan
agar dapat menunjang kesembuhan penderita.

3. Pemberian anti – mikroba


1. Kloramfenikol
Di indoneisa menjadi obat pilihan utama untuk demam tifoid . Dosis yang diberikan adalah 4 x
500 mg / hari diberikan secara per oral atau itravena sampai 7 hari bebas panas . Penyuntikan
Intramuskular tidak dianjurkan dan obat ini dapat menurunkan demam rata-rata 7,2 hari , ada
yang menyebutkan setelah hari ke – 5 . 90 % kuman masih memiliki kepekaan terhadap
antibiotic ini
2. Tiamfenikol
Dosis dan efektivitas mirip dengan kloramfenikol tapi dapat komplikasi hematiologi seperti
anemia aplastic lebih rendah
3.kotriomoksazol
Efektivitas hamper sama dengan dosis 2x2 tablet ( 1 tablet mengandung sulfametosakzol 400 mg
dan 80 mg trimethoprim diberikan selama 2 minggu
4. Ampisilin dan amoksilin
Kemampuan obat ini lebih rendah dari kloramfenikol dengan dosis 50-150 mg/kgBB dan
digunakan selama 2 minggu

Nelwan, R.H.H. 2009. Demam: Tipe dan Pendekatan dalam Sudoyo, Aru W. et.al. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid III edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI.

3.7 Pencegahan
Kebersihan makanan dan minuman sangat penting untuk mencegah demam tifoid . Merebus air
minum sampai mendidih dan memasak makanan sampai matang juga sangat membantu . Perlu
dilakukan juga sanitasi lingkungan ( membuah sampah pada temoatnya ) dan program imunisasi
.
3.8 Epidemiologi
USA dan eropa :
insiden demam tifoid menurun dikarenakan kesediaan air bersih dan system pembuangan yang
baik dan ini belum dipunyai di Negara berkembang
Asia tengah , selatan , tenggara :
Insiden demam tifoid tinggi ( > 100 kasus per 100.000 populasi pertahun
Afrika dan Amerika latin :
Insiden demam tifoid sedang ( 10-100 kasus per 100.000 populasi pertahun )
Oceania ( kecuali Australia dan SelandiaBaru )
<10 kasus per 100.000 populasi pertahun

Di Indonesia , insidens demam tifoid banyak dijumpai pada usia 3-19 tahun ( < 20 tahun ) . Ditjen
Bina Upaya Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan RI meleaporkan demam tifoid
menempati uruta ke 3 dari 10 penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit Indonesia
( 41.081 kasus ) Nelwan, R.H.H. 2009. Demam: Tipe dan Pendekatan dalam Sudoyo, Aru W.
et.al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
3.9. Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan
sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang
adekuat, angka mortalitas < 1%.Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%, biasanya
karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi seperti
perforasi gastrointestinal atau pendararahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia,
mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Angka kematian pada anak-anak 2,6% dan pada orang dewasa 7,4%, rata-rata 5,7%. Prognosis
demam tifoid umumnya baik asal penderita cepat berobat.Mortalitas pada penderita yang
dirawat adalah 6%. Prognosis menjadi kurang baik atau buruk bila terdapat gejala klinis yang
berat seperti:
1. Panas tinggi (hiperpireksia) atau febris continual.
2. Kesadaran menurun sekali.
3. Terdapat komplikasi yang berat misalnya dehidrasi dan asidosis, peritonitis
4. Keadaan gizi penderita buruk (malnutrisi protein)
3.10. Komplikasi
1. Komplikasi Intestinal
a. Perdarahan Usus
Pada plak payeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat terbentuk
tukak/luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen
usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus
dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Selain karena factor luka, perdarahan juga dapat terjadi
karena gangguan koagulasi darah (KID) atau gabunagn kedua factor. Sekitar 25% penderita
demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak membutuhkan transfuse darah.
Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut
darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam dengan factor
hemostasis dalam batas normal. Jika penanganan terlambat, mortalitas cukup tinggi sekitar 10-
32%, bahkan ada yang melaporkan sampai 80%. Bila transfuse yang diberikan tidak dapat
menimbangi perdarahan yang terjadi, maka tindakan bedah perlu dipertimbangkan.

b. Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu ketiga
namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain gejala umum demam tifoid yang biasa
terjadi maka penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama
di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan
tanda-tanda ileus. Bising usus melemah pada 50% penderita dan pekak hati terkadang tidak
ditemukan karena adanya udara bebas di abdomen. Tanda-tanda perforasi lainnya adalah nadi
cepat, tekanan darah turun, dan bahkan dapat syok. Bila pada gambaran foto polos abdomen
(BNO/3 posisi) ditemukan udara pada rongga peritoneum atau subdiafragma kanan, maka hal ini
merupakan nilai yang cukup menentukan terdapatnya perforasi usus pada demam tifoid. Beberapa
factor yang dapat meningkatkan kejadian perforasi adalah umur (biasanya berumur 20-30 tahun),
lama demam, modalitas pengobatan, beratnya penyakit, dan mobilitas penderita.

Antibiotic diberikan secara selektif bukan hanya untuk mengobati kuman S.typhi tetapi
juga untuk mengatas kuman yang bersifat fakultatif dan anaerobic pada flora usus. Umumnya
diberikan antibiotic spectrum luas dengan kombinasi kloramfenikol dan ampisilin intravena.
Untuk kontaminasi usus dapat diberikan gentamisin/metronidazol. Cairan harus diberikan dalam
jumlah yang cukup serta penderita dipuasakan dan dipasang nasogastric tube. Transfusi darah
dapat diberikan bila terdapat kehilangan darah akibat perdarahan intestinal.
 Ileus paralitik
 Pancreatitis

2. Komplikasi Ekstraintestinal
a Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (syok, sepsis), miokarditis,
trombosis dan tromboflebitis.
b Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi intravaskuler
diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
c Komplikasi paru : pneumoni, empiema, dan pleuritis
d Komplikasi hepar dan kandung kemih : hepatitis dan kolelitiasis
Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai ada 50% kasus dengan tifoid dan lebih
banyak dijumpai karena S.typhi dari pada S.paratyphi. untuk membedakan apakah hepatitis ini
oleh karena tifoid, virus, malaria, atau amuba maka perlu diperhatikan kelainan fisik, parameter
laboratorium, dan bila perlu histopatologik hati. Pada demam tifoid kenaikan enzim transaminase
tidak relevan dengan kenaikan serum bilirubin (untuk membedakan dengan hepatitis oleh karena
virus). Hepatitis tifosa dapat terjadi pada pasien dengan malnutrisi dan system imun yang kurang.
Meskipun sangat jarang, komplikasi hepatoensefalopati dapat terjadi.
e Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis
f Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis
g Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningismus, meningitis, polineuritis
perifer, psikosis, dan sindrom katatonia.
Manifestasi neuropsikiatrik dapat berupa delirium dengan atau tanpa kejang, semi-koma,
Parkinson rigidity/ transient parkinsonism, sindrom otak akut, mioklonus generalisata,
meningismus, skizofrenia, sitotoksik, mania akut, hipomania, ensefalomielitis, meningitis,
polyneuritis perifer, sindrom Guillain-Barre, dan psikosis.

Anda mungkin juga menyukai