Anda di halaman 1dari 18

BANK DARAH DAN TRANSFUSI DARAH

T I K Bank Darah
1. Mengetahui Ag. A,B,dan H pada golongan darah ABO
2. Mengetahui perbedaan sifat-sifat Ab.alami dan Ab.imun dalam perbankan darah.
3. Mengetahui pengaruh komplemen dalam reaksi serologi perbankan darah.
4. Memahami reaksi silang.
5. Memahami gol darah Rhesus.
6. Memahami tes anti globulin direk (Coombs test)
7. Mengetahui syarat-syarat donor
8. Mengetahui cara penyimpanan darah.

BAHASAN

Antigen Golongan Darah


Antigen (Ag) yang bersangkut paut dengan golongan darah merupakan glikoprotein
dengan BM 300.000 dan terletak pada permukaan sel eritrosit.
Urutan pengaruh genetik terhadap antigen A,B,H pada eritrosit sebagai berikut:
1. Bahan dasar mukopolisakarida diubah oleh gen-H menjadi ‘H-substance’
2. H-substance sebagian diubah oleh gen-A atau gen-B menjadi Ag-A atau Ag-B,
sebagian lain tetap menjadi H-substance (sebagai bahan Ag-H)
3. Gen-O yang amorfik tidak dapat merubah H-substance
4. Gen-H sendiri membentuk Ag-H, dengan demikian gol.darah ABO semuanya
mengandung Ag-H, tetapi kadar Ag-H paling tinggi terdapat pada gol.darah O karena
H-substance banyak terkumpul disini.

PRECURSOR
SUBSTANCE

Gen HH / Hh

H SUBSTANCE

Gen-OO Gen-AB Gen-BO / BB Gen-AO / AA

Ag-- Ag-A, Ag-B Ag-B Ag-A

Ag-H Ag-H Ag-H Ag-H

Gol-O Gol-AB Gol-B Gol-A

Gambar 1: Hubungan Gen dan antigen gol darah

Ag-A,B dan H selain terdapat pada eritrosit juga pada :


 Lekosit

32
 Trombosit
 Epidermis
 Spermatozoa
 Sel endotel vaskuler
 Sel sinusoid limpa
Sedangkan antigen gol.darah Rhesus hanya terdapat pada eritrosit saja.

Hukum Landsteiner : antibodi terhadap gol. darah (aglutinin) terdapat di dalam plasma
seseorang hanya apabila pada eritrositnya tidak mengandung antigen
yang sesuai.
Berdasarkan hukum tersebut maka :

Tabel 1: Hubungan gol. Darah ABO, antigen dan aglutininnya

Gol. Darah Antigen Aglutinin


O --- anti-A dan anti-B
A A anti-B
B B anti-A
AB AB ---

Golongan darah A terdiri atas 2 subgrup yaitu:


1. Subgroup A1, yang dapat diaglutinasi oleh anti-A, anti-A1 atau dengan lectin Dolichos
biflorus
2. Subgroup A2 , yang hanya dapat diaglutinasi dengan anti-A.

Tabel 2: Insiden golongan darah ABO

Genotip Diaglutinasi oleh Aglutinin Golongan Insiden %


dalam serum darah

a. A1A1, A1O anti-A,anti-A1 anti-B A1 35 }

}  45
b. A2A2, A2O anti-A anti-B A2 10 }

c. BB, BO anti-B anti-A B 8

d. A1B anti-A, anti-A1


anti-B --- A1B 2,5 }

} 3
e. A2B anti-A, anti-B --- A2B 0,5 }

f. OO None anti-A anti-A1 O 44


anti-B

Golongan darah Oh (Bombay)

33
Hampir semua orang memiliki genotip HH, sebagian kecil memiliki genotip Hh dan dalam
keadaan yang sangat jarang memiliki genotip hh. Karena gen-H diperlukan untuk mengubah
‘precursor substance‘ menjadi H-substance, maka orang yang memiliki genotip hh tidak dapat
membentuk H-substance yang selanjutnya tidak akan terbentuk Ag-A atau Ag-B walaupun dia
memiliki gen-A atau gen-B normal.
Maka orang tersebut memiliki gol.darah Oh (Bombay) dimana di dalam serumnya mengandung
anti-A dan anti-B dan anti-H. Sedangkan gol.darah O normal serumnya hanya mengandung anti-
A dan anti-B.
Karena adanya anti-H pada gol darah Oh (Bombay), maka golongan ini inkompatibel terhadap
gol. darah O normal, dan dia hanya dapat menerima donor dari gol.darah Oh (Bombay).

Antibodi
Antibodi merupakan fraksi globulin dari protein plasma, terutama terdiri atas gama-globulin,
tetapi dapat juga merupakan alfa atau beta globulin.
Antibodi yang bersangkut paut dalam perbankan darah dibagi menjadi:
1. antibodi yang aktip di dalam salin
2. antibodi yang tidak aktip di dalam salin

Tabel 3 : Perbedaan antara Ab aktip dan tidak aktip dalam salin

Antibodi aktip dalam salin Antibodi tidak aktip dalam salin

1. Sinonim : Ab-komplet 1. Antibodi inkomplet


Ab-alami Antibodi imun
Ab-tipe dingin Antibodi tipe panas
2. Ig-M dengan BM 900.000 2. Ig-G dengan BM 150.000
Pentamer = 1 molekul terdiri atas 5 Ig Monomer = 1 molekul terdiri atas 1 Ig)
3. Antigen yang membangkitkan belum jelas 3. Antigen pembangkit jelas.
dan merupakan hipotese yaitu bahwa Antibodi timbul akibat masuknya antigen
antibodi ini merupakan antibodi heterofil gol.darah lain kedalam sirkulasi seperti:
yang timbul akibat rangsangan terus - pada akhir kehamilan
menerus oleh bahan yang atau kuman yang - pada persalinan
menyerupai “human blood group specific“ - transfusi darah
mis. E. coli
4. Suhu reaksi optimal 40 C
5. Dapat memberi reaksi aglutinasi dalam4. Suhu reaksi optimal 370 C
medium salin 5. Untuk menimbulkan aglutinasi agar
tampak diperlukan:
a. Medium kental
(Albumin bovin 20-30%)
b. Eritrosit yang telah digarap dengan
enzim( enzyme treated red cells)
c. Serum anti human globulin
6. Mengikat dan mengaktifasi komplemen 6. Sebagian dapat mengikat komplemen
dengan kuat dan sempurna(C1-C9)akan
terjadi hemolitik intra-vaskuler
7. Tidak dapat melewati placenta 7. Dapat melewati placenta
8. Terdapat dalam serum Gol. Darah ABO, 8. Dapat dijumpai pada antibodi terhadap
MN, P, Lewis, I. Gol.darah Rhesus, Kell, Duffy, Kidd

34
Komplemen
Komplemen sebagian besar merupakan beta globulin, bersifat termolabil, terdapat dalam
serum segar dan rusak bila dalam penyimpanan.
Sistem komplemen dalam tubuh ada 9 fraksi yang diberi nama C1 sampai C9, jumlah terbanyak
adalah C3 (1500 ug/ml) kemudian C4 (450 ug/ml) sedang fraksi-fraksi yang lain jumlahnya
sedikit.
Pada reaksi Ag-Ab akan terjadi perubahan di dalam molekul antibodi yang menyebabkan
fragmen Fc menjadi aktip untuk mengikat C1 yang selanjutnya mengaktifasi fraksi komplemen
yang lain secara enzimatik.

Aktifasi komplemen melalui 2 jalur yaitu:


1. Jalur klasik: aktifasi dimulai dari C1C4C2C3C5C6 C7 C8C9 
terjadi lisis osmotik.
2. Jalur alternatip: aktifasi langsung dari C3 sampai C9 tanpa melalui C1, C4, C2
terlebih dahulu. Mis. akibat dipicu oleh: endotoksin, racun ular, agregat
imunoglobulin.
Aktifasi komplemen akibat reaksi Ag-Ab tidak selalu diakhiri dengan lisis osmotik, hal ini
terjadi pada Ab lemah yang hanya dapat mengaktifasi C1 sampai C5 saja, sehingga tidak
menimbulkan lisis osmotik terhadap eritrosit. Antibodi ini umumnya berupa IgG misalnya anti-
Rh, ant-K ( Kell ), anti-Fy ( Duffy ).
Antibodi kuat dapat mengaktifasi komplemen mulai C1 sampai C9 yang mengakibatkan
kerusakan dinding eritrosit , selanjutnya H2O memasuki sel eritrosit dan akan terjadi lisis.
Antibodi ini umumnya berupa IgM, misalnya anti-A, anti-B, anti-P1, anti-M, anti-Lea, anti-Leb.
REAKSI SILANG
Reaksi silang adalah salah satu pemeriksaan yang sangat penting dan mutlak harus dikerjakan
sebelum pelaksaan transfusi darah.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk :
1. Konfirmasi gol.darah donor dan resipien
2. Memberi keyakinan akan manfaat transfusi yang maksimal bagi penderita
3. Mencegah kejadian reaksi transfusi hemolitik
Reaksi silang terdiri atas:
 Reaksi silang mayor (Eri donor + serum resipien)
 Reaksi silang minor (serum donor + eri resipien)

Reaksi silang mayor ini sangat penting, karena tes ini memeriksa ada tidaknya aglutinin
resipien yang mungkin dapat merusak eritrosit donor pada pelaksanaan transfusi.
Sedangkan adanya aglutinin donor yang mungkin dapat mempengaruhi eritrosit resipien
diperiksa dengan reaksi silang minor. Karena aglutinin donor didalam sirkulasi akan sangat
diencerkan oleh plasma resipien, maka reaksi silang minor dianggap kurang penting
dibandingkan dengan reaksi silang mayor.

Reaksi silang terdiri 3 tahap :


1. Reaksi silang salin.
Tes ini bertujuan untuk melihat kecocokan antibodi alami (IgM) dengan Ag eritrosit antara
donor dan resipien.
Hasil reaksi silang yang negatip menunjukkan terdapat kecocokan (kompatibel) antara
darah donor dan resipien.
Bila terjadi kekeliruan pada tes ini, kemungkinan akan terjadi reaksi transfusi hemolitik
yang fatal.
35
Selain itu tes ini juga dapat menilai kebenaran gol.darah donor dan resipien.

2. Reaksi silang albumin.


Media albumin bovin bertujuan untuk mendeteksi antibodi anti-Rh dan meningkatkan
sensitifitas tes antiglobulin.
3. Reaksi silang antiglobulin.
Tes ini bertujuan untuk mendeteksi IgG yang dapat menimbulkan masalah dalam transfusi
yang tidak dapat terdeteksi baik dengan medium salin maupun albumin. Misalnya gol.darah
Rhesus, Kell, Duffy, Kidd.

GOLONGAN DARAH RHESUS


Menurut Fisher dan Race, pada sistem Rhesus terdapat 3 pasang allelic genes yaitu : Dd, Cc,
Ee. Jadi golongan darah Rhesus bisa mengandung antigen C atau D atau E, tetapi antigen D
adalah merupakan antigen Rhesus yang terkuat.
Dikatakan bahwa seseorang mempunyai golongan darah Rhesus positip bila dia memiliki
antigen D dan sebaliknya dikatakan golongan darah Rhesus negatip bila tidak mempunyai
antigen D.
Serum orang gol. darah Rhesus negatip tidak lazim mengandung anti-Rh (anti-D). Oleh
karena itu bila seorang Rhesus negatip memiliki anti-Rh, orang tersebut hampir selalu pernah
menerima sel eritrosit Rh positip.
Dua cara yang paling mungkin sel darah Rh positip mencapai sirkulasi seorang Rh negatip
adalah:
1. masuknya sel darah janin Rh positip lewat plasenta kedalam sirkulasi ibu Rh
negatip, hampir selalu terjadi pada waktu melahirkan atau kadang-kadang pada
akhir kehamilan.
2. transfusi dari donor Rh positip kepada resipien Rh negatip.
Masuknya sel darah Rh positip kedalam sirkulasi orang Rh negatip akan menyebabkan
pembentukan antibodi anti-Rh (isoimunisasi). Antibodi ini tidak berbahaya bagi orang yang
menghasilkannya, tetapi mungkin menimbulkan masalah bila dia ditransfusi dengan darah Rh
positip atau kehamilan berikutnya bila janinnya Rh positip, karena antibodi tersebut akan
menghancurkan eritrosit donor atau melewati plasenta masuk sirkulasi janin dan
menghancurkan eritrositnya.

Frekuensi golongan darah Rhesus


Kulit putih ( Caucasian ) : 85 % Rhesus positip
15 % Rhesus negatip
Negro Amerika : 90 % Rhesus positip
Indonesia : 99,9 % Rhesus positip
0,1 % Rhesus negatip

36
Mother
Group O Rh negative

Macrophage
antigen presenting cell

Anti-A (IgM) Anti-B (IgM)


T helper
cell

B cell

Anti-D (IgG)
Placenta

Infant red cell

O Rh positive A Rh positive B Rh positive


Infant

Gambar 2 : Mekanisme sensitisasi Rh dan efek inkompatibel gol. darah ABO

TES ANTI GLOBULIN ( TES COOMBS )


Prinsip:
1. Molekul antibodi dan komplemen adalah globulin manusia (human globulin)
2. Bila kelinci disuntik dengan globulin manusia, kelinci tersebut akan membentuk antibodi
terhadap globulin manusia (anti-human globulin).
3. Anti-human globulin ini akan bereaksi secara spesifik dengan globulin manusia.
Apabila di dalam plasma terdapat IgG yang sesuai dengan antigen pada permukaan dinding
eritrosit, maka IgG tadi akan berikatan dengan antigen tersebut, sehingga permukaan dinding
eritrosit penuh dilekati oleh IgG (sensitisasi). Eritrosit yang telah tersensitisasi invivo ini tetap
tidak menunjukkan aglutinasi.
Apabila eritrosit ini kita ambil dan setelah dicuci dengan salin ditambahkan anti human globulin
maka akan terjadi aglutinasi.
Atas dasar peristiwa ini maka dikenal adanya tes antiglobulin (Coombs test).

37
Tes antiglobulin ada 2 macam:
1. Tes antiglobulin direk, yaitu mendeteksi adanya eritrosit yang terlekati oleh IgG
2. Tes antiglobulin indirek untuk mendeteksi IgG-anti eritrosit yang beredar bebas di dalam
plasma penderita dengan menggunakan panel eritrosit yang telah diketahui jenis
antigennya.

Dalam klinik lebih sering dikerjakan tes antiglobulin direk untuk :


 Untuk membantu diagnose Anemia hemolitik autoimun
 Untuk membantu diagnose ‘ hemolytic disease of the new born ‘

DONASI DARAH
Dua hal yang perlu diperhatikan pada donasi darah yaitu :
1. Harus tahu pasti bahwa jika donor diambil darahnya tidak akan terjadi sesuatu yang
merugikan dirinya.
2. Donor tidak mengandung penyakit yang dapat menulari resipien.
Persyaratan donor:
 Umur : 20 – 60 tahun
 Usia dibawah 17 tahun ditolak, karena masih dalam pertumbuhan. Usia diatas 60
tahun ,sebaiknya ditolak kecuali ada ijin dokter keluarga (bila terdapat atero-sklerosis
dapat terjadi CVA ).
 Interval: di Indonesia interval antara 2 donasi 3 bulan, di USA minimal 2 bulan. Jika
darah diambil 400 cc,dalam 6-7 hari kadar Hb akan turun dan kembali semula setelah
1 bulan.
 Di Indonesia lazimnya pengambilan darah 250–350 cc . Kadar Hb: Pria > 13,5 g/dl, di
Indonesia > 12 g/dl, wanita > 12,5 g/dl , di Indonesia > 11 g/dl
 Tekanan darah: Sistole 90 – 180 mmHg, dan diastole 50–100 mmHg.
 Nadi dan Suhu: nadi 50–100/menit reguler, dan suhu 37,5 oC
 Penyakit: Calon donor ditolak bila,
a. dicurigai hepatitis atau carrier yaitu pernah ikterik, HbsAg (+), anti-HBc
(+), anti HCV (+)
b. dicurigai Lues apabila VDRL (+) 1:4 dan TPHA (+)
c. pernah menderita malaria (Plasmodium malariae dan vivax)
d. homosex dan pecandu narkotik
e. tes penyaring anti HIV (+)

Penyimpanan darah
Eritrosit adalah sel yang hidup dan memerlukan energi untuk mempertahankan
kehidupannya dan fungsinya sebagai pembawa O2 dan melepaskannya kedalam jaringan.
Tujuan utama transfusi darah adalah untuk mempertahankan agar jaringan tubuh penderita
tetap mendapat O2 yang optimal. Oleh karena itu diperlukan cara pengawetan dan penyimpanan
darah yang memenuhi syarat agar tujuan transfusi tersebut dapat tercapai.

Penyimpanan darah ada 2 macam:


1. Dalam bentuk cair (sering).
2. Dalam bentuk beku, yaitu dengan menambah gliserol dan disimpan pada suhu
dibawah –650 C (jarang dilakukan di Indonesia).

Penyimpanan dalam bentuk cair.


Penyimpanan eritrosit dalam bentuk cair memerlukan ‘anticoagulant preservative solution’ yang
steril, yang berguna untuk :
1. Mencegah pembekuan darah.

38
2. Menyediakan makanan untuk metabolisme sel-sel eritrosit selama dalam
penyimpanan.
Macam ‘anticoagualant preservative solution ‘ adalah :
 ACD (Acid Citrate Dextrose) 73 ml + (450 ml + 10%) darah, masa kedaluwarsa 3
minggu.
 CPD (Citrate Phosphate Dextrose) 63 ml+(450 ml+10%) darah, masa kedaluwarsa
3 minggu
 CPDA-1 (Citrate Phosphate Dextrose Adenine), 63 ml+ (450 ml + 10 %) darah,
masa kedaluwarsa 5 minggu.

Didalam antikoagulan, citrate berperan untuk mengikat ion kalsium guna mencegah
pembekuan darah, sedangkan dextrose digunakan eritrosit agar selalu dapat menghasilkan ATP
melalui metabolisme glikolisis untuk mempertahankan kehidupannya selama dalam
penyimpanan.
Darah yang telah dicampur antikoagulan ini disimpan pada suhu 40 C dengan tujuan:
1. Memperlambat proses glikolisis sehingga dextrose tidak cepat habis
2. Menghambat proliferasi bakteri yang mungkin ikut masuk pada saat pengambilan
darah donor
3. Memperlambat penurunan kadar 2,3-DPG (diphospho glycerate), agar fungsi
transportasi O2 eritrosit tetap baik.

Perubahan yang terjadi selama penyimpanan


1. Eritrosit akan segera kehilangan ATP dan 2,3-DPG selama penyimpanan. Pada
pencampuran darah dengan CPD akan didapatkan pH 7,4–7,5.
Walaupun disimpan pada suhu 40C eritrosit tetap melakukan metabolisme sehingga
semakin lama masa simpan, dextrose semakin banyak dimetabolisir menjadi asam laktat
dan terjadi penumpukan ion H, sehingga pH plasma semakin turun.
Makin turun pH plasma makin rendah kadar 2,3-DPG eritrosit, turunnya kadar 2,3-DPG
menyebabkan afinitas Hb terhadap O2 meningkat sehingga terjadi penurunan kemampuan
Hb untuk melepaskan O2 kedalam jaringan.
Eritrosit yang selama penyimpanan mengalami perubahan masih dapat ditransfusikan
selama belum kedaluwarsa, sebab setelah ditransfusikan eritrosit akan memulihkan
kadar ATP dan 2,3-DPGnya, dan dalam 24 jam kadarnya akan menjadi normal kembali
demikian pula fungsi Hbnya.

Tabel 4 : Perubahan eritrosit pada penyimpanan


H A R I

Eritrosit 0 7 14 21

2,3-DPG (%) 100 99 50 15


ATP (%) 100 96 83 86
Sel hidup 24 jam pasca transfusi 100 98 85 80

1. Granulosit mulai kehilangan daya fagosit dan baktericid dalam 4 sampai 6 jam dan
dianggap tidak berfungsi setelah 24 jam. Tetapi granulosit tidak kehilangan sifat
antigenik dan dapat mensensitisasi resipien yang menyebabkan reaksi transfusi febris
pada transfusi dibelakang hari.
2. Trombosit akan kehilangan fungsi hemostatiknya dalam 48 jam.
3. Faktor V dan VIII akan kehilangan daya hemostatiknya lebih dari 50% setelah 48
sampai 72 jam.
39
4. Mikroagregat yang merupakan gumpalan terdiri atas trombosit, lekosit, benang fibrin,
‘cold-insoluble globulin’, kotoran sel-sel, jumlah dan ukurannya akan meningkat
sebanding dengan lamanya penyimpanan
5. Perubahan biokimiawi

Tabel 5 : Perubahan kandungan plasma pada penyimpanan


H A R I

Kandungan plasma 0 7 14 21

PH 7,20 7,00 6,89 6,84


Kalium (mEq/L) 3,9 11,9 17,2 21,0
Hemoglobin plasma (mg/dl) 1,7 7,8 12,5 19,1

T I K Transfusi Darah
1. Mengetahui 8 macam komponen darah
2. Mengetahui indikasi penggunaan setiap komponen darah
3. Memahami pelaksanaan transfusi darah
4. Memahami resiko transfusi darah
5. Memahami tindakan bila terjadi reaksi transfusi.

Bahasan
Transfusi Darah
Transfusi merupakan terapi ganti untuk menggantikan komponen darah yang berkurang,
sedangkan komponen darah yang tidak diperlukan dapat diberikan kepada orang lain yang
memerlukan, sehingga penggunaan darah menjadi efektip dan efisien.

Macam komponen darah dan indikasi penggunaan


1. Darah utuh ( whole blood )
Satu unit berisi 250 – 450 cc darah dalam kantong plastik yang mengandung anticoagulant-
preservative solution 33 – 63 cc CPDA-1. Darah ini masih mengandung semua komponen
darah lengkap, kecuali ion kalsium telah dipresipitasi oleh sitrat.
Tergantung umurnya dari saat pengambilannya, darah utuh dibagi:
1.1 . Darah utuh sangat segar, umurnya kurang atau sama dari 6 jam dan masih berisi
trombosit dan semua faktor pembekuan darah termasuk faktor labil(F V).
1.2 . Darah utuh segar, umurnya 6 jam sampai dengan 24 jam dan kandungan
komponennya sama dengan darah utuh sangat segar kecuali faktor labil (F V) sudah
hilang.
1.3 . Darah utuh simpan, umurnya setelah 24 jam sampai 3-5 minggu tergantung jenis
anticoagulannya. Darah ini mengandung eritrosit, albumin dan faktor-faktor
pembekuan darah yang berumur panjang (selain F V, VIII).

Indikasi penggunaan darah utuh


Darah utuh digunakan untuk mengganti kehilangan eritrosit yang disertai penurunan
volume darah dalam sirkulasi.

40
Darah ini umumnya diberikan pada perdarahan yang melebihi 25 % volume darah dalam 24
jam. Walaupun jumlah darah yang hilang sukar ditentukan secara langsung, tetapi secara
tidak langsung dapat diperkirakan dengan melihat tanda-tanda:
 Hipovolemia : tekanan darah turun, nadi meningkat, desakan nadi mengecil dan
ujung jari dingin.
 Defisit Oxygen carrying capacity : lemah, pucat, nafas pendek, tachycardia,
hipotensi postural, sinkop, angina, hipoksia otak, yang disertai penurunan kadar Hb
< 6 g/dl.

Pada kehilangan darah kurang dari 25 % volume darah, masih dapat diatasi dengan cairan
elektrolit (kristaloid), sedangkan kehilangan darah lebih 30 – 50 % volume darah masih
dapat diganti dengan cairan elektrolit + darah endap, atau dengan darah utuh.
Kecepatan pemberian darah utuh untuk penderita hipovolemia biasanya 1 liter (4 unit a`
250 cc) dalam 2–3 jam.
Satu unit (250 cc) bila tidak terdapat perdarahan dapat meningkatkan hematokrit (PCV) 1,5
% atau Hb 0,5 g/dl.

2. Darah endap (Packed red cell = PRC)


Darah endap berasal dari utuh yang dipusing atau diendapkan kemudian dipisahkan
plasmanya. Dari 1 unit (250 cc) diperoleh darah endap 125 cc dan hematokrit(PCV) lebih
darti 75 %.

Indikasi penggunaan darah endap


Darah endap diberikan pada penderita anemia disertai gejala defisit oxygen carrying
capacity tetapi tidak disertai penurunan volume darah (hipovolemia) yaitu pada anemia
kronik misalnya : anemia aplastik, anemia pada lekemia, thalassemia, mielofibrosis.
Dahulu para klinisi menentukan kapan penderita anemia kronik harus ditransfusi
berpedoman pada nilai hematokrit atau kadar Hbnya. Sekarang pedoman ini mengalami
perubahan yaitu klinisi cederung untuk menghindari transfusi bila tidak terlihat tanda-
tanda atau gejala klinis akibat anemia. Mereka mendahulukan pemberian obat-obatan
seperti zat besi, B12, asam folat, atau eritropoitin, kecuali kondisi penderita tidak stabil.
Sebagian besar penderita toleran terhadap kadar Hb 7 – 10 g/dl tanpa memerlukan transfusi.
Transfusi diberikan sampai gejala–gejala defisit oxygen carrying capacity hilang,
biasanya sampai kadar Hb 8–10 g/dl.

Keuntungan penggunaan darah endap adalah:


1. dengan volume transfusi yang sama dapat menaikkan kadar Hb 2 X lebih tinggi
2. dapat dihindari resiko terjadinya `circulatory overload`
Kecepatan transfusi adalah 1cc/kg BB/jam.

3. Darah merah cuci (Washed red cells)


Darah ini dibuat dari darah endap (PRC) yang dicuci dengan saline 3 kali untuk
menghilangkan seluruh plasmanya, dan darah ini harus segera ditransfusikan dalam 4 jam
setelah pembuatan.

Indikasi penggunaan darah merah cuci


Penderita yang memerlukan transfusi berulang-ulang misalnya Thalassemias, Anemia
aplastik, PNH, tetapi pada transfusi yang lalu pernah mengalami reaksi alergi, urtikaria
berat, atau reaksi anafilaksis ( penderita alergi terhadap protein plasma donor).
Kecepatan transfusi adalah 1cc/kg BB/jam.

4. Trombosit

41
Untuk keperluan transfusi trombosit digunakan trombosit konsentrat yang dibuat dari
darah utuh segar (fresh whole blood) dipusing 2500 rpm selama 5 menit kemudian plasma
yang kaya trombosit (platelet rich plasma) dipisahkan , kemudian plasma tersebut
dipusing lagi 4100 rpm selama 5 menit lalu dipisahkan plasmanya dan disisakan 30–50 ml
berupa trombosit konsentrat.
Dari 250 cc darah utuh dapat diperoleh trombosit konsentrat yang mengandung trombosit
2,5 X 1010 (1 unit), masa hidupnya 3–5 hari pada suhu 220 C dan diletakkan diatas agitator
secara horisontal.
Untuk transfusi trombosit paling baik menggunakan gol.ABO dan Rh donor yang
sama dengan resipien. Bila dalam keadaan darurat dan trombosit yang kompatibel tidak
tersedia, dapat menggunakan trombosit yang inkompatibel. Secara teoritis 1 unit dapat
meningkatkan jumlah trombosit + 5000 /mm3.

Indikasi transfusi trombosit :


 Perdarahan yang disebabkan oleh trombositopenia seperti pada anemia aplastik, lekemia
akut, transfusi masif.
 Perdarahan karena trombositopatia (kelainan fungsi trombosit) seperti Bernard Soulier
syndrome.
Untuk transfusi trombosit gunakanlah ‘infuse set’(tanpa filter) dengan tetesan secepat
mungkin sampai perdarahan berhenti. Jangan digunakan ‘transfusion set’ karena
trombosit akan terperangkap pada filternya, sehingga hasil transfusi trombosit akan sia-
sia. Dosis : 1 Unit/10 Kg BB

5. Fresh frozen plasma (FFP = plasma segar beku)


Adalah plasma yang dipisahkan dari darah utuh segar (usia darah kurang 8 jam dari
penyadapan darah) kemudian dibekukan.
Plasma ini masih mengandung semua faktor pembekuan darah.
Indikasi:
1. Untuk koreksi perdarahan yang tidak jelas karena kekurangan faktor
pembekuannya (PPT dan APTT lebih dari 1,5 X normal)
2. Untuk koreksi cepat perdarahan akibat over dosis Warfarin /Coumarin
(antikoagulan), karena bila dengan terapi Vit. K saja, efeknya baru terlihat 12
jam setelah terapi. Oleh karena itu keduanya diberikan secara bersama.

Dosis: 10 ml/KgBB pada 1jam pertama, kemudian 1cc/KgBB/jam sampai PPT dan APTT
kurang 1,5 X normal
Pemberian plasma tidak memerlukan reaksi silang, tetapi gol. darah plasma donor
dan resipien harus sama.

6. Cryoprecipitate
Dari 250 cc darah utuh segar dapat dibuat 15–20 cc Cryoprecipitate yang mengandung
50-75 IU F.VIIIc, 40-125 mg fibrinogen dan Faktor von Willebrand.

Indikasi:
Perdarahan akibat:
1. Hemofilia A
2. Penyakit von Willebrand
3. Afibrinogenemia (mis. DIC)

Pelaksanaan transfusi
1. Penderita dipersiapkan dengan pemasangan infus lar. NaCl 0,9% (saline) menggunakan
‘transfusion set’ berfilter 170 u dengan jarum (18-19G).

42
2. Penderita diukur tekanan darah, nadi, nafas, suhu tubuhnya, dan waktu mulai transfusi,
kemudian data dicatat pada dokumen medik transfusi .
3. Unit darah donor diperhatikan warna plasmanya dan bila berwarna coklat kehitaman
atau keruh jangan diberikan. Cocokkan dengan teliti identitas penderita dengan label
pada labu darah (nama penderita, No.register, dan hasil reaksi silangnya). Kebanyakan
reaksi transfusi hemolitik disebabkan oleh kesalahan identifikasi penderita.
Obat-obatan atau larutan lain tidak boleh dicampur kedalan labu darah kecuali saline.
4. Dalam 15 menit pertama tetesan pelan-pelan dan dokter / perawat harus menunggu
disamping penderita sambil mengawasi keadaan umum, keluhan penderita, perubahan
tekanan darah, nadi, nafas dan suhu tubuhnya dan diulangi 15 menit berikutnya.
Reaksi hemolitik hebat biasanya terjadi setelah darah masuk 50 cc pertama. Bila tidak
terlihat tanda-tanda reaksi transfusi, maka dapat diteruskan dengan kecepatan normal
(20 - 40 tetes/menit) atau 1 unit darah selesai tidak lebih dalam 4 jam. Umumnya darah
tidak perlu dihangatkan, kecuali pada transfusi cepat (lebih dari 1 liter/2 jam) perlu
dihangatkan 37 C.
Jika tidak ada hipovolemia dan keadaan jantung baik pemberian maksimal 1000 cc per
24 jam adalah aman.
5. Setelah transfusi selesai diperiksa lagi tekanan darah, nadi,nafas, suhu tubuh dan waktu
selesai transfusi kemudian dicatat pada dokumen medik transfusi lalu ditanda tangani.

Resiko transfusi darah


Adalah semua kejadian yang tidak menguntungkan penderita yang timbul selama atau
sesudah pemberian transfusi darah, dan memang ada hubungannya dengan transfusi darah
tersebut.
Resiko transfusi darah meliputi:
1. Reaksi transfusi cepat, yang timbul selama transfusi sampai 48 jam sesudahnya.
2. Reaksi transfusi lambat, yang timbul setelah lebih dari 48 jam pasca transfusi.
3. Circulatory overload
4. Penularan penyakit

1. Reaksi transfusi cepat


1.1. Reaksi panas non hemolitik
Reaksi ini paling sering terjadi (75%). Reaksi ini disebabkan oleh reaksi antara
lekoaglutinin resipien dengan lekosit donor. Peristiwa ini sering terjadi pada
penderita yang mendapat transfusi berulang.
Gejala timbul ½ jam setelah transfusi masuk sampai 3 jam pasca transfusi. Ditandai
demam, suhu meningkat lebih 1 C, nadi cepat , umumnya tekanan darah normal.
Tindakan:
1. Segera hentikan transfusi, set infusi diganti dan berikan infusi NaCl 0,9%.
2. Antipiretika seperti tablet paracetamol per oral.
3. Setelah demam mereda dan terbukti bukan reaksi hemolitik atau reaksi septik,
transfusi dapat dilanjutkan dengan unit darah yang lain.
4. Peristiwa ini dapat dicegah dengan memberi transfusi darah merah cuci atau
menggunakan filter lekosit Imugard III.

1.2. Reaksi alergi


Transfusi pada hakekatnya adalah kontak dengan protein asing. Oleh karena itu
terjadi reaksi antara protein plasma donor dan antibodi resipien akan terjadi
degranulasi mastosit atau basofil yang melepaskan histamin, dan menimbulkan
urtikaria , pruritus, tanpa gejala panas dan ini bukan gejala reaksi hemolitik. Insiden
1-3%.dari resipien.

Tindakan:
43
1. Transfusi dihentikan, set infusi diganti dan berikan infusi NaCl 0,9%
2. Observasi tensi, nadi, nafas, suhu
3. Antihistamin
4. Setelah gejala hilang, transfusi dapat dilanjutkan dengan unit darah yang lain.

1.3. Reaksi anafilaktik


Reaksi ini timbul setelah beberapa ml darah atau plasma masuk ditandai batuk,
bronchospasme/laringospasme, kejang abdomen, mual, muntah, dan yang menonjol
shock (circulatory collapse).
Keadaan ini terjadi pada resipien defisiensi IgA yang mempunyai anti-IgA(karena
pernah transfusi darah IgA+). Bila resipien ini mendapat transfusi dari donor yang
IgA + akan terjadi komplek Ag-Ab yang akan merangsang pengeluaran
anafilatoksin dan terjadi reaksi anafilaksis .

Tindakan:
1. Transfusi dihentikan dan diganti infusi NaCl 0,9%
2. Tinggikan kedua tungkai untuk memperbaiki venous return.
3. Adrenalin 0,1-0,2 mg i.v. diulang setiap 5-15 menit sampai sirkulasi membaik.
4. Antihistamin (i.m atau i.v)
5. Kortikosteroid (hidrokortison 100 i.v atau deksametason 4-5 mg i.v)
6. Aminofilin 5 mg/KgBB setelah tekanan membaik
7. Oksigen
8. Peristiwa ini dapat dicegah dengan menggunakan darah merah cuci (washed
red cell) bila transfusi lagi.

1.4. Reaksi transfusi hemolitik


Reaksi transfusi hemolitik akut merupakan komplikasi paling serius disebabkan
oleh gol.darah ABO yang inkompatibel, dimana terjadi reaksi Ag-Ab (IgM) yang
mengakibatkan aktifasi komplemen dan diakhiri dengan lisisnya eritrosit. Di USA
angka kejadiannya 1 dalam 250.000 – 1 juta unit, dan 50% disebabkan oleh
inkompatibilitas ABO.
Keadaan ini lebih sering disebabkan oleh kesalahan identifikasi antara donor dan
resipien.

Gejala:
 Resipien yang sadar mengeluh nyeri pinggang, pada tempat transfusi dan
nyeri dada.
 Menggigil, panas, mual, muntah, sesak napas,
 Reaksi yang berat akan disertai shock ( tekanan darah turun, nadi naik),
gagal ginjal (oliguria, anuria).
 Resipien dalam anastesi, tanda yang menonjol adalah hipotensi yang sukar
dikoreksi dan pada luka operasi timbul perdarahan merembes karena
terjadi DIC.

Diagnosis:
Gejala diatas disertai hemoglobinemia (serum berwarna merah kecoklatan),
hemoglobinuria, hiperbilirubinemia (setelah 5 jam kejadian), urobilinuria.

Tindakan:
1. Transfusi segera dihentikan, set infusi diganti dan berikan infusi NaCl 0,9%.
2. Laporkan reaksi tersebut kepada unit transfusi darah (UTD) setempat.
3. Periksa ulang apakah indentitas pasien dan darah donor sesuai.

44
4. Koreksi hipotensi, kontrol perdarahan dan cegah ATN ( acute tubular necrosis
)
5. Tekanan darah sistolik harus dipertahankan dalam batas normal.
6. Furosemid 40 – 120 mg / iv atau manitol 20% diberikan 100 ml dalam 5 menit.
7. Kembalikan kantong darah donor dan set transfusi ke UTD
8. Ambil sampel darah dan urin untuk pemeriksaan laboratorium.
9. Dirujuk ke ICU atau dokter ahli.

1.5. Transfusion related acute lung injury (TRALI).


Adalah peristiwa yang ditandai dengan infiltrat diparu dan edema paru yang
noncardiogenik.
Keadaan ini terjadi karena terdapat reaksi antara antibodi donor dengan antigen
lekosit resipein.
Peristiwa ini jarang terjadi, di USA angka kejadiannya 1 per 1000 unit dengan
kematian 5 – 10%.
Gejala klinis:
 Demam
 Nyeri dada substernal
 Sesak napas
 Batuk dengan sputum disertai bercak darah.
 Sianosis ( hipoksemia 1 – 4 jam pasca transfusi )
 Ro ukuran jantung normal, tetapi terdapat infiltrat pada kedua paru

Tindakan:
 Bantuan pernafasan (O2)
 Infuse NaCl 0,9% untuk mengatasi hipovolemik dan hipotensi
 Perbaikan biasanya terjadi dalam 48 jam.

1.6. Reaksi septik


Reaksi ini disebabkan darah donor tercemar bakteri gram negatip yang masih
mampu tumbuh pada suhu 40C seperti Proteus, E.coli. Kuman ini menghasilkan
endotoksin yang menyebabkan shock.
Darah yang tercemar kuman plasmanya akan keruh/abu-abu atau berwarna coklat
kehitaman.
Diagnosis pasti dari biakan darah resipien dan sisa darah dalam labu tumbuh kuman
yang jenisnya sama.
Peristiwa ini sangat jarang terjadi, tetapi bila terjadi sering fatal. Oleh karena itu
periksa plasma dalam labu darah sebelum transfusi, bila ragu-ragu unit tersebut
jangan ditransfusikan.
Di Amerika risiko kontaminasi bakteri 12,6 per 1 juta unit terdiri atas Gram + (
Streptococcus dan Staphylococcus ) : 58%, Gram – ( Yersinia enterocolitica ) : 32%
dan bakteri lain: 10%. , dan angka kematiannya sebanyak 22%. (4).

2. Reaksi transfusi lambat


2.1. Reaksi hemolitik lambat
Reaksi ini timbul 3-21 hari setelah transfusi, disebabkan oleh Ab-imun (IgG)
yang tidak terdeteksi pada reaksi silang salin misalnya gol Rhesus. Umumnya
resipien ini pernah mengalami transfusi sebelumnya atau kehamilan (pernah kontak
dengan Ag gol darah diluar ABO).
45
Gejala yang timbul setelah beberapa hari pasca transfusi adalah ikterus, anemia,
hiperbilirubinemia, urobilinuria.
Kelainan ini biasanya sembuh dengan sendirinya.

2.2. Hemosiderosis (Iron overload)


Pada kejadian ini terjadi penimbunan zat besi yang berlebih-lebihan didalam
tubuh. Peristiwa ini baru terjadi bila resipien telah menerima lebih dari 60 unit darah.

3. Hipervolemia (Circulatory overload)


Peristiwa ini terjadi karena pemberian transfusi terlalu cepat atau kebanyakan, apalagi
jika kemampuan otot jantung kurang baik.
Gejala meliputi sesak nafas, batuk-batuk, central venous pressure(CVP) meningkat
seperti yang dijumpai pada payah jantung kiri dengan edema paru.

Tindakan:
1. Transfusi dihentikan
2. Posisi resipien setengah duduk dan diberi oksigen
3. Furosemid 1-2 mg/KgBB dan digitalisasi cepat.

4. Penularan penyakit
Beberapa penyakit yang dapat ditularkan melalui transfusi adalah hepatitis B, hepatitis
C, HIV, Malaria dan Syphilis.
Menurut statistik di Amerika Risiko tertular HIV : 1 per 2 juta unit, HCV : 1 per 1 juta
unit, HBV: 1 per100.000 unit.
Dengan seleksi donor yang baik, penularan penyakit ini dapat diturunkan insidennya.

PEDOMAN PEMAKAIAN
PRC, TROMBOSIT , FFP dan CRYOPRECIPITATE
PRC digunakan bila:
1. Kadar Hb < 7g/dl, tanpa hipovolaemia
2. Kadar Hb 7g/dl s/d 10 g/dl bila terdapat cardiac ischaemia atau gagal jantung
karena anemia

DARAH PENUH digunakan bila:

1. Kadar Hb 7g/dl s/d 10 g/dl bila:


- Perdarahan masih terus berlangsung
- Sesak, lemah, angina, syncope.
2. Perioperative bila kadar Hb < 7g/dl
3. Kehilangan darah akut yang menyebabkan hipovolaemia atau shock.

TROMBOSIT
1. Transfusi profilaksis sebelum tindakan bedah / invasive lain yang dapat
menimbulkan perdarahan:
- Trombosit < 50 x 10 9/L
- Trombosit > 50 x 10 9/L tetapi terdapat disfungsi trombosit ( bawaan
atau drug induced )
2. Transfusi profilaksis pada gagal sumsum tulang ( leukemia atau malignansi lain
yang menimbulkan aregenerativ megakariosit ) : trombosit < 10 x 10 9/L ( kecuali
pasien pada fase palliative transfusi trombosit diberikan bila klinis terjadi perdarah
signifikan )
3. Transfusi terapi pada perdarahan yang tak terkontrol:
46
Trombosit < 100 x 10 9/L dan/atau terdapat disfungsi trombosit
4. ITP: hanya bila terdapat perdarahan yang mengancam kehidupan.

FRESH FROZEN PLASMA ( FFP )


1. Transfusi profilaksis sebelum tindakan operasi/invasive yang dapat menimbulkan
perdarahan:
2. Koreksi cepat bila terdapat perpanjangan INR atau APTT pada overdosis Warfarin
*) atau defisiensi Vit. K
2.1. Koreksi pada perpanjangan INR atau APTT pada penyakit liver
2.2. Koreksi pada defisiensi faktor koagulasi bawaan bila faktor koagulasi
konsentrat untuk terapi tidak tersedia.
3. Transfusi terapi pada perdarahan karena:
3.1. Overdosis Warfarin *)
3.2. Penyakit Liver
3.3. Defisiensi Vit. K
3.4. Defisiensi faktor koagulasi bawaan bila faktor koagualasi konsentrat khusus
tidak ada.
3.5. DIC
4. Plasma exchange pada thrombotic thrombocytopenic purpura & sindrom yang
Berhubungan
5. Transfusi massive ( lebih dari 1 blood volume / 24 jam ) dengan koagulopati
Indikasinya bila INR > 1,5 atau APTT > 40 detik.
*) disertai Tx Vit. K dosis rendah.

CRYOPRECYPITATE ( 1 – 1,5 labu/ KgBB )


1. Perdarahan dan kadar fibrinogen < 1,0 g /L pada:
DIC
Transfusi massive
Hipofibrinogen heriditer
2. Hemofilia A yang mengalami perdarahan

Kepustakaan

1. Brozovic B, Brozovic M.1986. Manual of Clinical Blood Transfusion. Churchill Livingstone;


London.
2. Kay LA, Huchns ER.1985. Clinical blood transfusion. Pitman Publ.Limited ; London.
3. Mazza J.J.2002. Manual of Clinical Hematology, 3nd Ed. Little Brown and Company ;Boston.
4. RSUD Dr.Soetomo/FK Unair Surabaya.2001. Pedoman pelaksanaan transfusi darah dan
komponen darah, Ed.III ; Surabaya.
5. Ali Hallal et all. 2005. Anemia of Critical illness in : Text Book of Critical Care, 5 thed, vol 1.
Edited by Mitchel P. Fink et all. Elsevier Saunder; Pennsylvania; p 89 – 90.

oooOooo

47
Oleh
Dr. Budiman SpPK(K)
Laboratorium Patologi Klinik
48
FK Unibraw 2001

49

Anda mungkin juga menyukai