Hepsidin pertama kali diisolasi oleh Park et al (2000) pada saat mempelajari
karakter antimikrobial berbagai cairan tubuh manusia. Peptida baru tersebut
diisolasi dari urin dan dinamakannya hepsidin, berdasarkan tempat diproduksinya di
hati (hep-) dan karakter antimikrobial in vitro (-cidin). Studi sebelumnya oleh Krause
et al (2000) juga mengisolasi peptida yang sama dari ultrafiltrat plasma dan
menamakannya Liver expressed antimicrobial peptide (LEAF-1). Hepsidin tersebut
merupakan peptida antimikroba baik terhadap bakteri maupun jamur , ukurannya
kecil dengan berat 2,8 kDa yang terdiri atas 8 residu sistein yang terikat oleh 4 ikatan
disulfida.1
Yang istimewa dan tidak seperti peptida antimikrobial lainnya yang sekuen
peptidanya sangat bervariasi antar species, pada beberapa spesies mamalia (tikus,
babi) dan ikan sekuen hepsidinnya ternyata hampir identik dengan hepsidin
manusia. Namun terdapat sedikit perbedaan antara gen hepsidin manusia dan tikus
yaitu pada manusia hanya terdapat satu macam hepsidin, sedangkan pada tikus
didapatkan dua macam hepsidin yaitu hepsidin-1 dan -2. Namun Lou et al (2004)
mendapatkan bahwa ekspresi hepsidin-2 tidak berpengaruh terhadap metabolisme
besi seperti hepsidin-1. 2
Di tahun-tahun berikutnya penelitian mengenai hepsidin ini makin
berkembang sehingga diketahui bahwa peningkatan produksi hepsidin berhubungan
dengan keadaan-keadaan seperti anemia berat, keganasan, inflamasi kronis, serta
diketahui adanya penurunan produksinya pada hemokromatosis. 2
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai Hepsidin
sebagai petanda kelainan yang berhubungan dengan metabolisme besi . Pada tulisan
ini akan dibahas tentang peran hepsidin pada metabolisme besi, kegunaan klinis
pemeriksaan hepsidin, dan metode pemeriksaan Hepsidin.
1
HEPSIDIN
2
Model struktur hepsidin-25 menurut Jordan et. al Nampak β-sheets (1) peptide backbone
(2), ikatan disulfida (1– 8, 2–4, 3–6, dan 5–7) (3), arginin bermuatan positip dan lysin residu
(4), dan residu asam aspartat bermuatan negatip (5).
Masih belum banyak diketahui tentang isoform terkecil dari hepsidin,
meskipun ada bukti yang menunjukkan bahwa aktivitas calcium-independent tissue
pada ekstrak pankreas mungkin mengawali pemendekan (truncation) dari N
terminal hepsidin-25 menjadi hepsidin-22 dan dipeptidylpeptidase 4 terlibat dalam
proses hepsidin-22 menjadi hepsidin-20. Hepsidin-22 terdapat dalam urin tetapi
tidak/dalam kadar yang sangat rendah terdapat di dalam serum. Isoform terkecil dari
hepsidin hanya terdapat pada serum penderita yang berhubungan dengan
peningkatan kadar hepsidin-25 seperti infark miokard akut (IMA), sepsis, anemia
chronic disease, sindrom metabolik, dan chronic kidney disease (CKD). 3
Penelitian baru baru ini menunjukkan bahwa hepsidin juga diekspresikan oleh
sel selain hepatosit, meskipun dalam kadar yang sangat rendah. Sel tersebut meliputi
tubulus ginjal, jantung, retina, monosit, neutrofil, sel lemak, sel alveolar, sel B
pankreas, dan sel kardiomiokard. Hepsidin yang dihasilkan oleh sel tersebut
nampaknya tidak memberi sumbangan yang berarti pada kadar hepsidin dalam
sirkulasi. Hepsidin yang dihasilkan oleh beberapa sel selain hepatosit tersebut
kemungkinan mempunyai efek lokal pada jaringan tersebut. Melalui interaksi
autokrin dengan ferroportin,hepsidin lokal kemungkinan melindungi sel sekitarnya
dari defisiensi besi, mencegah ekstracelluler oksidative stress, mempengaruhi respon
inflamasi, dan atau menekan pool besi ekstraseluler yang sesuai untuk patogen
ekstraseluler. 3
Dalam sirkulasi, hepsidin berikatan dengan α2-macroglobulin dengan
affinitas yang tinggi sedangkan dengan albumin dengan affinitas yang relatif kecil.
11% hepsidin diperkirakan dalam kondisi bebas dalam sirkulasi. Klirens Hepsidin
diduga terjadi melalui degradasi seluler dengan ferroportin (FPN) sebagai sites of
action dan melalui eskresi ginjal. Karena berat molekulnya rendah dan ukurannya
kecil hepsidin yang tidak terikat sepertinya bebas melewati filtrasi glomerulus. Pada
penelitian kecil terhadap manusia, fraksi ekskresi hepsidin didapatkan dalam jumlah
yang rendah yaitu 0%-5%, selain karena direabsorbsi kembali, seperti halnya dengan
peptida kecil yang lain atau karena tidak bebas difiltrasi. 3
3
Regulasi Hepsidin
Banyak faktor fisiologis dan patologis yang mengatur sintesa hepsidin. Kondisi
dimana kebutuhan besi dalam sirkulasi meningkat ( khususnya aktivitas eritropoitik )
menyebabkan penurunan sintesa hepsidin di liver. Kondisi tersebut termasuk
defisiensi besi, hipoxia, anemia, dan kondisi yang ditandai oleh aktivitas eritropoitik
yang meningkat. Penurunan hepsidin terjadi akibat pelepasan cadangan besi dan
peningkatan absorbsi besi dari makanan. Sebaliknya infeksi dan inflamasi
menyebabkan sintesa hepsidin meningkat. Jalur singnaling diatur oleh kondisi
berikut : status besi, aktivitas eritropoitik, hipoksia dan inflamasi. 2,3
4
Gambar 2. Jalur molekuler dan fungsional dari sintesa hepsidin oleh sel hepatosit 3
Tiga jalur molekuler terdiri atas : HFE/TfR2, BMP/SMAD, dan JAK/STAT. model ini
menggambarkan 2 signal besi terhadap hepsidin, pertama dimediasi oleh cadangan besi
intraseluler (Fe) dan yang lain oleh besi sirkulasi (Tf-Fe2). Cadangan besi hepatoselluler
meningkatkan ekspresi BMP-6, yang berperan sebagai autocrine factor melalui interaksi
dengan permukaan reseptor. HJV adalah MP coreceptor yang memperkuat ikatan BMP.
Sebagai akibat aktivasi intraselular SMAD proteins transduksi signal untuk meningkatkan
transkripsi hepsidin. HJV yang dipecah oleh furin, diatur oleh besi dan hipoksia, menjadi
bentuk soluble component (sHJV). sHJV selanjutnya berperan sebagai decoy coreceptor dan
antagonis dari BMP-6 menginduksi sintesa hepsidin. Pada kondisi besi yang rendah
membrane bound HJV juga dipecah oleh matriptase-2 (scissors) kembali melemahkan signal
BMP-6. Extracellular Tf-Fe2 menjadi mediator signal besi yang kedua kali. Pada skema ini ,
Tf-Fe2 menggantikan HFE dari TfR1. HFE selanjutnya bebas berinteraksi dengan TfR2.
Kompleks HFE–TfR2 mengaktivasi transkripsi hepsidin melalui BMP/SMAD signaling.
Beberapa penelitian membuktikan kejadian tak langsung keterlibatan jalur the hepatic
ERK/MAPK signaling pada regulasi hepsidin oleh besi melalui TfR2 dan atau HFE. Penelitian
pada mice baru baru ini menunjukkan bahwa pemberian besi enteral baik akut atau khronis
tidak mengaktivasi jalur ERK/MAPK, yang menunjukkan jalur ini mungkin tidak
berhubungan dengan fisiologi homeostasis besi in vivo. Hipoksia mempengaruhi liver-
specific stabilization dari HIF-1, yang menginduksi matriptase-2 dan selanjutnya memecah
HJV. Jalur berikutnya berjalan sinergis untuk meningkatkan pelepasan sHJV yang dipecah
oleh furin pada kondisi hipoksia. Erythropoiesis dikendalikan oleh produksi EPO di ginjal dan
berkomunikasi dengan hepatosit melalui protein GDF15 dan TWSG1, yang menghambat
signaling BMP/SMAD terhadap hepsidin. Stimulasi inflamasi ,seperti IL-6 , menginduksi
sintesa hepsidin melalui jalur janus kinase/signal transducer and activator of transcription-
3 (JAK/STAT) .
pO2, partial oxygen pressure; sTfR: soluble TfR; BMPR, BMP receptor; IL-6R: IL-6 receptor.
5
Regulasi oleh signal eritropoitik
Pemberian erythropoiesis-stimulating agents (ESA) menyebabkan penurunan
produksi hepsidin pada murine, manusia, dan penelitian invitro. Bagaimana
eritropoisis mengatur hepsidin tidak begitu jelas. Hipotesanya adalah EPO bekerja
langsung pada reseptor hepatosit pada kultur sel tidak dapat dibuktikan pada hewan
coba dengan anemia, dimana penurunan ekspresi hepsidin tergantung pada
eritropoisis dan tidak secara langsung melaui EPO. Penelitian akhir akhir ini
menunjukkan bahwa signal eritropoisis mungkin melibatkan satu atau lebih protein
yang dilepaskan pada lokasi eritropoisis yang aktiv seperti growth differentiation
factor-15 (growth differentiation factor-15(GDF15) dan twisted gastrulation protein
homolog-1 (TWSG1). Molekul tersebut, seperti BMPs adalah kelompok
transforming growth factor β- family dan kemungkinan berperan dengan
memberikan efek pada jalur BMP/SMAD. 3,4,5
6
endoplasmik. Respon stress ini dapat dikontrol oleh faktor transkripsi cAMP
response- element-binding-protein-H atau oleh stress-inducible transcription factors
CCAATenhancer-binding protein (C/EBPα) dan C/EBP-homolog protein., 3,4,5
7
HEPSIDIN PADA METABOLISME BESI
8
Gambar 3. Iron uptake and recycling.
Kebanyakan besi yang digunakan tubuh berasal dari eritrosit yang sudah tua (senescent) oleh
makrofag dan kembali ke sumsum tulang untuk digunakan oleh erythroid precursors.
Makrofag liver dan retukulum endoplasmik berperan utama sebagai tempat cadangan besi.
Jumlah total besi di dalam tubuh dapat diatur hanya oleh absorbsi, sebaliknya kehilangan
besi terjadi secara pasif melalui pengelupasan kulit dan sel mukosa, demikian juga pada
kehilangan darah. Akibatnya terjadi absorbsi dan kehilangan 1-2 mg besi setiap hari.
Hepsidin mengendalikan kadar besi dalam plasma melalui penghambatan eksport besi oleh
ferroportin dari enterosit dan makrofag. Sebagai konsekuensinya,peningkatan produksi
hepsidin memicu penurunan kadar besi dalam plasma. Ekspresi hepsidin diatur oleh status
besi tubuh, inflamasi, kebutuhan besi eritroid, dan hipoksia melalui jalur pengaturan yang
melibatkan ekspresi gen HFE,transferrin receptor 2 (TFR2), dan hemochromatosis type 2
(juvenile) (HFE2) (=sHJV).
9
HEPSIDIN PADA GANGGUAN BESI
10
penghambatan sintesa hepsidin, bahkan pada kondisi overload besi. Rasio
hepsidin/ferritin juga nampak rendah pada pasien dengan kelainan tersebut. 3
11
kemungkinan meningkatkan virulensi bakteri yang tergantung pada besi makrofag
untuk proliferasinya. Pada anemia of chronic disease (ACD), IL-6 dan sitokin lain
menginduksi kadar hepsidin menyebabkan sequestrasi besi pada makrofag dan
memicu hypoferremia. Selanjutnya ketersediaan besi untuk erythron menjadi
terbatas dan memperberat perkembangan ACD. Saat ini belum ada pemeriksaan
laboratorium tunggal yang dapat secara definitif membedakan ACD dari IDA.
Sehingga untuk membedakan kondisi tersebut dicapai dengan mengkombinasi
beberapa marker biokimia pada metabolisme besi. Pengukuran hepsidin nampaknya
mempunyai potensi dalam algoritma diagnostik untuk membedakan IDA dari ACD
dan kombinasi adanya IDA/ACD. Selain itu pengukuran kadar hepsidin berguna untuk
mengantisipasi dampak suplementasi besi pada penyakit infeksi dan inflamasi ,6,7
12
METODE PEMERIKSAAN HEPSIDIN
13
Baru baru ini Ashby et. al Mempublikasikan pemeriksaan RIA untuk hepsidin.
Dengan alat uji ini secara komersial terdiri dari hepsidin yang mengandung
radioIodine, dan polyclonal rabbit anti-hepcidin antibodies yang dihasilkan dengan
menggunakan hepsidin sintetik yang terkonjugasi pada keyhole limpet hemocyanin.
Alat ini memberikan hasil yang linear pada range 0,6 – 200ng/L, dengan limit of
detection pada 0,6ng/ml dan precisi inter assay <10% untuk konsentrasi range 2,8
ng/ml dengan recovery yang baik. Tidak terjadi reaksi silang dengan prohepsidin,
tetapi didapatkan reaksi silang sebesar 10% dengan fragmen inaktif, hepsidin-20. 9
Swinkels et. al Juga melaporkan pengguanaan RIA untuk mendeteksi hepsidin
pada serum manusia. Alat ini menunjukkan dapat mendeteksi batas yang sangat
rendah (0,02ng/ml), imprecisi yang rendah (4,4-6,2%), dan linearitas dan recovery
yang baik ( range : 81-105%). Kadar hepsidin sampel kontrol dan pasien dengan
defiensi besi dan inflamasi menunjukkan korelasi yang baik dengan penelitian
sebelumnya yang menggunakan time-of-flight MS assay/TOF-MS assay ( range, 2,5-
267 ng/ml;r=0,92, P< 0,0001). Alat ini juga menunjukkan reaksi silang 10- 20%
dengan hepsidin-20 dan hepsidin-22. 9
Kulaksiz et. al mengembangkan uji ELISA untuk menentukan kuantitas
prohepsidin di dalam serum. Alat ini dilaporkan mempunyai reprodusibilitas yang
tinggi, stabil dan sensitive; meskipun demikian kadar prohepsidin gagal menunjukkan
konsistensi hubungan dengan parameter cadangan besi (serum ferritin, besi, saturasi
transferin, atau absorbsi besi). Kelemahan ini juga ditunjukkan oleh penelitian yang
lain dimana kadar prohepsidin gagal menunjukkan peningkatan terhadap respon
yang diinduksi oleh infeksi. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kadar serum
prohepsidin tidak menggambarkan perubahan metabolisme besi dalam kelainan
pengaturan besi seperti halnya yang ditunjukkan oleh bioactive hepsidin. 9
Selain itu ELISA kompetitif juga dikembangkan tetapi data tentang akurasi
dan presisinya tidak disebutkan. Adapun presisi intra assay 5-19% dan presisi
interday nya 12% ( dengan range 0-44%) dengan deteksi limit 5,6 ng/ml. Variasi yang
agak tinggi didapatkan pada konsentrasi < 31ng/ml. Metode ini digunakan untuk
mengukur kadar hepsidin dari sampel klinis pada range 5,6ng/ml – 4ug/ml. Selain itu
juga tidak disebutkan reaksi silang dengan hepsidin -20 dan hepsidin-22. 9,10
14
Koliaraki et. al Melaporkan uji ELISA untuk hepsidin menggunakan recombinant
peptide GA-Hep-FDH6 (recHep ELISA) dan polyclonal antibodies terhadap peptida
tersebut. Range deteksinya 11-1395 ng/ml, dengan limit deteksi 5,6 ng/ml. recHep
ELISA menunjukkan kadar kontrol normal pada 42 ng/ml, kadar rendah untuk
hemokromatosis (12,6ng/ml) dan kadar tinggi pada pasien dengan limfoma Hodgkins
(114ng/ml). Adanya reaksi silang tidak dilaporkan pada penelitian ini. 9,11
Pengembangan ELISA terbaru oleh DRG , menggunakan antibodi monoklonal
terhadap bioaktif hepsidin-25 , tidak didapatkan reaksi silang terhadap prohepsidin,
α-fetoprotein, human chorionic gonadotropin, human placental lactogen, dan follicle
stimulating hormone. Range deteksinya adalah 0.9 sampai 140 ng/ml,dengan kadar
kontrol normal hepsidin adalah 54 ng/ml. 9,11
Fungsional Ligand Binding Assay digambarkan oleh Domenico et. al. Adalah
125
kemampuan human serum berkompetisi dengan I-hepsidin untuk berikatan
dengan I-hepcidin binding domain (HBD). Pengulangan pemeriksaan hepsidin pada
serum menunjukkan variasi < 5%. Kadar hepsidin pada laki laki sehat lebih tinggi
dibanding pada perempuan sehat. Kurangnya informasi analitik dilaporkan pada alat
uji ini. Stabilitas dari HBD masih belum pernah diteliti. 9
Uji MS memerlukan peralatan yang mahal tetapi keuntungannya dapat membedakan
antara hepsidin-25,-22, dan -20. Uji ELISA mengukur kadar total hepsidin , dengan
( tergantung spesifitas antibodi ) kadar yang berbeda dari ketiga bentuk isoform.
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pengukuran kadar hepsidin-25 dibandingkan
total hepsidin untuk mengambil keputusasn klinis masih belum diteliti. Imunoassay
lebih potensial untuk digunakan secara luas dilaboratorium. Selain itu jumlah
pemeriksaan ELISA lebih banyak dibanding MS.
Tabel 2. metode pemeriksaan hepsidin yang ada saat ini
15
Pemeriksaan hepsidin urin mungkin sangat menarik terutama untuk
penelitian , anak anak, dan pasien dinegara berkembang karena proses samplingnya
tidak invasif. Meskipun terdapat hubungan yang bermakna antara hepsidin serum
dan hepsidin urin pada pasien kontrol dan pasien dengan gangguan metabolisme
besi. Kadar Hepsidin urin tidak selalu menggambarkan kadar hepsidin serum.
Interpretasi hepsidin urin sulit karena dipengaruhi oleh GFR, absorbsi tubular,
produksi lokal oleh sel epitel tubular dan sel inflamatory interstitial. Sehingga
pemeriksaan hepsidin urin kurang menguntungkan. Kelemahan lain adalah
pengukuran hepsidin urin sangat sensitif terhadap oksidasi dan relatif tingginya
12
kadar isoform hepsidin, yang tidak dapat dibedakan oleh kebanyakan imunoassay.
Penelitian kecil maupun besar terhadap kontrol sehat menunjukkan besarnya
variasi interval kadar hepsidin pada tiap individu. Hal ini merupakan kelemahan
ketika reference interval tersebut dipakai untuk menginterpretasi kadar hepsidin
pada seseorang. Nampaknya nilai hepsidin seperti hormon yang lain, sebaiknya
diinterpretasi dalam konteks dengan petunjuk metabolisme besi yang lain. Contoh
bahwa kadar “normal” hepsidin pada anemi defisiensi besi mungkin sebenarnya
menunjukkan kadar yang tinggi , dan pembatasan besi terus menerus. 12
Kadar hepsidin sepertinya dipengaruhi oleh faktor sirkadian yang sifatnya
sekunder, kemungkinan karena dikendalikan oleh pengaruh intake besi harian.
Untuk mengurangi variabilitas preanalitik dilakukan standarisasi waktu sampling.
Kadar hepsidin tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin. Pada premenopouse kadarnya
lebih rendah dibanding postmenopouse. Kadarnya lebih rendah pada wanita hamil
yang anemia dibandingkan pada wanita hamil yang tidak anemia. 12
16
RINGKASAN
Hepsidin pertama kali diisolasi oleh Park et al pada tahun 2000 . Pemberian
namanya, didasarkan pada tempat diproduksinya di hati (hep-) dan karakter
antimikrobial in vitro (-cidin). Ukurannya kecil dengan berat 2,8 kDa yang terdiri atas
8 residu sistein yang terikat oleh 4 ikatan disulfida. Hepsidin sebagian besar
dihasilkan oleh hepatosit sebagai 25 amino acid peptide yang disekresikan kedalam
sirkulasi. hepsidin juga diekspresikan oleh sel selain hepatosit, meskipun dalam kadar
yang sangat rendah. Sel tersebut meliputi tubulus ginjal, jantung, retina, monosit,
neutrofil, sel lemak, sel alveolar, sel B pankreas, dan sel kardiomiokard.
Dalam sirkulasi, hepsidin berikatan dengan α2-macroglobulin dengan
affinitas yang tinggi sedangkan dengan albumin dengan affinitas yang relatif kecil.
Klirens Hepsidin diduga terjadi melalui degradasi seluler dengan ferroportin (FPN)
sebagai sites of action dan melalui eskresi ginjal. Banyak faktor fisiologis dan
patologis yang mengatur sintesa hepsidin. Kondisi dimana kebutuhan besi dalam
sirkulasi meningkat ( khususnya aktivitas eritropoitik ) menyebabkan penurunan
sintesa hepsidin di liver. Kondisi tersebut termasuk defisiensi besi, hipoxia, anemia,
dan kondisi yang ditandai oleh aktivitas eritropoitik yang meningkat.
Hepsidin merupakan suatu regulator negatif uptake besi di usus serta release
besi dari makrofag (sehingga terjadi retensi besi di makrofag). Penurunan hepsidin
terjadi akibat pelepasan cadangan besi dan peningkatan absorbsi besi dari makanan.
Sebaliknya infeksi dan inflamasi menyebabkan sintesa hepsidin meningkat. Jalur
singnaling diatur oleh kondisi berikut : status besi, aktivitas eritropoitik, hipoksia dan
inflamasi.
Uji MS memerlukan peralatan yang mahal tetapi keuntungannya dapat
membedakan antara hepsidin-25,-22, dan -20. Perkembangan uji hepsidin secara
imunokimia dihambat oleh sulitnya menghasilkan antibodi antihepsidin yang
spesifik. Kesulitan ini disebabkan oleh hepsidin yang ukurannya kecil dan strukturnya
yang rapat/padat, sehingga epitope antigeniknya sangat jarang. Uji ELISA mengukur
kadar total hepsidin , dengan ( tergantung spesifitas antibodi ) kadar yang berbeda
dari ketiga bentuk isoform. Imunoassay lebih potensial untuk digunakan secara luas
dilaboratorium. Selain itu jumlah pemeriksaan ELISA lebih banyak dibanding MS.
17
DAFTAR PUSTAKA
.
1. Ganz T. Hepcidin, a key regulator of iron metabolism and mediator of anemia
of inflammation. Blood 2003;102:783-8.
2. Ganz T, Hepcidin and iron regulation, 10 years later. Blood 2011; Vol 117; No.
17
3. Kroot JJC,Tjalsma H, Fleming RE, Swinkels DW. Hepcidin in Human Iron
Disorders: Diagnostic Implications Clinical Chemistry 2011 ;57:12;1650–1669
4. Camaschella C, Silvestri L. New and old players in the hepcidin pathway.
haematologica 2008; 93(10) 1443
5. Fleming MD. The Regulation of Hepcidin and Its Effects on Systemic and
Cellular Iron Metabolism. Hematology 2008; 151-158.
6. Camaschella C, Silvestri L, Molecular Mechanisms Regulating Hepcidin
Revealed by Hepcidin Disorders The Scientific World Journal. 2011; 11,
1357–1366
7. Hugman A. Hepcidin: an important new regulator of iron Homeostasis. Clin.
Lab. Haem. 2006, 28, 75–83
8. Swinkels DW, Wetzels JFM, Hepcidin: a new tool in the management of
anaemia in patients with chronic kidney disease? Nephrol Dial Transplant.
2008; 23: 2450–2453
9. Macdougall IC, Malyszko J, Hider RC, Bansal SS. Current Status of the
Measurement of Blood Hepcidin Levels in Chronic Kidney Disease Clin J Am
Soc Nephrol 2010;5: 1681–1689.
10. Ganz T, Olbina G, Girelli D, Nemeth E, Westerman M. Immunoassay for
human serum hepcidin. Blood 2008; Vol. 112; No. 10
11. Geerts I, Vermeersch P, Joosten E. Evaluation of the First Commercial
Hepcidin ELISA for the Differential Diagnosis of Anemia of Chronic Disease
and Iron Deficiency Anemia in Hospitalized Geriatric Patients International
Scholarly Research Network. ISRN Hematology 2012
doi:10.5402/2012/567491
18
12. Kemna EH, Tjalsma H, Podust VN, Swinkels DW. Mass spectrometry-based
hepsidin measurements in serum and urine: analytical aspects and clinical
implications. Clin Chem 2007;53: 620–8
19