Anda di halaman 1dari 15

PENDAHULUAN

Penyakit tromboemboli ( TE ) adalah penyakit akibat trombosis atau


terbentuknya bekuan darah ( trombus ) yang dapat terjadi pada vena, arteri, jantung
atau mikrosirkulasi dan bisa menyebabkan komplikasi akibat obstruksi atau emboli.
Tromboemboli adalah istilah yang umum digunakan untuk menggambarkan baik
trombosis dan komplikasi utamanya berupa emboli. Trombosis yang patologis seperti
Deep Venous Thrombosis ( DVT ), Pulmonary Embolism (PE) , trombosis arteri
koronaria yang menyebabkan infark miokard, dan penyumbatan cerebrovascular
thrombotic nampaknya merupakan respon terhadap gangguan akut atau kronis dari
pembuluh darah, komponen darah, ataupun keduanya.TE merupakan penyebab
terpenting morbiditas dan kematian di negara maju pada saat ini. Kematian akibat
Miokard Infark dan stroke trombosis menjadi penyebab utama kematian di USA,
jumlahnya lebih dari 800.000 orang pertahun ( lebih dari sepertiganya meninggal
dunia). Penyakit Venous Thromboemboli ( VTE ) menjadi penyebab umum terpenting
ketiga dari penyakit kardiovaskuler setelah penyakit jantung aterosklerosis dan stroke .
VTE membunuh lebih banyak orang dibandingkan AIDS dan kanker payudara dan
kombinasi penyakit fatal lain .Insiden thrombosis vena adalah 1-3 per 1000 penduduk
pertahun dimana dua pertiganya adalah Deep Vein Thrombosis ( DVT ) dan
sepertiganya mengalami Pulmonary Embolism ( PE ). Insidennya meningkat dengan
bertambahnya usia .2,4,8,13
Di Indonesia tidak ada data yang pasti tentang prevalensi DVT. Namun studi
yang tengah dilakukan Departemen Ortopedi dan Hematologi FKUI, menunjukkan
kasus DVT cukup tinggi. Dari 17 pasien bedah ortopedi, 13 di antaranya menjalani
pemeriksaan venografi dan ternyata 9 pasien mengalami DVT. 13
Penderita dengan kecurigaan/suspek VTE memerlukan pemeriksaan lanjutan
untuk konfirmasi atau menyingkirkan diagnosa tersebut. Beberapa pemeriksaan
imaging yang ada saat ini belum cukup sempurna karena sifatnya yang invasive, dan
beresiko untuk terjadinya komplikasi . Pemeriksaan D-dimer dapat menutupi
kekurangan tersebut karena sifatnya yang sangat sensitive dan tidak invasive. Test D-
dimer yang tersedia saat ini menggunakan berbagai macam metode sehingga masing
masing mempunyai karakteristik tersendiri, untuk itu kita harus mengenal masing
masing karaketristik tersebut sebelum menggunakannya dalam algoritme diagnosa
VTE.
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai pemeriksaan
laboratorium yang yang efektif dan effisien serta strategi/algoritme diagnostik pada
penyakit thromboemboli .
Pada tulisan ini akan dibahas tentang patofisiologi tromboemboli ,metode
pemeriksan laboratorium dan strategi/algoritme diagnostic penyakit thromboemboli.

1
PATOFISIOLOGI TROMBOEMBOLI
Endothel mengandung tiga jalur thromboregulator yaitu arachidonic acid
-prostacyclin, L-arginine- nitric Oxide, , dan endothelial-ectoadenosine diphosphatase
(ecto-ADPase) secara bersama sama mencegah pembentukan trombus. Sel endotel
merubah arachidonic acid menjadi prostacyclin,dengan bantuan cyclooxygenase-1 atau
cyclooxygenase-2 (COX-1 atau COX-2) dan prostacyclin synthase. COX2 nampaknya
merupakan bagian penting dalam sintesa prostacyclin, didasarkan pada efek selektive
COX2 inhibitor pada ekskresi metabolite prostacyclin. Prostacyclin menghambat fungsi
platelet dengan meningkatkan kadar c-AMP intasellular. Nitric oxide berdifusi kedalam
platelet, menstimulasi produksi cyclic guanosine monophosphate (GMP), dan mengatur
cyclic GMP- dependent protein kinase, menyebabkan penurunan sekunder Ca2+ flux
intaseluler. Penurunan ini menekan peubahan glycoprotein IIb/IIa yang diperlukan untuk
mengikat integrin pada fibrinogen,sehingga menurunkan jumlah dan affinitas dari
fibrinogen binding sites pada permukaan platelet. Ecto-ADPase, merupakan bagian
integral dari permukaan sel endotel, aktivitas enzyme ini menghambat fase
pengerahan pada reaktivitas platelet.
Ketika terjadi kerusakan dinding pembuluh darah atau endothel, kolagen dan
Tissue Factor ( TF ) terpapar dengan aliran darah dan hal ini menjadi awal dari
pembentukan thrombus ( gambar 1 ). Kolagen yang terpapar akan memicu akumulasi
dan aktivasi platelet Sedangkan TF yang terpapar menyebabkan pembentukan
thrombin yang akan merubah fibrinogen menjadia fibrin dan juga akan mengaktifasi
platelet. Jadi ada 2 jalur yang menyebabkan aktifasi platelet . 1, 3

Gambar 1. Response to Vascular Injury.


Collagen and tissue factor associated with the vessel wall provide a hemostatic barrier to maintain the highpressure circulatory
system. Collagen (yellow arrows), located in the subendothelial matrix beneath the endothelium, is not exposed to flowing blood
under normal conditions. Tissue factor (blue arrows), located in the medial (smooth muscle) and adventitial layers of the vessel wall,
comes in contact with flowing blood when the vessel is disrupted or punctured. Both collagen and thrombin initiate trombus
formation. Collagen is a first line of defense, and tissue factor a second line of defense

2
Aktivasi platelet (gambar 2) diinduksi oleh interaksi dari beberapa agonis dengan
reseptor yang terdapat pada membran platelet (gambar2). Panel A, B, C
menggambarkan proses signaling yang dimediasi oleh thromboxane A2 (TXA2),
adenosine diphosphate (ADP), dan trombin. TXA2 disintesa melalui platelet yang
teraktivasi dari arachidonic acid (AA) melalui jalur cyclooxygenase (COX) ( panel A ).
Sekali terbentuk,TXA2 dapat berdifusi melewati membran dan mengaktivasi platelet
yang lain. Pada platelet terdapat 2 sambungan dari reseptor TXA2 yaitu TPα dan TPβ
yang berbeda cytoplasmic tail nya. TPα dan TPβ berpasangan dengan protein Gq dan
G12 or G13. keduanya akan mengaktivasi phospholipase C (PLC). Enzim ini
mendegradasi membran phosphoinositides (seperti phosphatidylinositol 4,5-
bisphosphate [PIP2]) melepaskan second messengers inositol triphosphate (IP3) dan
diacylglycerol (DAG). DAG akan mengaktivasi protein kinase C (PKC), hal ini akan
menyebabkan protein phosphorylation. Pelepasan IP3 meningkatkan kadar cytosolic
Ca2+, yang dilepaskan lewat endoplasmic reticulum. 6
ADP dilepaskan oleh platelet dan eritrosit. Platelet setidaknya mempunyai dua
reseptor ADP, P2Y1 dan P2Y12, yang berpasangan dengan Gq dan Gi, (Panel B).
Aktivasi terhadap P2Y12 menghambat adenylate cyclase, menyebabkan turunnya
kadar cyclic AMP (cAMP) , dan aktivasi terhadap P2Y1 peningkatan kadar Ca2+
intraselular. Reseptor P2Y12 adalah reseptor utama yang dapat memperbesar dan
menyokong aktivasi platelet sebagai respon terhadap ADP. Trombin secara cepat
dihasilkan pada tempat terjadinya kerusakan vaskuler dari circulating protrombin dan
,disamping sebagai mediasi terbentuknya fibrin, mewakili activator platelet paling kuat. 6
( Panel C ) Platelet bereaksi terhadap trombin melaui G-protein–linked protease-
activated receptors (PARs), yang teraktivasi setelah pemutusan N-terminal exodomain
melaui mediasi trombin. Platelet kita memperlihatkan adanya PAR1 and PAR4. PAR1
berpasangan dengan anggota G12/13, Gq, dan Gi protein families. α-subunits dari G12
dan G13 berikatan dengan Rho guanine-nucleotide exchange factors (Rho GEFs),
menyediakan Rho-mediated cytoskeletal responses tyang mungkin berperan dalam
perubahan bentuk platelet. Jalur signaling Gq dan Gi menyebabkan peningkatan
Ca2+intraselular dan menurunkan cAMP. 6
( Panel D ) memperlihatkan efek agonis menyebabkan turunnya kadar cAMP dan
meningkatnya kadar Ca2+ intraselular menyebabkan agregasi platelet melalui
perubahan ikatan ligand dari glycoprotein IIb/IIIa (αIIbβ3), yang memerlukan
kemampuan untuk mengikat soluble adhesive proteins seperti fibrinogen dan von
Willebrand factor. Pelepasan ADP dan TXA2 lebih lanjut akan menginduksi aktivasi
dan agregasi platelet. Rangkaian peptide kecil arginine–glycine–aspartic acid (RGD)
dari adhesive proteins terikat pada reseptor glycoprotein IIb/IIIa . Fibrinogen
mengandung dua rangkaian RGD pada rantai α, satu pada N-terminal region dan satu
lagi pada C-terminal region. Pada penelitian terhadap fibrinogen pada mice
menunjukkan bahwa von Willebrand factor saja tidak cukup untuk mendapatkan
agregasi platelet yang stabil, Mendukung hipotesa bahwa rangkaian ikatan dari von
Willebrand factor pada glycoprotein IIb/IIIa dan glycoprotein Ibα menyebabkan kontak
awal antar platelet, sebaliknya fibrinogen diperlukan untuk membentuk ikatan yang
permanen antara glycoprotein IIb/IIIa yang teraktivasi pada platelet platelet yang

3
berdekatan untuk menjamin pembentukan agregasi yang stabil. TXAS menunjukkan
sintesa thromboxane ,PGH2 prostaglandin H2, dan PLA2 phospholipase A2.6

gambar2. Mekanisme aktivasi platelet


gambar 2.Aktivasi platelet

Aspek hematologi pada trombosis didasarkan pada 3 faktor yang biasanya


mengacu pada Triad of Virchow, yang meliputi :Abnormalitas dinding pembuluh darah,

4
1,
Abnormalitas Aliran darah dan Abnormalitas komponen darah ( hiperkoagulabilitas ).
2,5

Trombosis arterial sering sebagai akibat kerusakan didinding pembuluh darah


seperti Aterosklerosis atau hemosisteinemia. Diawali dengan terjadinya eksposure
matrik subendothelial akibat terkelupasnya sel endotelial sehingga endotel kontak
dengan aliran darah.Terjadi interaksi antara platelet glikoprotein VI dengan kolagen dan
Glikoprotein Ib – V- IX dengan Von Willebrand Factor ( VWF) , menyebabkan
terperangkapnya platelet.Interaksi antara platelet dengan platelet dimediasi oleh ikatan
dengan αIIb β3 pada fibrinogen dan VWF.akibatnya platelet yang lain menjadi
teraktivasi dan mulai melepaskan isi dari α dan dense granule . yang dilepaskan dari
dense granule adalah adenosin difosfat (ADP), adenosin trifosfate, kalsium, dan
serotonin ke lingkungan sekitarnya menyebabkan pengerahan dan aktivasi platelet
disekitarnya.Reaksi pelepasan tersebut dan sintesa thromboxane A2 ( TxA 2 ) dan
agonis lain menginduksi agregasi lebih banyak platelet dan memperbesar sumbat
platelet sementara.Platelet yang melekat menyediakan permukaan phospolipid yang
kaya phosphatidylserine untuk mendukung dan mengkonsentrasiklan thrombin dan
fibrin yang diperlukan untuk memperkuat dan menstabilkan sumbat platelet. 1, 2,5
Arterial trombosis awalnya terjadi pada kondisi aliran darah yang cepat. Aliran
turbulen menyebabkan kerusakan endotel akibat arus balik. Aliran darah normal adalah
laminar, dimana elemen selular mengalir pada bagian sentral lumen pembuluh darah
terpisah dari endthel oleh aliran pelan clear zone of plasma. 1, 2 Trombosis pada arteri
disebut trombus putih karena komposisinya didominasi oleh trombosit dan hanya sedikit
fibrin, eritrosit atau lekosit. Adanya hipertensi , aliran darah turbulen pada titik
percabangan arteri dan hiperviskositas adalah faktor faktor yang menyebabkan
terbentuknya trombosis arteri.2, 5
Trombus Arterial bisa terbentuk pada seluruh bagian dari system kardiovaskuler,
baik pada ruang jantung, katup jantung, arteri, dan kapiler. Trombus mempunyai ukuran
dan bentuk yang bervariasi tergantung pada tempat asal dan keadaaan
sekitarnya.Ketika trombus terbentuk pada jantung atau aorta secara makroskopi
nampak adanya lapisan yang disebut garis Zahn yang terdiri dari bagian pucat yang
mengandung platelet,bercampur dengan fibrin dan bagian yang gelap adalah eritrocyt.
Pada Vena dan arteri kecil garis Zahn tidak nampak. Trombus arteri atau kardiak
trombus yang terdapat pada ruang jantung atau aorta biasanya menempel pada dinding
pada struktur tersebut dan disebut mural trombus. Gejala trombosis arteri tergantung
dari lokasi dan besarnya . Trombus arteri dapat terlepas dari trombus primer untuk
menyumbat arteri distal. Contohnya adalah trombus pada arterial serebral akan
mengakibatkan Transient Ischemic Attack ( TIA ) ,Trombosis pada arteri koroner
mngakibatkan angina pektoris dan infark miokard. Trombosis pada arteri perifer akan
menyebabkan klaudikasio intermmitten atau nekrosis/gangren. 2, 5
Pada trombosis vena , permukaan dari lumen dinding pembuluh darah secara
histologi biasanya normal dan faktor ekstrinsik terhadap pembuluh darah nampaknya
berperan utama dalam patofisiologinya.Kecuali pada trombosis vena femoralis yang
terjadi setelah operasi panggul, yamg melibatkan kerusakan jaringan yang luas dan

5
melibatkan vena. Sejumlah kecil platelet yang teraktivasi sepertinya menyediakan
permukaan phospholipid untuk mendukung formasi thrombin dan fibrin. 1, 2
Trombosis vena terjadi pada kondisi aliran darah yang lambat dan hal ini
diperkuat oleh perlambatan dan stagnasi dari aliran akibat berkembangnya trombus itu
sendiri.Struktur anatomi dari katub vena menimbulkan arus Eddy yang menyebakan
pockets of stasis bahkan pada vena normal.Trombosis pada vena disebut trombus
merah karena komposisinya didominasi oleh eritrosit dan fibrin dan sedikit platelet atau
lekosit. Morfologi trombus pada vena biasanya mirip dengan bekuan darah pada test
tube. Trombus vena biasanya dimulai di vena betis yang kemudian meluas sampai
vena proksimal, sering dimulai sebagai deposit kecil pada sinus vena besar di betis ,
paha atau vena yang langsung terkena trauma. Beberapa kelainan herediter dan
kondisi tertentu disertai dengan meningkatnya faktor koagulasi menjadi predisposisi
terjadinya trombosis vena (tabel 1).2, 4,5
Mekanisme penyebab trombosis yang lain adalah hiperkoagulabilitas. Keadaan
hiperkoagulabilitas sinonim dengan thrombofilia yang mengacu pada kelainan bawaan
atau didapat pada system hemostatik ,dimana bila terjadi pada seseorang akan
meningkatkan resiko trombosis vena atau arteri. Secara invitro pasien dengan Keadaan
hiperkoagulabilitas darahnya akan membentuk bekuan dalam waktu yang cepat. 1
Hampir 99 % emboli disebabkan oleh terlepasnya trombus ,sehingga sampai
sekarang masih dipakai istilah tromboemboli.Jarang sekali emboli berasal dari butiran
lemak,gelembung udara atau gas nitrogen, debris aterosklerosis (emboli kolesterol ),
fragmen tumor, dan benda asing seperti peluru.Jadi setiap emboli harus dianggap
berasal dari trombus kecuali ada hal khusus. Apabila trombus melewati pembuluh
darah yang terlalu kecil maka akan menyebabkan emboli yang menutup sebagian atau
total.Akibat terjadinya tromboemboli adalah nekrosis iskemia jaringan distal yang
disebut sebagai infark. Terjadinya tromboemboli bisa melalui sirkulasi pulmoner atau
sistemik. Lebih dari 95% emboli vena berasal dari DVT tungkai atas yang terbawa
melalui pembuluh darah yang lebih besar menuju ventrikel kanan kemudian masuk
pada pembuluh pulmoner, tergantung kepada ukuran embolus, bisa menutup cabang
utama arteri pulmoner, melintang pada bifurcatio, atau lewat menuju cabang yang lebih
kecil ( arteriole ). Jarang embolus vena melalui defek interatrial atau interventrikuler
menuju sirkulasi sistemik. 14
Tromboemboli systemic mengacu kepada emboli yang melaui sirkulasi arterial.
Lebih dari 80% berasal dari mural thrombus intrakardiak, 2/3 nya berhubungan dengan
infark dinding ventrikel kiri dan sisanya berhubungan dengan dilatasi ventrikel kiri.
Berbeda dengan emboli vena yang cenderung menyangkut pada satu vaskuler bed,
emboli arterial bisa menyebar ke banyak tempat, tempat utamanya adalah pada
ekstremitas bawah (75%) , otak (10%) dan sisanya bisa mengenai usus, ginjal ,lien, dan
ekstremitas atas. 14

6
Tabel1. Faktor resiko untuk trombosis
Acquired Disorders Predisposing to Thrombosis

Vascular Disorders

Atherosklerosis

Diabetes

Vasculitis

Prostetic material

Abnormal Rheology

Stasis ( Immobilization, Surgery, CHF )

Hyperviscositas ( Polycytemia vera,Waldenstrom macroglobulinemia, acute leukemia,sickle cell disease )

Hypercoagulable states

Primary (Genetic) : Mutations in factor V Antithrombin III deficiency

Proteins C or S deficiency Fibrinolysis defects

Homocysteinemia Allelic variations in prothrombin levels

Secondary (Acquired))/ Other disorders associated with hypercoagulability

High risk for thrombosis

  Prolonged bed rest or immobilization   Myocardial infarction

  Tissue damage (surgery, fracture, burns)   Cancer

  Prosthetic cardiac valves  Disseminated intravascular coagulation

  Heparin-induced thrombocytopenia   Antiphospholipid antibody syndrome

Lower risk for thrombosis

  Atrial fibrillation

  Cardiomyopathy

  Nephrotic syndrome

  Hyperestrogenic states

  Oral contraceptive use

  Sickle cell anemia

  Smoking

7
METODE PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan laboratorium pada acut VTE dilakukan untuk melihat adanya
peningkatan kadar cross-linked fibrin degradation product ( D-dimer )/ D-d. Mekanisme
terbentuknya D-d diawali oleh pemecahan fibrin clot oleh plasmin. Target aktivitas
plasmin adalah pada fragmen D dan E yang kehilangan coiled-coil region .aksi ini
menghasilkan fragmen dengan ukuran dan struktur yang berbeda dan integritas dari
fibrin polimer hilang. Degradasi yang lengkap menghasilkan produk degradasi terkecil
berbentuk dimeric dari fragmen D yang terdiri atas ikatan intermolekuler rantai у.
fragmen ini dikenal sebagai D-dimer ( gambar 3 ). Kompleks yang lebih besar yang
tersusun atas kombinasi fibrin polimer pada protofibril juga ditemukan .Fragmen besar
tersebut selanjutnya dapat didegradasi oleh plasmin kedalam kompleks yang lebih
kecil. Degradasi fibrin lebih lambat dibanding fibrinogen karena ikatan kovalen diantara
fibrin monomer oleh factor XIIIa menyebabkan tempat pemisahan oleh plasmin kurang
terakses Konsentrasi fibrinogen mencapai 2-4 mg/ml sebaliknya konsentrasi Plasmin
lebih kurang seperseratusnya .Plasmin diduga mempunyai mobilitas yang tinggi untuk
mecapai fibrin clot selama degradasi fibrin. 3,4,7

gambar 3. Pembentukan D-dimer


D-d merupakan marker yang sensitive tetapi kurang spesifik untuk VTE,
sehingga mempunyai negative prediktif value yang tinggi.Kadar D-d meningkat pada
kondisi dimana terjadi pembentukan fibrin dan didegradasi oleh plasmin. Kadar D-d
meningkat 8 kali lipat setelah VTE dan menurun seperempatnya antara minggu kesatu
dan kedua .Kadar D-d akan normal setelah 15 sampai 20 hari dan pemeriksaan D-d
sangat berguna dalam membantu diagnosa apabila dilakukan kurang dari 11 hari
setelah timbulnya gejala. Kadar D-d jarang meningkat pada orang sehat , tetapi bisa
meningkat pada kondisi yang melibatkan formasi dan degradasi fibrin seperti : infeksi
,kanker, pembedahan, gagal ginjal dan gagal jantung, sindroma koroner akut,
kehamilan, sickle cell crisis. Kadar D-d juga meningkat dengan bertambahnya umur
terutama bila disertai gangguan fungsional.Meningkatnya positif predictif value untuk
VTE terjadi bila terjadi peningkatan kadar D-d secara progresif diatas batas nilai
diagnosa. Hal ditunjukkan pada suatu penelitian , bahwa apabila kadar D-d mencapai
4000 ng/mL maka spesifitasnya mencapai 93 %. Tetapi hal tersebut masih memerlukan
penelitian lebih lanjut, sehingga D-d sampai saat ini belum bisa dipakai untuk positive
diagnosis penyakit VTE4,7,8
8,10,11
Test D-d menggunakan bermacam macam metode meliputi
1. Kualitatif :
 Metode whole blood agglutination (SimpliRed, Agen Biomedical,Brisbane,
Australia)
 Metode latex agglutination (Minutex Ddimer,Biopool, Umea, Sweden).
2. Semikuantitative :
 Metode Immunofiltration yaitu NycoCard D-dimer (Nycomed Pharma AS,
Oslo, Norway) dan INSTANT I.A. (Diagnostica Stago, Asnieres, France). .
3. kuantitative :

8
 metode enzyme-linked immunosorbent assays/ ELISA (VIDAS D-Dimer,
bioMerieux, Marcy l’Eoile, France; Asserachrom D-Dimer, Diagnostica
Stago; Enzygnost D-Dimer Micro, Dade Behring, Marburg, Germany; and
Fibrinostika FbDP, Organon Teknika, Turnhout,Belgium)
 metode latex-enhanced turbidimetric (Advanced D-dimer, Dade Behring;
LIATEST DDimer, Diagnostica Stago; IL Test D-Dimer, Instrumentation
Laboratory SpA, Milan, Italy; and Tinaquant D-dimer, Roche Diagnostics,
Mannheim, Germany).
Table 2. Karakteristik Metode pemeriksaan D-d
Metode Sensitifitas Spesifitas kelebihan kelemahan

Classical ELISA Tinggi Rendah Baku emas Cocok untuk batch


analysis tetapi kurang
berguna pada gawat
darurat

Rapid ELISA Tinggi Rendah Sensitivitas tinggi ,Hasil cepat Kurang sensitive

Latex agglutination Sedang Sedang Hasil cepat Kurang sensitive


generasi pertama

Whole Blood Tinggi Sedang Hasil cepat,dapat menggunakan Manual/Tergantung


Aglutination Whole blood,memberi hasil kepada pemeriksa
kualitative atau semikuantitatif

Latex agglutination Tinggi Sedang Hasil cepat


generasi kedua
(immunoturbidietric)

Metode classic microplate ELISA merupakan pemeriksaan baku emas D-d, tetapi
kurang bermanfaat pada kondisi emergency rutin. Ini lebih sesuai untuk batch analysis
dan laboratorium rutin. Saat ini Vidas test telah dikembangkan menggunakan kombinasi
metode ELISA dengan deteksi akhir menggunakan fluoresence, memberikan hasil
secara otomatis kurang dari 35 menit dan karena itu dapat digunakan untuk
pemeriksaan satu sample tunggal. Sementara itu Instant IA D-d assay mempunyai
sensitivitas yang sama dengan ELISA konvensional, tetapi mempunyai spesifitas yang
lebih tinggi, dan memberikan hasil kurang dari 8 menit,tetapi bersifat manual dan
kualitatif ( positif atau negative )., dan Nyco card D-d assay bersifat semikuantitatif dan
memberikan hasil kurang dari 2 menit. Tehnik lain termasuk agglutinationof of latex
beads atau red bood cell juga memberikan hasil dalam beberapa menit. Contoh adalah
Simpli RED test yang merupakan pemeriksaan red bood cell agglutination yang
didesain dengan menggunakan fresh blood kapiler atau vena dan memberikan hasil

9
kurang dari 5 menit.Tehnik Immunoturbidimetrik merupakan generasi kedua dari hasil
pengembangan tehnologi Latex agglutination .Tehnik immunofiltrasi dan
immunoturbidimetri merupakan wujud dari kecepatan dan kemudahan latex test . 8
Pemeriksaan suspek VTE dengan microplate ELISA menunjukkan sensitivitas
97% pada nilai cut of 500ng/ml dan spesifitas 35 % - 45 %.Sedangkan sensitifitas tes
D-d rata rata pada penderita suspect DVT adalah 90,5 % dan spesifitas rata rata adalah
54,7% ,sedangkan negative predictive valuenya adalah : 80 -100%. Nilai cut of dari
masing masing metode pemeriksaan D-d berbeda, karena metode yang berbeda
memberikan hasil yang berbeda .sehingga tidak mungkin untuk membuat standarisasi
hasil pemeriksaan D-d dari metode yang berbeda dan menyulitkan untuk
mengekstrapolasi hasil yang satu dengan yang lainnya. 8,12
Pemeriksaan lanjutan untuk trombofilia perlu dipertimbangkan pada penderita
dengan Idiophatic VTE, VTE berulang, VTE pada usia muda (< 45 th), VTE pada
tempat yang tidak lazim , VTE pada keluarga dengan riwayat VTE, anggota keluarga
dari pasien VTE yang diketahui mempunyai hiperkoagulabilitas. Pemeriksaan
laboratorium skrining untuk pasien yang diduga mempunyai hiperkoagulabilitas tersebut
meliputi : Uji resistensi terhadap protein C aktif ( APC ) dan analisa DNA untuk factor
leiden ; Analisa gen untuk protrombin G20210A; pemeriksaaan aktivitas
antitrombin;protein C dan protein S;PT dan APTT; pemeriksaan homosistein plasma ;
Pemeriksaan anticardiolipin antibody dengan ELISA; Aktifitas Faktor VIII. 2

STRATEGI DAN ALGORITME DIAGNOSTIK PENYAKIT TROMBOEMBOLI

Tidak ada pemeriksaan tunggal yang mempunyai sensitifitas dan spesifitas yang
tinggi yang digunakan dalam pendekatan diagnosa pasien dengan suspek Venous
thromboemboli .sehingga kombinasi tes yang akan digunakan tergantung tidak hanya
pada kehandalan alat tetapi juga kesesuaian dan biaya. Pemeriksaan tersebut meliputi,
D-d, venous compresion ultrasonography, ekokardiografi , spiral CT, venografi kontras
dan pulmonary angiography.12
Untuk mencegah meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas penyakit VTE.
diperlukan strategi pendekatan diagnose DVT dan PE ( algoritme 1. dan 2 ):
Pemeriksaan klinis dilakukan untuk Predicting pretest probability pasien VTE , baik DVT
dan PE ,dan hasil inetrpretasinya menjadi dasar untuk pemeriksaan atau tes

10
selanjutnya. Wells Prediction Rule for Diagnosing Deep Venous Thrombosis and for
Pulmonary Embolism ( Tabel 3 dan 4 ) sering digunakan untuk memperkirakan kemungkinan
VTE sebelum dilakukan pemeriksaan definitif lanjutan pada pasien.. Klinikus harus memberikan
perhatian khusus pada pasien yang lebih tua atau dengan disertai komorbiditas. 9, 12
Pasien DVT dan PE dengan hasil Predicting pretest probability yang rendah
sebaiknya dilakukan pemeriksan D-d sensitivitas tinggi yang mempunyai negatif
predictif value yang tinggi ,untuk mengurangi pemeriksaan imaging lebih lanjut yang
tidak perlu. Saat ini enzyme-linked immunosorbent assays/ ELISA ,kuantitatif rapid
ELISA dan Advanced turbidimetric D-dimmer merupakan pemeriksaan yang
mempunyai sensitifitas tinggi ( sensitifitasnya 96% - 100% ) dan penggunaannya
praktis.Pemeriksaan D-d mempunyai negatif prdedictif value yang tinggi ketika
digunakan untuk menyingkirkan adanya VTE pada pasien muda yang tidak mempunyai
komorbiditas atau riwayat VTE .
Ultrasonografi direkomendasikan untuk pasien DVT extremitas bawah dengan
hasil Predicting pretest probability yang sedang dan tinggi.USG kurang sensitif pada
pasien yang menderita DVT yang terbatas pada betis, oleh karena itu hasil USG yang
negatif tidak dapat menyingkirkan apakah penderita tidak mengalami DVT .
Pasien PE dengan hasil Predicting pretest probability yang sedang dan tinggi
memerlukan pemeriksaan imaging. Pemeriksaan imaging yang mungkin dilakukan
adalah ventilation – perfusion ( V/Q ) scan, multidetector helical computed axial
tomography (CT), dan pulmonary angiography. Sampai saat ini menunjukkan bahwa CT
saja tidak cukup sensitif untuk menyingkirkan PE pada pasien yang hasil Predicting
pretest probability tinggi

Table 3. Wells Prediction Rule for Diagnosing Deep Venous Trombosis: Clinical Evaluation
Table for Predicting Pretest Probability of Deep Vein Trombosis

Clinical Characteristic Score


Active cancer (treatment ongoing, within previous 6 months, or palliative) 1
Paralysis, paresis, or recent plaster immobilization of the lower extremities 1
Recently bedridden >3 days or major surgery within 12 weeks requiring 1
general or regional anesthesia

Localized tenderness along the distribution of the deep venous system 1


Entire leg swollen 1
Calf swelling 3 cm larger than asymptomatic side (measured 10 cm below 1
tibial tuberosity)
Pitting edema confined to the symptomatic leg 1
Collateral superficial veins (nonvaricose) 1
Alternative diagnosis at least as likely as deep venous trombosis -2

Note: Clinical probability: low ≤0; intermediate 1-2; high ≥3. In patients with symptoms
in both legs,the more symptomatic leg is used.

Reprinted from The Lancet, Vol 350, Wells PS, Anderson DR, Bormanis J, et al. Value of
assessment ofpretest probability of deep-vein trombosis in clinical management, pp 1795-1798, Copyright
2002,with permission from Elsevier 11
Table 3. Wells Prediction Rule for Diagnosing Pulmonary Embolism: Clinical Evaluation
Table for Predicting Pretest Probability of Pulmonary Embolism

Clinical Characteristic Score


Previous pulmonary embolism or deep vein trombosis +1.5
Heart rate >100 beats per minute +1.5
Recent surgery or immobilization +1.5
Clinical signs of deep vein trombosis +3
Alternative diagnosis less likely than pulmonary embolism +3
Hemoptysis +1
Cancer Suspect DVT Suspect+1
PE

Penilaian Predicting
Note: Clinical Pretest Probability
probability ( PPP )embolism: low 0-1;Penilaian
of pulmonary Predicting
intermediate Pretest
2-6; high ≥7.Probability ( PPP )
Reprinted from Am J Med, Vol 113, Chagnon I, Bounameaux H, Aujesky D, et al,
Low of
Comparison – Moderate
twoclinical- High
prediction rules and implicit assessment among Low – Moderate
patients - High pulmonary
with suspected
embolism,pp 269-275, Copyright 2002, with permission from Elsevier.

Pemeriksaan D-Dimer Pemeriksaan D-Dimer

≤500 µg/L >500 µg/L ≤500 µg/L >500 µg/L

No DVT No PE

Venous Compression Ultrasonography Venous Compression Ultrasonography

Bagan algoritma pemeriksaan pasien Suspek DVT dan PE


Negatif Positif

Negatif Positif PE

DVT Perfusion/ventilation scintigraphic probability

PPP Normal Low – Moderate High

Low – Moderate High

PPP

Venography Low Moderate – High

Negatif Positif No PE PE

No DVT DVT Pulmonary Angiography

Negatif Positif
12
No PE PE
Algoritme.1. Strategi diagnosis DVT Algoritme.2. Strategi diagnosis PE

KESIMPULAN DAN SARAN

Telah dibahas mengenai patofisiologi tromboemboli, metode pemeriksan


laboratorium dan strategi/algoritme diagnosis penyakit tromboemboli.
Mekanisme pembentukan trombus melibatkan 2 jalur aktivasi platelet yang
berbeda yaitu jalur faktor jaringan dan jalur kolagen. Dasar terbentuknya trombus yang
dikenal dengan triad of Virchow terdiri dari abnormalitas dinding pembuluh darah,
abnormalitas Aliran darah dan abnormalitas komponen darah ( hiperkoagulabilitas).
Trombus merupakan merupakan asal dari hampir 99% emboli sehingga disebut
sebagai tromboemboli .
Pemeriksaan laboratorium pada VTE dilakukan untuk mengukur adanya
peningkatan kadar D-d. Pemeriksaan D-d sangat berguna dalam membantu diagnosa
apabila dilakukan kurang dari 11 hari setelah timbulnya gejala VTE. Sedangkan

13
metode pemeriksaan yang digunakan meliputi : kualitatif, semikuantitatif dan kuantitatif
sehingga masing masing pemeriksaan mempunyai karakteristik yang berbeda. Test D-d
mempuyai sensitifitas yang tinggi dengan nilai rata rata adalah 90,5% dan spesifitas
yang rendah dengan nilai rata rata adalah 54, 7%.Sedangkan negatif predictive
valuenya adalah 80 -100%.
Karena tidak ada pemeriksaan tunggal dalam pendekatan diagnosa penderita
suspect VTE maka diperlukan strategi /algoritme untuk menentukan tahapan tahapan
pemeriksaan lanjutan. Dalam algoritme tersebut pemeriksaan D-d terutama berperan
untuk menyingkirkan diagnosa karena mempunyai negatif predictive value yang tinggi.
Insiden Penyakit tromboemboli cukup tinggi dinegara maju , sedangkan dinegara
berkembang termasuk Indonesia data yang ada sangat terbatas . Untuk menekan
tingginya morbiditas dan mortalitas penyakit Tromboemboli didukung juga oleh
banyaknya faktor resiko yang memicu terjadinya penyakit tromboemboli,perlu kiranya
tersedia test laboratorium yang praktis, tidak invasif dan relatif murah untuk
pemeriksaan penyakit Tromboemboli. Pemeriksaan tersebut adalah Test D-d yang
sensitivitasnya tinggi

DAFTAR PUSTAKA

1. Furie B, Furie B C. Mechanisms of Thrombus Formation . N Engl J Med


2008;359:938-49.
2. Deitcher R S, Rodgers G M. Thrombosis and Antithrombotic Therapy. In:
Wintrobe’s Clinical Hematology, 11 tth ed. Philadelphia: Lippincott Williams and
Wilkins; 2003. p. 1713 -1756
3. Ziedins K B, Oerfeo T, Jenny N S,Everse S J, Mann K G. Blood Coagulation and
Fibrinolysis In: Wintrobe’s Clinical Hematology, 11 tth ed. Philadelphia: Lippincott
Williams and Wilkins; 2003. p. 678-774
4. Ressob G E, Hull R. D, Pineo GF, Venous Thrombosis  In : Williams Hematology,
7th ed . New York : McGraw-Hill Companies ; 2007 .p 2055 - 2065

5. Tambunan K L. Patogenesis Trombosis Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam


edisi IV. Jakarta: Dept.IPD FKUI ; 2006 .hal. 765 - 768

14
6. Davi G, Patrono C. Platelet Activation and Atherothrombosis.N Engl J Med
2007;357:2482-94.
7. Caprini J A, Glase CJ, Anderson B C, Hathaway K. Laboratory Markers in the
Diagnosis of Venous Thromboembolism.Circulation 2004;109;I-4-I-8
8. Kelly J, Rudd A, Lewis R R, Hunt B J. Plasma D-Dimers in the Diagnosis of
Venous Thromboembolism. Arch Intern Med. 2002;162:747-756
9. Qaseem A, Snow V, Barry P, Hornbake ER, Rodnick J E, Tobolic T, Ann,et al.
Current Diagnosis of Venous Thromboembolism in Primary Care: A Clinical
Practice Guideline from the American Academy of Family Physicians and the
American College of Physicians. Fam Med 2007;5:57-62.
10. Goodacre S, Sampson F.C, Sutton AJ, Mason S, Morris F. Variation in the
diagnostic performance of D- Dimer for suspected deep vein thrombosis. QJ Med
2005 ; 98; 513-527
11. Huerta C, Johansson S, Wallander MA, Rodrı´guez L AG. Risk Factors and
Short-term Mortality of Venous Thromboembolism Diagnosed in the Primary
Care Setting in the United Kingdom. Arch Intern Med. 2007;167:935-943
12. Legnani C, Palareti G, Cosmi B, Cini M, Tosetto A, Tripodi A. Different cut-off
values of quantitative D-dimer methods to predict the risk of venous
thromboembolism recurrence: a post-hoc analysis of the Prolong study.
Haematologica 2008 June; 93(6):900-907.
13. Daniel. Profilaksis VTE Cegah komplikasi dan
Kematian.Maj.Farmacia.2008;10:50
14.Cotran R S, Kumar V, Collins T, Hemostasis and thrombosis in :
Robbins Pathologic Basis of Disease 6 th ed. Philadelpia : W.B.Saunders
Company ; 1999 p.130 - 137

15

Anda mungkin juga menyukai