Anda di halaman 1dari 27

PENDAHULUAN

Systemic sclerosis (SSc) adalah kelainan jaringan ikat kronis yang


melibatkan banyak organ dengan berbagai manifestasi. Systemic sclerosis dapat
menyebabkan kecacatan dan kematian. Systemic sclerosis ditandai dengan proses
inflamasi yang diikuti dengan gangguan fungsional dan struktural dari pembuluh
darah ke organ viseral kemudian menjadi fibrosis.1,2 Penyakit paru merupakan
komplikasi tersering SSc. Interstitial lung disease (ILD) dan pulmonary
hypertension (PH) merupakan manifestasi SSc di paru. 3 Interstitial lung disease
menjadi penyebab 33 persen (%) kematian pada SSc dan PH menjadi penyebab
28% kematian pada SSc. Systemics sclerosis associated with interstitial lung
disease (SSc-ILD) terjadi pada 90% pasien ILD. Tingkat kelangsungan hidup
lima tahun pasien SSc-ILD adalah 84,1% dan tingkat kelangsungan hidup 10
tahun adalah 74,9%.4
Pemeriksaan dengan high resolution computed tomography (HRCT)
pasien SSc-ILD didapatkan gambaran retikulasi bilateral dengan dominansi pada
lobus bawah, ground-glass opacities (GGO), dan dalam beberapa kasus
didapatkan honeycomb appearance. Presentasi klinis awal SSc-ILD bervariasi
sehingga menyulitkan diagnosis. Pasien SSc ILD ringan bisa asimtomatik pada
tahap awal penyakit sehingga jarang dilakukan pemeriksaan fungsi paru atau
radiologi diagnostik.5,6
Penelitian retrospektif yang membandingkan penggunaan
cyclophosphamide (CYC) pada pasien SSc ILD dengan pasien SSc ILD tanpa
pengobatan menunjukkan bahwa pengobatan di awal perjalanan SSc-ILD
memberikan outcome klinis yang lebih baik. Faktor yang mempengaruhi
peningkatan fungsi paru pasien SSc-ILD adalah pemberian terapi pada awal
proses penyakit dan obat yang digunakan. Penapisan yang ketat untuk diagnosis
dini SSc-ILD dan pengobatan dini adalah aspek terpenting tatalaksana pasien SSc
ILD.2,5 Tinjauan kepustakaan ini mengulas definisi, epidemiologi, patogenesis,
manifestasi klinis, diagnosis, dan tatalaksana SSc-ILD. Tujuan penulisan tinjauan
kepustakaan adalah untuk mengetahui dan memahami SSc-ILD.

1
EPIDEMIOLOGI

Insiden SSc di seluruh dunia sekitar satu per 10.000 orang. Insiden SSc
sekitar 20 per 1.000.000 per tahun di Amerika Serikat. Prevalensi SSc di Eropa,
Amerika Serikat, Australia, dan Argentina memiliki kesamaan yaitu, sekitar 150-
300 kasus per 1.000.000 orang. Prevalensi yang lebih rendah didapatkan di
Skandinavia, Jepang, Inggris, Taiwan, dan India. 5 Penelitian European League
Against Rheumatism (EULAR) tahun 2010 melaporkan median survival rate 7,1
tahun untuk pasien dengan diffuse cutaneous systemic sclerosis (dcSSc) dan 15,0
tahun untuk limited cutaneous systemic sclerosis (lcSSc).7 Rasio wanita
dibandingkan pria yang menderita SSc pada usia 45-55 adalah 4 : 1. Merokok
berkontribusi terhadap keparahan penyakit, tetapi tidak terkait dengan risiko
terjadinya SSc-ILD.2
Fibrosis paru menyebabkan 19% kematian dan PH menyebabkan 14%
kematian pada pasien SSc-ILD.2 Penelitian kohort di Italia tahun 2011
melaporkan bahwa kelangsungan hidup sepuluh tahun pasien SSc-ILD adalah 29-
69% sejak terdiagnosis. Rasio wanita dibandingkan pria adalah 9,7 : 1.8 Penelitian
Al-Sheikh tahun 2019 melaporkan bahwa subjek kulit putih keturunan Eropa
memiliki kelangsungan hidup yang lebih pendek dibandingkan dengan subjek
Hispanik. Penduduk Asia Timur memiliki median survival rate terpanjang yaitu,
43,3 tahun sedangkan penduduk Arab memiliki median survival rate terpendek
yaitu, 15 tahun.9

PATOGENESIS

Systemic sclerosis dapat mempengaruhi banyak organ dan sistem. Fibrosis


progresif menyebabkan kerusakan permanen organ pada pasien SSc. Pasien SSc
memiliki interaksi yang kompleks antara disfungsi endotel dan kelainan pembuluh
darah kecil, imunitas bawaan dan adaptif, serta inflamasi dan fibrosis.5,10
Mekanisme yang terlibat dalam SSc-ILD dirangkum dalam gambar satu.

2
Gambar 1. Mekanisme yang terlibat pada patogenesis SSc-ILD
Keterangan: Treg = regulatory T cells; Th2 = T-helper 2; Th17 = T-
helper cell 17; Tc2 = cytotoxic T 2; IL-4 = interleukin 4;
IL-5 = interleukin 5; IL-6 = interleukin 6; IL-8 =
interleukin 8; IL-13 = interleukin 13; CCL2 = chemokine
(C-C motif) ligand 2; CXCL4 = chemokine (C-X-C
motif) ligand 4; MMP-1 = matrix metalloproteinase-1;
IFN- α = interferon alpha; TGF-β = transforming
growth factor beta; PDGF = platelet derived growth
factor; ECM = extracellular matrix
Dikutip dari (8)

Disfungsi endotel dan kelainan pembuluh darah kecil


Kelainan vaskuler SSc penting dalam implikasi klinis penyakit. Fenomena
Raynaud adalah manifestasi awal SSc. Fenomena Raynaud ditandai dengan
perubahan respon aliran darah pada suhu dingin. Perubahan pada fenomena
Raynaud awalnya reversibel. Fenomena Raynaud terjadi akibat perubahan sistem
saraf otonom dan perifer. Penurunan neuropeptida seperti calcitonin gen related
peptide (CGRP) dari aferen saraf sensoris dan peningkatan sensitifitas reseptor
alpha 2 adrenergic pada sel otot polos vaskuler terjadi pada fenomena Raynaud.
Perubahan produksi dan responsivitas  endothelium-
derived relaxing factor (EDRF) yang memediasi vasodilatasi yaitu, nitric oxide
dan prostacyclin sedangkan vasokonstriksi yaitu, endothelin-1 di dalam sel

3
endotel juga terjadi pada fenomena Raynaud. Peningkatan permeabilitas
pembuluh darah mikro yang meningkatkan diapedesis leukosit transendotelial
mengaktivasi kaskade koagulasi dan fibrinolitik serta agregasi trombosit dijumpai
pada fenomena Raynaud. Trombosit yang diaktifkan akan menghasilkan
vasokonstriktor, seperti 5-hidroksitriptamin (5-HT), thromboxane-Az (Tx-Az),
dan adenosine diphosphate (ADP). Sel endotel yang masih utuh akan
menghasilkan vasodilator seperti prostacyclin, monoamineoxidase (MAO), dan
EDRF sebagai respon terhadap perubahan yang terjadi. Sel endotelial yang rusak
tidak dapat bereaksi terhadap vasodilator. Sel endotel yang rusak menghasilkan
vasokonstriktor endothelin-1 mengakibatkan terjadinya vasokonstriksi. Hiperplsia
intima memperberat penyempitan lumen. Sel intima yang menyerupai sel otot
polos mengalami proliferasi. Membran basal akan menebal dan terjadi
perkembangan fibrosis adventisia. Oklusi lumen vaskuler progresif akibat
hipertrofi tunika intima dan media, fibrosis adventisia, dan kerusakan persisten sel
endotel mengakibatkan iskemia jaringan.11,12
Gambaran fenomena Raynaud juga terjadi pada berbagai arteri kecil dan
arteriol pada organ viseral sehingga timbul berbagi kelainan pada organ viseral.
Perubahan yang terjadi pada mikrosirkulasi meliputi timbulnya celah diantara sel
endotel, vakuolisasi dan pembengkakan sel endotel, nekrosis seluler, duplikasi
lamina basalis, dan infiltrasi seluler perivaskuler oleh limfosit, plasmosit, dan
makrofag. Kerusakan sel endotel menurunkan sintesis aktivator plasminogen dan
berbagai faktor prokoagulan dan antikoagulan yang menyebabkan gangguan
fibrinolisis pada pasien SSc . 11,12

Imunitas seluler dan humoral


Limfopenia dengan rasio sel T dan sel B yang normal dan penurunan kadar
sel Natural Killer (NK) dijumpai pada SSc. Sel-sel inflamasi mononuklear dan sel
T4 yang teraktivasi banyak berkumpul pada lapisan dermis penderita SSc. Sel T
berperan memproduksi interleukin-2 (IL-2) yang dapat mengubah sel NK menjadi
sel lymphocite-activated killer (LAK) yang penting pada kerusakan endotel.
Fagosit mononuklear terutama makrofag alveolar mempunyai peran yang sangat

4
penting pada patogenesis SSc. Makrofag alveolar memproduksi berbagai sitokin
seperti transforming growth factor-β (TGF-β), platelet-derived growth factor
(PDGF), tumor necrosis factor (TNF), interleukin-1beta (IL-1β), berbagai
protease, dan mediator lain yang penting pada patogenesis SSc. Sel mast juga
banyak ditemukan di lapisan dermis penderita SSc. Sel mast berperan dalam
memproduksi berbagai mediator seperti triptase dan histamin. Triptase dapat
merusak sel endotel. Histamin dapat merangsang proliferasi dan sintesis matriks
fibroblas dan menyebabkan retraksi sel endotel.11,12
Stadium dini SSc ditandai dengan akumulasi sel T dan monosit/makrofag
yang teraktivasi di kulit, paru, dan organ lain yang terkena. Sel T yang
menginfiltrasi akan mengekspresikan penanda aktivasi seperti cluster of
differentiation 3 (CD3), CD4, CD45, dan human leucocyte antigen DR (HLA-
DR). Sel T CD4+ yang bersirkulasi meningkatkan reseptor kemokin dan
mengekspresikan molekul adhesi integrin alpha-1 yang meningkatkan
kemampuan untuk mengikat endotel dan fibroblas.11,12
Sel endotel mengekspresikan intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1)
yang memfasilitasi diapedesis leukosit. Makrofag dan sel T yang teraktivasi
menunjukkan respon T helper type 2 (Th2) terpolarisasi dan mensekresi IL-4 dan
IL-13. Interlukin-4 dan IL-13 dapat menginduksi TGF-β yang merupakan
modulator regulasi imun dan akumulasi matriks. Transforming growth factor
beta dapat menginduksi produksi dirinya sendiri serta sitokin lain karena
mempunyai aktivitas autokrin/parakrin untuk mengaktivasi fibroblas dan sel
efektor lain. Ekspresi sel T CD8+ pada cairan BAL menunjukkan pola ekspresi
Th2 teraktivasi yang dicirikan dengan peningkatan kadar IL-4 dan IL-13 serta
penurunan produksi interferon gamma (IFN-γ). Sitokin Th2 merangsang sintesis
kolagen. Interferon gamma menghambat sintesis kolagen dan memblok aktivasi
fibroblas yang dimediasi sitokin.11,12
Autoantibodi dapat dideteksi pada pasien SSc. Kadar autoantibodi
berhubungan dengan keparahan penyakit dan titernya berfluktuasi sesuai aktivitas
penyakit. Autoantibodi spesifik SSc adalah antinuklear dan menyerang langsung
protein mitosis seperti topoisomerase I dan ribonucleic acid (RNA) polimerase.
5
Autoantibodi topoisomerase I pada SSc dapat secara langsung mengikat fibroblas.
Autoantibodi lain yang ditemukan adalah antibodi antisentromer yang terdapat
pada 30% penderita SSc. Antigen sentromer yang spesifik pada penderita SSc
yaitu, centromere protein A (CENP-A) (17/19 kDa protein), CENP-B (80 kDa
protein), dan CENP-C (120 kDa protein). Autoantibodi terhadap antigen
sentromer menunjukkan tingginya pemecahan kromosom.11,12
Sel B berperan dalam autoimunitas dan fibrosis pada SSc. Sel B berperan
menghasilkan antibodi, sebagai antigen presenting cell (APC), menghasilkan
sitokin seperti IL-6 dan TGF-β, memodulasi fungsi sel T, dan sel dendritik. Sel B
pada pasien SSc menunjukkan abnormalitas intrinsik. 11,12 Peran sitokin dalam SSc
ditunjukkan oleh tabel satu.
Tabel 1. Sitokin yang berperan pada systemic sclerosis
Jenis sitokin Sumber Perannya pada patogenesis
Fibronektin Fibroblas, sel endotel, makrofag, Kemotraktan monosit dan
hepatosit fibroblas, mitogen fibroblas
IL-1 Makrofag, sel endotel, limfosit, Mitogen fibroblas,
fibroblas, sel epitel, osteosit,osteoblas, merangsang sintesis kolagen
keratinosit
IL-2 Sel T Mengaktifkan sel NK menjadi
sel LAK
PDGF Trombosit, fibroblas, makrofag Mitogen fibroblast
TGF-β Megakariosit, makrofag, sel Merangsang sintesis kolagen,
epidermal, fibroblas, dan sel T sintesis fibronektin,
menghambat pertumbuhan sel
endotel, mitogen fibroblas
indirek, merangsang sekresi
IL-1
CTAP Limfosit, trombosit dan sel Mitogen fibroblas, sintesis
mesenkimal glikosaminoglikan
TNF Makrofag, sel T, sel B dan sel NK Merusak endotel
Endotelin Sel endotel Vasokontriktor
IFN-ᵧ Sel T, sel NK Aktivator makrofag,
pertumbuhan sel B
Keterangan: IL-1 = interleukin 1; IL-2 = interleukin 2; PDGF = platelet derived
growth factor; TGF-β = transforming growth factor beta; CTAP =
connective tissue activating peptide; TNF = tumor necrosis factor;
IFN-γ = interferon gamma; NK = natural killer; LAK =
lymphocite-activated killer
Dikutip dari (13)

6
Komponen seluler dan molekuler fibrosis
Fibrosis yang terjadi pada berbagai organ adalah penanda utama SSc yang
membedakan SSc dengan penyakit jaringan ikat lain. Fibrosis merupakan
konsekuensi autoimunitas dan kerusakan vaskuler. Fibrosis ditandai dengan
perubahan arsitektur jaringan normal menjadi jaringan ikat aseluler yang
progresif. Fibrosis menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas pada
SSc.11,12,14
Fibroblas dan sel mesenkim bertanggungjawab terhadap integritas
fungsional dan struktural jaringan ikat parenkim organ. Fibroblas akan diaktivasi
oleh TGF-β dan sitokin. Fibroblas mengalami proliferasi, migrasi, dan relaborasi
dengan kolagen serta matriks makromolekul lain untuk mensekresi growth factor
dan sitokin. Fibroblas juga mengekspresi reseptor permukaan untuk sitokin-
sitokin dan berdiferensiasi menjadi miofibroblas. Respon fibroblas memfasilitasi
perbaikan cedera jaringan yang efektif. Program perbaikan fibroblas akan berhenti
sendiri setelah penyembuhan terjadi pada kondisi fisiologis.11,12,14
Fibroblas dapat berdiferensiasi menjadi miofibroblas yang mirip otot polos.
Proses transisi epitel dan diferensiasi miofibroblas dimediasi oleh TGF-β.
Miofibroblas bertahan di dalam jaringan karena adanya resistensi terhadap
apoptosis. Miofibroblas berkontribusi terhadap pembentukan jaringan parut
dengan memproduksi kolagen dan TGF-β, memperkuat kontraktilitas matriks di
sekitar, dan berubah menjadi jaringan parut yang rapat.11,12,14
Aktivasi fibroblas yang terus-menerus menghasilkan perubahan matriks dan
pembentukan jaringan parut pada respon fibroblas yang patologis. Aktivasi
fibroblas patologis dan akumulasi matriks adalah perubahan patologi utama yang
mendasari terjadinya fibrosis pada SSc. Sel progenitor mesenkimal dari sumsum
tulang yang beredar juga berperan dalam fibrogenesis. Sel mononuklear yang
mengekspresikan CD14 dan CD34 berdiferensiasi memproduksi kolagen alpha-
smooth muscle actin-positive fibrocytes pada penelitian in vitro. Proses fibrosis
diperkuat oleh TGF-β.11,12,14 Aktivasi fibroblas pada SSc ditunjukkan oleh gambar
dua.

7
Gambar 2. Aktivasi fibroblas pada systemic sclerosis.
Keterangan: PDGFR = Platelet-derived growth factor receptors;
TGF-β = Transforming growth factor beta; ROS =
Reactive oxygen species; CTGF = Connective-tissue
growth factor; ERK1/2 = Extracellular-signal–
regulated kinases 1 and 2; α-SMA = α–smooth-muscle
actin; SRE = Serum responsive element
Dikutip dari (14)
Peningkatan kecepatan transkripsi gen kolagen tipe I dari fibroblas dan
peningkatan sintesis berbagai molekul matriks ekstraseluler dijumpai pada pasien
SSc. Ekspresi reseptor kemokin dan molekul adhesi permukaan, sekresi PDGF,
dan resistensi terhadap apoptosis dan sinyal autokrin TGF-β juga merupakan
kondisi yang didapatkan pada pasien SSc. Aktivasi sinyal transduksi TGF-β
intraseluler yang patologis melalui Smad3 phosphorylation dan kegagalan loop
umpan balik negatif Smad-7 terjadi pada SSc. Protein koaktivator inti p300
memfasilitasi transkripsi yang dimediasi Smad dan merupakan lokus penting
dalam integrasi sinyal ekstraseluler yang memodulasi fungsi fibroblas.
Abnormalitas ekspresi, fungsi dan interaksi antara Smad, p300, dan protein seluler
lain seperti mempengaruhi progresivitas proses fibrogenik SSc dengan cara
memodulasi transkripsi gen.11,12,14
8
MANIFESTASI KLINIS

Sesak napas saat beraktivitas disertai dengan batuk nonproduktif dan ronki
halus inspirasi di area basilar bilateral pada auskultasi didapatkan pada
pemeriksaan fisik pasien SSc-ILD. Clubbing finger jarang dijumpai pada
pemeriksaan fisik pasien SSc-ILD. Sebagian pasien SSc tidak mengalami sesak
napas sehingga HRCT dan pulmonary function test (PFT) harus dilakukan secara
berkala.3,5,15
Interstitial lung disease dapat menjadi manifestasi awal SSc.
Telangiectasia, fenomena Raynaud, dan perubahan abnormal kapiler lipatan kuku
dapat dijumpai pada pasien SSc-ILD. Faktor lingkungan seperti paparan obat atau
zat kimia yaitu vinil klorida dan silika berkaitan dengan SSc. Antibodi antinuklear
seperti antiScl-70, antiTh/To, atau autoantibodi spesifik SSc lainnya terdeteksi
pada hampir semua pasien SSc-ILD.5,15 Systemic Sclerosis dikategorikan menjadi
dua subset klinis berdasarkan luasnya skin thickening yaitu limited cutaneous
systemic sclerosis (lcSSc) dan diffuse cutaneous systemic sclerosis (dcSSc).12,13
Perbedaan lcSSC dan dcSSc ditampilkan pada tabel dua.
Tabel 2. Perbedaan limited cutaneous systemic sclerosis (lcSSc) dan diffuse
cutaneous systemic sclerosis (dcSSc).
Tampilan Limited cutaneous systemic sclerosis Diffuse cutaneous
systemic sclerosis
Kulit yang terlibat Terbatas pada jari, lengan distal, Difus: jari-jari,
wajah, progresivitas lambat ekstremitas, wajah,
badan, progresivitas cepat
Fenomena Raynaud Mendahului keterlibatan kulit; Sejalan dengan
berhubungan dengan iskemia keterlibatan kulit
Fibrosis pulmonal Mungkin terjadi, moderat Sering, awal dan berat
Hipertensi arteri Sering, lambat, mungkin terisolasi Dapat terjadi,
pumonal berhubungan dengan
fibrosis pulmonal
Krisis renal sklerosis Sangat jarang 15 % terjadi; diawal
sistemik
Kalsinosis kutis Sering, menonjol Dapat terjadi, ringan
Karakteristik Anticentromere Anti-topoisomerase
autoantibodi (Scl-70)
Prognosis Baik, survival rate untuk 10 tahun Buruk, survival rate
>70% untuk 10 tahun 40-60%
Dikutip dari (12)
9
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Metode yang digunakan untuk mendiagnosis SSc-ILD adalah pemeriksaan


HRCT, bronchoalveolar lavage (BAL), dan PFT. Pemeriksaan gold standar
untuk mendiagnosis SSc-ILD adalah HRCT. Pulmonary function tests digunakan
untuk menilai progresivitas ILD. Pulmonary function tests dan HRCT tidak boleh
digunakan secara terpisah untuk penapisan atau mendiagnosis SSc-ILD.3,16
High resolution computed tomography
High resolution computed tomography merupakan alat diagnostik non-
invasif. High resolution computed tomography digunakan untuk mendeteksi ILD,
memprediksi perkembangan ILD, dan memprediksi penurunan fungsi paru.16,17
Penelitian Launay D et al di Prancis tahun 2006 melaporkan bahwa 68% pasien
SSc dengan temuan GGO pada pemindaian awal HRCT menunjukkan terjadinya
fibrosis paru progresif pada pemindaian kedua yang dilakukan 2–5 tahun
kemudian.18 Intervensi dini dengan terapi imunosupresif harus dipertimbangkan
pada pasien SSc-ILD dengan temuan GGO pada HRCT.16
Pemindaian HRCT dapat digunakan untuk mengidentifikasi pasien SSc
dengan risiko rendah berkembang menjadi ILD.16 Penelitian Hoffmann-Vold AM
et al tahun 2015 terhadap 108 pasien SSc melaporkan bahwa tidak adanya tanda-
tanda fibrosis paru pada awal HRCT menunjukkan tidak terjadinya fibrosis pada
follow up pemindaian HRCT setelah 3,1 tahun kemudian.19 Pemindaian HRCT
dapat mendeteksi peningkatan diameter esofagus. Diameter esofagus merupakan
prediktor penting dari ILD berat dan diffusing capacity for carbon monoxide
(DLCO) rendah pada pasien SSc.17
High resolution computed tomography lebih sensitif dibandingkan CT
dada dalam mendiagnosis SSc-ILD. High resolution computed tomography dapat
mengidentifikasi kelainan ringan pada paru. Sensitivitas tinggi HRCT dapat
membantu mengidentifikasi kelainan interstisial ringan atau dini yang belum
menunjukkan gejala klinis. Temuan dini pada HRCT harus diawasi secara ketat
untuk menilai tanda-tanda progresivitas.16,17 Pemindaian HRCT pasien dengan

10
ILD ringan dibandingkan dengan pasien dengan ILD berat disajikan pada gambar
tiga.

Gambar 3. A= Gambaran HRCT tampilan koronal SSc-ILD derajat ringan;


B= Gambaran HRCT tampilan koronal SSc-ILD derajat berat;
C= Gambaran HRCT tampilan aksial SSc-ILD derajat ringan;
D= Gambaran HRCT tampilan aksial SSc-ILD derajat berat.
Keterangan: HRCT = high resolution computed tomography; SLS =
scleroderma lung study; SSc-ILD = systemic sclerosis
associated with interstitial lung disease.
Dikutip dari (17)
Pola HRCT yang terlihat pada pasien SSc umumnya nonspecific
interstitial pneumonia (NSIP) dengan proporsi GGO yang lebih tinggi dan
retikulasi kasar yang lebih rendah. Pola usual interstitial pneumonia (UIP) juga
dapat ditemukan pada HRCT pasien SSc-ILD. Honeycomb cysts ditemukan pada
sepertiga pasien SSc-ILD dan lebih sering dijumpai pada pasien dengan lcSSc.
Pola yang terlihat pada HRCT memprediksi kelainan histopatologi yang terjadi.
Pola retikulasi menunjukkan adanya fibrosis sedangkan konsolidasi menunjukkan
11
inflamasi pada biopsi. Reversibilitas perubahan pada HRCT jarang terjadi.
Temuan GGO pada HRCT akan berkembang menjadi honeycombing, traction
bronchiectasis, dan atau bronchiolectasis di masa depan.17,20 Pola NSIP dan UIP
pada HRCT pasien SSc-ILD ditunjukkan pada gambar empat.
A B

Gambar 4. A. Pola NSIP pada HRCT pasien SSc-ILD; B. Pola UIP pada HRCT
pasien SSc-ILD.
Keterangan: NSIP = nonspecific interstitial pneumonia; UIP = usual
interstitial pneumonia; HRCT = high resolution
computed tomograph; SSc-ILD = systemic sclerosis
with associated interstitial lung disease.
Dikutip dari (17)

Pulmonary function test (PFT)


Forced vital capacity (FVC) dan DLCO adalah parameter fungsi paru
yang penting untuk menilai fungsi paru pada pasien SSc-ILD. 21 Tinjauan
sistematis dari 219 penelitian SSc-ILD melaporkan bahwa FVC% prediksi adalah
primary endpoint dalam 70,4% penelitian dan DLCO adalah primary endpoint
dalam 11,3% penelitian. Data dari Pittsburgh Scleroderma Databank
menunjukkan bahwa penurunan terbesar FVC sering terjadi lebih awal. Penurunan
FVC terjadi dalam tiga tahun pertama onset SSc dan dapat terjadi pada pasien
tanpa gejala.20 Penelitian Scleroderma Lung Study (SLS) I tahun 2011 melaporkan
hasil yang sama. Penelitian SLS I melaporkan bahwa 77 pasien SSc-ILD yang
secara acak menerima plasebo mengalami penurunan FVC% prediksi sebesar
4,2% dan penurunan pada DLCO% prediksi sebesar 8,2% selama 12 bulan.22
Nilai prediksi FVC% atau DLCO% lebih dari (>) 80% dianggap normal
pada pasien tanpa gejala pernapasan. Ambang batas normal bervariasi antar pasien
12
yang berpotensi mempengaruhi interpretasi hasil tes. Penurunan 5–10% FVC dan
10–15% DLCO dari nilai awal pada pasien SSc-ILD harus dievaluasi lebih lanjut.
Penurunan FVC dan DLCO mengindikasikan perkembangan penyakit meskipun
nilai absolut tetap di atas ambang batas 80%. 20 Penelitian Goh et al tahun 2017
menunjukkan bahwa penurunan FVC lebih dari atau sama dengan (≥) 10% atau
penurunan FVC sebesar 5–9% disertai penurunan DLCO ≥ 15% berkaitan dengan
risiko kematian yang lebih tinggi pada pasien SSc-ILD.23 Pasien dengan durasi
penyakit yang lebih lama yaitu > 4 tahun memiliki kemungkinan lebih kecil untuk
mengalami penurunan fungsi paru di masa depan dibandingkan dengan pasien
pada stadium awal penyakit.20,23
Nilai FVC dan DLCO dapat dipengaruhi oleh proses penyakit SSc selain
ILD. Perubahan FVC dan DLCO harus dipertimbangkan pada penilaian misalnya,
penurunan DLCO yang tidak proporsional jika dibandingkan dengan FVC
mungkin terkait dengan perkembangan pulmonary arterial hypertension (PAH).
Nilai FVC berkorelasi buruk dengan tingkat kuantitatif fibrosis. Diffusing
capacity for carbon monoxide menjadi prediktor terbaik untuk menilai ILD
menggunakan HRCT.20,21

Biomarker
Biomarker adalah substansi yang diukur dan dievaluasi secara objektif
sebagai indikator proses biologis normal, proses patogenik, atau respon
farmakologis terhadap intervensi terapeutik. Biomarker dapat dibagi menjadi tiga
kategori yaitu, biomarker diagnostik, biomarker prognostik untuk memprediksi
perkembangan komplikasi, dan biomarker prediktif untuk memprediksi respons
terapi.24 Biomarker tidak digunakan secara rutin pada manajemen pasien SSc-ILD.
Biomarker yang umum digunakan pada pasien SSc-ILD adalah surfactant protein
D (SP-D), chemokine (C-C motif) ligand 18 (CCL18), dan Krebs von den Lungen-
6 (KL-6).25
Surfactant protein D adalah salah satu komponen utama surfaktan paru.
Surfactant protein D terutama diproduksi oleh sel epitel alveolar tipe II dan sel
Clara. Surfactant protein D penting untuk berbagai proses imun bawaan dan

13
adaptif yaitu, sebagai reseptor pengenalan pola lektin tipe C. Kadar serum SP-D
memiliki korelasi dengan penanda keparahan penyakit, aktivitas fungsi paru, dan
fibrosis pada pasien SSc-ILD.25 Penggunaan SP-D pada pasien SSc-ILD dalam
beberapa penelitian memberikan hasil berbeda. Penelitian oleh Yamagawa et al
tahun 2017 dan Kennedy et al tahun 2015 melaporkan potensi SP-D sebagai
prediktor penurunan fungsi paru jangka pendek.26,27 Penelitian oleh Elhai et al
tahun 2019 dan Elhaj et al tahun 2013 melaporkan hasil yang berbeda yaitu tidak
ada korelasi kadar SP-D awal dengan perkembangan penyakit di masa depan.28,29
Krebs von den Lungen-6 (KL-6) adalah glikoprotein yang diekspresikan
oleh sel epitel alveolar tipe II. Peningkatan kadar serum KL-6 berkaitan dengan
prognosis yang lebih buruk dan peningkatan mortalitas pada idiopathic pulmonary
fibrosis (IPF).25 Peningkatan KL-6 berkorelasi dengan luas fibrosis pada ILD
terkait penyakit jaringan ikat. Penelitian Elhai et al tahun 2019 dan Kumanovic et
al tahun 2008 melaporkan bahwa nilai KL-6 berhubungan dengan luas fibrosis
paru pada pasien SSc-ILD.28,30 Penelitian Benyamine et al tahun 2018 melaporkan
korelasi KL-6 dengan FVC pada pasien SSc-ILD.31
Chemokine (C-C motif) ligand 18 (CCL18) adalah kemokin yang
diekspresikan oleh makrofag alveolar dan distimulasi sitokin tipe 2 oleh antigen-
APC. Chemokine (C-C motif) ligand 18 adalah faktor profibrotik. Peningkatan
CCL-18 menunjukkan adanya cedera paru aktif. Peningkatan CCL-18 didapatkan
pada serum, BAL, dan jaringan paru pasien IPF atau SSc-ILD. Nilai CCL-18 yang
tinggi berkaitan dengan ILD berat, prediktor untuk kelangsungan hidup yang
buruk, dan penurunan fungsi paru.25,27

Bronchoalveolar lavage (BAL)


Cairan BAL orang sehat bukan perokok didominasi makrofag sebesar 80-
90% dengan persentase limfosit yang lebih rendah sebesar 5-15% dan neutrofil
sebesar 3%. Sel inflamasi dan mediator inflamasi yang ditemukan pada cairan
BAL pasien SSc-ILD mencerminkan inflamasi yang sedang berlangsung di paru.
Profil seluler BAL abnormal didefinisikan sebagai limfosit ≥15% dan atau
neutrofil ≥5% dan atau eosinofil ≥ 5% di cairan BAL. Profil seluler BAL

14
abnormal ditemukan pada 38% pasien dengan SSc yang menunjukkan kelainan
parenkim pada HRCT.15,33
Alveolitis aktif didefinisikan sebagai peningkatan neutrofil atau eosinofil
dalam cairan BAL. Alveolitis aktif berkorelasi dengan fungsi paru yang lebih
buruk. Fungsi paru yang buruk pada SSc-ILD di tandai dengan penurunan FVC,
penurunan total lung capacity (TLC) dan DLCO, disertai GGO dan fibrosis yang
luas.15,33

TERAPI

Interstitial lung disease adalah salah satu penyebab utama kematian pada
pasien SSc. Perawatan simtomatik seperti terapi oksigen, pengobatan
gastroesophageal reflux, dan rehabilitasi paru penting dalam pengelolaan SSc-
ILD. Modalitas terapi pada SSc-ILD meliputi penggunaan kortikosteroid, terapi
imunosupresif, antifibrotik, autologous haematopoietic stem cell transplantation
(AHSCT), dan transplantasi paru. Terapi gold standard SSc-ILD belum ada
hingga saat ini.15,34 Jalur patogenik utama yang terlibat dalam SSc-ILD dan target
agen terapeutik SSc-ILD ditunjukkan oleh gambar lima.

15
Gambar 5. Jalur patogenik utama yang terlibat dalam SSc-ILD dan target dari
agen terapeutik SSc-ILD.
Keterangan: ADCC = antibody-dependent cell-mediated toxicity; CD
= cluster of differentiation; CMC = complement-
mediated cytotoxicity; DNA = deoxyribonucleic acid;
FGF = fibroblast growth factor; IL = interleukin; LPA =
lysophosphatidic acid; MMF = mycophenolate mofetil;
PDGF = platelet-derived growth factor; SSc-ILD =
systemic sclerosis with associated interstitial lung
disease; TGF = tumor growth factor; VEGF = vascular
endothelial growth factor.
Dikutip dari (16)

Kortikosteroid
Kortikosteroid digunakan pada pasien SSc-ILD karena memiliki sifat
antiinflamasi dan imunosupresif. Kortikosteroid juga memiliki efek antifibrosis
dengan mengurangi sintesis mukopolisakarida yang diperlukan untuk sintesis
kolagen. Kortikosteroid direkomendasikan dalam pengobatan alveolitis SSc.
Efektivitas kortikosteroid belum didokumentasikan pada pasien SSc-ILD.
Pemberian kortikosteroid dosis tinggi meningkatkan resiko krisis ginjal
scleroderma pada pasien SSc. Pemberian kortikosteroid yang direkomendasikan
adalah dosis rendah sebesar 15 miligram per hari (mg/hari). Kortikosteroid

16
direkomendasikan hanya untuk pasien ILD berat atau ILD yang mengalami
perburukan.2,15,34

Mycophenolate mofetil (MMF)


Mycophenolate mofetil (MMF) adalah penghambat proliferasi limfosit.
Mycophenolate mofetil sering digunakan sebagai pengobatan lini pertama pada
pasien dengan SSc-ILD yang berisiko menjadi ILD progresif. 2,15,34 Scleroderma
Lung Study II meneliti peran MMF pada pasien SSc-ILD dengan mengevaluasi
142 pasien SSc-ILD dengan FVC <80% dan GGO pada HRCT. Subjek penelitian
diberi 1.500 mg MMF dua kali sehari selama 24 bulan atau cyclophosphamide
(CYC) oral yang dititrasi hingga dosis maksimum 1,8-2,3 miligram per kilogram
(mg/kg) selama 12 bulan. Mycophenolate mofetil ditoleransi lebih baik daripada
CYC. Insiden leukopenia dan trombositopenia akibat pemberian MMF lebih
rendah dibandingkan CYC. Efek samping MMF yang paling sering diamati
adalah supresi sumsum tulang dan gejala gastrointestinal. 35 Hitung darah lengkap
harus dilakukan sebelum memulai terapi dan selama pengobatan. Dosis target
MMF umumnya antara 1,5 dan 3 gram (g). Mycophenolate mofetil diberikan
dalam dua dosis terbagi untuk menghindari efek samping gastrointestinal. 15
Penelitian observasional oleh Stratton et al terhadap 13 pasien yang menerima
antithymocyte globulin ditambah prednisolon selama lima hari kemudian diikuti
dengan terapi rumatan MMF selama 12 bulan melaporkan bahwa MMF jangka
panjang dapat ditoleransi dengan baik. Pemberian MMF jangka panjang tidak
menghasilkan perubahan rata-rata FVC atau kapasitas difusi.36

Cyclophosphamide (CYC)
Cyclophosphamide merupakan alternatif pengganti MMF berdasarkan
hasil Scleroderma Lung Study II. Efek samping CYC antara lain, infertilitas,
infeksi oportunistik, sistitis hemoragik, kanker kandung kemih, dan neutropenia.
Pemberian CYC intravena bulanan lebih dipilih daripada pemberian oral karena
efek dosis kumulatif yang lebih rendah, efek samping yang lebih jarang, dan
kemampuan untuk memastikan hidrasi yang cukup sebelum pemberian CYC.

17
Cyclophosphamide direkomendasikan diberikan setiap bulan selama 6 bulan.
Pemantauan jumlah sel darah putih, fungsi ginjal, dan urinalisis dilakukan setiap
bulan. Kombinasi CYC dan kortikosteroid memberikan hasil yang lebih baik.
Pengobatan dilanjutkan dengan pemilihan agen terapi yang memiliki toksisitas
lebih rendah seperti MMF atau azathioprine setelah pemberian CYC selesai 6
bulan. Perbaikan fungsi paru setelah pemberian CYC cenderung menurun setelah
penghentian CYC sehingga memerlukan terapi pemeliharaan. Agen pemeliharaan
yang dipilih adalah MMF.2,15,34

Rituximab
Rituximab adalah antibodi monoklonal yang menargetkan CD20 positive
B-lymphocytes. Rituximab direkomendasikan untuk pasien SSC-ILD yang tidak
respon dengan terapi standar.2,15 Penelitian Daoussis D et al yang membandingkan
pemberian kombinasi rituximab dan terapi standar seperti prednison, CYC, dan
MMF dengan terapi standar saja menyimpulkan bahwa delapan pasien dalam
kelompok rituximab memiliki FVC dan DLCO yang lebih baik secara signifikan
setelah satu tahun terapi dibandingkan enam pasien lainnya yang menerima terapi
standar saja. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menilai efektifitas rituximab
pada SSc-ILD.37

TociIizumab
TociIizumab adalah antibodi monoklonal terhadap rantai reseptor IL-6.
Tocilizumab disetujui untuk pengobatan rheumatoid arthritis, juvenile idiopathic
arthritis, dan penyakit Castleman. Kadar serum IL-6 yang lebih tinggi pada
pasien SSc-ILD ringan dapat memprediksi perkembangan penyakit selanjutnya.
Kadar IL-6 dapat digunakan untuk menargetkan pengobatan pada pasien SSc-
ILD.2,15 Randomized clinical trial oleh Khanna D et al yang dilakukan selama 48
minggu terhadap 87 pasien dengan dcSSc melaporkan peningkatan FVC secara
signifikan setelah 24 minggu pada kelompok tocilizumab.38

Pyrfenidone

18
Pirfenidone adalah pyridone dengan efek antiinflamasi dan antifibrotik.
Pirfenidone memperlambat penurunan fungsi paru dan kapasitas olahraga. 2,15
Penelitian Taniguchi et al di Jepang mengenai penggunaan pirfenidone pada
pasien IPF dengan dosis 1.800 mg/hari atau 1.200 mg/hari menunjukkan
penurunan dalam tingkat penurunan kapasitas vital dan peningkatan progression
free survival selama 52 minggu.39 Penelitian Miura et al melaporkan peningkatan
kapasitas vital setelah pengobatan pirfenidone pada lima pasien SSc-ILD di
Jepang.40 Penelitian Nagai et al menunjukkan bahwa pirfenidone 40 mg/kg/hari
memiliki efek stabilisasi pada perjalanan klinis sepuluh pasien dengan fibrosis
paru progresif kronis berdasarkan penilaian radiografi dada dan tekanan oksigen
arteri. Dua dari sepuluh pasien dalam penelitian Nagai et al adalah pasien dengan
SSc-ILD.41

Nintedanib
Nintedanib adalah inhibitor tirosin kinase untuk vascular endothelial
growth factor (VEGF), fibroblast growth factor (FGF), platelet-derived growth
factor (PDGF), dan colony stimulating factor 1 receptor (CSF1R). Tirosin kinase
adalah enzim yang mengatur fungsi penting sel seperti, kelangsungan hidup,
proliferasi, dan diferensiasi. Nintedanib memperlambat perkembangan penyakit
dan meningkatkan kelangsungan hidup pasien dengan IPF dengan memperlambat
laju penurunan FVC. Nintedanib menghambat progresivitas fibrosis paru dengan
menghambat proliferasi fibroblas dan telah terbukti menghambat polarisasi M2
pro-fibrotik makrofag.2,15

Transplantasi paru
Transplantasi paru adalah pendekatan yang layak dan berpotensi
menyelamatkan jiwa untuk menangani pasien SSc-ILD stadium akhir. Pasien SSc
dianggap sebagai kandidat yang buruk untuk transplantasi paru karena memiliki
berbagai komorbid antara lain, gastroesophageal reflux, creatinine clearance di
bawah 50 mL/menit, kerusakan kulit karena ulserasi, dan aritmia yang signifikan.
Komorbid yang beragam meningkatkan risiko kematian saat dilakukan prosedur
transplantasi paru. Kriteria inklusi dan eksklusi yang ketat telah digunakan untuk
19
memilih pasien SSc tanpa faktor risiko komorbid untuk transplantasi paru namun
tingkat kelangsungan hidup pada enam bulan setelah transplantasi masih rendah
yaitu, 69% pada kelompok SSc dibandingkan dengan 80% pada kelompok
IPF.2,15,34
Autologous haematopoietic stem cell transplantation (AHSCT)
Imunosupresi dosis tinggi merupakan alternatif dari imunosupresi dosis
konvensional. Systemic sclerosis adalah gangguan autoimun progresif dan
berkaitan dengan inflamasi kronis sistemik yang menjadi alasan untuk pemberian
dosis tinggi imunosupresan meskipun risiko toksisitas meningkat. 15 Penelitian
Burt RK et al melaporkan pemberian imunosupresi dosis tinggi dengan AHSCT
pada pasien SSc mencegah progresivitas penyakit. Terapi dengan AHSCT lebih
baik dibandingkan terapi konvensional pada SSc-ILD.42 Penelitian The European
Group for Blood and Marrow Transplantation and the European League Against
Rheumatism melaporkan penggunaan AHSCT memiliki free survival dan overall
survival yang lebih baik dibandingkan pemberian CYC pada pasien SSC-ILD.43
Keputusan pengobatan pada pasien SSc-ILD didasarkan pada preferensi
pasien dan penilaian risiko penyakit. Tidak semua pasien SSc-ILD membutuhkan
pengobatan. Pasien SSc-ILD asimtomatik dengan kelainan radiologis minimal
dapat dilakukan pemantauan yang cermat. Pengobatan akan diberikan jika terjadi
progresivitas klinis dan radiologis.46 Algoritma terapi pasien SSc-ILD disajikan
pada gambar enam.

20
Gambar 6. Algoritma terapi SSc-ILD
Keterangan: HRCT = high resolution computed tomography; ILD =
Interstitial lung disease; PFT = pulmonary function test;
DLCO = diffusing capacity for carbon monoxide; PAH
= pulmonary arterial hypertension; MMF =
mycophenolate mofetil; CYC = cyclophosphamide; iv =
intravena
Dikutip dari (44)

SIMPULAN

21
1. Systemic sclerosis adalah kelainan jaringan ikat kronis yang melibatkan banyak
organ dengan berbagai manifestasi yang dapat menyebabkan kecacatan dan
kematian.
2. Systemics sclerosis associated with interstitial lung disease adalah komplikasi
tersering SSc.
3. Interaksi kompleks antara disfungsi endotel dan kelainan pembuluh darah
kecil, imunitas bawaan dan adaptif, serta inflamasi dan fibrosis terjadi pada
pasien SSc-ILD.
4. Metode yang digunakan untuk mendiagnosis SSc-ILD adalah pemeriksaan
HRCT, BAL, dan PFT.
5. Modalitas terapi pada SSc-ILD meliputi penggunaan kortikosteroid, terapi
imunosupresif, antifibrotik, AHSCT, dan transplantasi paru.

DAFTAR PUSTAKA
22
1. McPhee S, Papadakis M. Musculoskeletal and immunologic disorders. In:
McPhee S, Papadakis M, editors. Current medical diagnosis & treatment.
49th ed. New York: McGraw-Hill Medical; 2010. p. 2022-169.
2. Mirsaeidi M, Barletta P, Glassberg MK. Systemic sclerosis associated
interstitial lung disease: new directions in disease management. Front Med.
2019;6(3):248-57.
3. Scholand MB, Carr E, Frech T, Hatton N. Interstitial lung disease in
systemic sclerosis: Diagnosis and management. Rheumatol. 2012;01(06):1-
5.
4. Raghu G, Collard HR, Egan JJ, Martinez FJ, Behr J, Brown KK, et al.
Idiopathic pulmonary fibrosis: evidence-based guidelines for diagnosis and
management. Am J Respir Crit Care Med. 2011;183(5):788–824.
5. Meyer KC. Scleroderma with fibrosing interstitial lung disease: where do
we stand? Ann Am Thorac Soc. 2018;15(11):1273-5.
6. Fischer A, Brown KK. Interstitial lung disease in undifferentiated forms of
connective tissue disease. Arthritis Care Res. 2015;67(7):4–11.
7. Tyndall AJ, Bannert B, Vonk M, Airo P, Cozzi F, Carreira PE, et al. Causes
and risk factors for death in systemic sclerosis: a study from the EULAR
Scleroderma Trials and Research (EUSTAR) database. Ann Rheum Dis.
2010; 69(10):1809-15.
8. Lo Monaco A, Bruschi M, La Corte R, Volpinari S, Trotta F. Epidemiology
of systemic sclerosis in a district of northern Italy. Clin Exp Rheumatol.
2011;29(2):10-4.
9. Al-Sheikh H, Ahmad Z, Johnson SR. Ethnic variations in systemic sclerosis
disease manifestations, internal organ involvement, and mortality.
J Rheumatol. 2019;46(9):1103-8.
10. Distler O, Assassi S, Cottin V, Cutolo M, Danoff SK, Denton CP, et al.
Predictors of progression in systemic sclerosis patients with interstitial lung
disease. Eur Respir J. 2020;55(3):1-12.
11. Varga J. Systemic sclerosis (scleroderma) and related disorder. In: Fauci
AS, Braunwald E, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, et al,
23
editors. Harrison’s principles of internal medicine. 20th ed. New York: Mc
Graw Hill Medical; 2018. p. 2546-59.
12. Mayes MD. Systemic Sclerosis. In: Klippel JH, Stone JH, Crofford LJ,
White PH, editors. Primer on the rheumatic diseases. 13th ed. London:.
Springer Science Business Media; 2008. p. 343-62.
13. Raja J, Denton CP. Cytokines in the immunopathology of systemic
sclerosis. Semin Immunopathol. 2015;37(6):543-57.
14. Gabrielli A, Avvedimento E, Krieg T. Scleroderma. N Engl J Med.
2009;360(19):1989-2003.
15. Yasuoka H. Recent treatments of interstitial lung disease with systemic
sclerosis. Clin Med Insights Circ Respir Pulm Med. 2015;9(1):97–110.
16. Fischer A, Patel NM, Volkmann ER. Interstitial lung disease in systemic
sclerosis: focus on early detection and intervention. Rheumatol.
2019;11(4):283–307.
17. Strollo D, Goldin J. Imaging lung disease in systemic sclerosis. Curr
Rheumatol Rep. 2010;12(2):156-61.
18. Launay D, Remy-Jardin M, Michon-Pasturel U, Mastora I, Hachulla E,
Lambert M, et al. High resolution computed tomography in fibrosing
alveolitis associated with systemic sclerosis. J Rheumatol. 2006;33(9):1789-
801.
19. Hoffmann-Vold AM, Aalokken TM, Lund MB, Garen T, Midtvedt O,
Brunborg C, et al. Predictive value of serial high-resolution computed
tomography analyses and concurrent lung function tests in systemic
sclerosis. Arthritis Rheumatol. 2015;67(8):2205-12.
20. Solomon JJ, Olson AL, Fischer A, Bull T, Brown KK, Raghu G.
Scleroderma lung disease. Eur Respir Rev. 2013;22(8):6–19.
21. Caron M, Hoa S, Hudson M, Schwartzman K, Steele R. Pulmonary function
tests as outcomes for systemic sclerosis interstitial lung disease. Eur Respir
Rev. 2018;27(148):1-16.
22. Khanna D, Tseng CH, Farmani N, Steen V, Furst DE, Clements PJ, et al.
Clinical course of lung physiology in patients with scleroderma and
24
interstitial lung disease: analysis of the scleroderma lung study placebo
group. Arthritis Rheum. 2011;63(10):3078-85.
23. Goh NS, Hoyles RK, Denton CP, Hansell DM, Renzoni EA, Maher TM, et
al. Short-term pulmonary function trends are predictive of mortality in
interstitial lung disease associated with systemic sclerosis. Arthritis
Rheumatol. 2017;69(8):1670-8.
24. Lake F, Proudman S. Rheumatoid arthritis and lung disease: from
mechanisms to a practical approach. Semin Respir Crit Care Med.
2014;35(12):222–38.
25. Hoffmann-Vold A-M, Fretheim H, Meier C, Maurer B. Circulating
biomarkers of systemic sclerosis – interstitial lung
disease. J Scleroderma Relat Disord. 2020;5(2):41-7.
26. Yamakawa H, Hagiwara E, Kitamura H, Yamanaka Y, Ikeda S, Sekine A, et
al. Serum KL-6 and surfactant protein-D as monitoring and predictive
markers of interstitial lung disease in patients with systemic sclerosis and
mixed connective tissue disease. J Thorac Dis. 2017;9(2):362–71.
27. Kennedy B, Branagan P, Moloney F, Haroon M, O'Connell OJ, O'Connor
TM, et al. Biomarkers to identify ILD and predict lung function decline in
scleroderma lung disease or idiopathic pulmonary fibrosis. Sarcoidosis Vasc
Diffuse Lung Dis. 2015;32(3):228–36.
28. Elhai M, Hoffmann-Vold AM, Avouac J, Pezet S, Cauvet A, Leblond A, et
al. Performance of candidate serum biomarkers for systemic sclerosis-
associated interstitial lung disease. Arthritis Rheumatol. 2019;71(6):972–82.
29. Elhaj M, Charles J, Pedroza C, Liu X, Zhou X, Estrada RM, et al. Can
serum surfactant protein D or CC-chemokine ligand 18 predict outcome of
interstitial lung disease in patients with early systemic sclerosis? J
Rheumatol. 2013;40(7):1114–20.
30. Kumanovics G, Minier T, Radics J, Palinkás L, Berki T, Czirjak
L. Comprehensive investigation of novel serum markers of pulmonary
fibrosis associated with systemic sclerosis and dermato/polymyositis. Clin
Exp Rheumatol. 2008;26(3):414–20.
25
31. Benyamine A, Heim X, Resseguier N, Bertin D, Gomez C, Ebbo M, et
al. Elevated serum Krebs von den Lungen-6 in systemic sclerosis: a marker
of lung fibrosis and severity of the disease. Rheumatol Int. 2018;38(5):813–
9.
32. Hoffmann-Vold AM, Tennoe AH, Garen T, Midtvedt O, Abraityte A,
Aalokken TM, et al. High level of chemokine CCL18 is associated with
pulmonary function deterioration, lung fibrosis progression, and reduced
survival in systemic sclerosis. Chest. 2016;150(2):299–306.
33. Kowal-Bielecka O, Kowal K, Highland KB, Silver RM. Bronchoalveolar
lavage fluid in scleroderma interstitial lung disease: technical aspects and
clinical correlations: review of the literature. Semin Arthritis Rheum.
2010;40(1):73-88.
34. Cottin V, Brown KK. Interstitial lung disease associated with systemic
sclerosis (SSc-ILD). Respir Res. 2019;20(1):1-10.
35. Tashkin DP, Roth MD, Clements PJ, Furst DE, Khanna D, Kleerup EC, et
al. Mycophenolate mofetil versus oral cyclophosphamide in scleroderma-
related interstitial lung disease (SLS II): a randomised controlled, double-
blind, parallel group trial. Lancet Respir Med. 2016;4(9):708-19.
36. Stratton RJ, Wilson H, Black CM. Pilot study of anti-thymocyte globulin
plus mycophenolate mofetil in recent-onset diffuse scleroderma. Rheumatol.
2001;40(1):84-8.
37. Daoussis D, Liossis SN, Tsamandas AC, Kalogeropoulou C, Kazantzi A,
Sirinian C, et al. Experience with rituximab in scleroderma: results from a
1-year, proof-of-principle study. Rheumatol. 2010;49(2):271-80.
38. Khanna D, Denton CP, Jahreis A, van Laar JM, Frech TM, Anderson ME, et
al. Safety and efficacy of subcutaneous tocilizumab in adults with systemic
sclerosis (faSScinate): a phase 2, randomised, controlled trial. Lancet.
2016;387(10038):2630-40.
39. Taniguchi H, Ebina M, Kondoh Y, Ogura T, Azuma A, Suga M, et al.
Pirfenidone in idiopathic pulmonary fibrosis. Eur Respir J. 2010;35(4):
821-9.
26
40. Miura Y, Saito T, Fujita K, Tsunoda Y, Tanaka T, Takoi H, et al. Clinical
experience with pirfenidone in five patients with scleroderma-related
interstitial lung disease. Sarcoidosis Vasc Diffuse Lung Dis.
2014;31(3):235-8.
41. Nagai S, Hamada K, Shigematsu M, Taniyama M, Yamauchi S, Izumi T.
Open-label compassionate use one year-treatment with pirfenidone to
patients with chronic pulmonary fibrosis. Intern Med. 2002;41(12):1118-23.
42. Burt RK, Shah SJ, Dill K, Grant T, Gheorghiade M, Schroeder J, et al.
Autologous non-myeloablative haemopoietic stem-cell transplantation
compared with pulse cyclophosphamide once per month for systemic
sclerosis (ASSIST): an open-label, randomised phase 2 trial. Lancet.
2011;378(9790):498-506.
43. Van Laar JM, Farge D, Sont JK, Naraghi K, Marjanovic Z, Larghero J, et al.
Autologous hematopoietic stem cell transplantation vs intravenous pulse
cyclophosphamide in diffuse cutaneous systemic sclerosis: a randomized
clinical trial. JAMA. 2014;311(24):2490-8.
44. Mackintosh JA, Stainer A, Barnett JL, Renzoni EA. Systemic sclerosis
associated interstitial lung disease: a comprehensive overview. Semin
Respir Crit Care Med. 2019;40(2):208-26.

27

Anda mungkin juga menyukai