Anda di halaman 1dari 11

Sindroma Antifosfolipid

Wiharjo Hadisuwarno
Putu Niken Ayu Amrita
PENDAHULUAN
Sindroma Antifosfolipid adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan trombosis
pada arteri, vena maupun keduanya serta gangguan pada kehamilan yang berhubungan
dengan antibodi antifosfolipid (aPL) (Cervera R, 2017). Secara klinis trombosis akan
menyebabkan masalah pada pembuluh darah yang bisa meningkatkan morbiditas maupun
mortalitas pada kehamilan. Secara umum kelainan klinis yang muncul antara lain
tromboemboli vena, stroke, keguguran berulang. Bentuk fatal dari APS adalah CAPS atau
Catastrophic Anti Phospolipid Syndrome yang ditandai dengan trombosis mikrovaskular
yang mendadak dan luas sehingga menyebabkan gagal multiorgan. (Sada et al, 2015).
Prevalensi aPL pada populasi umum berkisar antara 1-5%, namun hanya sebagian
kecil yang akan berkembang menjadi APS (Anti Phospolipid Syndrome). Estimasi insiden
dari APS sekitar 5 kasus baru dari 100000 orang per tahun (Durcan et al, 2016). Antibodi
antifosfolipid atau aPL menunjukkan hasil positif pada 13% kasus stroke, 11% kasus infark
miokard, 9.5% pada kasus DVT dan 6% pasien dengan morbiditas kehamilan (Andreoli,
2013). Prevalensi CAPS dilaporkan lebih jarang hanya mencapai 0.9% dari semua kasus
APS dengan angka mortalitas lebih dari 50% (Sada et al, 2015).
Prevalensi APS sendiri di Indonesia belum diketahui, akan tetapi Saputra dan Wahid
(2019) menyatakan bahwa APS merupakan penyebab utama trombosis dalam kehamilan
yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas janin serta ibu. Sindrom antifosfolipid sendiri
adalah salah satu penyebab paling umum terjadinya Recurrent Spontaneous Fetal Loss
(RSFL) pada sekitar 16-36% pasien (Wantania, 2016).
Tingginya angka sindrom antifosfolipid sebagai penyebab abortus habitualis ini
menunjukkan gambaran bahwa penyakit ini perlu diketahui dan dikenal oleh tenaga
kesehatan. Tinjauan kepustakaan ini bertujuan agar tenaga kesehatan mendapat gambaran
mengenai sindroma antifosfolipid baik patofisiologi, manifestasi klinis, penegakan diagnosis
dan tatalaksana. Pemahaman terhadap penyakit ini diharapkan mampu mendeteksi secara
dini, memberi penanganan yang tepat sehingga angka morbiditas dan mortalitas akan
menurun dan kualitas hidup pasien meningkat.
KLASIFIKASI
Klasifikasi APS dapat dibagi menjadi dua, yaitu primer dan sekunder. Sindrom
antifosfolipid disebut primer bila suatu proses autoimun dan manifestasi klinisnya
disebabkan proses autoimun itu sendiri. Sedangkan APS sekunder dibagi menjadi dua yaitu
APS Sekunder tipe I bila disebabkan oleh suatu penyakit primer yang lain misalnya infeksi
oleh suatu kuman, dinding membran kuman mengandung suatu fosfolipid yang
menimbulkan antibodi antifosfolipid, namun hanya bersifat sementara. APS sekunder tipe II
adanya APS primer bersamaan dengan suatu penyakit autoimun lain (Harris, 2004).

Tinjauan Kepustakaan Departemen SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair


RSUD Dr. Soetomo 1 September 2020
1
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi APS belum sepenuhnya dikenal. Banyaknya manifestasi klinis yang
muncul menandakan ada lebih dari satu patofiologi yang berperan. Ada dua mekanisme yang
diduga berperan pada kejadian ini. Pertama, aPL secara invivo berperan menganggu reaksi
hemostasis pada level membran sel. aPL menganggu keseimbangan aktivitas prokoagulan
dan antikoagulan melalui blokade interaksi protein atau blokade ikatan protein lain pada
permukaan sel membran.
Kedua, aPL merangsang perubahan ekspresi dan sekresi sel tertentu (Espinosa, 2003).
Mekanisme pertama terlihat dari beberapa dampak langsung dari hambatan reaksi
antikoagulan, misalnya: hambatan pada jalur protein C, hambatan pada aktivitas antitrombin,
hambatan aktivitas antikoagulan ß2 glikoprotein I dan pemindahan dari Annexin A5.
Sedangkan pada mekanisme kedua, ada beberapa perubahan di level sel, antara lain:
peningkatan ekspresi tissue factor, fibrinolisis yang tidak efektif, penurunan produksi
prostasiklin dan nitrit oxida. Selain itu ada aktivasi komplemen, peningkatan stress oxidative
yang dimedisasi monosit, peningkatan aktivitas tromboxan A2 yang berdampak pada
peningkatan aktivitas agregasi platelet (Lopes et al, 2017).
Antibodi antifosfolipid (lupus antikoagulan, antikardiolipin dan anti- ß2 glikoprotein
I) mempunyai peranan penting dalam masalah diagnosis dan merupakan elemen penting
dalam patogenesis APS. Pada sindrom antifosfolipid, target utama dari antibodi
antifosfolipid adalah ß2 glikoprotein I, sebuah protein plasma yang terikat pada permukaan
fosfolipid. Ikatan antara antibodi antifosfolipid dengan ß2 glikoprotein I meningkatkan
aktivitas molekul adesi sel protrombotik seperti E selectin dan faktor jaringan atau tissue
factor. Ikatan ini juga menekan aktivitas TFPI atau Tissue factor pathway inhibitor, aktivitas
protein C and mengaktivasi komplemen. Paparan trombosit dari donor sehat terhadap
antibodi antifosfolipid secara in vitro meningkatkan ekspresi glikoprotein IIb / IIIa (reseptor
untuk fibrinogen), dan trombosit dapat memainkan peran kunci dalam interaksi protrombotik
antara antibodi antifosfolipid dan sel endotel.
Aktivasi neutrofil, termasuk ekspresi faktor jaringan dan pelepasan neutrophil
extracellular traps (NETosis) dan interleukin-8, juga menjadi elemen penting yang
berhubungan dengan trombosis. Selain itu, monosit dan mikropartikel yang diturunkan
monosit dari pasien dengan sindrom antifosfolipid memiliki tingkat faktor jaringan yang
tinggi. Gangguan yang dimediasi komplemen menyebabkan masalah pada endotel dan
gangguan pada fungsi trofoblas. Hal ini menjelaskan sebab terjadi komplikasi kehamilan dan
mikrotrombosis terkait dengan antibodi antifosfolipid. Trombosis pada plasenta dan antibodi
antifosfolipid yang berinteraksi dengan sel desidua juga dapat berkontribusi untuk
komplikasi kehamilan (Garcia & Erkan, 2018). Gangguan pada kehamilan berhubungan
dengan trombosis pada placental bed. Hal ini berdampak langsung pada trofoblast dan
adanya bukti aktivasi komplemen pada kegagalan kehamilan (Keeling et al, 2012).

2
Gambar 1 : Ringkasan Patogenesis dari sindroma antifosfolipid
Secara singkat adanya ikatan antara antibodi yang diproduksi sel B dengan sel ß2 glikoprotein I,
mengakibatkan aktivasi sel monosit, neutrofil dan sel lain yang memicu koagulasi dan menganggu sel
trophoblast serta sel desidua. Aktivitas sindroma antifosfolipid ini mengakibatkan beberapa proses seperti
vaskulopati, inflamasi, trombosis dan komplikasi kehamilan (Garcia & Erkan, 2018).
MANIFESTASI KLINIS
Seperti pada kebanyakan penyakit autoimun, ada kecenderungan penyakit ini mengenai jenis
kelamin perempuan. Manifestasi klinis pada APS berhubungan dengan kejadian trombosis
arteri dan vena. Secara teori, APS bisa terjadi di semua organ, mengenai pembuluh darah
dan manifestasi klinis yang beragam. Trombosis vena dilaporkan lebih sering terjadi
dibandingkan trombosis pada arteri (Giannakopoulos B & Krilis SA, 2013). Berdasarkan
jenis pembuluh darah manifestasi klinis dapat muncul baik pada vena, arteri maupun
mikrovaskular
1. Trombosis pada vena-vena besar
Trombosis ini dapat terjadi kelainan pada banyak system organ antara lain
- Kelainan neurologi : transient ischemic attack, stroke iskemik, kejang, trombosis
vena serebri
- Kelainan mata : trombosis vena retina
- Kelainan kulit : flebitis superfisial, ulkus pada tungkai.
- Kelainan jantung : infark miokard, vegetasi pada katup, trombus intrakardiak,
aterosklerosis
- Kelainan paru : emboli paru, hipertensi pulmonal, pendarahan alveolar
- Kelainan ginal : trombosis pada vena renalis, infark ginjal, gagal ginjal akut

3
- Kelainan gastrointestinal : sindrom Budd-Chiari yang menyebabkan trombosis
pada vena hepatika, infark organ intra abdomen
- Kelainan endokrin : infark atau krisis adrenal
- Kelainan hematologi : trombositopenia, anemia hemolitik
2. Trombosis pada arteri
Trombosis pada arteri lebih jarang terjadi dibandingkan trombosis pada vena,
umumnya pasien mengalami transient ischemic attack dan infark miokard. Kejadian
trombosis arteri patut diduga berhubungan dengan sindroma antifosfolipid jika
terjadi tanpa faktor risiko aterosklerosis. Umumnya terjadi pada usia < 60 tahun,
tanpa ada faktor risiko klasik (merokok, riwayat keluarga, dislipidemia, hipertensi,
diabetes melitus). Manifestasi klinis pada trombosis arteri berkaitan dengan ukuran
diameter pembuluh darah dan lokasi arteri yang terkena (Dewi, 2014).
Selain manifestasi klinis pada organ, perlu diingat juga ada manifestasi obstetrik yang sering
terjadi antara lain kejadian rekurensi keguguran pada fase kehamilan apapun, namun
umumnya terjadi pada trimester kedua. Selain itu, insufisiensi plasenta dengan gangguan
pertumbuhan janin, preeklamsia, eklamsia dan kehamilan preterm dapat terjadi (Lopes et al,
2017). Dari penelitian kohort 1000 pasien pada tahun 2002 dengan syndrom antifosfolipid,
manifestasi klinis yang paling sering terjadi yaitu deep vein thrombosis (31.7%),
trombositopenia (21.9%), livedo reticularis (20.4%), stroke (13.1%), tromboflebitis
superfisial (9.1%), emboli paru (9.0%) dan keguguran (8.3%) (Cervera et al, 2002).
DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis APS edisi revisi dipublikasikan pada tahun 2006 dalam 2006 The
International Consensus Statement on an update of the classification criteria for definite
antiphospholipid syndrome. Diagnosis APS ditegakkan bila didapatkan 1 kriteria klinis dan
1 kriteria laboratorium (Miyakis S et al, 2006)
Kriteria Klinis
a. Trombosis Vaskular
Terdapat satu atau lebih episode trombosis arteri, vena atau pembuluh darah kecil
pada jaringan atau organ apapun. Trombosis ini harus dikonfirmasi misalnya dengan
pemeriksaan imaging atau histopatologi. Pada konfirmasi histopatologi, trombosis
harus ada tanpa disertai bukti inflamasi pada dinding pembuluh darah.
b. Morbiditas kehamilan
1. Satu atau lebih kejadian kematian fetus yang secara morfologi normal pada usia
kehamilan > 10 minggu. Morfologi normal harus dibuktikan dengan pemeriksaan
ultrasonografi, atau
2. Satu atau lebih kejadian kelahiran prematur sebelum usia kehamilan 34 minggu
karena eklamsia, pre-eklamsia berat atau insufisiensi plasenta atau
3. Tiga atau lebih abortus spontan (< 10 minggu) tanpa sebab yang jelas, tanpa
kelainan hormonal maupun kromosom dari kedua orang tua.

4
Kriteria Laboratorium
a. Lupus antikoagulan positif dalam plasma pada dua atau lebih pemeriksaan berjarak
minimal 12 minggu
b. Antibodi antikardiopilin (ACA) baik bentuk isotipe IgG maupun IgM pada serum
atau plasma berada pada titer medium atau tinggi (>40 GPL atau MPL atau >99
persentil), dengan ELISA pada dua atau lebih pemeriksaan berjarak minimal 12
minggu
c. Antibodi ß2-glikoprotein I (ß2-GP I) baik bentuk isotipe IgG maupun IgM pada
serum atau plasma dengan titer >99 persentil), dengan ELISA pada dua atau lebih
pemeriksaan berjarak minimal 12 minggu

Gambar 2: Kriteria diagnosis APS


Diagnosis APS ditegakkan berdasarkan pada 1 kriteria laborarorium dan 1 kriteria klinis (thrombosis atau
gangguan selama kehamilan) (Lopez et al, 2017).
Konsep Kriteria Laboratorium
Pada penyakit APS, memerlukan deteksi adanya autoantibodi. Namun, sama seperti penyakit
autoimun lain, hasil antibodi positif yang persisten tidak mengandung nilai diagnostik tanpa
manifestasi klinis. Hasil antibodi antifosfolipid mencapai 10 % pada populasi dan 50 % pada
SLE, namun sebagian besar tidak menunjukkan manifestasi klinis (Dhir & Pinto, 2014).
Sesuai kriteria diagnosis pada kriteria laboratorium terdapat tiga pemeriksaan yaitu
anticardiolipin antibody, Antibodi ß2-glikoprotein I dan lupus antikoagulan. Pada sebuah
penelitian meta analisis mengenai hubungan nilai positif laboratorium terhadap kejadian
keguguran berulang. Lupus antikoagulan dianggap mempunyai hubungan yang terkuat
dengan keguguran lalu diikuti dengan IgG antibodi antikardiolipin, sedangkan untuk
antibodi ß2-glikoprotein I dianggap tidak berhubungan (Opatrny et al, 2006)
Beberapa poin penting terkait pemeriksaan laboratorium
1. Antibodi antifosfolipid (aPL) tidak hanya sebagai biomarker diagnosis APS namun
juga menggambarkan risiko trombosis dan komplikasi kehamilan, yang umumnya

5
juga multifaktorial. Nilai aPL juga didapatkan positif namun bersifat sementara pada
kejadian infeksi.
2. Menentukan pemeriksaan aPL
Lupus Antikoagulan
Pemeriksaan lupus antikoagulan yang disesuaikan dengan klinis pasien berhubungan
lebih baik dibandingkan pemeriksaan Acl dan anti ß2-glikoprotein I (Galli et al, 2003)
ELISA
Antibodi antikardiolipin & antibodi ß2-glikoprotein I baik subtype IgG, IgM dan IgA
dapat dideteksi dengan ELISA. Titer sedang sampai tinggi (> 40 GPL atau MPL)
disertai kriteria klinis berhubungan lebih baik dibandingkan titer rendah (20-39 GPL
atau MPL). Isotipe IgG memiliki hubungan dengan kejadian klinis yang lebih kuat
dibandingkan dengan IgM (Kelchtermans H et al, 2016)
3. Menentukan profil aPL
Risiko tinggi  LA test positif dengan atau tanpa titer sedang atau tinggi pada
pemeriksaan antibodi antikardiolipin dan antibodi ß2-glikoprotein I IgG atau IgM
Risiko sedang  LA test negatif dengan titer sedang atau tinggi pada pemeriksaan
antibodi antikardiolipin dan antibodi ß2-glikoprotein I IgG atau IgM
Risiko rendah  LA test negatif dengan titer rendah antibodi antikardiolipin dan
antibodi ß2-glikoprotein I IgG atau IgM (Garcia D & Erkan D., 2018).

TERAPI
Profilaksis Primer
Pemberian profilaksis masih menimbulkan kontroversi. Kasus dengan antibodi positif sering
multifaktorial bukan semata-mata disebabkan oleh APS. Namun, risiko kejadian trombosis
pertama pada pasien dengan titer antibodi sedang atau tinggi yang persisten dengan penyakit
autoimun sistemik atau ada faktor risiko trombosis lain mencapai 5% (Pengo V et al, 2011).
Pada riset lain pada pasien dengan positif aPL yang persisten tanpa gejala trombosis atau
kelainan gestasional tidak ada bukti yang cukup untuk pemberian profilaksis primer. Hanya
pasien tersebut wajib menerima heparin profilaksis pada kejadian dengan risiko trombosis
tinggi seperti imobilisasi, hospitalisasi atau postoperative. Selain itu pasien juga harus
menghindari situasi yang berpotensi meningkatkan risiko trombosis seperti merokok atau
penggunaan estrogen (Keeling, 2012). Rekomendasi lain dari EULAR (European League
Againsts Rheumatism) menyatakan pada kasus aPL yang asimptomatik dengan profil
antibodi antifosfolipid yang risiko tinggi, dengan atau tanpa faktor risiko tradisional
(penyakit kardiovaskular), pemberian profilaksis dengan low dose aspirin dosis 75-100 mg
per hari direkomendasikan. Pada pasien dengan SLE tanpa gejala trombosis maupun
komplikasi kehamilan dengan profil aPL risiko tinggi terapi profilaksis dengan low dose
aspirin direkomendasikan. Sedangkan pada pasien dengan profil aPL risiko rendah, terapi
profilaksis dengan low dose aspirin dapat dipertimbangkan (Tektonidou MG et al, 2019).

6
Profilaksis Sekunder
Pada pasien dengan APS primer dengan trombosis vena dapat diobati dengan terapi inisial
terdiri dari heparin diikuti dengan warfarin atau low molecular weight heparin (LMWH).
Pemberian warfarin diberikan dengan target INR 2-3 (Effendy S, 2014). Penggunaan obat
antikoagulan, seperti rivaroxaban sebaiknya tidak digunakan pada pasien dengan
pemeriksaan ketiga aPL yang positif dikarenakan ada risiko rekurensi. Antikoagulan oral
bisa dipertimbangkan saat penggunaan warfarin tidak mencapai target INR atau pada pasien
dengan kontraindikasi penggunaan warfarin misalnya alergi atau intoleransi (Tektonidou
MG et al, 2019). Pada pasien dengan trombosis vena berulang, disamping penggunaan terapi
adekuat Vitamin K antagonist (VKA) dengan target INR 2-3, dapat dipertimbangkan
beberapa hal lain, evaluasi kepatuhan penggunaan obat, pemeriksaan INR berkala bisa
dipertimbangkan. Jika target INR 2-3 tercapai, penambahan aspirin dosis rendah diikuti
dengan meningkatkan target INR hingga 3-4 atau mengganti regimen dengan LMWH.
Pasien APS primer dengan trombosis arteri/infark tanpa faktor risiko lain dapat diobati
dengan aspirin, pemberian antikoagulan masih kontroversial (Effendy S,2014). Beberapa
rekomendasi EULAR terkait trombosis arteri yang pertama antara lain terapi vitamin K
antagonis direkomendasikan daripada terapi dengan aspirin dosis rendah, terapi dengan VKA
dengan target INR 2-3 atau 3-4 lebih direkomendasikan dengan mempertimbangkan risiko
perdarahan atau trombosis berulang. Rivaroxaban seharusnya tidak digunakan pada pasien
dengan hasil pemeriksaan antibodi antifosfolipid positf pada ketiga jenis dan trombosis arteri.
Penelitian baru juga menyatakan tidak merekomendasikan penggunaan DOACs (Direct Oral
Anticoagulants) pada pasien dengan APS dan trombosis arteri karena memiliki risiko tinggi
terjadinya trombosis berulang. Pada pasien dengan trombosis arteri berulang, disamping
penggunaan terapi adekuat VKA, dapat dipertimbangkan beberapa hal lain, evaluasi faktor
potensial lainnya, meningkatkan target INR hingga 3-4, penambahan aspirin dosis rendah/
mengganti regimen dengan LMWH (Tektonidou MG et al, 2019).
Terapi pada obstetrik
Pada kasus APS obstetrik dimana yang tidak mengalami kehamilan dapat diberikan aspirin
dengan dosis 81-100 mg per hari. Selama kehamilan, aspirin harus diikuti dengan heparin
profilaksis, yang diberikan sampai dengan 6 minggu pasca melahirkan. Pasien dengan
riwayat trombosis sebelumnya diberikan aspirin 100 mg bersama dengan heparin dosis
penuh (enoxaparin 1mg/kg setiap 12 jam). Vitamin K antagonis bersifat teratogenic saat usia
kehamilan 6 dan 9 minggu, dimana heparin merupakan pilihan yang lebih baik. Heparin,
aspirin dan vitamin K antagonis aman diberikan selama menyusui (Lopes et al, 2017). Serupa
dengan pernyataan diatas pada kasus APS obstetrik (dengan atau tanpa SLE) yang sedang
tidak hamil maka pemberian terapi dengan low dose aspirin setelah mempertimbangkan
keuntungan dan kerugian direkomendasikan. Pertimbangan pemberian low dose aspirin
perlu memperhatikan beberapa aspek antara lain, riwayat APS obstetrik berdasarkan risiko
trombosis/perdarahan (profil risiko aPL, faktor risiko kardiovaskular, intoleransi atau
riwayat kontranidikasi penggunaan aspirin) (Tektonidou MG et al, 2019).

7
Tabel 1: Kumpulan strategi pengobatan untuk pasien dengan positif aPL (Garcia & Erkan,
2018)
Terapi Kegunaan
Aspirin dosis rendah ( < 100 mg/ hari) Pencegahan trombosis primer, berdasarkan
panduan untuk pencegahan penyakit
kardiovaskular, pencegahan trombosis arteri
pada pasien dengan faktor risiko
kardiovaskular, pencegahan komplikasi
kehamilan dengan APS trombotik atau APS
obstetrik, dapat digunakan sebagai
tambahan terapi trombosis rekuren.
Hidroksiklorokuin (200-400 mg per hari) Tambahan untuk terapi trombosis berulang
Statin Tambahan untuk terapi trombosis berulang
Warfarin Pencegahan trombosis sekunder (INR 2-3),
Pada trombosis berulang target INR (3-4)
Low Molecular Weight Heparin Pencegahan trombosis selama periode risiko
tinggi (perioperatif/postpartum),
pencegahan trombosis dan komplikasi
kehamilan dengan APS Obstetrikal
(enoxaparin 40 mg/ hari) dan APS
Trombotik (enoxaparin 1.5mg/kgBB/hari
atau 1 mg/kgBB diberikan 2 kali per hari),
terapi alternatif untuk trombosis berulang
(enoxaparin 1.5 mg/kgBB/hari atau 1
mg/kgBB diberikan 2 kali per hari).
Unfractionated Heparin Pencegahan trombosis dan komplikasi
kehamilan dengan APS Obstetrikal (5000
unit subcutan 2 kali sehari ) dan APS
Trombotik (250 unit/kg BB subcutan 2 kali
sehari).
Glucocortikoid ( metilprednisolone 250- Pengobatan lini pertama untuk
1000 mg untuk 3 hari) trombositopenia berat, anemia hemolitik
atau keduanya.
Intravenous immunoglobulin Pengobatan lini utama atau kedua untuk
trombositopenia berat (1 gram/kg BB) dapat
diulang sekali, biasanya 1-2 hari setelah
dosis awal.
Plasma exchange Terapi pada pasien acute trombotic
microangiopathy dengan aPL nefropati

8
Immunomodulatory (azathioprine 100-150 Terapi pilihan untuk trombositopenia berat,
mg/hari atau mycophenolate mofetil 1000- anemia hemolitik atau keduanya dan untuk
3000 mg/ hari) aPL nefropati

PROGNOSIS
APS lebih banyak mengenai pasien dengan usia muda sehingga penilaian terhadap kerusakan
organ sangat penting. Suatu penelitian analisis retrospektif tentang morbiditas, mortalitas dan
kerusakan organ terjadi pada 135 pasien APS (89 APS Primer dan 46 APS Sekunder) (Grika
et al, 2012). Pasien dikelompokkan berdasarkan gejala awal yang mengenai pasien dengan
APS, yaitu trombosis arterial, DVT atau morbiditas kehamilan. Sekitar 25% pasien
mengalami kerusakan organ rata-rata dalam 10 tahun sejak onset awal penyakit. Morbiditas
tertinggi dihubungkan dengan kerusakan neurologi yang lebih sering pada pasien yang
mengalami trombosis arterial sebagai manifestasi awal penyakit ini. Dalam studi Euro-
Phospolipid Project menyatakan bahwa rata-rata survival 10 tahun pada pasien APS sekitar
91%, sedangkan dalam periode tersebut ditemukan sekitar 9.3% pasien meninggal. Penyebab
utama kematian diantaranya trombosis (36.5%) dan infeksi (26.9%). Meskipun dengan
pengobatan terkini utamanya antikoagulan oral, dan atau antiagregasi platelet, pasien dengan
APS tetap memiliki risiko morbiditas dan mortalitas (Cervera et al, 2015).
RINGKASAN
Penyakit autoimun termasuk penyakit sistemik yang dapat mengenai semua organ. Sindroma
antifosfolipid terjadi dimana terdapat antibodi terhadap fosfolipid itu sendiri. Angka kejadian
antifosfolipid di dunia termasuk jarang, sedangkan untuk angka di Indonesia tidak
didapatkan. Untuk menegakkan diagnosis APS diperlukan 1 kriteria klinis dan 1 kriteria
laboratorium. Manifestasi klinis yang terjadi antara lain trombosis pada organ-organ. Berat
atau ringan nya gejala yang ditimbulkan bergantung pada lokasi pembuluh darah yang
terkena dan diameter pembuluh darah itu sendiri. Trombosis yang paling sering terjadi yaitu
deep vein thrombosis dan stroke. Selain manifestasi klinis diatas, trombosis pada kehamilan
muncul dengan gejala, misalnya keguguran berulang, pre-eklamsia, eklamsia, dan kelahiran
preterm. Kecurigaan bahwa ini merupakan suatu sindroma antifosfolipid harus dicurigai bila
kejadian trombosis terjadi di usia < 60 tahun, dimana tidak terdapat riwayat seperti merokok,
riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskular, diabetes melitus atau dislipidemia. Setelah
mendapati kecurigaan kriteria klinis yang ditegakkan juga dengan pemeriksaan imaging
yang memadai, diperlukan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium yang dapat
dikerjakan antara lain lupus antikoagulan, antibodi antikardiolipin dan antibodi ß2
glikoprotein I. Masing-masing pemeriksaan laboratorium akan menentukan profil risiko dari
aPL apakah termasuk risiko tinggi, sedang atau rendah. Setelah diagnosis tegak, maka ada
beberapa pertimbangan pemberian terapi antara lain pemberian terapi. Pemberian terapi
diberikan berdasarkan beberapa hal, antara lain kejadiannya primer atau rekuren, lokasi
tombosis arteri atau vena. Pemberian obat-obatan meliputi obat profilaksis primer, sekunder
dan terapi obstetri. Pemberian obat-obatan primer bisa melibatkan obat antiplatelet dosis
rendah seperti aspirin, pemberian obat antikoagulan masih dalam kontroversi, pemberian

9
warfarin juga perlu mengevaluasi INR. Pemberian obat harus adekuat untuk mencegah
rekurensi, diperlukan juga kepatuhan dari pasien sehingga edukasi pemberian obat juga
sangat diperlukan. Morbiditas dan mortalitas dari sindroma antifosfolipid masih berkaitan
dengan risiko trombosis dan gejala infeksi.
DAFTAR PUSTAKA
Andreoli L, Chighizola CB, Banzato A, Pons-Estel GJ, Ramire de Jesus G, Erkan D, 2013.
Estimated frequency of antiphospholipid antibodies in patients with pregnancy
morbidity, stroke, myocardial infarction, and deep vein thrombosis: a critical review
of the literature. Arthritis Care Res (Hoboken); 65: 1869–73.
Cervera R, 2017. Antiphospholipid syndrome . Thrombosis Research; 151:43–47.
Cervera R, Piette JC, Font J, Khamastha MA, Shoenfeld Y, Teresa M, Jacobsen S, Lakos G,
Tincani A, Griva I, Galeazzi M & Meroni PL, 2002. Antiphospolipid syndrome:
Clinical and immunologic manifestations and patterns of disease expression in a
cohort of 1000 patients. Artritis & Rheumatism ; 46(4): 1019-1027
Cervera R, Serrano R, Pons-Estel GJ, Ceberio-Hualde L, Shoenfeld Y, de Ramon E, et al.
2015. Morbidity and mortality in the antiphospholipid syndrome during a 10-year
period: a multicentre prospective study of 1000 patients. Ann Rheum Dis;74:1011–
1018.
Dewi S. 2014. Sindrom Antifosfolipid Antibodi dalam Setiati S, Alwi I, Sudoyo A,
Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF eds Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
III.Interna Publishing.3398-3409
Dhir V & Pinto B, 2014. Antiphospolipid syndrome: review. Journal of Mahatma Gandhi
Institute of Medical sciences; 19 (1): 19-27
Durcan L, Petri M, 2016. Epidemiology of the Antiphospholipid Syndrome. In: Cervera R,
Espinosa, Khamashta MA (eds), Antiphospholipid syndrome in systemic
autoimmune diseases, Elsevier .Ed II : 17– 30.
Effendy S, 2014 Sindroma antibodi antifosfolipid: Aspek hematologik dan penatalaksanaan
dalam Setiati S, Alwi I, Sudoyo A, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF eds Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III.Interna Publishing.3410-3418
Espinosa G, Cervera R, Font J, Reverter JC& Shoenfeld Y, 2003. Mechanisms of thrombosis
in the antiphospolipid syndrome. Immunologia; 22: 53-62
Galli M, Luciani D, Bertolini G,& Barbui T, 2003. Lupus anticoagulants are stronger risk
faktors for thrombosis than anticardiolipin antibodies in the antiphospholipid
syndrome: a systematic review of the literature. Blood; 101(5): 1828-1832
Garcia D & Erkan D., 2018. Diagnosis and managemenet of the antiphospolipid syndrome.
The New England Journal of Medicine; 378(21): 2010-2021
Giannakopoulos B & Krilis SA, 2013. The pathogenesis of the antiphospolipid syndrome.
The New Englanf Journal of Medicine; 368(11): 1033-1044
Grika EP, Ziakas PD, Zintzaras E, Moutsopoulos HM, Vlachoyiannopoulos PG, 2012
Morbidity, mortality, and organ damage in patients with antiphospholipid syndrome.
J Rheumatol;39:516–23.

10
Harris, EN, Pierangeli S, 2004. Primary, Secondary, Catastrophic Antiphospholipid
Syndrome: is there a difference?. Thrombosis Research; 114: 357 — 361
Keeling D, Mackie I, Moore G, Greer I & Graves M, 2012. Guidelines on the investigation
and management of antiphospolipid syndrome. Bristish Journal of Haematology; 157:
47-58
Kelchtermans H, Pelkmans L,De Laat B & Devreese KM, 2016. IgG/IgM antiphospholipid
antibodies present in the classification criteria for the antiphospholipid syndrome: a
critical review of their association with thrombosis. Journal of Thrombosis and
Haemostasis; 14: 1530–1548
Lopes MRU, Danowski A, Funke A, Rego J, Levi R & Andrade DC, 2017. Update on
antiphospolipid antibody syndrome. Rev assoc Med Bras; 63(11): 994-999
Miyakis S, Lockshin, Atsumi T, Branch DW, Brey RL, Cervera R, Derksen HWN, De Groot
PG, Koike T, Meroni PL & Reber G, 2006. International Consensus Statement on an
update of the classification criteria for definite antiphospholipid syndrome. Journal
of Thrombosis and Haematostasis; 4: 295-306
Opatrny L,David M, Kahn S, Shrier I & Rey E, 2006. Association Between Antiphospholipid
Antibodies and Recurrent Fetal Loss in Women Without Autoimmune Disease: A
Metaanalysis. The Journal of Rheumatology; 33:11
Pengo V,Ruffatti A,Legnani C,Testa S,Fierro T,Marongiu F, De Micheli V,Gresele
P,Tonello M,Ghirarduzzi A, 2011. Incidence of a first thromboembolic event in
asymptomatic carriers of high-risk antiphospholipid antibody profile: a multicenter
prospective study. Blood; 118(17) : 4714-4718
Sada PR, Cohen H & Isenberg D, 2015. The Pathophysiology of antiphospolipid syndrome.
The Open Urology & Nephrology Journal; 8:2-9
Saputra D , Wahid I. 2019. Laporan Kasus : Sindroma Antifosfolipid Primer. Jurnal
Kesehatan Andalas. 2019; 8(2): 450-454
Tektonidou MG, Andreoli L, Limper M, Amaura Z, Cervera R, Chalumeau N, Cuadrado
MJ, Dorner T, Oliveras RF, Hambly K & Khamastha MA, 2019. EULAR
recommendations for the management of antiphospolipid syndrome in adults. Ann
Rheum Dis; 78: 1296-1304
Wantania J, 2016. Recurrent spontaneous fetal loss (RSFL) pada sindrom antifosfolipid.
Jurnal Biomedik (JBM); 8(2): 1-9

11

Anda mungkin juga menyukai