Anda di halaman 1dari 31

BAB II

PENGARUH FLEBOTOMI SEBAGAI TERAPI PADA PENDERITA

POLISITEMIA VERA DITINJAU DARI KEDOKTERAN

II.1. Polisitemia

II.1.1. Definisi

Polisitemia didefinisikan sebagai peningkatan jumlah sel darah merah

diatas normal. Peningkatan tersebut dapat terjadi secara khusus atau sebagai

akibat dari kontraksi penurunan volume plasma (polisitemia relatif). Istilah

eritrositosis dikenal berhubungan dengan istilah polisitemia, beberapa ahli

membedakan kedua istilah tersebut; eritrositosis sebagai peningkatan massa sel

darah merah, sedangkan polisitemia merujuk kepada peningkatan jumlah

kuantitatif dari sel darah merah (Spivak et al., 2010).

Pasien polisitemia vera biasanya ditemukan insidental dari pemeriksaan

penunjang dengan peningkatan kadar hemoglobin atau hematokrit diatas normal.

Peningkatan kadar Hb yang menjadi perhatian khusus apabila peningkatan terjadi

lebih dari 17 g/dL untuk laki-laki dan 15 g/dL untuk perempuan, sedangkan

untuk hematokrit meningkat >50% pada laki-laki atau >45% pada perempuan

(Spivak et al., 2010).

Pendekatan klinis yang diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis banding

lain ialah anamnesis terkait riwayat merokok, tempat tinggal di dataran tinggi,

5
riwayat penyakit jantung kongenital, ulkus peptikum, sleep apnea, PPOK, dan

penyakit ginjal (Spivak et al., 2010).

Pada gambar 1, dijelaskan bagan alur diagnosis pada pasien yang ditemukan

mengalami peningkatan hematokrit. Secara ideal, langkah pertama yang

dilakukan ialah pemeriksaan massa sel darah merah. Apabila massa sel darah

merah normal (<36 mL/kg pada laki-laki, <32 mL/kg pada perempuan), pasien

kemungkinan mengalami polisitemia relatif, sedangkan apabila ditemukan

meningkat, pemeriksaan selanjutnya yang perlu dilakukan ialah kadar

eritropoietin plasma. Kadar eritropoietin yang rendah menunjukkan tendensi

pasien mengalami polisitemia vera, oleh karena itu memerlukan pemeriksaan

lanjutan jumlah leukosit, jumlah basofil, dan trombosit. Selain itu, mutasi JAK-2

juga diperlukan mengingat 70-95% pasien polisitemia vera mengalami mutasi

pada gen tersebut (Spivak et al., 2010).

Kadar eritropoietin yang meningkat memiliki dua kemungkinan, pertama

sebagai respon fisiologis akibat hipoksia atau suatu reaksi produksi otonom,

selanjutnya dilakukan pemeriksaan saturasi oksigen. Pasien dengan saturasi

oksigen dibawah 92% sebaiknya dievaluasi terhadap kemungkinan adanya

penyakit jantung dan paru apabila pasien tidak hidup di dataran tinggi. Sementara

itu, pasien perokok dengan saturasi oksigen normal memiliki kadar eritropoietin

yang meningkat akibat penggeseran karbonmonoksida terhadap oksigen.

Diagnosis polisitemia perokok dapat ditegakkan apabila kadar

karboksihemoglobin tinggi (Spivak et al., 2010).

6
Pasien dengan saturasi oksigen normal yang tidak merokok memiliki

kemungkinan kelainan pada hemoglobin yang gagal mengirimkan oksigen ke

jaringan (dievalusi dengan afinitas hemoglobin-oksigen) atau kelainan pada

umpan balik produksi eritropoietin yang tidak memberikan respon secara normal

(Spivak et al., 2010).

Gambar 1 Alur Diagnosis Banding Polisitemia (Spivak et al., 2010)

7
II.2. Polisitemia Vera

II.2.1. Definisi

Polisitemia vera termasuk ke dalam kelainan jinak klonal

mieloproliferatif hematopoietik yang dicirikan dengan eritrositosis dan

trombositosis. Sel progenitor yang termasuk didalamnya ialah trombosit,

granulosit, dan sel darah merah. Sel tersebut kemudian berakumulasi tanpa

adanya respon stimulus fisiologis (Spivak et al., 2010).

II.2.2. Epidemiologi

Polisitemia vera (PV) adalah penyakit langka dengan perkiraan insidensi di

Eropa dan Amerika Serikat berada pada kisaran 1,9-2,3/100.000 per tahun,

dengan angka yang sedikit lebih tinggi pada laki-laki (2,8/100.000 per tahun)

dibandingkan pada perempuan (1,3/100.000 per tahun) dan angka tertinggi pada

laki-laki berusia 70-79 tahun (24/100.000 per tahun). Median usia saat

terdiagnosis polistemia vera adalah 60 tahun. Tingkat kematian pada polisitemia

vera mencapai 3,7/100 pasien per tahun, dengan tingkat kematian vaskular dan

non-vaskular mencapai 1,7 dan 1,8/100 pasien per tahun. Kematian non-vaskular

sebagian besar disebabkan oleh keganasan akibat neoplasma solid dan leukemia

akut (Landolfi et al., 2010).

Sebuah systematic review dan meta-analisis oleh Titmarsh et al (2014) yang

mencakup 20 studi (14 studi Eropa, 4 studi Amerika Utara, 1 studi Asia, dan 1

studi Australasia) menunjukkan tingkat insidensi 0,67/100.000 per tahun.

8
Pengeluaran 1 studi Asia karena kurang akuratnya metodologi yang digunakan

menyebabkan tingkat insidensi meningkat menjadi 0,84/100.000 per tahun.

Meta-analisis data Eropa menghasilkan tingkat insidensi 1,05/100.000 per tahun,

sedangkan meta-analisis data Amerika Utara menunjukkan insidensi

0,94/100.000 per tahun. Insidensi pada laki-laki tidak berbeda secara signifikan

dengan insidensi pada perempuan (0,87 dan 0,73/100.000 per tahun) (Titmarsh et

al, 2014).

Studi oleh Moulard et al (2013) yang mencakup 14 studi lainnya

menunjukkan insidensi polisitemia vera di Eropa berkisar diantara 0,4/100.000 -

2,8/100.000 per tahun, dengan studi-studi yang memiliki metodologi yang baik,

jumlah sampel besar, dan pemeriksaan lengkap menunjukkan kisaran insidensi

tertinggi (2-3/100.000 per tahun). Dari 14 studi tersebut, delapan studi mencapai

>1/100.000 per tahun dan empat studi mencapai >2/100.000 per tahun. Tiga

belas studi memperkirakan insidensi polisitemia vera sedikit lebih tinggi pada

laki-laki (kisaran 0,5/100.000 - 3,0/100.000 per tahun) dibandingkan pada

perempuan (kisaran 0,3/100.000 - 2,8/100.000 per tahun). Median usia saat

diagnosis berada pada kisaran 65-74 tahun. Studi yang sama menunjukkan

prevalensi polisitemia vera berada pada kisaran 5-30/100.000 (Moulard et al,

2014).

Studi yang dilakukan oleh Ma et al (2008) di Amerika Serikat menunjukkan

kisaran prevalensi yaitu 22/100.000 (Ma et al, 2008). Di Indonesia, data

9
polisitemia vera belum ditemukan sehingga gambaran penyakit polisitemia vera

di Indonesia belum dapat diperkirakan.

II.2.3. Etiologi & Patogenesis

Polisitemia vera (PV) disebabkan oleh mutasi progenitor hematopoietik

tunggal. Mutasi ini mempengaruhi sel punca pluripotensial dan selanjutnya

menyebabkan pertumbuhan abnormal sel progenitor dimana sel-sel tersebut

dapat membentuk koloni eritroid tanpa eritropoietin (Epo) eksogen. Sel-sel

progenitor eritroid juga menjadi hipersensitif terhadap insulin-like growth factor-

1 dan sitokin-sitokin lainnya (interleukin-3, granulocyte-macrophage colony

stimulating factor, dan faktor sel punca). Hal ini menunjukkan adanya gangguan

biokimia pada pengiriman sinyal intraselular yang meningkatkan respon

proliferasi sel-sel polisitemia vera terhadap stimulasi sitokin, yang kemungkinan

besar melalui jaras tirosin kinase (Landolfi et al., 2010).

Studi-studi yang mengelompokkan kasus polisitemia vera berdasarkan

keluarga menunjukkan kecurigaan adanya keterlibatan hilangnya heterozigositas

dalam patogenesis polisitemia vera. Studi ini menunjukkan hilangnya

heterozigositas pada daerah kromosom 9p ditemukan pada 30% subjek

polisitemia vera, dimana daerah kromosom 9p berperan mengkode gen p16 dan

Janus Kinase 2 (JAK2) (Landolfi et al., 2010).

Tirosin kinase JAK2 berperan penting dalam jaras pengiriman sinyal reseptor-

reseptor homodimerik dari sitokin-sitokin, misalnya eritropoietin (Epo),

10
trombopoietin (Tpo), dan granulocyte colony stimulating factor (GCSF); yang

sangat penting dalam proses mielopoiesis normal. Tirosin kinase juga berperan

penting dalam proses hematopoiesis (Muxi & Oliver, 2014).

Pada tahun 2005, ditemukan pertama kalinya adanya abnormalitas molekular

berulang pada kasus-kasus polisitemia vera, yaitu mutasi titik pada JAK2. Mutasi

ini menyebabkan substitusi valin menjadi fenilalanin pada posisi 617 (V617F)

pada domain pseudokinase (Spivak et al., 2010). Secara fisiologis, domain

pseudokinase mengalami kekurangan bahan untuk aksi katalitik pada domain

kinase sehingga aksi tersebut tidak terjadi. Mutasi V617F diperkirakan

menyebabkan hilangnya fungsi inhibisi domain pseudokinase terhadap domain

kinase atau memicu perubahan susunan pada domain pseudokinase yang

mengaktivasi domain kinase. Aktivasi domain kinase ini mengaktivasi protein

STAT5 yang cukup untuk memicu pertumbuhan koloni-koloni eritroid endogen,

Tidak adanya mutasi ini pada germ line menunjukkan bahwa mutasi ini bersifat

didapat (Muxi & Oliver, 2014).

Mutasi JAK2V617F ditemukan pada 95% pasien polisitemia vera, namun

juga ditemukan pada 50%-60% pasien trombositemia esensial dan mielofibrosis

primer. Mutasi ini juga ditemukan pada penyakit mieloid lainnya seperti anemia

refrakter dengan cincin sideroblas dengan trombositosis (60%), leukemia

mielomonositik kronik (8%), dan dalam jumlah sedikit pada leukemia

mieloblastik akut, sindrom mielodisplastik, dan leukemia mieloblastik kronik

(Ma et al, 2008). Meskipun pasien-pasien dengan mielofibrosis primer atau

11
trombositemia esensial juga memiliki mutasi JAK2, pada kebanyakan pasien

polisitemia vera hanya alel termutasi yang ditemukan di sel-sel hematopoietik

(homozigositas) akibat adanya proses rekombinasi mitotik (Landolfi et al., 2010).

Studi yang dilakukan oleh Hermouet et al (2015) juga menjelaskan tentang

hubungan antara inflamasi kronik dan neoplasma mieloproliferatif. Cedera fisik,

kimia, maupun infeksi dapat menyebabkan kerusakan sel dan jaringan dan

mengaktifkan jaras pengiriman sinyal antiapoptosis pada sel yang terpengaruh.

Hal ini memicu produksi autokrin dan parakrin serta konsumsi sitokin inflamasi

dan kemokin untuk menarik sel-sel imun limfoid dan myeloid ke tempat cedera.

Jika hal ini berlangsung secara kronik, akan terjadi stimulasi berlebihan secara

konstan pada produksi sel-sel hematopoietik dan menyebabkan lebih banyak

kerusakan sel dan jarangan, sehingga terjadi peningkatan duplikasi DNA dan

risiko mutasi serta defek pada reparasi DNA, baik pada sel-sel di jaringan yang

terpengaruh (peningkatan risiko kanker solid) maupun pada sel-sel limfoid dan

myeloid yang berperan dalam respon inflamasi tersebut (peningkatan risiko

keganasan hematologi) (Hermouet et al, 2015).

II.2.4. Patofisiologi

Perdarahan dan trombosis adalah kondisi klinis yang sering ditemukan pada

pasien polisitemia vera (PV). Hal ini disebabkan oleh dua hal: (1) peningkatan

kadar sel darah merah, dan (2) peningkatan kadar trombosit. Pada sejumlah

pasien, trombosis arteri dan vena sering dijumpai. Proses trombogenesis pada

12
pasien polisitemia vera diperkirakan sesuai dengan teorema yang dibuat oleh

Rudolf Virchow pada tahun 1856, disebut dengan triad Virchow. Virchow

membuat postulat bahwa trombus terjadi akibat interaksi abnormal diantara

dinding pembuluh darah, komponen darah dan aliran darah. Mekanisme terkait

trombogenesis pada arteri dan vena terkait dengan jalur kompleks biokimiawi

yang meregulasi akumulasi fibrin dan aktivasi beberapa sel lain seperti trombosit,

sel endotel, dan leukosit. Beberapa ahli membentuk suatu konsep berdasarkan

sirkuit terjadinya proses trombogenesis; arteri dan vena. Pada arteri, proses

trombus terjadi pada pembuluh darah yang memiliki resistensi tinggi dan aliran

darah yang cepat/tekanan tinggi. Oleh karena itu, struktur tersebut akan

meningkatkan adesi, aktivasi dan agregasi dari trombosit. Sementara itu, pada

vena, trombus terjadi pada sebuah struktur yang memiliki kapasitansi tinggi,

debit aliran yang rendah, sehingga struktur tersebut akan mengaktifkan faktor-

faktor koagulasi dan produksi dari fibrin yang tidak larut (Kroll et al, 2015).

13
Gambar 2 Mekanisme Penyakit (Marchioli et al., 2013)

Perdarahan lebih disebabkan oleh adanya sindrom von Willebrand

didapat yang ditemukan pada 12-15% pasien polisitemia vera. Sindrom ini terjadi

karena absorpsi faktor von Willebrand oleh trombosit, sehingga kadar trombosit

yang meningkat pada pasien polisitemia vera dapat mengurangi kadar faktor von

Willebrand dalam darah. Proses pembekuan darah dipengaruhi oleh faktor

jaringan, leukosit polimorfonuklear. permukaan trombosit (pada reaksi koagulasi

yang bergantung pada fosfolipid), dan mikropartikel pada trombosit. Faktor

jaringan dibentuk oleh leukosit, yang kadarnya juga meningkat pada pasien-

pasien polisitemia vera (Landolfi, 1998).

14
II.2.5. Manifestasi Klinis

Sebagian besar kasus polisitemia vera ditemukan secara insidental dari

hasil laboratorium dengan peningkatan signifikan hemoglobin dan hematokrit.

Tanda klinis awal kasus polisitemia vera ialah splenomegali. Pruritus akuagenik

disebutkan sebagai gejala klinis khas pada pasien polisitemia vera, selain itu

tidak ada gejala-gejala lain yang membedakan dengan penyebab eritrosis lainnya

(Spivak et al., 2010).

Pada pasien polisitemia vera, trombosis diaporkan terjadi pada arteri

(mencakup kejadian transient ischemic attack, stroke, infark miokard dan

trombosis arteri perifer) dan vena (trombosis vena dalam, tromboflebitis

superfisial dan emboli paru). Metaanalisis terbaru memaparkan bahwa terdapat

sekitar 8% hingga 53% pasien dengan trombosis vena hepatika (sindrom Budd-

Chiari) atau trombosis vena porta yang tidak memiliki kelainan sirosis atau

keganasan bilier ternyata dinyatakan memiliki diagnosis penyakit

mieloproliferatif, dan sebagian besar kasusnya disebabkan oleh polisitemia vera.

Iskemia pada ujung-ujung jari, epistaksis, perdarahan gastrointestinal, mudah

memar juga dapat terjadi akibat dari trombositosis/stasis vaskular (Kroll et al.,

2015).

Gejala-gejala neurologis seperti vertigo, tinnitus, sakit kepala, gangguan

penglihatan dan TIA (transient ischemic attack) merupakan manifestasi dari

hiperviskositas darah yang disebabkan oleh eritrositosis. Tanda lain yang

15
mendukung adanya elevasi massa sel darah merah ialah hipertensi sistolik

(Spivak et al., 2010).

Suatu kompleks gejala yang disebut sebagai eritromelalgia juga salah satu

komplikasi trombosis pada polisitemia vera, gejala yang timbul seperti eritema,

sensasi terbakar dan nyeri pada ekstremitas. Selain itu, siklus proses sel

hematopoietik pada polisitemia vera akan menyebabkan hiperurisemia dengan

gout sekunder, batu asam urat, dan gejala lain terkait hipermetabolisme (Spivak

et al., 2010).

II.2.6. Diagnosis

Diagnosis polisitemia vera saat ini berdasarkan kriteria WHO dan juga

mempertimbangkan temuan klinis serta laboratorium. Gambar 2 menunjukkan

algoritma diagnosis melalui pemeriksaan mutasi darah tepi pada gen JAK2V617F.

Deteksi mutasi JAK2V617F memiliki sensitivitas 97% dengan spesifisitas 100%

untuk membedakan polisitemia vera dengan entitas penyebab lain peningkatan

hematokrit. Kesalahan positif palsu atau negatif palsu pada pemeriksaan tes mutasi

dapat diatasi dengan pemeriksaan tambahan kadar serum eritropoietin, yang

diperkirakan hasilnya subnormal pada lebih dari 85% pasien. Kadar eritropoietin

yang rendah dengan tidak adanya mutasi JAK2V617F memerlukan analisis mutasi

lain pada JAK2 ekson 12 untuk mendapatkan sejumlah 3% prevalensi pasien

polisitemia vera dengan mutase JAK2 negatif (Tefferi & Barbui 2015).

16
Gambar 3 Alur Diagnosis Penyakit Neoplasma Mieloproliferatif (Tefferi &

Barbui, 2015)

Berdasarkan kriteria WHO tahun 2014, diagnosis polisitemia vera memiliki

kriteria mayor dan kriteria minor (Arber et al, 2016).

Tabel 1 Diagnosis Polisitemia Vera Berdasarkan WHO (Arber et al, 2016)

Polisitemia Vera

Kriteria Mayor  Kadar Hb >16,5 g/dL pada laki-laki, >16.0 g/dL pada

perempuan ATAU kadar hematocrit >49% pada laki-laki,

>48% pada perempuan, ATAU peningkatan massa sel

darah merah >25% diatas rerata normal nilai prediksi.

 Pemeriksaan biopsi sumsum tulang menunjukkan

hiperseluleritas pada tiga alur sel progenitor

17
(panmyelosis), yakni eritroid, granuloid, dan proliferasi

megakariosit dise megakariosit disertai pleomorfik matur

(berbeda ukuran).

 Adanya mutasi JAK2V617F atau mutasi JAK2 ekson 12

Kriteria minor  Kadar eritropoietin subnormal

II.2.7. Penatalaksanaan

Tujuan penetalaksanaan pada kasus-kasus polisitemia vera adalah

menurunkan viskositas darah untuk mencegah komplikasi dan meningkatkan

kualitas hidup pasien (Griesshammer et al, 2015; Assi dan Baz, 2014).

Manajemen kasus ini dapat dilaksanakan berdasarkan pembagian risiko yang

18
Gambar 4 Alur Manajemen Polisitemia Vera berdasarkan Pengelompokan Risiko
(Griesshammer et al, 2015)

dimiliki pasien. Pasien dengan usia di atas 60 tahun, memiliki riwayat

komplikasi berupa sumbatan arteri, atau progresivitas myeloproliferative

(organomegali, leukositosis, trombositosis) dikategorikan sebagai pasien dengan

risiko tinggi (Griesshammer et al, 2015; Arber et al, 2016). Pengelompokkan ini

dilakukan karena pasien dengan risiko tinggi membutuhkan tatalaksana yang

lebih agresif.

Pasien-pasien dengan risiko rendah umumnya dilakukan tatalaksana dengan

tindakan Flebotomi dan pemberian aspirin (Griesshammer et al, 2015; Assi dan

Baz, 2014; Tefferi dan Barbui, 2015). Flebotomi dilakukan untuk menurunkan

19
kadar eritrosit dalam sirkulasi darah, sementara pemberian aspirin ditujukan

untuk mencegah terjadinya obstruksi yang diakibatkan oleh pembekuan darah.

Sementara itu, pada pasien dengan risiko tinggi dilakukan pemberian zat yang

memiliki sifat sitotoksik terhadap progenitor sel darah. Obat sitotoksik yang

digunakan adalah hidroksiurea sebagai lini pertama dan interferon sebagai lini

kedua (Assi dan Baz, 2014; Tefferi dan Barbui, 2015).

II.2.8. Komplikasi

II.2.8.1 Trombosis

Kejadian trombosis merupakan penyebab utama dari morbiditas dan

mortalitas pasien polisitemia vera. Studi ECLAP menunjukkan bahwa risiko

kejadian komplikasi vaskular meningkat setidaknya 2,5% per tahun, termasuk di

dalamnya pasien dengan usia relatif muda (<65 tahun) tanpa adanya riwayat

komplikasi vaskular sebelumnya. Komplikasi akan semakin meningkat (lebih

dari 5% per tahun) pada pasien usia tua (>65 tahun), atau pada subjek yang

memiliki riwayat trombosis baru. Risiko meningkat sangat tinggi (>10% per

tahun) pada pasien yang memiliki kedua faktor risiko tersebut (Kroll et al.,

2015).

Pada pasien polisitemia vera, terdapat beberapa kondisi yang menjadi

faktor risiko terjadinya trombosis. Faktor-faktor ini terbagi menjadi faktor risiko

konvensional dan faktor risiko nonkonvensional. Faktor-faktor risiko

20
konvensional antara lain terdiri dari riwayat trombosis, eritrositosis, dan

leukositosis. Berdasarkan studi ECLAP, pasien-pasien dengan riwayat trombosis

memiliki risiko kardiovaskular yang meningkat (HR 2,09; 95% IK 1,55-2,81).

Suatu studi eksperimen menunjukkan insidensi kejadian kardiovaskular yang

lebih rendah pada pasien dengan tingkat hematokrit <45% (4,4%) dibandingkan

dengan 45%-50% (10,9%) dan kelompok dengan tingkat hematokrit yang lebih

rendah juga memiliki tingkat kematian akibat gangguan kardiovaskular atau

trombosis mayor yang lebih rendah. Studi ECLAP dan dua studi lainnya juga

menunjukkan peningkatan trombosis pada pasien dengan tingkat leukosit yang

tinggi (>15 x 109/L). Faktor-faktor lainnya yang dapat berpengaruh antara lain

usia >65 tahun, riwayat merokok, hipertensi, dan diabetes melitus (Kroll et al.,

2015).

Faktor-faktor risiko nonkonvensional untuk trombosis terdiri dari

beban alel JAK2V617F, inflamasi, aktivasi sel darah, mikropartikel, dan aktivasi

sistem koagulasi. Studi-studi menunjukkan risiko trombosis yang meningkat

pada kelompok dengan beban alel JAK2V617F diatas 50%-75%. Peningkatan

inflamasi yang ditunjukkan oleh tingginya konsentrasi C-reactive protein (CRP)

serum juga meningkatkan risiko trombosis. Selain itu, data laboratorium

menunjukkan peningkatan status protrombotik akibat aktivasi leukosit,

trombosit, dan sel-sel endotel. Aktivasi sel-sel tersebut selanjutnya menghasilkan

mikropartikel serum yang juga meningkatkan aktivitas koagulasi. Marker

21
koagulasi pada plasma juga ditemukan meningkat pada pasien-pasien polisitemia

vera sehingga mengurangi waktu pembekuan (Kroll et al., 2015).

Tabel 2 Karakteristik Komplikasi Trombosis pada Pasien Polisitemia Vera (Landolfi

et al., 2010)

Tabel 2 diambil dari studi ECLAP menunjukkan karakteristik kejadian

trombosis pada pasien polisitemia vera, dapat disimpulkan bahwa jika

dibandingkan dengan populasi umum, terdapat bukti peningkatan angka kejadian

strok dan tromboemboli vena pada pasien polisitemia vera. Sementara itu, studi

oleh Stefano menunjukkan bahwa kadar leukosit yang tinggi merupakan faktor

risiko independen lain terkait terjadinya trombosis vaskular (Landolfi et al.,

2010).

22
Hiperviskositas darah dan perhitungan kadar trombosit tetap menjadi

faktor utama pada komplikasi polisitemia vera. Studi lain menunjukkan bahwa

hiperproduksi tromboksan pada polisitemia vera merupakan dasar patogenesis

pada kasus trombofilia polisitemia vera (peningkatan ekskresi metabolit

tromboksan A2) (Landolfi et al., 2010).

Selain itu, peningkatan siklus sel/ turn over sel hematopoietik akan

meningkatkan produksi dari asam urat dan produksi sitokin. Hal ini berhubungan

dengan gejala klinis berupa ulkus peptikum dan pruritus yang terjadi.

Peningkatan ukuran dari limpa terjadi akibat proses infark dan kakeksia (Spivak

et al., 2010).

Eritromelalgia, suatu sindrom yang berkaitan erat dengan trombositosis,

umumnya mengenai ekstremitas bawah dan bermanifestasi dengan eritema berat,

panas, dan nyeri akibat iskemia ujung-ujung jari. Angka kejadian eritromelalgia

bervariasi pada kelainan mieloproliferatif, dan biasanya memberikan respon

terhadap terapi salisilat. Gejala lain seperti migrain okular dapat timbul sebagai

variasi gejala eritromelalgia (Spivak et al., 2010).

II.2.8.2 Perdarahan

Risiko perdarahan pada pasien polisitemia vera diduga disebabkan oleh

sindrom von Willebrand, akan tetapi risiko komplikasi ini terbilang rendah. Pada

studi ECLAP, insidensi total perdarahan mencapai 2.9 dari 100 pasien per

23
tahunnya, sementara itu perdarahan mayor (membutuhkan transfusi darah dua

unit atau lebih) yakni 0,8 dari 100 pasien per tahunnya. Perdarahan mayor yang

terjadi melibatkan perdarahan gastro intestinal, sedangkan perdarahan minor

seperti memar-memar, epistaksis, dan perdarahan gusi. Risiko komplikasi

perdarahan akan semakin meningkat pada pasien yang memiliki riwayat

perdarahan sebelumnya, usia tua, durasi penyakit, dan pemakaian aspirin

(Landolfi et al., 2010).

II.2.8.3 Transisi penyakit: mielofibrosis dan leukemia akut

Transisi penyakit polisitemia vera menjadi mielofibrosis terbilang jarang,

dan mungkin terjadi setelah beberapa tahun. Pada studi prospektif yang

melibatkan 116 subjek, probabilitas polisitemia vera menjadi mielofibrosis

terhitung 16% dalam 10 tahun dan 34% dalam 15 tahun. Studi tersebut tidak

menemukan hubungan antara ukuran limpa, leukositosis, trombositosis dan agen

sitoreduktif dengan peningkatan mielofibrosis post polisitemia. Setelah lebih dari

10 tahun diagnosis polisitemia vera, sebagian pasien membutuhkan Flebotomi

lebih sedikit untuk mengkontrol penyakit, sementara itu sebagian kecil

berkembang menjadi mielofibrosis dengan perbesaran limpa dan sitopenia

(Landolfi et al., 2010).

Transisi polisitemia vera menjadi leukemia akut terhitung 1,3 dari 100

pasien per tahunnya. Transisi menuju leukemia dimanifestasikan dengan

24
peningkatan/penurunan leukosit, anemia dan trombositopenia. Leukemia

sekunder yang terjadi umumnya refrakter terhadap kemoterapi dan berhubungan

dengan abnormalitas sitogenetik seperti delesi kromosom 5,7 dan 17. Risiko

menjadi leukemia meningkat pada pasien-pasien usia tua dan penggunaan agen

kemoterapi, terutama Fosforus-32 (Landolfi et al., 2010).

II.3. Flebotomi

II.3.1. Definisi

Bahasa Yunani merupakan asal kata dari flebotomi , yakni flebo (phlebo/

vena) dan tome (insisi). Flebotomi diartikan sebagai tindakan insisi pembuluh

darah dengan tujun mengalirkan darah keluar dari pembuluhnya. Tindakan ini

dipercaya dapat membantu penyembuhan pasien, karena darah dianggap sebagai

salah cairan tubuh yang mengandung zat-zat toksik penyebab penyakit (WHO).

II.3.2. Indikasi

Dalam ilmu kedokteran modern, tindak flebotomi dilakukan baik untuk

tujuan diagnostic maupun tujuan terapeutik. Untuk tujuan diagnostik, flebotomi

berperan dalam membantu mengumpulkan darah untuk kemudian digunakan

dalam pemeriksaan dalam spektrum luas.

Namun demikian, sebagai tindakan invasif yang sering dilakukan dalam

praktik sehari-hari. Flebotomi juga berpotensi menyebabkan kejadian iatrogenik.

Pada panduan flebotomi WHO, dikutip laporan kejadian iatrogenik berupa

hematoma, sinkop, reaksi vasovagal, dan kerusakan jaringan anatomis sekitar

25
(terutama syaraf) (WHO). Oleh karena itu, WHO menyimpulkan perlu diadakan

pelatihan tenaga medis, edukasi mengenai flebotomi , dan penulisan guideline

untuk menurunkan terjadinya masalah iatrogenik yang berpotensi menyertai

flebotomi . Pentingnya dilakukan penulisan guideline juga dengan

mempertimbangkan adanya perbedaan praktik flebotomi antar praktisi

kesehatan.

II.3.3. Teknik Pelaksanaan

Panduan lege artis dalam melakukan praktik flebotomi termasuk di

dalamnya adalah (WHO):

1. Siapkan alat

Untuk melaksanakan pengambilan darah pada flebotomi , beberapa peralatan

yang harus disiapkan adalah:

a. Turniket

b. Hand-rub

c. Alcohol swab

d. Sarung tangan DTT (Disinfeksi Tingkat Tinggi)

Alat ini selain digunakan sebagai pelindung diri juga berfungsi untuk

mencegah kontaminasi sampel darah yang diambil.

e. Jarum suntik dan syringe

Terdapat klasifikasi dari jarum suntuk dan syringe. Pemilihan atas

keduanya didasarkan pada usia dan kebutuhan jumlah darah yang ingin

26
diambil sebagai sampel. Misal pada anak-anak, umumnya pengambilan

darah dilakukan dengan menggunakan jarum suntuk yang berukuran kecil.

f. Tabung sampel darah

Terdapat beberapa jenis tabung sampel darah yang dapat digunakan,

pemilihan disesuaikan dengan tujuan pemeriksaan dan metode

pengambilan darah yang dilakukan. Contoh jenis tabung adalah tabung

plastik dengan penutup karet, tabung vakum, tabung kaca dengan penutup

ulir. Penggunaan tabung juga disesuaikan dengan jenis pemeriksaan yang

akan dilakukan, misal pada pemeriksaan kultur darah sampel akan

disimpan pada tabung dengan penutup merah-hitam, sementara pada

pemeriksaan faktor pembekuan tabung yang digunakan memiliki penutup

yang berbeda warna.

g. Gelas kaca atau plastik darah

Kedua alat ini digunakan untuk pengambilan darah dalam jumlah besar.

h. Label laboratorium

i. Tempat membuang jarum suntik

j. Wadah untuk transpor sampel

2. Melakukan identifikasi, edukasi, dan informed consent terhadap pasien

a. Perkenalkan diri ke pasien, minta dia untuk menyebutkan nama

lengkapnya. Sesuaikan dengan identitas pada label pasien di formulir

laboratorium.

27
b. Tanyakan apakah pasien memiliki fobia, alergi, ataupun riwayat kejadian

iatrogenik terkait dengan flebotomi .

c. Tenangkan pasien jika cemas.

d. Taruh kain bersih sebagai alas dari lokasi pengambilan darah.

e. Jelaskan prosedur secara singkat dan persilakan pasien untuk

menandatangani lembar informed consent.

f. Ekstensikan tangan pasien, dan lakukan identifikasi vena di fossa

antekubiti.

g. Pasangkan turniket 4-5 jari di atas lokasi vena

Gambar 5 Contoh alat yang disiapkan (WHO)

Cuci tangan dan gunakan sarung tanga

3. Dengan gerakan melingkar, bersihkan area yang akan dilakukan flebotomi

menggunakan alcohol swab.

4. Lakukan pungsi vena

a. Letakkan jempol di bawah lokasi pungsi vena untuk memudahkan

masuknya jarum suntik.

28
b. Minta pasien untuk mengepalkan tangan, sehingga vena tampak lebih

jelas.

c. Suntikkan jarum dengan sudut 30o atau kurang, agar dapat dengan mudah

memasuki vena yang superfisial.

d. Setelah darah terambil, lepaskan turniket.

e. Tarik jarum secara perlahan untuk meminimalisir kerusakan jaringan

sekitar.

5. Isi tabung sampel laboratorium sesuai urutan untuk mencegah terjadinya

kontaminasi bahan additif tabung

6. Bershikan darah yang tersisa di lokasi pungsi

Gambar 6 Cara melakukan pungsi vena (WHO)


II.3.4. Medikasi

Flebotomi dapat menjadi tindakan terapeutik pada pasien dengan

polisitemia vera, hemochromatosis, penyakit myeloproliferatif lainnya, maupuan

porfiria kutanea tarda. Pada pasien polisitemia vera, tindakan flebotomi

ditujukan untuk mengurangi viskositas darah dengan cara membuang kelebihan

eritrosit, leukosit, dan trombosit dalam darah (Raedler, 2014).

29
Walaupun terdapat studi yang menunjukkan tingginya efektivitas

eritroferesis dibanding flebotomi , namun dengan mempertimbangkan

keterbatasan pada beberapa pusat pelayanan medis dan kemudahan prosedural,

flebotomi masih menjadi pilihan terapi utama pada pasien-pasien polisitemia

vera.

Indikator yang digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan terapi pada

polisitemia vera adalah penilaian kadar hemoglobin, hematokrit, kadar oksigen

darah. Sebagai indikator yang sering digunakan, target hematokrit pada pasien-

pasien polisitemia vera adalah di bawah 45% (Tefferi dan Barbui, 2015; Raedler,

2014). Studi lain juga menunjukkan bahwa pasien dengan kadar hematokrit

kurang dari 45% memiliki risiko kardiovaskular yang lebih rendah dibanding

kelompok pasien dengan kadar hematokrit yang berkisar antara 45-50%. Satu

studi menunjukkan terdapat risiko kardiovaskular yang empat kali lebih tinggi

pada pasien-pasien dengan nilai hematokrit >45%. (Barbui T, et al. 2012)

Studi lain dilakukan dengan metode uji klinis terapi terhadap sampel yang

cukup besar, 182 pasien dewasa dengan JAK2-positif polisitemia vera dan

hematokrit dibawah 45% dibandingkan terhadap 182 pasien dengan JAK2-positif

polisitemia vera dan kadar hematokrit >45%. Kelompok subjek menerima

flebotomi rutin atau dua kali seminggu hingga target hematokrit tercapai. Hasil

studi menunjukkan bahwa kejadian komplikasi kardiovaskular sejumlah 4.4%

pada pasien hematokrit rendah dan 10,9% pada pasien dengan kadar hematokrit

tinggi (HR 2.69; 95% ci: 1.19-6.12; P=0.02). Insidensi trombosis mayor

30
sebanyak 1.1 per 100 orang dalam satu tahun pada kelompok hematokrit rendah

dan 4.4 per 100 orang dalam satu tahun pada kelompok hematokrit tinggi.

(Marchioli et al, 2013).

Pada studi sebelumnya ditunjukkan bahwa flebotomi dapat menurunkan

nilai Packed Cell Volume pada pasien dengan polisitemia vera. (Humphrey PR,

et al. 1980). Pada studi tersebut, rerata PCV pada pasien dengan polisitemia vera

setelah flebotomi adalah 0.431, lebih rendah dibandingkan nilai PCV sebelum

dilakukan flebotomi yakni 0.522. Flebotomi terapeutik dapat dilakukan dengan

mengeluarkan darah sebanyak 250cc, dan dapat diulang dalam kurun waktu dua

bulan.

Namun demikian, intervensi dengan flebotomi saja diasosiasikan dengan

risiko gangguan kardiovaskuler yang lebih tinggi daripada terapi kombinasi

menggunakan aspirin dan flebotomi . (Bleeker JS, et al. 2011) Tindakan invasif

juga cenderung tidak nyaman dan dapat menyebabkan pasien tidak rutin

menjalani pengobatan. (Najean Y, Dresch C, Rain JD 1994) Dalam jangka

panjang, metode flebotomi juga dapat menyebabkan terjadinya intoleransi klinis

dan berujung pada defisiensi besi. (Bleeker JS, Hogan WJ 2011) Intoleransi

terkait tindakan flebotomi berulang salah satunya juga berupa trombositosis

reaktif.

Pada tahun 1970, Polychythemia Vera Study Group (PVSG) melakukan

studi klinis pertama (PVSG Trial-01) prospektif selama 20 tahun terhadap 431

pasien-pasien polisitemia vera. Studi tersebut membagi subjek menjadi tiga

31
kelompok; terapi flebotomi saja, flebotomi dan klorambusil, serta flebotomi

dengan fosfat radioaktif (32P). Hasil menunjukkan bahwa angka hidup median

(median survival) lebih baik pada kelompok dengan flebotomi saja yakni 13,9

tahun, sedangkan flebotomi dan klorambusil selama 11,8 tahun, serta flebotomi

dengan fosfat radioaktif paling rendah yakni 8,9 tahun. Penelitian tersebut juga

menunjukkan bahwa terdapat peningkatan insidensi trombosis pada kelompok

yang menerima terapi flebotomi saja dalam tiga tahun pertama (23%
32
dibandingkan 15% terhadap terapi P). Namun, apabila dibandingkan terhadap

terapi mielosupresi, kelompok subjek yang menerima flebotomi saja memiliki

insidensi lebih rendah terhadap keganasan hematologi. Oleh karena itu, peneliti

menyimpulkan bahwa flebotomi menunjang angka harapan hidup pasien, meski

terdapat peningkatan trombosis dalam tiga tahun pertama (Berk et al, 1995).

Selanjutnya PVSG melakukan studi klinis lanjutan melalui PVSG-05 dan

PVSG-08 untuk mengurangi angka kematian yang teridentifikasi pada uji

pertama. PVSG-05 menggunakan target hematokrit lebih rendah (45%) dan


32
membandingkan flebotomi + aspirin (900 mg/hari) dengan flebotomi + P+

dipirimadol (225 mg/hari). Penelitian kemudian dihentikan setelah 1.2 tahun

dijalankan karena ketiga kelompok menunjukkan gejala perdarahan

gastrointestinal berat dan tidak adanya reduksi kejadian trombosis. Selanjutnya

pada uji PVSG-08, dengan median waktu pengamatan 8.6 tahun, terdapat 51

pasien yang diberikan hidroksiurea dibandingkan dengan terapi flebotomi saja,

hasil menunjukkan bahwa pada pasien yang menerima hidroksiurea memiliki

32
jumlah kematian yang lebih rendah (39% dan 55%), jumlah komplikasi

mielofibrosis lebih rendah (8% vs 13%) dan lebih banyak komplikasi leukemia

akut (10% vs 4%). (Spivak et al, 2003)

Studi uji klinis acak tersamar oleh ECLAP yang melibatkan 518 subjek

membandingkan antara kelompok yang memperoleh aspirin (100mg/hari) dengan

tanpa aspirin. Studi menyebutkan tidak terdapat perbedaan pada tingkat

mortalitas keseluruhan, mortalitas akibat kardiovaskular, dan perdarahan mayor.

Namun, terapi menggunakan aspirin menurunkan risiko komplikasi trombosis

pada pasien polisitemia vera (Landolfi et al, 2004).

Selain itu, Streiff et al pada tahun 2001 melakukan penelitian mengenai

pola penanganan kasus polisitemia vera pada dokter di Amerika Serikat. Peneliti

memperoleh data mengenai preferensial terapi kasus polisitemia vera, data

menunjukkan bahwa terapi flebotomi merupakan pilihan pertama, diikuti oleh

kombinasi flebotomi + hidroksi urea, dan hidroksi urea saja. Interferon, aspirin,
32
P, dan busulfan hanya dipilih sebagian kecil praktisi. Sejumlah 81% praktisi

menggunakan flebotomi sebagai pilihan terapi utama, flebotomi + hidroksi urea

sebanyak 76,4%. Monoterapi hidroksi urea sebesar 48,7%, interferon 24,5 %,


32
aspirin 16,5%, P 16,4% dan busulfan 9,5%. Penggunaan hidroksi urea sebagai

lini pertama lebih besar pada kalangan praktisi akademik (26,8% vs 17% dokter

di klinik mandiri, P=0.01). terdapat tren penggunaan monoterapi flebotomi

untuk mengatasi eritrosis pada dokter dengan masa kerja klinis lebih lama (87%

33
>10 tahun pengalaman; vs 81% 6-10 tahun pengalaman; dan 79% 1-5 tahun;

P=0.02 pada perbandingan >10 tahun dan 1-5 tahun) (Streiff et al, 2001).

Meskipun demikian, flebotomi tidak dijadikan pilihan utama pada pasien

yang sering mengalami reaksi vasovagal, pusing, maupun hipotensi pasca

tindakan. Sebagai pilihan selain flebotomi , dapat juga digunakan antiplatelet

ataupun obat sitotoksik.

Obat sitotoksik juga cenderung lebih dianjurkan pada pasien yang kadar

hematokrit tidak terkontrol dengan menggunakan flebotomi saja. Beberapa

metode tatalaksana lain dalam manajemen polisitemia vera termasuk juga

penggunaan zat sitotoksik. Beberapa obat yang lazim digunakan adalah

hidroksiurea, pipobroman, dan klorambusil. Satu studi menunjukkan efek

sitotoksik tersebut dapat mengakibatkan terjadinya Leukemia Myeloid Akut

sekunder (LMAs). (Tefferi A, et al. 2013) Studi lain menunjukkan bahwa dosis

kumulatif dari hidroksiurea tidak berkaitan dengan kejadian AML (Kiladjian JJ,

et al. 1980), namun penggunaan hidroksiurea dalam jangka panjang berkaitan

dengan peningkatan risiko terjadinya AML. (Bjorkholm M, et al. 2011)

Meskipun demikian, flebotomi tidak dijadikan pilihan utama pada pasien

yang sering mengalami reaksi vasovagal, pusing, maupun hipotensi pasca

tindakan. Sebagai pilihan selain flebotomi , dapat juga digunakan antiplatelet

ataupun obat sitotoksik.

34
Obat sitotoksik juga cenderung lebih dianjurkan pada pasien yang kadar

hematokrit tidak terkontrol dengan menggunakan flebotomi saja. Berikut adalah

standar pemilihan terapi untuk kasus polisitemia vera:

Gambar 7 Alur pemilihan tatalaksana berdasarkan usia (Raedler RA, 2014)

35

Anda mungkin juga menyukai