PENDAHULUAN
Polisitemia merupakan keadaan yang cukup berbahaya bagi bayi baru lahir.
Polisitemia merupakan salah satu jenis penyakit mieloproliferatif yang ditandai
oleh peningkatan jumlah eritrosit, hemoglobin, atau hematokrit di dalam
sirkulasi(1). Kadar hematokrit yang lebih tinggi (51% ± 7%) umumnya
ditemukan pada bayi baru lahir cukup bulan (aterm) dibandingkan dengan
anak yang berusia lebih dewasa. Hal tersebut terjadi akibat adaptasi
normal janin terhadap hipoksemia dan bukan akibat kelainan sel induk
hematopoietic. Adaptasi ini merupakan bentuk mekanisme kompensasi
pada bayi baru lahir akibat hipoksia relatif selama janin berada di
intrauterine dan tingginya daya ikat (afinitas) hemoglobin janin terhadap
oksigen (2) .
Polisitemia pada neonatus terjadi ketika nilai hematokrit darah vena lebih
dari 65% (0,65) atau jumlah hemoglobin lebih dari 22gr/dL(3). Kejadian
polisitemia pada bayi baru lahir sehat adalah 0,4-5%. Gejala polisitemia diduga
timbul akibat hiperviskositas yang terjadi pada 47,4% neonatus polisitemia (4).
Insidensi polisitemia meningkat pada kelompok berisiko tinggi seperti posterm
neonatus, bayi yang kecil masa kehamilan (KMK), bayi yang terlahir dari ibu
penderita gestational diabetes atau hipertensi, bayi kembar identik yang saling
berbagi plasenta dan transfusi darah dari bayi kembar yang satu ke bayi kembar
yang lain (twin–twin transfusion syndrome), serta karena abnormalitas
kromosom(2). Selain itu risiko polisitemia juga meningkat 2,5 kali pada bayi dari
ibu yang merokok dan tinggal di dataran tinggi, sedangkan risiko kejadian
polisitemia menurun pada bayi yang lahir dengan masa kehamilan selama 34
minggu(5)(6).
Penyebab polisitemia pada neonatus bersifat multifaktorial dan dapat
dibedakan menjadi polisitemia aktif (akibat peningkatan eritropoiesis) atau pasif
(transfusi sel darah merah). Polisitemia aktif berkaitan dengan kondisi insufisiensi
plasenta, kelainan endokrin, dan kelainan genetik, seperti trisomi 13 (8%), trisomi
18 (17%), trisomi 21, dan sindrom Beckwith-Wiedemann. Insiden polisitemia
1
pada bayi yang memiliki sindrom down adalah 15% sampai 33%. Polisitemia
pasif berkaitan dengan penundaan penjepitan tali pusat, hal ini terjadi akibat
adanya placental-fetal transfusion yang menyebabkan peningkatan volume darah
yang mengalir dari plasenta ke tubuh bayi. Saat terjadi penundaan penjepitan tali
pusat selama 3 menit setelah bayi lahir,volume darah bayi meningkat sampai
30%(2,3,5–7).
Peningkatan hematokrit atau sel darah merah dapat disebabkan oleh
penurunan volume plasma atau peningkatan jumlah sel darah merah itu sendiri.
Berdasarkan hal tersebut, maka polisitemia dibagi menjadi polisitemia relatif dan
polisitemia absolut. Polisitemia relatif adalah peningkatan hematokrit dan sel
darah merah akibat penurunan volume plasma (misalnya karena dehidrasi berat),
artinya jumlah sel darah merah sebenarnya tidak bertambah, namun darah terlihat
lebih pekat karena unsur cairan dalam darah (plasma darah) berkurang.
Sedangkan, polisitemia absolut adalah peningkatan jumlah sel darah merah yang
memang mengalami peningkatan. Polisitemia absolut diklasifikasikan menjadi
polisitemia sekunder dan polisitemia primer/vera(8).
Polisitemia vera (PV) adalah peningkatan jumlah sel darah merah akibat
proliferasi sel progenitor atau prekursor di sumsum tulang, akibat mutasi gen yang
mengatur eritropoiesis(8). Eritrositosis (peningkatan jumlah sel darah merah total)
merupakan manifestasi klinis PV yang paling menonjol. PV diklasifikasikan ke
dalam kelompok penyakit Philadelphia-chromosome negative myeloproliferative
neoplasms (MPN) dan dapat dibedakan dari peningkatan eritrosit yang
dominan(9,10). Polisitemia menyebabkan viskositas darah meningkat sehingga
terjadi penumpukan sel darah merah yang akan menghambat aliran darah ke
jaringan dan dapat berakibat fatal. Hiperviskositas adalah suatu keadaan dimana
viskositas darah lebih dari 14,6 centipoise bila diukur dengan menggunakan
viscometer pada kecepatan hitung 11,5/detik. Peningkatan viskositas darah dapat
terjadi akibat peningkatan plasma protein, trombosit, leukosit, serta factor-faktor
endothelial lainnya, sehingga perlu dipertimbangkan diagnosis PV ketika
ditemukan adanya polisitemia pada bayi baru lahir(3). Langkah pertama yang perlu
dilakukan untuk mengevaluasi pasien adalah menentukan apakah pasien tersebut
menderita polisitemia primer (polisitemia klonal) atau polisitemia sekunder
2
(polisitemia nonklonal) agar penatalaksanaan yang tepat dapat diberikan untuk
menurunkan angka kesakitan dan kematian(11,12).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Polisitemia Vera berasal dari bahasa Yunani dimana poly berarti banyak, cyt
berarti sel dan hemia berarti darah sedangkan vera berarti benar(13). Polisitemia
vera merupakan satu satunya bentuk klonal dari polisitemia primer yang termasuk
ke dalam polisitemia absolut. Polisitemia absolut adalah keadaan dimana
terjadinya peningkatan jumlah sel darah merah itu sendiri(8). Polisitemia vera (PV)
diklasifikasikan ke dalam kelompok penyakit Philadelphia-chromosome negative
myeloproliferative neoplasms (MPN) yang ditandai dengan hiperplasia trilineage
sumsum tulang dengan hematopoiesis klonal tanpa adanya stimulus fisiologis(9).
Polisitemia vera juga ditandai dengan peningkatan hebat dalam jumlah sel darah
merah dan volume darah total, dan biasanya disertai dengan leukositosis,
trombositosis dan splenomegali(14). Pada PV, kelainan terjadi pada sel induk
hematopoietik atau multipotent hematopoietic stem cells (hemositoblast).
Patogenesis eritrositosis pada PV melibatkan mutasi gen dari sel induk yang
mengakibatkan ekspansi klonal multipel sel darah(15).
2.2 Epidemiologi
3
Kadar hematokrit >64% masih ditemukan pada <40% bayi setelah 12 jam atau
lebih pasca dilahirkan(12).
Kasus polisitemia vera masih jarang ditemukan dan dapat mengenai semua
umur terutama pada pasien berumur 40-60 tahun dengan perbandingan antara pria
dan wanita yakni 2 : 1. Swedia dan Italia melaporkan kasus PV sebanyak 30 kasus
per 100.000 populasi. Kemudian di Norwegia, prevalensi polisitemia vera
dilaporkan 9,2 kasus per 1.000.000 penduduk. Negara maju seperti Amerika
sendiri untuk angka kejadian dari polisitemia vera ialah 2,3 per 100.000 penduduk
dalam setahun. Insidensi polisitemia vera dilaporkan 4,9 kasus per 100.000
penduduk di Baltimore dan sebuah tinjauan yang lebih baru di Connecticut
melaporkan kejadian 22 kasus polisitemia vera per 100.000 penduduk. Di Israel
insidensi polisitemia vera dilaporkan 6,7 kasus per 1.000.000 penduduk,
sedangkan di Indonesia belum ada laporan tentang angka kejadiannya(14,16).
2.3 Etiologi
4
2.4 Patogenesis
5
menyebabkan sel abnormal terus mereproduksi dirinya sendiri yang akhirnya
menjadi sel induk hematopoietik yang dominan di sumsum tulang. Biasanya,
ginjal menghasilkan hormon yang disebut eritropoietin. Hormon ini mengikat
reseptor yang terdapat pada sel induk hematopoietik. Karena gen JAK2 terlalu
aktif, sel-sel yang berasal dari sel induk hematopoietik yang rusak terus tumbuh
dan membelah bahkan tanpa adanya eritropoietin. Proliferasi berlebih pada sel-sel
hematopoetik akan menimbulkan abnormalitas pada penilaian klinis pasien seperti
abnormalitas hitung darah lengkap dan inflamasi akan memicu timbulnya gejala
klinis pada pasien. Sel-sel yang tumbuh dengan cepat ini juga dapat menyumbat
sumsum tulang dan ketika rusak dan mati menyebabkan terbentuknya jaringan
parut (15,20).
Polisitemia vera dalam kasus yang jarang terjadi, mempengaruhi beberapa
anggota keluarga yang sama, hal ini menunjukkan bahwa faktor genetik selain
mutasi gen JAK2 mungkin berperan dalam perkembangan kelainan tersebut.
Namun, para peneliti belum menetapkan predisposisi keluarga yang kuat dalam
kaitannya dengan polisitemia vera(18).
2.5 Diagnosis
6
Manifestasi klinis yang dapat timbul antara lain ruddy complexion (kulit
kemerahan), jitteriness (kegugupan), irritability, tremor, kesulitan makan, letargi,
apnea, sianosis, respiratori distress, dan kejang. Gejala neurologis tampak pada
kurang lebih 60% pasien. Penyebab utama dari timbulnya gejala- gejala tersebut
masih belum jelas, namun diduga gejala-gejala tersebut muncul akibat kurangnya
aliran darah ke jaringan, terutama di otak, paru-paru, dan jantung. Gejala
neurologis yang muncul juga diperkirakan berhubungan dengan adanya perubahan
status metabolik pada bayi, seperti hipoglikemia dan hipokalemia. Hipoglikemia
merupakan gejala yang sering ditemukan pada kasus perubahan status metabolik.
Menurut data American Academy of Pediatrics, hipoglikemia dapat diobservasi
pada 12% sampai 40% neonatus yang mengalami polisitemia, sedangkan
hipokalemia dapat diobservasi pada 1% sampai 11% neonatus yang mengalami
polisitemia. Terjadinya hipokalemia ini diperkirakan berhubungan dengan adanya
peningkatan konsentrasi gene-related peptide (CGRP). Patofisiologi peningkatan
CGRP ini masih belum jelas, namun CGRP ini memegang peranan penting pada
proses adaptasi neonatus terhadap kehidupan ekstrauterin(3).
Selain itu, adanya polisitemia dan hiperviskositas dapat menyebabkan
terjadinya Necrotizing Enterocolitis (NEC). Dari data-data yang sebelumnya ada,
polisitemia teridentifikasi pada hampir seluruh neonatus dengan NEC. Walaupun
perubahan perfusi jaringan diduga sebagai penyebab terjadinya mucosal gut
injury pada bayi yang besangkutan, namun data-data terbaru menyebutkan
penggunaan Partial Exchange Transfusion (PET) untuk menurunkan hematokrit
jua merupakan salah satu faktor menyebabkan terjadinya NEC(3).
Pada ginjal, polisitemia neonatus ditandai dengan adanya penurunan
Glomerular Filtration Rate (GFR), oligouria, hematuria, proteinuria, dan renal
vein thrombosis. Adanya trombositopenia dapat tejadi pada sepertiga jumlah
kasus neonatus dengan polisitemia, yang mana terjadinya hal tersebut diduga
karena adanya konsumsi platelet berlebihan pada system mikrovaskular(3).
Pada pemeriksaan fisik Temuan yang paling jelas adalah facial plethora
(kemerahan pada wajah yang disebabkan oleh peningkatan aliran darah).
7
Splenomegali ditemukan pada 75% pasien dan hepatomegali ditemukan pada
sekitar 30% pasien. Berkurangnya jumlah makanan yang dikonsumsi bayi juga
menunjukkan polisitemia dan hiperviskositas. Selanjutnya, 12-40% neonatus
mengalami hipoglikemia dan 1-11% neonatus mengalami hipokalsemia. Kurang
dari 5% pasien mengalami eritromelalgia (yaitu eritema dan kehangatan pada
ekstremitas distal, terutama pada tangan dan kaki, dengan sensasi terbakar yang
menyakitkan yang dapat menyebabkan iskemia digital jika berkepanjangan)(12,18).
8
5. Pemeriksaan zat besi/ ferritin : Pada polisitemia vera umunya kadar
ferritin rendah.
6. Red cell mass test
7. Pemeriksaan kadar glukosa serum dan kalsium : untuk menentukan
apakah pasien memiliki hipoglikemia atau hipokalsemia yang
memerlukan pengobatan.
8. Pemeriksaan bilirubin: pengukuran kadar bilirubin serum penting, karena
banyak bayi dengan polisitemia akan memiliki peningkatan massa sel
darah merah yang mengarah pada peningkatan beban prekursor bilirubin
yang dapat mengakibatkan hiperbilirubinemia.
9. Pemeriksaan Gas darah arteri : Pertimbangkan untuk mengukur nilai gas
darah arteri untuk menilai oksigenasi pada bayi polisitemia dengan
gangguan pernapasan dan sianosis.
10. Elektrolit serum, nitrogen urea darah (BUN), dan kadar kreatinin: Pada
bayi dengan oliguria / anuria, studi laboratorium ini diperlukan untuk
menilai keberadaan dan tingkat keparahan disfungsi ginjal yang dapat
menjadi komplikasi polisitemia
11. Computed tomography (CT) scanning atau magnetic resonance imaging
(MRI) pencitraan otak : untuk menyingkirkan gangguan neurologis
seperti perdarahan intrakranial
12. Ekokardiografi : untuk mengevaluasi gangguan kardiovaskular seperti
hipertensi pulmonal persisten dan penyakit jantung bawaan sianotic.
13. X-ray dada: untuk mendiagnosis penyakit pernapasan seperti tachypnea
sementara bayi baru lahir, sindrom gangguan pernapasan, atau pneumonia
14. Pencitraan Doppler dari vena ginjal dan ultrasonografi ginjal: untuk
mengidentifikasi trombosis vena ginjal pada bayi dengan disfungsi ginjal
15. X-rays perut untuk mencari tanda-tanda yang terkait dengan necrotizing
enterocolitis
16. Computed tomography (CT) scanning atau ultrasonografi perut dapat
digunakan untuk menilai ukuran limpa, yang sering membesar pada
polisitmia vera.
Patologi ginjal, hemangioblastoma cerebellar, dan feochromocytomas yang dapat
menyebabkan polikemia sekunder juga dapat dideteksi..X
9
17. Morfologi sumsum tulang : hiperseluler akibat peningkatan elemen
mieloid, erythroid, dan megakariosit
10
pria,> 15 g / dL pada wanita; atau peningkatan massa sel darah merah
>25% di atas nilai normal rata-rata.
2. Terdapat JAK2V617F atau mutasi fungsional serupa lainnya seperti
mutasi JAK2 ekson 12.
Kriteria Minor
1. Biopsi sumsum tulang menunjukkan hiperselularitas untuk usia, dengan
pertumbuhan trilineage (panmyelosis) dengan eritroid dominan,
granulositik, dan proliferasi megakariositik.
2. Kadar eritropoietin serum di bawah nilai rujukan.
3. Pembentukan koloni eritroid endogen secara in vitro.
2.6 Tatalaksana
11
mengatasi hematokrit yang tinggi pada polisitemia vera tetapi obat tersebut dapat
mempunyai efek leukemogenik, para ahli lebih mengajurnkan untuk melakukan
flebotomi sebagai terapi inisial pada pasien usia muda (1). Suplementasi zat besi
harus diberikan untuk mencegah masalah viskositas dari mikrositosis kekurangan
zat besi atau trombositosis(21).
Pada pasien dengan trombositosis, agen antiplatelet (misalnya, aspirin)
dapat mengurangi risiko trombosis dan perdarahan. Jika pengobatan ini tidak
berhasil atau pasien mengalami hepatosplenomegali progresif, pengobatan
antiproliferatif (hidroksiurea, anagrelida, interferon-α) dapat diberikan.
Penggunaan penghambat JAK2 saat ini merupakan pengobatan yang sedang
diinvestigasi untuk tatalaksana polisitemia vera pada anak. Transformasi penyakit
menjadi myelofibrosis atau leukemia akut jarang terjadi pada anak-anak(15,16).
12
KESIMPULAN
13
DAFTAR PUSTAKA
9. Scherber RM, Geyer HL, Dueck AC, Kosiorek HE, Cavazzina R, Masciulli
A, et al. The potential role of hematocrit control on symptom burden
among polycythemia vera patients: Insights from the CYTO-PV and MPN-
14
SAF patient cohorts. HHS Public Access. 2021;58(6):1481–7.
13. D P. Polisitemia Vera. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi
IV. IPD FKUI; 2006.
14. Riswan M, Oetama RA, Muhsin M. Polisitemia vera; aspek klinis dan
tatalaksana terbaru. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. 2020;20(2):121–30.
15. Tashi T, Prchal JF, Prchal JT. Polycythemia Vera. In: Kaushansky K P, JT,
Burns LJ, Lichtman MA, Levi M LD. Hematology 10th ed. Williams,
editor. New York: McGraw-Hill Education; 2021.
19. Szuber N, Vallapureddy RR, Penna D, Lasho TL, Finke C, Hanson CA, et
al. Myeloproliferative neoplasms in the young: Mayo Clinic experience
with 361 patients age 40 years or younger. American Journal Hematology.
2018;93(12):1474–84.
21. Brandow AM, Camitta BM. Polycythemia. In: Kliegman R SGJ, Blum N,
Shah S, Tasker R, Wilson K et al. Nelson Textboook of Pediatrics. 21
15
Edition. Philadelphia: Elsevier; 2020.
16