Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Polisitemia merupakan keadaan yang cukup berbahaya bagi bayi baru lahir.
Polisitemia merupakan salah satu jenis penyakit mieloproliferatif yang ditandai
oleh peningkatan jumlah eritrosit, hemoglobin, atau hematokrit di dalam
sirkulasi(1). Kadar hematokrit yang lebih tinggi (51% ± 7%) umumnya
ditemukan pada bayi baru lahir cukup bulan (aterm) dibandingkan dengan
anak yang berusia lebih dewasa. Hal tersebut terjadi akibat adaptasi
normal janin terhadap hipoksemia dan bukan akibat kelainan sel induk
hematopoietic. Adaptasi ini merupakan bentuk mekanisme kompensasi
pada bayi baru lahir akibat hipoksia relatif selama janin berada di
intrauterine dan tingginya daya ikat (afinitas) hemoglobin janin terhadap
oksigen (2) .
Polisitemia pada neonatus terjadi ketika nilai hematokrit darah vena lebih
dari 65% (0,65) atau jumlah hemoglobin lebih dari 22gr/dL(3). Kejadian
polisitemia pada bayi baru lahir sehat adalah 0,4-5%. Gejala polisitemia diduga
timbul akibat hiperviskositas yang terjadi pada 47,4% neonatus polisitemia (4).
Insidensi polisitemia meningkat pada kelompok berisiko tinggi seperti posterm
neonatus, bayi yang kecil  masa kehamilan (KMK), bayi yang terlahir dari ibu
penderita gestational diabetes atau hipertensi, bayi kembar identik yang saling
berbagi plasenta dan transfusi darah dari bayi kembar yang satu ke bayi kembar
yang lain (twin–twin transfusion syndrome), serta karena abnormalitas
kromosom(2). Selain itu risiko polisitemia juga meningkat 2,5 kali pada bayi dari
ibu yang merokok dan tinggal di dataran tinggi, sedangkan risiko kejadian
polisitemia menurun pada bayi yang lahir dengan masa kehamilan selama 34
minggu(5)(6).
Penyebab polisitemia pada neonatus bersifat multifaktorial dan dapat
dibedakan menjadi polisitemia aktif (akibat peningkatan eritropoiesis) atau pasif
(transfusi sel darah merah). Polisitemia aktif berkaitan dengan kondisi insufisiensi
plasenta, kelainan endokrin, dan kelainan genetik, seperti trisomi 13 (8%), trisomi
18 (17%), trisomi 21, dan sindrom Beckwith-Wiedemann. Insiden polisitemia

1
pada bayi yang memiliki sindrom down adalah 15% sampai 33%. Polisitemia
pasif berkaitan dengan penundaan penjepitan tali pusat, hal ini terjadi akibat
adanya placental-fetal transfusion yang menyebabkan peningkatan volume darah
yang mengalir dari plasenta ke tubuh bayi. Saat terjadi penundaan penjepitan tali
pusat selama 3 menit setelah bayi lahir,volume darah bayi meningkat sampai
30%(2,3,5–7).
Peningkatan hematokrit atau sel darah merah dapat disebabkan oleh
penurunan volume plasma atau peningkatan jumlah sel darah merah itu sendiri.
Berdasarkan hal tersebut, maka polisitemia dibagi menjadi polisitemia relatif dan
polisitemia absolut. Polisitemia relatif adalah peningkatan hematokrit dan sel
darah merah akibat penurunan volume plasma (misalnya karena dehidrasi berat),
artinya jumlah sel darah merah sebenarnya tidak bertambah, namun darah terlihat
lebih pekat karena unsur cairan dalam darah (plasma darah) berkurang.
Sedangkan, polisitemia absolut adalah peningkatan jumlah sel darah merah yang
memang mengalami peningkatan. Polisitemia absolut diklasifikasikan menjadi
polisitemia sekunder dan polisitemia primer/vera(8).
Polisitemia vera (PV) adalah peningkatan jumlah sel darah merah akibat
proliferasi sel progenitor atau prekursor di sumsum tulang, akibat mutasi gen yang
mengatur eritropoiesis(8). Eritrositosis (peningkatan jumlah sel darah merah total)
merupakan manifestasi klinis PV yang paling menonjol. PV diklasifikasikan ke
dalam kelompok penyakit Philadelphia-chromosome negative myeloproliferative
neoplasms (MPN) dan dapat dibedakan dari peningkatan eritrosit yang
dominan(9,10). Polisitemia menyebabkan viskositas darah meningkat sehingga
terjadi penumpukan sel darah merah yang akan menghambat aliran darah ke
jaringan dan dapat berakibat fatal. Hiperviskositas adalah suatu keadaan dimana
viskositas darah lebih dari 14,6 centipoise bila diukur dengan menggunakan
viscometer pada kecepatan hitung 11,5/detik. Peningkatan viskositas darah dapat
terjadi akibat peningkatan plasma protein, trombosit, leukosit, serta factor-faktor
endothelial lainnya, sehingga perlu dipertimbangkan diagnosis PV ketika
ditemukan adanya polisitemia pada bayi baru lahir(3). Langkah pertama yang perlu
dilakukan untuk mengevaluasi pasien adalah menentukan apakah pasien tersebut
menderita polisitemia primer (polisitemia klonal) atau polisitemia sekunder

2
(polisitemia nonklonal) agar penatalaksanaan yang tepat dapat diberikan untuk
menurunkan angka kesakitan dan kematian(11,12).

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi

Polisitemia Vera berasal dari bahasa Yunani dimana poly berarti banyak, cyt
berarti sel dan hemia berarti darah sedangkan vera berarti benar(13). Polisitemia
vera merupakan satu satunya bentuk klonal dari polisitemia primer yang termasuk
ke dalam polisitemia absolut. Polisitemia absolut adalah keadaan dimana
terjadinya peningkatan jumlah sel darah merah itu sendiri(8). Polisitemia vera (PV)
diklasifikasikan ke dalam kelompok penyakit Philadelphia-chromosome negative
myeloproliferative neoplasms (MPN) yang ditandai dengan hiperplasia trilineage
sumsum tulang dengan hematopoiesis klonal tanpa adanya stimulus fisiologis(9).
Polisitemia vera juga ditandai dengan peningkatan hebat dalam jumlah sel darah
merah dan volume darah total, dan biasanya disertai dengan leukositosis,
trombositosis dan splenomegali(14). Pada PV, kelainan terjadi pada sel induk
hematopoietik atau multipotent hematopoietic stem cells (hemositoblast).
Patogenesis eritrositosis pada PV melibatkan mutasi gen dari sel induk yang
mengakibatkan ekspansi klonal multipel sel darah(15).

2.2 Epidemiologi

Polisitemia merupakan penyakit yang relatif umum ditemukan pada 1-5%


neonatus. Kondisi ini lebih sering terjadi pada bayi kecil untuk masa kehamilan
(KMK), bayi besar untuk masa kehamilan (BMK), bayi dari ibu yang tinggal di
dataran tinggi, dan bayi dari ibu diabetes dengan kejadian polisitemia 10- 30%.
Selain itu risiko polisitemia juga meningkat 2,5 kali pada bayi dari ibu yang
merokok. Pasca lahir kadar hematokrit vena mencapai puncak dalam kurun waktu
6-12 jam dan kemudian menurun sampai bayi berusia 24 jam, pada saat itu kadar
hematokrit sama dengan kadar hematokrit yang berada di aliran darah tali pusat.

3
Kadar hematokrit >64% masih ditemukan pada <40% bayi setelah 12 jam atau
lebih pasca dilahirkan(12).
Kasus polisitemia vera masih jarang ditemukan dan dapat mengenai semua
umur terutama pada pasien berumur 40-60 tahun dengan perbandingan antara pria
dan wanita yakni 2 : 1. Swedia dan Italia melaporkan kasus PV sebanyak 30 kasus
per 100.000 populasi. Kemudian di Norwegia, prevalensi polisitemia vera
dilaporkan 9,2 kasus per 1.000.000 penduduk. Negara maju seperti Amerika
sendiri untuk angka kejadian dari polisitemia vera ialah 2,3 per 100.000 penduduk
dalam setahun. Insidensi polisitemia vera dilaporkan 4,9 kasus per 100.000
penduduk di Baltimore dan sebuah tinjauan yang lebih baru di Connecticut
melaporkan kejadian 22 kasus polisitemia vera per 100.000 penduduk. Di Israel
insidensi polisitemia vera dilaporkan 6,7 kasus per 1.000.000 penduduk,
sedangkan di Indonesia belum ada laporan tentang angka kejadiannya(14,16).

2.3 Etiologi

Etiologi dari polisitemia vera belum sepenuhnya dimengerti, pada suatu


penelitian ditemukan adanya kelainan molekular kariotip abnormal di sel induk
hematopoiesis, yaitu kariotip 20q, 13q, 11q, 7q, 6q, 5q, trisomi8, trisomi9 dan
pada tahun 2005 ditemukannya mutasi somatik pada gen Janus kinase 2
(JAK2).Gen JAK2 memberi instruksi untuk membuat protein yang berperan
dalam proliferasi sel. Protein ini memiliki peran penting dalam mengontrol
produksi eritrosit, leukosit, dan trombosit pada sel punca hematopoietik di dalam
sumsum tulang belakang. Mutasi gen JAK2 yang paling sering berkaitan dengan
neoplasma mieloproliferatif berada di ekson 14 JAK2. Mutasi di ekson 14 ini
disebut JAK2V617F. JAK2V617F dapat ditemukan pada lebih dari 90% PV dan
Sebagian kecil pasien PV mengalami mutasi JAK2 di ekson 12. Mutasi
JAK2V617F menyebabkan ketidakstabilan genetik pada ekspresi gen dengan
memicu perubahan pada struktur kromatin dan dengan mengurangi respons
apoptosis pada kerusakan DNA. Terjadinya mutasi pada JAK2 menyebabkan
hipersensitivitas eritropoietin yang berakibat pada peningkatan produksi sel darah
merah(17). Faktor yang menyebabkan perubahan gen JAK2 saat ini masih belum
diketahui. Faktor genetik lain yang tidak diketahui juga mungkin berperan dalam
menyebabkan PV.

4
2.4 Patogenesis

Gambar 2. 1 Patogenesis Polisitemia Vera(18)

Gen memberikan petunjuk untuk membuat protein yang memainkan peran


penting dalam banyak fungsi tubuh. Ketika mutasi gen terjadi, produk protein
mungkin rusak, tidak efisien, tidak ada, atau diproduksi berlebihan. Hal ini dapat
memengaruhi banyak sistem organ tubuh. Gen JAK2 menghasilkan protein yang
disebut kinase, khususnya Janus kinase 2. Kinase adalah pendorong pertumbuhan
sel yang sangat kuat. Pada orang dengan polisitemia vera, gen JAK2 terlalu aktif
karena perubahan genetik yang mendasarinya.Adanya reaktivitas berlebihan pada
sinyal Janus Kinase yaitu tirosin kinase yang berperan dalam proses hematopoetik
menyebabkan proliferasi berlebih pada sel-sel hematopoetik dan juga
menstimulasi proses inflamasi pembuluh darah(18,19).
Sel yang sebenarnya rusak di sumsum tulang seseorang dengan polisitemia
vera adalah sel induk hematopoietik - sel khusus yang tumbuh dan akhirnya
berkembang menjadi salah satu dari tiga jenis sel darah utama: eritrosit, leukosit,
atau trombosit. Perubahan dalam DNA sel induk hematopoietik tunggal

5
menyebabkan sel abnormal terus mereproduksi dirinya sendiri yang akhirnya
menjadi sel induk hematopoietik yang dominan di sumsum tulang. Biasanya,
ginjal menghasilkan hormon yang disebut eritropoietin. Hormon ini mengikat
reseptor yang terdapat pada sel induk hematopoietik. Karena gen JAK2 terlalu
aktif, sel-sel yang berasal dari sel induk hematopoietik yang rusak terus tumbuh
dan membelah bahkan tanpa adanya eritropoietin. Proliferasi berlebih pada sel-sel
hematopoetik akan menimbulkan abnormalitas pada penilaian klinis pasien seperti
abnormalitas hitung darah lengkap dan inflamasi akan memicu timbulnya gejala
klinis pada pasien. Sel-sel yang tumbuh dengan cepat ini juga dapat menyumbat
sumsum tulang dan ketika rusak dan mati menyebabkan terbentuknya jaringan
parut (15,20).
Polisitemia vera dalam kasus yang jarang terjadi, mempengaruhi beberapa
anggota keluarga yang sama, hal ini menunjukkan bahwa faktor genetik selain
mutasi gen JAK2 mungkin berperan dalam perkembangan kelainan tersebut.
Namun, para peneliti belum menetapkan predisposisi keluarga yang kuat dalam
kaitannya dengan polisitemia vera(18).

2.5 Diagnosis

2.5.1 Manifestasi Klinis

Sebagian besar neonatus yang mengalami polisitemia tidak menimbulkan


adanya gejala (asimtomatis). Namun, pada bayi-bayi yang menunjukkan gejala
klinis, gejala dari polisitemia akan mulai tampak 1 sampai 2 jam setelah kelahiran
saat nilai hematokrit telah melewati nilai tertingginya dan terjadi pergeseran nilai
normal cairan setelah bayi lahir. Gejala klinis yang muncul yang berhubungan
degan polisitemia biasanya dideskripsikan dengan istilah “Hyperviscosity
Syndrome” walaupun tetap harus diingat bahwa hanya 47% bayi dengan
polisitemia menunjukkan adanya hiperviskositas dan hanya 24% bayi dengan
hiperviskositas didiagnosis sebagai polisitemia. Pada bayi dengan batas
hematokrit yang lebih tinggi, gejala klinis akan mulai tampak 1 hingga 2 hari
setelah bayi lahir. Sedangkan pada bayi yang tidak menimbulkan gejala setelah 48
sampai 72 jam, maka bayi tersebut dapat digolongkan asimtomatik(3).

6
Manifestasi klinis yang dapat timbul antara lain ruddy complexion (kulit
kemerahan), jitteriness (kegugupan), irritability, tremor, kesulitan makan, letargi,
apnea, sianosis, respiratori distress, dan kejang. Gejala neurologis tampak pada
kurang lebih 60% pasien. Penyebab utama dari timbulnya gejala- gejala tersebut
masih belum jelas, namun diduga gejala-gejala tersebut muncul akibat kurangnya
aliran darah ke jaringan, terutama di otak, paru-paru, dan jantung. Gejala
neurologis yang muncul juga diperkirakan berhubungan dengan adanya perubahan
status metabolik pada bayi, seperti hipoglikemia dan hipokalemia. Hipoglikemia
merupakan gejala yang sering ditemukan pada kasus perubahan status metabolik.
Menurut data American Academy of Pediatrics, hipoglikemia dapat diobservasi
pada 12% sampai 40% neonatus yang mengalami polisitemia, sedangkan
hipokalemia dapat diobservasi pada 1% sampai 11% neonatus yang mengalami
polisitemia. Terjadinya hipokalemia ini diperkirakan berhubungan dengan adanya
peningkatan konsentrasi gene-related peptide (CGRP). Patofisiologi peningkatan
CGRP ini masih belum jelas, namun CGRP ini memegang peranan penting pada
proses adaptasi neonatus terhadap kehidupan ekstrauterin(3).
Selain itu, adanya polisitemia dan hiperviskositas dapat menyebabkan
terjadinya Necrotizing Enterocolitis (NEC). Dari data-data yang sebelumnya ada,
polisitemia teridentifikasi pada hampir seluruh neonatus dengan NEC. Walaupun
perubahan perfusi jaringan diduga sebagai penyebab terjadinya mucosal gut
injury pada bayi yang besangkutan, namun data-data terbaru menyebutkan
penggunaan Partial Exchange Transfusion (PET) untuk menurunkan hematokrit
jua merupakan salah satu faktor menyebabkan terjadinya NEC(3).
Pada ginjal, polisitemia neonatus ditandai dengan adanya penurunan
Glomerular Filtration Rate (GFR), oligouria, hematuria, proteinuria, dan renal
vein thrombosis. Adanya trombositopenia dapat tejadi pada sepertiga jumlah
kasus neonatus dengan polisitemia, yang mana terjadinya hal tersebut diduga
karena adanya konsumsi platelet berlebihan pada system mikrovaskular(3).

2.5. 2Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik Temuan yang paling jelas adalah facial plethora
(kemerahan pada wajah yang disebabkan oleh peningkatan aliran darah).

7
Splenomegali ditemukan pada 75% pasien dan hepatomegali ditemukan pada
sekitar 30% pasien. Berkurangnya jumlah makanan yang dikonsumsi bayi juga
menunjukkan polisitemia dan hiperviskositas. Selanjutnya, 12-40% neonatus
mengalami hipoglikemia dan 1-11% neonatus mengalami hipokalsemia. Kurang
dari 5% pasien mengalami eritromelalgia (yaitu eritema dan kehangatan pada
ekstremitas distal, terutama pada tangan dan kaki, dengan sensasi terbakar yang
menyakitkan yang dapat menyebabkan iskemia digital jika berkepanjangan)(12,18).

Gambar 2. 2 Facial Plethora pada neonatus

2.5.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu


menegakkan diagnosis polisitemia vera pada neonatus yaitu pemeriksaan
hemoglobin vena dan pemeriksaan kadar hematokrit (Hct). Selanjutnya,
pemeriksaan laboratorium juga dapat dilakukan pada neonatus yang menunjukan
gejala-gejala yang berkaitan dengan polycythemia-hyperviscosity syndrome.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan sebagai berikut(18)(12):
1. Pemeriksaan darah lengkap : Peningkatan leukosit, trombosit, dan
eritrosit.
2. Apusan darah tepi : tearsdrop cells, leukositosis atau leukopenia,
trombositosis atau trombositopenia.
3. Pemeriksaan Kadar eritropoietin : rendah atau normal.
4. Mutasi JAK2V617F

8
5. Pemeriksaan zat besi/ ferritin : Pada polisitemia vera umunya kadar
ferritin rendah.
6. Red cell mass test
7. Pemeriksaan kadar glukosa serum dan kalsium : untuk menentukan
apakah pasien memiliki hipoglikemia atau hipokalsemia yang
memerlukan pengobatan.
8. Pemeriksaan bilirubin: pengukuran kadar bilirubin serum penting, karena
banyak bayi dengan polisitemia akan memiliki peningkatan massa sel
darah merah yang mengarah pada peningkatan beban prekursor bilirubin
yang dapat mengakibatkan hiperbilirubinemia.
9. Pemeriksaan Gas darah arteri : Pertimbangkan untuk mengukur nilai gas
darah arteri untuk menilai oksigenasi pada bayi polisitemia dengan
gangguan pernapasan dan sianosis.
10. Elektrolit serum, nitrogen urea darah (BUN), dan kadar kreatinin: Pada
bayi dengan oliguria / anuria, studi laboratorium ini diperlukan untuk
menilai keberadaan dan tingkat keparahan disfungsi ginjal yang dapat
menjadi komplikasi polisitemia
11. Computed tomography (CT) scanning atau magnetic resonance imaging
(MRI) pencitraan otak : untuk menyingkirkan gangguan neurologis
seperti perdarahan intrakranial
12. Ekokardiografi : untuk mengevaluasi gangguan kardiovaskular seperti
hipertensi pulmonal persisten dan penyakit jantung bawaan sianotic.
13. X-ray dada: untuk mendiagnosis penyakit pernapasan seperti tachypnea
sementara bayi baru lahir, sindrom gangguan pernapasan, atau pneumonia
14. Pencitraan Doppler dari vena ginjal dan ultrasonografi ginjal: untuk
mengidentifikasi trombosis vena ginjal pada bayi dengan disfungsi ginjal
15. X-rays perut untuk mencari tanda-tanda yang terkait dengan necrotizing
enterocolitis
16. Computed tomography (CT) scanning atau ultrasonografi perut dapat
digunakan untuk menilai ukuran limpa, yang sering membesar pada
polisitmia vera.
Patologi ginjal, hemangioblastoma cerebellar, dan feochromocytomas yang dapat
menyebabkan polikemia sekunder juga dapat dideteksi..X

9
17. Morfologi sumsum tulang : hiperseluler akibat peningkatan elemen
mieloid, erythroid, dan megakariosit

2.5.4 Kriteria diagnosis

 Kriteria diagnosis menurut kelompok studi polisitemia Vera (1970)


sebagai berikut: Diagnosis polisitemia vera ditegakkan bila didapatkan
ketiga butir pada kategori A atau didapatkan kategori A1 dan A2 ditambah
dua dari kategori B

Gambar 2. 3 Kriteria diagnosis Menurut kelompok studi polisitenia vera (1)

 Kriteria diagnosis WHO tahun 2008 untuk diagnosis polisitemia vera


memerlukan 2 komponen: penyingkiran polisitemia relatif dan sekunder
dan konfirmasi polisitemia vera. Diagnosis membutuhkan adanya kedua
kriteria mayor dan satu kriteria minor atau adanya kriteria mayor pertama
disertai dengan 2 kriteria minor
Kriteria mayor
1. Kadar hemoglobin lebih dari 18,5 g / dL pada pria, lebih dari 16,5 g / dL
pada wanita, atau bukti lain peningkatan volume sel darah merah (kadar
hemoglobin atau hematokrit> persentil ke-99 berdasarkan usia, jenis
kelamin, ketinggian tempat tinggal; kadar hemoglobin> 17 g / dL pada

10
pria,> 15 g / dL pada wanita; atau peningkatan massa sel darah merah
>25% di atas nilai normal rata-rata.
2. Terdapat JAK2V617F atau mutasi fungsional serupa lainnya seperti
mutasi JAK2 ekson 12.

Kriteria Minor
1. Biopsi sumsum tulang menunjukkan hiperselularitas untuk usia, dengan
pertumbuhan trilineage (panmyelosis) dengan eritroid dominan,
granulositik, dan proliferasi megakariositik.
2. Kadar eritropoietin serum di bawah nilai rujukan.
3. Pembentukan koloni eritroid endogen secara in vitro.

 Kriteria diagnosis WHO tahun 2016 untuk diagnosis polisitemia vera.


Diagnosis membutuhkan adanya 3 kriteria mayor atau adanya 2 kriteria
mayor pertama disertai dengan kriteria minor(17)

Gambar 2. 4 Kriteria diagnosis PV menurut WHO 2016(17)

2.6 Tatalaksana

Pengobatan polisitemia vera meliputi flebotomi kronik intermitten untuk


mempertahankan hematokrit dibawah 45% dan menurukan viskositas untuk
mencegah trombosis. Pemberian fosforus radioaktif atau kemoterapi dapat

11
mengatasi hematokrit yang tinggi pada polisitemia vera tetapi obat tersebut dapat
mempunyai efek leukemogenik, para ahli lebih mengajurnkan untuk melakukan
flebotomi sebagai terapi inisial pada pasien usia muda (1). Suplementasi zat besi
harus diberikan untuk mencegah masalah viskositas dari mikrositosis kekurangan
zat besi atau trombositosis(21).
Pada pasien dengan trombositosis, agen antiplatelet (misalnya, aspirin)
dapat mengurangi risiko trombosis dan perdarahan. Jika pengobatan ini tidak
berhasil atau pasien mengalami hepatosplenomegali progresif, pengobatan
antiproliferatif (hidroksiurea, anagrelida, interferon-α) dapat diberikan.
Penggunaan penghambat JAK2 saat ini merupakan pengobatan yang sedang
diinvestigasi untuk tatalaksana polisitemia vera pada anak. Transformasi penyakit
menjadi myelofibrosis atau leukemia akut jarang terjadi pada anak-anak(15,16).

12
KESIMPULAN

Polisitemia vera adalah kelainan kronis langka yang melibatkan kelebihan


produksi sel darah di sumsum tulang (mieloproliferasi) yang ditandai dengan
peningkatan hebat dalam jumlah sel darah merah dan volume darah total, dan
biasanya disertai dengan leukositosis, trombositosis dan splenomegali. Polisitemia
menyebabkan viskositas darah meningkat sehingga terjadi penumpukan sel darah
merah yang akan menghambat aliran darah ke jaringan dan dapat berakibat fatal.
Darah yang kental mungkin tidak mengalir melalui pembuluh darah yang lebih
kecil dengan baik. Berbagai gejala dapat terjadi pada individu dengan polisitemia
vera, gejala klinis yang muncul yang berhubungan degan polisitemia biasanya
dideskripsikan dengan istilah “Hyperviscosity Syndrome”. Lebih dari 90 persen
individu dengan polisitemia vera mimiliki gen JAK2 yang bermutasi. Faktor yang
menyebabkan mutase pada gen tersebut masih belum diketahui.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Permono B, Ugrasena I. Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. Buku ajar


Hematologi anak. 2006;30.

2. Remon JI, Raghavan A, Maheshwari A. Polycythemia in the newborn.


Neoreviews. 2011;12(1).

3. Pramana IGAASW, Kemara KP, Wayan I, Megadhana. Polycythemia Risk


in Neonates With Delayed Cord Clamping. e-Jurnal Medical Udayana.
2013;2(8):1430–46.

4. Alsafadi TR, Hashmi S, Youssef H, Suliman A, Abbas H, Albaloushi M.


Polycythemia in neonatal intensive care unit, risk factors, symptoms,
pattern, and management controversy. Journal Clinical Neonatology.
2014;3(2):93.

5. Sarıcı SU, Ozcan M, Altun D. and Case Reports Neonatal Polycythemia : A


Review ClinMed. 2016;

6. Gide A. AIIMS Protocols in Neonatology. Angew Chemie International Ed


6(11), 951–952. 2019;5–24.

7. Bashir BA, Othman SA. Mini Review Neonatal polycythaemia. Sudan


Journal Pediatry. 2019;19(2):81–3.

8. Divisi Hematologi onkologi Medik Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Pendekatan Klinis
Polisitemia. 2019;6(3):156–61.

9. Scherber RM, Geyer HL, Dueck AC, Kosiorek HE, Cavazzina R, Masciulli
A, et al. The potential role of hematocrit control on symptom burden
among polycythemia vera patients: Insights from the CYTO-PV and MPN-

14
SAF patient cohorts. HHS Public Access. 2021;58(6):1481–7.

10. Zivot A, Lipton JM, Narla A, Blanc L. Erythropoiesis : insights into


pathophysiology and treatments in 2017. 2018;1–15.

11. Griesshammer M, Kiladjian JJ, Besses C. Thromboembolic events in


polycythemia vera. Annual Hematology. 2019;1071–82.

12. Kandasamy J. Polycythemia of the Newborn. Medscape. 2017;

13. D P. Polisitemia Vera. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi
IV. IPD FKUI; 2006.

14. Riswan M, Oetama RA, Muhsin M. Polisitemia vera; aspek klinis dan
tatalaksana terbaru. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. 2020;20(2):121–30.

15. Tashi T, Prchal JF, Prchal JT. Polycythemia Vera. In: Kaushansky K P, JT,
Burns LJ, Lichtman MA, Levi M LD. Hematology 10th ed. Williams,
editor. New York: McGraw-Hill Education; 2021.

16. Josef T Prchal, M and MNE. Pediatric Polycythemia Vera. Medscape.


2020;

17. Wijaya S. Diagnosis Dan Tatalaksana Polisitemia Vera. Cermin Dunia


Kedokteran. 2020;47(5):346–50. Available from:
http://www.cdkjournal.com/index.php/CDK/article/download/596/373

18. Prchal JT YH. Pediatric Polycythemia Vera. Medscape. 2020;

19. Szuber N, Vallapureddy RR, Penna D, Lasho TL, Finke C, Hanson CA, et
al. Myeloproliferative neoplasms in the young: Mayo Clinic experience
with 361 patients age 40 years or younger. American Journal Hematology.
2018;93(12):1474–84.

20. Tefferi A, Barbui T. Polycythemia vera and essential thrombocythemia:


2017 update on diagnosis, risk-stratification, and management. American
Journal Hematology. 2017;92(1):94–108.

21. Brandow AM, Camitta BM. Polycythemia. In: Kliegman R SGJ, Blum N,
Shah S, Tasker R, Wilson K et al. Nelson Textboook of Pediatrics. 21

15
Edition. Philadelphia: Elsevier; 2020.

16

Anda mungkin juga menyukai