Anda di halaman 1dari 19

REFERAT Maret 2018

“Plethora pada Neonatus”

Nama : Andika Nursari Putri


No. Stambuk : N 111 17 097
Pembimbing : dr. Suldiah, Sp.A

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA

PALU

2018

BAB I
PENDAHULUAN

0
Plethora, penampakannya berwarna merah (ruddy), merah ungu tua
disertai dengan hematokrit yang tinggi, sering karena polisitemia, ditentukan
ketika hematokrit sentral 65% atau lebih. Hematokrit perifer (tusukan pada tumit)
lebih tinggi daripada nilai hematokrit sentral, sedangkan alat penghitung coulter
menghasilkan nilai hematokrit yang lebih rendah daripada nilai hematokrit yang
ditentukan dengan microcentrifugation.1
Kira-kira 5% dari semua bayi baru lahir megalami plethora bersifat
polisitemik dengan kehidupannya. Hanya sebagian kecil yang menunjukkan
gejalanya pada periode neonatal. Ditemukan pula dari data lain bahwa insidensi
kejadian plethora pada bayi baru lahir sehat berkisar antara 0,4-5%. Insidensi
penyakit ini akan semakin meningkat karena posterm neonatal, kecil masa
kehamilan (KMK), bayi yang terlahir dari ibu penderita gestasional diabetes, bayi
kembar identik yang saling berbagi plasenta dan transfusi darah bayi kembar yang
satu ke bayi kembar yang lain, serta karena abnormalitas kromosom. 3
Polisitemia termasuk penyakit yang cukup berbahaya untuk bayi baru lahir
di dunia tetapi penelitian tentang penyakit tersebut di indonesia masih termasuk
jarang. Polisitemia ditandai dengan tingginya hematokrit, berkisar pada angka
65% pada hari pertama kehidupan bayi. Angka kejadian polisitemia ditemukan
cukup bervariasi sesuai dengan penyebab dan faktor risiko yang diteliti oleh
peneliti terdahulu. Insidensi polisitemia berkisar antara 0,4% hingga 5% pada bayi
baru lahir sehat. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor risiko polisitemia
pada byi baru lahir, prevalensi polisitemia pada bayi baru lahir di PKU Bantul
sertal untuk mengetahui apakah bayi baru lahir yang terlahir dari riwayat diabetes
mellitus gestasional, preeklampsia atau bayi dengan kecil masa kehamilan (KMK)
dapat meningatkan resiko terjadinya polisitemia.3

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Plethora, penampakannya berwarna merah (ruddy), merah ungu tua
disertai dengan hematokrit yang tinggi, sering karena polisitemia, ditentukan
ketika hematokrit sentral 65% atau lebih. Hematokrit perifer (tusukan pada
tumit) lebih tinggi daripada nilai hematokrit sentral, sedangkan alat
penghitung coulter menghasilkan nilai hematokrit yang lebih rendah daripada
nilai hematokrit yang ditentukan dengan microcentrifugation.1
Pada dua hari pertama kelahiran bayi, beberapa bayi baru lahir ada yang
memiliki hematokrit sangat tinggi dan viskositas darah yang meningkat
sehingga menghambat aliran darah ke jaringan, dan dapat menyebabkan
penyakit yang serius, bahkan fatal. Penyakit tersebut disebut Polisitemia
Neonatal (Plethora) atau sindrom hiperviskositas neonatal.
Polisitemia adalah suatu keadaan di mana terjadi peningkatan sel darah
merah akibat pembentukan sel darah merah yang berlebihan di sumsum
tulang. 2
Polisitemia adalah penyakit yang biasa didefinisikan sebagai hematokrit
(Ht) vena yang nilainya di atas 0,65 atau 65% atau jumlah hemoglobin lebih
dari 22gr/dL. Patofisiologi terjadinya polisitemia pada neonatus biasanya
didasarkan pada beberapa faktor (multifaktorial). Hematokrit yang tinggi
dapat mengakibatkan hiperviskositas yang dapat menyebabkan penumpukan
sel darah merah dan pembentukan mikrotrombi sehingga terjadi oklusi
vascular.5
Hematokrit adalah persentase darah yang berupa sel. Jadi, bila seseorang
mempunyai hematokrit 40, hal ini berarti 40% volume darah adalah sel dan
sisanya adalah plasma. Hematokrit pada laki-laki normal rata-rata sekitar 42,
sedangkan pada wanita normal rata-rata sekitar 38. Angka ini sangat
bervariasi, tergantung apakah seseorang menderita anemia atau tidak, derajat
aktivitas tubuhnya, dan ketinggian lokasi tempat seseorang berada.4

2
2.2 Etiologi
Resiko terjadinya plethora ditemukan pada bayi yang :

- Postmaturitas
- Ibunya menderita tekanan darah tinggi (Hipertensi)
- Ibunya merokok
- Ibunya menderita Diabetes
- Tinggal di daerah pegunungan
- Terlalu banyak menerima darah darah dari plasenta sebelum tali pusat
dijepit pada proses persalinan.5

Faktor risiko polisitemia menjadi dua yaitu, kondisi meningkatkan


eritropoiesis janin dan transfusi eritrosit. Faktor risiko yang termasuk
kelompok yang meningkatnya eritropoiesis janin adalah :6

1. Insufisiensi plasenta, ini bisa disebabkan karena preeklamsia, hipertensi


kronis maternal, ibu dengan penyakitjantung bawaan, posterm, ibu yang
merokok dan mengonsumsi alkohol.
2. Keabnormalan endokrin seperti congenital thyrotoxicosis atau ibu dengan
diabetes yang kadar gulanya tidak terkontrol.
3. Gangguan genetik, seperti gangguan pada trisomi 13, trisomi 18, dan
sindrom Beckwith-wiedemann.

Faktor risiko yang termasuk transfuse eritrosit yaitu:6

1. Placental-fetal transfusion dengan keterlambatan pemotongan umbilikal,


asfiksia perinatal, pemberian oksitosin.
2. Twin-to-twin transfusion syndrome

Dua faktor mayor yang mengakibatkan peningkatan intrauterine erythropoietin


production adalah insufisiensi placenta dan hipoksin intrauterine. Diketahui
beberapa faktor risiko polisitemia antara lain bayi KMK, asfiksia perinatal,
bayi dari ibu dengan riwayat diabetes gestasional, preeklampsia, ibu perokok
serta ibu yang mengonsumsi alkohol.6

3
2.3 Epidemiologi
Incidens polisitemia neonatus meningkat pada tempat yang tinggi (Denver
5% vs Texas 1,6%), pada bayi lewat bulan (3%) vs bayi cukup bulan (1-2%),
pada bayi SGA (8%) vs bayi LGA (3%), vs bayi AGA (1-2%), saat umur hari
pertama (puncak 2-3 jam), pada bayi resipien yang mengalami transfusi
kembar ke kembar, sesudah pengkleman talipusat yang tertunda, pada bayi
dari ibu diabetes, pada bayi trisomi 13, -18, atau -21, pada sindrom
androgenital, pada bayi Graves neonatus, pada hipotiroidisme, dan pada
sindrom Beckwith Wiedemann. Pada bayi dari ibu diabetes dan bayi dengan
retardasi pertumbuhan yang mungkin telah terpajan hipoxia janin yang
kronis, yang merangsang produksi eritropoetin dan menaikkan produksi sel
darah merah.1
Insidensi plethora antara 1,5-4% dari semua kelahiran hidup. Insidensi
dapat meningkat karena bayi yang mempunyai riwayat kecil masa kehamilan
maupun besar masa kehamilan, diperkirakan insidensi plethora untuk bayi
yang kecil masa kehamilan ada 15% dibandingkan 2% bayi cukup masa
kehamilan. Plethora jarang terjadi pada bayi yang lahir dengan masa
kehamilan selama 34 minggu.3
Presentase plethora akibat polisitemia pada penjepitan tali pusat 3 menit
pada 6 jam setelah lahir adalah 14,1% (hematokrit tertinggi 75%) sedangkan
pada penjepitan 1 menit setelah lahir, presentase 5,5% dengan kadar
hematokrit tertinggi 71%. Namun ada pula yang mengatakan bahwa waktu
penganbilan sampe hematokrit mempengaruhi insidensi polisitemia yang
menyebabkan adanya plethora.3
Insidensi kejadian polisitemia pada bayi baru lahir sekitar antara 0,4%-5%.
Insidensi penyakit ini akan semakin meningkat karena posterm neonates,
KMK, bayi terlahir dari ibu penderita gestasional diabetes, bayi kembar
identik yang saling berbagi plasenta dan transfusi darah bayi kembar satu ke
bayi kembar yang lain, serta adanya abnormalitas kromosom.3
Insidensi meningkat karena banyak hal, antara lain bayi KMK, bayi baru
lahir lewat bulan, twin-to-twin transfusion, serta kelainan kromosom dan bayi

4
yangg terlahir dari ibu yang menderita DM gestasional. Faktor risiko
polositemia yang lain yaitu meternal hipertensi kronis, maternal cyanotic
congenital heart disease, ibu hamil merokok serta konsumsi alkohol,
placental-fetal transfusion dengan penundaan pemotongan umbilikal,
perinatal asfiksia. 4

2.4 Patogenesis
Dari banyaknya riwayat kehamilan seperti KMK, insufisiensi plasenta,
keabnormalan fungsi endokrin serta kelainan genetik akan mempengaruhi
perubahan kondisi klinis janin di mana beberapa faktor risiko tersebut
terdeteksi dapat meningkatkan kuantitas atau jumlah hematokrit yang
biasanya masih terjadi setelah kelahiran janin.1
Polisitemia Neonatal (Plethora) adalah keadaan dengan angka hematokrit
vena di atas 65% pada bayi hari pertama kehidupan sehingga terjadi
penumpukan sel darah yang dapat mengakibatkan hambatan aliran darah.
Polisitemia menyebabkan viskositas darah meningkat sehingga terjadi
penumpukan sel darah merah yang akan menghambat aliran darah ke jaringan
dan dapat berakibat fatal. Keadaan ini akan semakin parah jika terjadi
kerusakan di korteks serebral, ginjal, dan jantung.1
Terdapat bentuk polisitemia relatif dan polisitemia absolute, polisitemia
relatif timbul jika volume plasma yang bersirkulasi berkurang
(Hemokonsntrasi) tetapi volume total sel darah merah yang bersirkulasi
normal. Penyebab utama adalah dehidrasi, hal ini dapat disebabkan oleh :8
1. Bertambahnya kehilangan cairan seperti yang diakibatkan karena diuresis,
atau muntah yang berlebihan
2. Penurunan intake cairan
3. Redistribusi cairan kejaringan.
Penderita diabetes seringkali mengalami poliuri, hal ini akan menimbulkan
penipisan cairan dan elektrolite yang beredar dalam sirkulasi darah sehingga
akan terjadi kolaps sirkulasi.8

5
Polisitemia absolute menyatakan keadaaan di mana massa sel darah merah
yang bersirkulasi sebenarnya meningkat. Ini diakibatkan karena penyakit
kardiopulmoner yang mengurangi jenuhan O2 arteri yang merangsang
eritropoesis sebagai reaksi fisiologis terhadap hipoksia jaringan.8
Plethora akibat polisitemia juga merupakan komplikasi yang terjadi pada
bayi baru lahir dengan ibu yang mengalami dibates melitus. Plethora adalah
keadaan di mana sel darah merah lebih dari normal atau yang terlalu banyak,
dalam keadaan ini terjadi peningkatan volume darah. Komplikasi polisitemia
ini dilatar belakangi oleh komplikasi lain yang ditimbulkan oleh diabetes
melitus, misalnya pada keadaan hipoglikemi, pada saat glukosa tidak hanya
sebagai sumber energi tetapi juga untuk sintesis lipid sedangkah hal itu dapat
menimbulkan pasokan darah menuju ekstremitas terganggu dan juga
mengakibatkan insufisience placenta.7
Sebagian besar neonatus dengan polisitemia dapat diklasifikasikan
menjadi dua kelompok, antara lain:7
1. Aktif polisitemia : polisitemia akibat adanya penigkatan eritropoesis
2. Pasif polisitemia : polisitemia karena adanya transfusi eritrosit
Polisitemia memegang peranan penting dalam hal viskositas (kekentalan)
darah dan mikrosirkulasi. Hiperviskositas adalah suatu keadaan dimana
viskositas darah lebih dari 14,6 centipoise bila diukur dengan menggunakan
viscometer pada kecepatan hitung 11,5/detik. Peningkatan viskositas darah
dapat terjadi akibat peningkatan plasma protein, trombosit, leukosit, serta
factor-faktor endothelial lainnya. Namun hiperviskositas yang terjadi pada
polisitemia neonatus akibat penundaan penjepitan tali pusar ini disebabkan
karena adanya jumlah eritrosit yang berlebihan yang beredar dalam sirkulsi.
Sedangkan plasma protein pada neonatus biasanya selalu dalam nilai normal
sehingga penyebab hiperviskositas darah bukan karena peningkaan plasma.
Polisitemia dan hiperviskositas berhubungan erat dengan penurunan aliran
darah ke otak, jantung, paru-paru, serta organ pencernaan. Walaupun aliran
darah ginjal tidak terganggu secara langsung, namun terjadi pengurangn aliran
plasma ginjal dan penurunan glomerular filtration rate (GFR). Aliran darah ke

6
paru-paru yang berkurang akibat hiperviskositas dapat menyebabkan
terjadinya hipoksia sistemik. Perubahan pada aliran darah juga berpengaruh
pada penghantaran substansi-substansi penting seperti glukosa yang
diperlukan oleh organ-organ seluruh tubuh yang bergantung pada aliran
plasma. Peningkatan kekentalan darah menyebabkan penyampaian substansi-
substansi tersebut menjadi terhambat sehingga akan berdampak buruk bagi
organ-organ yang memerlukan.8
Pada neonatus dengan penundaan penjepitan tali pusat, polisitemia terjadi
akibat adanya placental-fetal transfusion yang menyebabkan peningkatan
volume darah yang mengalir dari plasenta ke tubuh bayi.5Saat terjadi
penundaan penjepitan tali pusat setelah bayi lahir, volume darah bayi
meningkat sampai 30%.5 Transfusi yang terjadi dari plasenta ke tubuh bayi
dipengaruhi juga oleh adanya gravitasi dan posisi ibu saat melahirkan bayi,
yang mana bila posisi bayi lebih kebawah 15 hingga 20 cm dari jalan lahir
dengan tali pusat yang masih intak (belum diikat dan dipotong) dapat
meningkatkan aliran darah dari plasenta ke tubuh bayi.5 Selain itu, aliran
darah dari plasenta ke tubuh bayi juga dapat meningkat dengan cepat pada
neonatus dengan keadaan perinatal asphyxia.9
Sampai saat ini, waktu yang tepat untuk melakukan penjepitan tali pusat di
berbagai belahan bumi di dunia masih sangat beragam. Terdapat beberapa hal
yang menjadi perhatian utama terkait dengan penundaan penjepitan tali pusat,
salah satunya adalah peningkatan volume darah akibat adanya peningkatan
jumlah eritrosit yang menyebabkan terjadinya polisitemia neonatus yang
nantinya dapat menimbulkan berbagai komplikasi. Walaupun demikian,
sampai saat ini data-data dari berbagai penelitian dan studi analisis terbaru
menyebutkan bahwa polisitemia yang terjadi pada neonatus dengan
penundaan penjepitan tali pusat adalah polisitemia ringan yang dapat membaik
setelah 48 sampai 72 jam setelah bayi lahir.10
Waktu yang tepat untuk melakukan penjepitan tali pusat dibagi menjadi
dua, antara lain penjepitan tali pusat yang terlalu cepat yaitu kurang dari 60
detik setelah bayi lahir dan penundaan penjepitan tali pusat yaitu lebih dari 60

7
detik setelah bayi lahir atau setelah pulsasi pada tali pusat hilang. Berbagai
penelitian terbaru membuktikan penundaan penjepitan tali pusat memberikan
efek yang lebih baik untuk bayi. Namun perlu diketahui bahwa ada beberapa
risiko yang dapat terjadi dengan adanya penundaan tersebut. Salah satu risiko
yang mungkin terjadi adalah polisitemia pada bayi yang baru lahir (neonatus)
yang nantinya dapat menimbulkan berbagai komplikasi.10

2.5 Manifestasi Klinis


Plethora pada neonatus menyebabkan darah menjadi kental dan
menyebabkan berkurangnya kecepatan aliran darah ketika darah melalui
pembuluh yang kecil. Jika penyakitnya berat, bisa menyebabkan
pembentukan bekuan darah di dalam pembuluh darah. Kulit bayi tampak
kemerahan atau kebiru-unguan. Bayi tampak lemas, pernafasannya cepat,
refleks menghisapnya lemah dan denyut jantungnya cepat.2
Manifestasi klinis meliputi anoreksia, lesu, serangan kejang, sianosis
(sirkulasi janin persisten), takipnea, kegawatan pernapasan, gangguan makan,
enterokolitis nekrotikans, hiperbilirubinemia, gagal ginjal, hipoglikemik, dan
trombositopenia.1
Banyak bayi yang terkena tidak bergejala. Hiperviskositas ada pada
kebanyakan bayi dengan hematokrit sentral 65% atau lebih dan merupakan
gejala-gejala polisitemia. Hiperviskositas yang ditemukan pada angka
pemotongan konstan (misalnya 11,5 detik-1) ada bila viskositas darah penuh
ada di atas 18 siklus/detik (18 spd). Hiperviskositas diperbesar karena eritrosit
neonatus mempunyai deformabilitas dan filterabilitas yang menurun,
memberi kecenderungan untuk stasis pada mikro-sirkulasi.1
Polisitemia eksperimental pada hewan yang baru lahir mengganggu
homeostasis glukosa. Produksi glukosa endogen, dan distribusi serta ambilan
glukosa serebral menurun.5

8
2.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala, hasil pemeriksaan fisik dan hasil
hitung jenis darah.1
Pada bayi baru lahir polisitemia dapat dilihat dengan pemeriksaan fisik
yaitu bayi tampak panas, pernafasannya cepat, refleks menghisap lemah, dan
denyut jantung meningkat.1
Sebagian besar neonatus yang mengalami polisitemia tidak menimbulkan
adanya gejala (asimtomatis). Namun pada bayi-bayi yang menunjukkan
gejala klinis, gejala dari polisitemia akan mulai tampak 1 sampai 2 jam
setelah kelahiran saat nilai hematokrit telah melewati nilai tertingginya dan
terjadi pergeseran nilai normal cairan setelah bayi lahir. Gejala klinis yang
muncul yang berhubungan degan polisitemia biasanya dideskripsikan dengan
istilah “Hyperviscosity Syndrome” walaupun tetap harus diingat bahwa hanya
47% bayi dengan polisiemia menunjukkan adanya hiperviskositas dan hanya
24% bayi dengan hiperviskositas didiagnosis sebagai polisitemia. Pada bayi
dengan batas hematokrit yng lebih tinggi, gejala klinis akan mulai tampak 1
hingga 2 hari setelah bayi lahir. Sedangkan pada bayi yang tidak
menimbulkan gejala setelah 48 sampai 72 jam, maka bayi tersebut dapat
digolongkan asimtomatik. Manifestasi klinis yang dapat timbul antara
lain:5,7ruddy complexion, jitteriness, irritability, tremor, kesulitan makan,
lethargy, apnea, sianosis, respiratori distress, dan kejang. Gejala neurologis
tampak pada kurang lebih 60% pasien. Penyebab utama dari timbulnya gejala
gejala tersebut masih belum jelas, namun diduga gejala-gejala tersebut

9
muncul akibat kurangnya aliran darah ke jaringan, terutama di otak, paru-
paru, dan jantung. Gejala neurologis yang muncul juga diperkirakan
berhubungan dengan adanya perubahan status metabolik pada bayi, seperti
hipoglikemia dan hipokalemia. Hipoglikemia merupakan gejala yang sering
ditemukan pada kasus perubahan status metabolik.6 Menurut data American
Academy of Pediatrics, hipoglikemia dapat diobservasi pada 12% sampai
40% neonatus yang mengalami polisitemia, sedangkan hipokalemia dapat
diobservasi pada 1% sampai 11% neonatus yang mengalami polisitemia.5,6
Terjadinya hipokalemia ini diperkirakan berhubungan dengan adanya
peningkatan konsentrasi gene-related peptide (CGRP). Patofisiologi
peningkatan CGRP ini masih belum jelas, namun CGRP ini memegang
peranan penting pada proses adaptasi neonatus terhadap kehidupan
ekstrauterin.7
Selain itu, adanya polisitemia dan hiperviskositas dapat menyebabkan
terjadinya Necrotizing Enterocolitis (NEC). Dari data-data yang sebelumnya
ada, polisitemia teridentifikasi pada hampir seluruh neonatus dengan NEC.
Walaupun perubahan perfusi jaringan diduga sebagai penyebab terjadinya
mucosal gut injury pada bayi yang besangkutan, namun data-data terbaru
menyebutkan penggunaan Partial Exchange Transfusion (PET) untuk
menurunkan hematokrit jua merupakan salah satu faktor menyebabkan
terjadinya NEC.7
Pada ginjal, polisitemia neonatus ditandai dengan adanya penurunan
Glomerular Filtration Rate (GFR), oligouria, hematuria, proteinuria, dan renal
vein thrombosis. Adanya trombositopenia dapat tejadi pada sepertiga jumlah
kasus neonatus dengan polisitemia, yang mana terjadinya hal tersebut
didugakarena adanya konsumsi platelet berlebihan pada system
mikrovaskular.8
Penegakan diagnosis polethora akibat polisitemia neonatus adalah melalui
penilaian keadaan klinis bayi dan pemeriksaan hematokrit, dimana nilai
hematokrit vena harus lebih dari sama dengan 65% (0,65). Beberapa studi
menunjukkan adanya peningkatan viskositas darah yang lebih dari nilai

10
tesebut. Namun beberapa studi lain menyebutkan bahwa bukti klinis tentang
penggunaan nilai ambang hematokrit ini sebagai alat penegakan diagnosis
polisitemia neonatus masih terbilang kurang. Walaupun demikian, sampai
saat ini nilai hematokrit masih tetap digunakan sebagai penanda adanya
hiperviskositas karena alat alat pengukuran viskositas darah secara direk
(langsung) yang masih terbatas. Deteksi peningkatan hematokrit pada darah
tali pusat lebih dari atau sama dengan 55% (0,55) dapat membantu
memprediksi risiko polisitemia neonatus pada 2 jam pertama setelah
kelahiran. Namun hal tersebut tidak dapat dipakai sebagai acuan karena
kurangnya data yang menunjukkan terapi pada neonatus dengan peningkatan
hematokrit yang asimtomastis dapat mengubah outcomepada bayi tersebut.8
Kemungkinan adanya polisitemia harus dipertimbangan pada bayi yang
menunjukkan adanya hiperviskositas darah. Deteksi nilai hematokrit yang
tinggi pada satu jam pertama setelah kelahiran dapat digunakan sebagai
penuntun untuk melakukan follow up pada beberapa jam berikutnya untuk
mengidentifikasi adanya peningkatan hematokrit yang lebih jauh lagi dengan
pergeseran nilai postnatal fluid. Pengambilan sampel darah harus dilakukan
dengan teliti dan hati-hati karena berpengaruh pada interpretasi hasil tes.
Darah yang berasal dar kapiler memiliki hematokrit 5% sampai 15% lebih
tinggi dari darah yang berasal dari vena. Selain itu, darah yang diambil
dengan ujung stick terkadang dapat menunjukkan angka hematokrit yang
lebih tinggi, sehingga harus dikonfirmasi ulang menggunakan free-flowing
venous sample. Neonatus dengn polisitemia harus dievaluasi lebih lanjut
untuk mengetahui penyebab-penyebab yang mungkin mendasari terjadinya
polisitemia, seperti restriksi perkembangan bayi intrauterine, maternal
diabetes, aau birth asphyxia. Adanya tumpang tindih antara manifestasi
hiperviskositas dengan kondisi serupa lainnya, maka penyebab alternatif
timbulnya gejala tersebut harus dieksklusi dengan benar. Neonatus yang
mengalami polisitemia juga harus dimonitor lebih lanjut untuk melihat
adanya kompliaksi polisitemia seperti trombosis, NEC, hipoglikemia,
hipokalemia, hiperbilirubinemia, dan trombositopenia.8

11
2.7 Komplikasi
Jangka panjang bayi plethora oleh karena polisitemia meliputi defisit dalam
bicara, kelainan pengendalian motorik halus, IQ berkurang, dan kelainan
neurologis lain. Transfusi tukar parsial mengurangi risiko masalah neurologis,
kemampuan sekolah yang jelek, dan defisit motorik halus, tetapi disertai
dengan gangguan makan dan dapat menaikkan resiko enterokolitis
nekrotikans.1
Pada plethora angka hematokrit menjadi 65% dan terjadi peningkatan
viskositas darah. Resistensi aliran darah melalui pembuluh darah ditentukan
baik oleh radius pembuluh darah dan viskositas darah. Radius pembuluh
darah memiliki efek yang jauh lebih besar terhadap aliran dibandingkan
viskositas. Jadi peningkatan viskositas akan mempengaruhi aliran darah
hanya jika pembuluh darah tersebut tidak mengompensasinya dengan
melakukan dilatasi. Jaringan seperti myocardium yang memiliki kapasitas
vasodilatasi besar tidak akan terpengaruh, sedangkan jaringan dengan
kapasitas vasodilatasi rendah akan terpengaruh jika aliran darah menurun.
Jadi, semakin besar viskositas, aliran dalam pembuluh semakin kecil jika
seluruh faktor lainnya konstan. Faktor lainnya itu adalah perbedaan tekanan
darah, radius dan panjangan pembuluh darah.4

2.8 Penatalaksanaan
Pada bayi polisitemik yang sudah terseleksi memberi kesan bahwa
resistensi vaskular pulmonal dan sistemik mereka meningkat, dan aliran darah
perifer serta serebral menurun. Kelainan-kelainan ini dikoreksi dengan
transfusi tukar yang menurunkan hematokrit dan viskositas ke normal. Terapi
plethora bergejala pada bayi baru lahir adalah flebotomi dan penggantian
dengan garam fisiologis atau albumin. Transfusi tukar parsial untuk
mengurangi hematokrit sampai 50% nya merupakan pendekatan yang secara
tehnik lebih sederhana dan secara terapeutik lebih efektif. Volume yang
ditransfusi-tukarkan dihitung dari rumus : 1

12
Volume transfusi tukar (mL) :

Membuang darah bisa membantu mengurangi kelebihan sel darah


merah, tetapi juga menyebabkan berkurangnya volume darah dan
memperburuk gejala polisitemia. Karena itu dilakukan transfusi ganti
parsial untuk membuang sebagian darah bayi dan menggantinya dengan
plasma dalam jumlah yang sama.11

Terapi untuk polisitemia pada neonatus dapat dikelompokkan menurut level


hematokrit vena dan ada atau tidaknya gejala klinis, anatar lain:12
Terapi untuk neonatus yang asimtomatis
- Level Hct 65%-75% : Monitor sistem kardiorespirasi, level hematokrit,
dan level glukosa salama 6-12 jam serta bservasi ada atau tidaknya gejala
klinis yang muncul. Lanjutkan memonitor selama paling tidak 24 jam
sampai level hematokrit menurun.
- Level Hct>75% : Pertimbangkan PET (Partial Exchange Transfusion).
Terapi untuk neonatus yang simtomatis
- Level Hct 60%-65% : Pertimbangkan adanya underlying causes selain
polisitemia dan hiperviskositas.
- Level Hct >65% dengan gejala yang mengarah pada polisitemia dan
hiperviskositas : Observasi dengan pemberia cairan intravenauntuk

13
memperbaiki hidrasi dan pertimbangakan PET. Apabila gejala klinis
mengalami perburukan dapat dilakukan PET.
PET(Partial Exchange Transfusion)
Penatalaksanaan polisitemia dengan PET sampai saat ini masih
kontroversi karena kurangnya bukti yang memperlihatkan bahwa pengobatan
agresif dengan PET dapat memperbaiki hasil jangka panjang.12
Untuk pelaksanaan PET, suatu prahitung volum darah (dihitung untuk
mengurangi hematokrit sentral hingga 50% [0.50] sampai 55% [0.55])
digantikan dengan suatu volum yang ekuivalen dengan larutan garam normal,
albumin 5%, cairan yang secara komersil tersedia dari fraksi protein plasma
manusia atau dengan fresh frozen plasma.Karena biayanya yang lebih rendah,
siap tersedia, dan ketiadaan risiko timbulnya infeksi terkait-transfusi, larutan
garam normal secara umum diterima sebagai cairan pengganti pilihan untuk
PET pada bayi-bayi dengan polisitemia. Dari banyak studi dan penelitian
mengenai PET,tidak didapatkan adanya data perbaikan hasil akhir neuologis
jangka panjang (indeks perkembangan mental, insiden lambatnya
perkembangan, dan insiden diagnosis-diagnosis neurologis) setelah dilakukan
PET pada bayi-bayiyang asimtomatis. Pasien-pasien dengan polisitemia dan
menunjukkan tanda-tanda atau geala-gejala yang mungkin berhubungan
dengan hiperviskositas sering kali diterapi dengan PET, walaupun praktisnya
tidak didukung oleh pembuktian kualitas-tinggi. Bantahan yang mendukung
PET adalah didasarkan pada patofisiologi sindrom hiperviskositas karena
kebanyakan gejala dianggap berhubungan dengan perfusi mikrosirkulatori
berubah dan hipoksia jaringan. Dengan menggati beberapa dari masa sel
darah merah dalam sirkulasi dengan suatu cairan kristaloid, PET dipercaya
mengurangi viskositas darah dan memperbaiki perfusi organ akhir. Namun,
tidak terdapat penelitian dengan studi klinik acak yang menunjukkan adanya
keuntungan pengunaan PET dalam pengobatan polisitemiapada pasien yang
simtomatis.12

14
2.9 Prognosis
Banyak studi dan penelitian terbaru mengenai risiko terjadinya komplikasi
karena polisitemia pada neonatus dengan penundaan penjepitan tali pusat
untuk memperkuat bukti-bukti bahwa penundaan penjepitan tali pusat
memiliki lebih banyak keuntungan bagi bayi dibandingkan dengan penjepitan
tali pusat yang terlalu cepat. Hampir seluruh penelitian yang ada
menyebutkan bahwa risiko-risiko yang mungkin terjadi pada neonatus dengan
penundaan penjepitan tali pusat tidak terbukti dapat membahayakan bayi
yang bersangkutan. Berikut adalah berbagai risiko yang mungkin terjadi dan
penelitian yang berhubungan dengan kebenaran risiko tersebut:7
1. Hiperbilirubin
Peningkatan hematokrit darah vena yang terjadi pada neonatus dengan
penundaan penjepitan tali pusat masih tergolong fisiologis dan dari
penelitian yang dilakukan tidak menunjukkan kemungkinan terjadinya
risiko berbahaya seperti hiperbilirubinemia pada bayi.
Hiperbilirubinemia yang terjadi pada kasus polisitemia neonatus ini
berasal dari peningkatan sel darah merah di darah sehingga pemecahan
sel darah merah pun meningkat, yang mana salah satu hasil pemecahan
sel darah merah adalah bilirubin. Meningkatnya produksi bilirubin
dalam darah menyebabkan manifestasi klinis berupa jaundice, yaitu
kulit dan sklera mata menjadi berwarna kuning karena mengandung
pigmen warna kuning yang berasal dari metabolisme bilirubin. Pada
kasus polisitemia dengan jaundice yang berat akan timbul efek jangka
panjang pada kesehatan bayi yang bersangkutan.7
2. Risiko pada sistem kardiorespirasi
Secara teori, adanya peningkatan viskositas darah yang menyebabkan
terjadinya polisitemia dapat menjadi penghambat proses penghantaran
oksigen ke paru-paru dan jantung sehingga kerja sistem kardiorespirasi
pun menjadi terganggu. Terganggunya sistem respirasi ini dapat
menyebabkan timbulnya respiratory distress pada neonatus, atau yang
kadang disebut pulmonary syndrome of the new born. Sedangkan

15
terhambatnya aliran darah menuju ke jantung dapat menyebabkan
curah jantung menurun sehingga darah yang dialirkanke seluruh tubuh
maupun ke paru-paru menjadi tidak optimal.7
Adanya respiratoy distress pada neonatus dengan penundaan
penjepitan tali pusat tercatat hanya pada 2 studi (75 neonatus) dengan 1
studi (39 neonatus) tercatat mengalami severe respiratory distress
sehingga data yang ada belum cukup signifikan untuk penarikan
kesimpulan bahwa respiratory distress tergolong dalam komplikasi
akibat penundaan penjepitan tali pusat.7 Demikian juga efek pada
jantung, dari peneitian yang sama, tidak ditemukan adanya bukti-bukti
klinis yang cukup untuk menarik kesimpulan.
3. Risiko pada sistem gastrointestinal
Komplikasi berbahaya lainnya yang dapat timbul pada sistem
gastrointestinal akibat polisitemia adalah necrotizing enterocolitis
(NEC). NEC adalah suatu keadaan dimana tejadi proses inflamasi dan
invasi bakteri pada dinding usus. Dinding saluran pencernaan pada
neonatus dapat dikatakan masih belum sempurna. Apabila terjadi
polisitemia, aliran darah menuju sistem gastrointestinal menurun,
sedangkan dinding saluran pencernaan pada neonatus masih belum
sempurna dan sangat sensitif. Gangguan aliran darah ini dapat
menyebabkan iskemik yang kemudian dapat memburuk menjadi
nekrosis. Hal tersebut dapat berpengaruh pada proses pencernaan
makanan, gangguan kolonisasi flora normal pencernaan, serta
tanslokasi bakteri. Adanya invasi dari bakteri menyebabkan mediator-
mediator radang teraktifasi sehingga terjadi enterocolitis (peradangan
pada saluran pencernaan) yang selanjutnya menimbulkan gejala klinis
apnoea, bradikardia, lethargy, serta temperature instability. Namun,
sama halnya dengan risiko pada organ organ lain yang sudah
dijelaskan sebelumnya, dari hasil penelitian tidak ditemukan adanya
data yang cukup untuk menarik kesimpulan bahwa penundaan
penjepitan tali pusat dapat meningkatkan risiko tejadinya NEC.

16
BAB III
PENUTUP

Plethora, penampakannya berwarna merah (ruddy), merah ungu tua disertai


dengan hematokrit yang tinggi, sering karena polisitemia, ditentukan ketika
hematokrit sentral 65% atau lebih. Hematokrit perifer (tusukan pada tumit) lebih
tinggi daripada nilai hematokrit sentral, sedangkan alat penghitung coulter
menghasilkan nilai hematokrit yang lebih rendah daripada nilai hematokrit yang
ditentukan dengan microcentrifugation.

Sebagian besar neonatus dengan polisitemia dapat diklasifikasikan menjadi


dua kelompok, antara lain:7
1. Aktif polisitemia : polisitemia akibat adanya penigkatan eritropoesis
2. Pasif polisitemia : polisitemia karena adanya transfusi eritrosit

Plethora pada neonatus menyebabkan darah menjadi kental dan menyebabkan


berkurangnya kecepatan aliran darah ketika darah melalui pembuluh yang kecil.
Jika penyakitnya berat, bisa menyebabkan pembentukan bekuan darah di dalam
pembuluh darah. Kulit bayi tampak kemerahan atau kebiru-unguan. Bayi tampak
lemas, pernafasannya cepat, refleks menghisapnya lemah dan denyut jantungnya
cepat.
Manifestasi klinis meliputi anoreksia, lesu, serangan kejang, sianosis (sirkulasi
janin persisten), takipnea, kegawatan pernapasan, gangguan makan, enterokolitis
nekrotikans, hiperbilirubinemia, gagal ginjal, hipoglikemik, dan trombositopenia.
Kelainan-kelainan ini dikoreksi dengan transfusi tukar yang menurunkan
hematokrit dan viskositas ke normal. Terapi plethora bergejala pada bayi baru
lahir adalah flebotomi dan penggantian dengan garam fisiologis atau albumin.
Transfusi tukar parsial untuk mengurangi hematokrit sampai 50% nya merupakan
pendekatan yang secara tehnik lebih sederhana dan secara terapeutik lebih efektif.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB.. Nelson volume 1 Ilmu


Kesehatan Anak edisi 15. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2010
2. Anderson, Sylvia. Patofisiologi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2012.
3. Remon JI, Raghavan A, Maheshwari A. Polycythemia in the Newborn.
American Academy of Pediatrics: Illinois. 2011.
4. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Jakarta : EGC. 2012
5. Lessaris KJ. Polycythemia of The Newborn.
http://emedicine.medscape.com/article/976319-overview (last update
October 2009).
6. Kanitkar M, Gupta A. Neonatal Polycythemia. MJAFI. 2009; p.196-7.
7. Mercer JS, Skovgaard RL. Neonatal Transitional Physiology: A New
Paradigm. Aspen Publishers. Care of Umbilical Cord. World Health
Organization. 2007.
8. Hsueh W et al. Neonatal Necrotizing Enterocolitis: Clinical Aspects,
Experimental Models, and Pathogenesis. World Journal of Pediatrics.
USA. 2007.
9. McDonald SJ, Middleton P. Effect of timing of umbilical cord clamping of
term infants on maternal and neonatal outcomes (Review). Wiley and
sons, ltd. Australia. 2009.
10. Ceriani JM, et al. The Effect of Timing of Cord Clamping on Neonatal
Venous Hematocrit Values and Clinical Outcome at Term: A Randomized,
Controlled Trial. American Academy of Pediatrics. Illinois. 2006.
11. Hutton EK, Hassan ES. Late and Early Clamping of Umbilical Cord in
Full-Term Neonates. American Medical Association. 2007; vol.279;
No.11.
12. Rabe H, Reynolds G, Diaz-Rossello J. Early Versus Delayed Cord
Clamping in Preterm Infants (Review). Wiley and Sons, Ltd. 2007.

18

Anda mungkin juga menyukai