Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS

SINDROM HELLP

Disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya


SMF Ilmu Obstetri dan Ginekologi RSD dr. Soebandi

Oleh:

Yessie Elin Santoso 122011101094

Pembimbing:

dr. Yonas Hadisubroto, Sp.OG

SMF/LAB OBSGYN RSD DR. SOEBANDI JEMBER


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER
2017

1
BAB I
PENDAHULUAN

Indonesia merupakan Negara dengan angka kematian ibu dan perinatal


tertinggi. Berdasarkan data dari WHO, pada tahun 2008 kasus kematian ibu
sebanyak 240 per 100.000 kelahiran. Menurut Survey Demografi dan Kesehatan
Indonesia (SDKI), diketahui bahwa angka kematian ibu (AKI) di Indonesia berada
pada peringkat ke-12 dari 18 negara anggota ASEAN dan SEARO (South East
Asian Nation Regional Organization). Menurut WHO (2005), penyebab kematian
maternal termasuk perdarahan, infeksi, eklampsia, persalinan macet dan aborsi
tidak aman. Penyebab kematian ibu di Indonesia dikenal dengan trias klasik yakni
perdarahan, preeklampsia/eklampsia, dan infeksi. Dimana dari 536.000 kematian
maternal di dunia, 25 % oleh karena perdarahan, 15% karena infeksi dan 12%
karena preklampsia/eklamsia.1

Sindrom HELLP adalah komplikasi dalam kehamilan yang ditandai dengan


hemolisis, peningkatan enzim hati dan trombositopenia, merupakan komplikasi dari
preeklampsia berat yang sering tak terdeteksi dan progresif. Istilah sindrom HELLP
pertama kali dicetuskan oleh Weinstein pada tahun 1982. Kasus ini sering
ditemukan pada trimester kedua (15%), ketiga (50%), sebelum persalinan, dan
pascapersalinan hingga 48 jam setelahnya.2

Preeklampsia merupakan suatu gangguan kehamilan spesifik yang terjadi


pada sekitar 5% dari seluruh kehamilan dan merupakan penyakit glomerulus yang
paling umum di dunia. Penyebab awal gangguan ini masih belum diketahui, namun
perkembangan terbaru menjelaskan bahwa mekanisme molekuler yang
melatarbelakanginya, terutama perkembangan abnormal, hipoksia plasenta,
disfungsi endotel. Berkomplikasi pada ibu sebagai Sindrom HELLP, gagal ginjal,
kejang, gangguan hati, stroke, penyakit jantung hipertensi, dan kematian,
sedangkan pada fetus dapat mengakibatkan persalinan preterm, hipoksia
neurogenik, dan kematian.1

2
BAB II
SINDROM HELLP

2.1 Defenisi
Sindrom HELLP merupakan suatu kerusakan multisistem dengan tanda-
tanda: hemolisis, peningkatan enzim hati, dan trombositopenia yang diakibatkan
disfungsi endotel sistemik. Keadaan ini merupakan salah satu komplikasi dari
preeklamsia dengan faktor risiko partus preterm dan hambatan pertumbuhan janin.2
H : Hemolysis
EL : Elevated Liver Enzyme
LP : Low Platelet Count
Preeklampsia merupakan suatu gangguan multisistem idiopatik yang spesifik
pada kehamilan dan nifas. Pada keadaan khusus, preeklampsia juga terjadi pada
kelainan perkembangan plasenta (kehamilan mola komplit). Meskipun
patofisiologi preeklampsia kurang dimengerti, jelas bahwa tanda perkembangan ini
tampak pada awal kehamilan. Pada 10 % pasien dengan preeklampsia berat dan
eklampsia menunjukan terjadinya HELLP syndrome yang ditandai dengan adanya
anemia hemolitik, peningkatan enzim hati dan jumlah platelet rendah. Sindrom
biasanya terjadi tidak jauh dengan waktu kelahiran (sekitar 31 minggu kehamilan).
Kebanyakan abnormalitas hematologik kembali ke normal dalam dua hingga tiga
hari setelah kelahiran tetapi trombositopenia bisa menetap selama seminggu.3

2.2 Insidensi
Insidens Sindrom HELLP pada kehamilan berkisar antara 0,2-0,6%, 4-12%
pada preeklampsia berat, dan menyebabkan mortalitas maternal yang cukup tinggi
(24 %), serta mortalitas perinatal antara 7,7%-60%. Sindroma HELLP dapat timbul

3
pada pertengahan kehamilan trimester dua sampai beberapa hari setelah
melahirkan.2,3

Sindrom HELLP terjadi pada ± 2-12% kehamilan. Sebagai perbandingan,


preeklampsi terjadi pada 5-7% kehamilan. Superimposed sindrom HELLP
berkembang dari 4-12% wanita preeklampsi atau eklampsi. Tanpa preeklampsi,
diagnosis sindrom ini sering terlambat. Faktor risiko sindrom HELLP berbeda
dengan preeklampsi.4

Dalam laporan Sibai dkk (1986), pasien sindrom HELLP secara bermakna
lebih tua (rata-rata umur 25 tahun) dibandingkan pasien preeklampsi-eklampsi
tanpa sindrom HELLP (rata-rata umur 19 tahun). lnsiden sindrom ini juga lebih
tinggi pada populasi kulit putih dan multipara. Penulis lain juga mempunyai
observasi serupa. Sindrom ini biasanya muncul pada trimester ketiga, walaupun
pada 11% pasien muncul pada umur kehamilan <27 minggu; di masa antepartum
pada sekitar 69% pasien dan di masa postpartum pada sekitar 31%. Pada masa post
partum, saat terjadinya dalam waktu 48 jam pertama post partum.4

2.3 Faktor Resiko


Preeklampsia sering mengenai perempuan muda dan nulipara. Faktor risiko
sindrom HELLP berbeda dengan preeklampsi. Pasien sindrom HELLP secara
bermakna lebih tua (rata-rata umur 25 tahun) dibandingkan pasien preeklampsi-
eklampsi tanpa sindrom HELLP (rata-rata umur 19 tahun). lnsiden sindrom ini juga
lebih tinggi pada populasi kulit putih dan multipara.3

Faktor risiko preeklamsia meliputi kondisi medis yang berpotensi


menyebabkan kelainan mikrovaskular, seperti diabetes melitus, hipertensi kronis
dan kelainan vaskular serta jaringan ikat, sindrom antibodi fosfolipid dan
nefropati.3,4

Tabel 2.1 Faktor Risiko

4
Sindrom HELLP Preeklampsia
Multipara Nullipara
Usia ibu > 25 tahun Usia ibu < 20 tahun atau > 40 tahun
Ras kulit putih Riwayat keluarga eklampsia
Riwayat keluaran kehamilan yang jelek ANC yang buruk
Diabetes mellitus
Hipertensi kronis
Kehamilan multipel
Berbagai faktor risiko antara lain :
 Faktor yang berhubungan dengan kehamilan
 Faktor spesifik maternal
 Faktor spesifik paternal

1. Faktor risiko preeklamsia yang berhubungan dengan kehamilan.5 :


 Kelainan kromosom
 Mola hydatidosa
 Hydrops fetalis
 Kehamilan multifetus
 Inseminasi donor atau donor oosit
 Kelainan struktur kongenital
2. Faktor risiko preeklamsia yang khusus berhubungan dengan maternal.5 :
 Insidens tinggi pada primigravida muda, meningkat pada primigravida
tua. Primigravida tua risiko lebih tinggi untuk preeklampsia berat.
 Ibu hamil berusia diatas 35 tahun. Ibu hamil berusia diatas 35 tahun
dapat terjadi hipertensi laten.
 Ibu hamil usia remaja, yaitu usia dibawah 20 tahun. Ibu hamil berusia
dibawah 25 tahun insidens > 3 kali lipat.
 Ibu hamil dengan kehamilan kembar.
 Ibu hamil yang sebelum kehamilannya memiliki penyakit darah tinggi
atau penyakit ginjal.
 Riwayat preeklamsia pada keluarga, yaitu ibunya atau saudara
perempuannya pernah mengalami preeklamsia. Jika ada riwayat
preeklamsia pada ibu/nenek penderita, faktor risiko meningkat sampai
± 25%.

5
 Preeklamsia pada kehamilan sebelumnya.

2.4 Etiologi
Sampai saat ini etiologinya yang pasti belum diketahui. Penyebab sindrom
HELLP sampai sekarang belum jelas. Yang ditemukan pada penyakit multisistem
ini adalah kelainan tonus vaskuler, vasospasme, dan kelainan koagulasi. Sampai
sekarang tidak ditemukan faktor pencetusnya. Sindrom ini kelihatannya merupakan
akhir dari kelainan yang menyebabkan kerusakan endotel mikrovaskuler dan
aktivasi trombosit intravaskuler sehingga terjadi vasospasme, aglutinasi, dan
agregasi trombosit kemudian terjadi kerusakan endotel.2

Terdapat 4 hipotesis patogenesis preeklampsia:

1. Iskemia Plasenta.
Peningkatan deportasi sel tropoblast yang menyebabkan kegagalan invasi
ke arteri spiralis dan akan mengakibatkan iskemia pada plasenta.
2. Maladaptasi Imun.
Terjadinya maladaptasi imun dapat menyebabkan dangkalnya invasi sel
tropoblast pada arteri spiralis dan memicu pembentukkan sitokin, enzim
proteolitik, dan radikal bebas yang menyebabkan terjadinya disfungsi
endotel.
3. Genetik Inpreting.
Terjadinya preeklampsia dan eklampsia mungkin didasarkan pada gen
resesif tunggal atau gen dominan dengan penetrasi yang tidak sempurna.
Penetrasi mungkin tergantung pada genotip janin.
4. Perbandingan VLDL (Very Low Density Lipoprotein) dan TxPA (Toxicity
Preventing Activity).
Sebagai kompensasi untuk peningkatan energi selama kehamilan, asam
lemak non-esterifikasi akan dimobilisasi. Pada wanita hamil dengan kadar

6
albumin yang rendah, pengangkatan kelebihan asam lemak non-esterifikasi
dari jaringan lemak kedalam hepar akan menurunkan aktifitas antitoksin
albumin sampai pada titik dimana VLDL terekspresikan. Jika kadar VLDL
melebihi TxPA maka efek toksik dari VLDL akan muncul.

2.5 Klasifikasi
Dua sistem klasifikasi digunakan pada sindrom HELLP. Klasifikasi
pertama berdasarkan jumlah kelainan yang ada. Dalam sistem ini, pasien
diklasifikasikan sebagai sindrom HELLP parsial (mempunyai satu atau dua
kelainan) atau sindrom HELLP total (mempunyai ketiga kelainan). Wanita dengan
ketiga kelainan lebih berisiko menderita komplikasi seperti DIC, dibandingkan
dengan wanita dengan sindrom HELLP parsial. Konsekuensinya pasien sindrom
HELLP total harus dipertimbangkan untuk bersalin dalam 48 jam, sebaliknya yang
parsial dapat diterapi konservatif.6

Klasifikasi kedua sindrom HELLP menurut Mississippi berdasarkan kadar


trombosit darah2,6:
Kelas Trombosit (/ml) LDH (IU/l) AST/ALT (IU/l)
I ≤ 50.000 ≥ 600 ≥ 40
II 50.001 - 100.000 ≥ 600 ≥ 40
III 100.001–150.000 ≥ 600 ≥ 40
Tabel 2.2 Klasifikasi Sindrom HELLP

Klasifikasi ini telah digunakan dalam memprediksi kecepatan pemulihan


penyakit pada post partum, keluaran maternal dan perinatal, dan perlu tidaknya
plasmaferesis. Sindrom HELLP kelas I berisiko morbiditas dan mortalitas ibu lebih
tinggi dibandingkan pasien kelas II dan kelas III.

2.6 Patogenesis

Patogenesis sindrom HELLP sampai sekarang belum jelas. Yang ditemukan


pada penyakit multisistem ini adalah kelainan tonus vaskuler, vasospasme, dan
kelainan koagulasi. Sampai sekarang tidak ditemukan faktor pencetusnya. Sindrom

7
ini kelihatannya merupakan akhir dari kelainan yang menyebabkan kerusakan
endotel mikrovaskuler dan aktivasi trombosit intravaskuler sehingga terjadi
vasospasme, aglutinasi, dan agregasi trombosit yang kemudian terjadi kerusakan
endotel. Hemolisis yang didefinisikan sebagai anemia hemolitik mikroangiopati
merupakan tanda khas. Sel darah merah terfragmentasi saat melewati pembuluh
darah kecil yang endotelnya rusak dengan deposit fibrin. Pada sediaan hapusan
darah tepi ditemukan spherocytes, schistocytes, triangular cells, dan burr cells.
Peningkatan kadar enzim hati diperkirakan sekunder akibat obstruksi aliran
darah hati oleh deposit fibrin di sinusoid. Obstruksi ini menyebabkan nekrosis
periportal dan pada kasus yang berat dapat terjadi perdarahan intrahepatik,
hematom subkapsular, dan ruptur hepar. Nekrosis periportal dan perdarahan
merupakan gambaran histopatologik yang paling sering ditemukan.4,5
Trombositopenia disebabkan oleh peningkatan pemakaian dan/atau destruksi
trombosit akibat kerusakan endotel pembuluh darah. Banyak penulis tidak
menganggap sindrom HELLP sebagai suatu variasi dari disseminated intravascular
coagulopathy (DIC), karena nilai parameter koagulasi seperti waktu prothrombin
(PT), waktu parsial thromboplastin (PTT), dan serum fibrinogen normal.
Pada 10 % pasien dengan preeklampsia berat dan eklampsia menunjukan
terjadinya HELLP syndrome yang ditandai dengan adanya anemia hemolitik,
peningkatan enzim hati dan jumlah platelet rendah. Sindrom biasanya terjadi tidak
jauh dengan waktu kelahiran (sekitar 31 minggu kehamilan). Kebanyakan
abnormalitas hematologik kembali ke normal dalam dua hingga tiga hari setelah
kelahiran tetapi trombositopenia bisa menetap selama seminggu.6

2.7 Manifestasi Klinik

Pasien sindrom HELLP dapat mempunyai tanda dan gejala yang sangat
bervariasi, dari yang bernilai diagnostik sampai semua tanda dan gejala pada pasien
preeklampsi-eklampsi yang tidak menderita sindrom HELLP.1
Sibai (1990) menyatakan bahwa pasien biasanya muncul dengan keluhan
nyeri epigastrium atau nyeri perut kanan atas (90%), beberapa mengeluh mual dan
muntah (50%), yang lain bergejala seperti infeksi virus. Sebagian besar pasien

8
(90%) mempunyai riwayat malaise selama beberapa hari sebelum timbul tanda
lain.7
Dalam laporan Weinstein, mual dan/atau muntah dan nyeri epigastrium
diperkirakan akibat obstruksi aliran darah di sinusoid hati oleh deposit fibrin
intravaskuler. Pasien sindrom HELLP biasanya menunjukkan peningkatan berat
badan yang bermakna karena oedem menyeluruh. Hal yang penting adalah bahwa
hipertensi berat (sistolik 160 mmHg, diastolik 110 mmHg) tidak selalu ditemukan.
Walaupun 66% dari 112 pasien pada penelitian Sibai dkk (1986) mempunyai
tekanan darah diastolik 110 mmHg, 14,5% bertekanan darah diastolik 90 mmHg.6

2.8 Diagnosis

Diagnosis Sindroma HELLP secara obyektif lebih berdasarkan hasil


laboratorium, sedangkan manifestasi klinis bersifat subyektif, kecuali jika keadaan
sindroma HELLP semakin berat. Berdasarkan hasil laboratorium dapat ditemukan
anemia hemolisis, disfungsi hepar, dan trombositopeni.5
Didahului tanda dan gejala yang tidak khas malaise, lemah, nyeri kepala,
mual, muntah (semuanya ini mirip tanda dan gejala infeksi virus). Ada tanda dan
gejala preeklampsia. Sampai saat ini diagnosis Sindroma hellp lebih berdasarkan
parameter laboratorium, dan parameter yang digunakan selama ini lebih mengarah
pada keadaan sindrom HELLP lanjut, dimana morbiditas dan mortalitas ibu dan
janin cukup tinggi.
Pada pemeriksaan darah tepi terdapat bukti-bukti hemolisis dengan adanya
kerusakan sel eritrosit, antara lain burr cells, helmet cells. Hemolisis ini
mengakibatkan peningkatan kadar bilirubin dan lactate dehydrogenase (LDH).
Disfungsi hepar di¬refleksikan dari peningkatan enzim hepar yaitu Aspartate
transaminase (AST/GOT), Alanin Transaminase (ALT/GPT), dan juga peningkatan
LDH. Semakin lanjut proses kerusakan yang terjadi, terdapat gangguan koagulasi
dan hemostasis darah dengan ketidak normalan protrombin time, partial
tromboplastin time, fibrinogen, bila keadaan semakin parah dimana trombosit
sampai dibawah 50.000 /ml biasanya akan didapatkan hasil-hasil degradasi fibrin

9
dan aktivasi antitrombin III yang mengarah terjadinya Disseminated Intravascular
Coagulopathy (DIC). Insidens DIC pada sindroma hellp 4-38%.
Sindrom HELLP ditandai:
1. Hemolisis
Tanda hemolisis dapat dilihat dari ptekie, ekimosis, hematuria dan secara
laboratorik adanya Burr cells pada apusan darah tepi. Banyak penulis
mendukung nilai laktat dehidrogenase (LDH) dan bilirubin agar
diperhitungkan dalam mendiagnosis hemolisis.2,3
2. Elevated liver enzymes
Dengan meningkatnya SGOT, SGPT (> 70 iu) dan LDH (> 600 iu) maka
merupakan tanda degenerasi hati. LDH > 1400 iu, merupakan tanda spesifik
kelainan klinik.2,3
3. Low platelets
Jumlah trombosit < 100.000/mm3 merupakan tanda koagulasi
intravaskuler.
Hemolisis
-kelainan hapusan darah tepi
-total bilirubin >1,2 mg/dl
-laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L
Peningkatan fungsi hati
-serum aspartate aminotransferase (AST) > 70 U/L
-laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L
Jumlah trombosit yang rendah
-hitung trombosit < 100.000/mm

Tabel 2.3 Kriteria diagnosis sindrom HELLP (University of Tennessee,


Memphis)

Temuan patologis.4
• Eritrosit: Terjadi kerusakan eritrosit, mengalami fragmentasi yang dapat
dilihat pada darah tepi.
• Trombosit

10
 Umur trombosit normal adalah 8 – 10 hari. Pada preeklampasia umur
trombosit menjadi 5 – 8 hari.
 Pada sindrom HELLP, umur trombosit makin pendek, disertai peningkatan
kerusakan trombosit, dan agregasi trombosit pada lapisan sel endotel.
 Kerusakan trombosit menghasilkan thromboxane yang merupakan
vasokonstriktor kuat dan agregator trombosit.
• Gangguan ginjal :
 Sindrom HELLP dapat menimbulkan gangguan ginjal. Kerusakan ginjal
bervariasi dari sekedar kenaikan kreatinin serum sampai terjadi gagal
ginjal akut yang reversible (acute tubular necrosis) maupun yang
ireversibel (cortical necrosis) Perubahan ginjal pada Sindrom HELLP
adalah pembesaran glomerulus, melekatnya butir2 fibrin pada lapisan
epitel, dan pembengkakan sel endotel sehingga terjadi penyempitan
kapiler glomerulus.

2.9 Diagnosis Banding

Pasien sindrom HELLP dapat menunjukkan tanda dan gejala yang sangat
bervariasi, yang tidak bernilai diagnostik pada preeklampsi berat. Akibatnya sering
terjadi salah diagnosis, diikuti dengan kesalahan pemberian obat dan pembedahan.8
Diagnosis banding pasien sindrom HELLP meliputi:
 Perlemakan hati akut dalam kehamilan
 Apendistis
 Gastroenteritis
 Kolesistitis
 Batu ginjal
 Pielonefritis
 Ulkus peptikum
 Glomerulonefritis trombositopeni idiopatik
 Trombositipeni purpura tromboti
 Sindrom hemolitik uremia
 Ensefalopati dengan berbagai etiologi

11
 Sistemik lupus eritematosus (SLE)

Perlemakan hati akut (AFLP) jarang terjadi tapi potensial menjadi


komplikasi yang fatal pada kehamilan trimester ketiga. Pada awalnya, perlemakan
hati akut dalam kehamilan sukar dibedakan dari sindrom HELLP. Pasien AFLP
mempunyai gejala khas berupa : mual, muntah, nyeri abdomen, dan ikterus.
Sindrom HELLP dan AFLP keduanya ditandai dengan peningkatan tes fungsi hati,
tapi pada sindrom HELLP peningkatannya cenderung lebih besar. PT dan PTT
biasanva memanjang pada AFLP tapi normal pada sindrom HELLP. Pemeriksaan
mikroskopik hati merupakan tes diagnosis untuk menentukan AFLP. Panlobular
microvesicular fatty change (steatosis) difus derajat rendah merupakan gambaran
patognomonik AFLP. Penanganan AFLP meliputi terminasi kehamilan segera dan
atasi hiperglikemi atau koagulopati yang timbul.

2.10 Penatalaksanaan

Prinsip penatalaksanaan untuk setiap kehamilan dengan penyulit


preeklampsia adalah4,5:
1. Melindungi ibu dari efek peningkatan tekanan darah
2. Mencegah progresifitas penyakit menjadi eklampsia
3. Mengatasi atau menurunkan risiko janin (solusio plasenta, pertumbuhan
janin terhambat, hipoksia sampai kematian janin)
4. Melahirkan janin dengan cara yang paling aman dan cepat sesegera
mungkin setelah matur, atau imatur jika diketahui bahwa risiko janin atau
ibu akan lebih berat jika persalinan ditunda lebih lama.

Sindroma HELLP merupakan salah satu keadaan preeklampsia yang


memburuk yang dapat didiagnosis dengan parameter laboratorium, sementara
proses kerusakan endotel juga terjadi diseluruh sistem tubuh, oleh karena itu
diperlukan suatu parameter yang lebih dini dimana preeklampsia belum sampai
menjadi perburukan dan dapat ditatalaksana lebih awal sehingga menurunkan
morbiditas dan mortalitas ibu, serta mendapatkan janin se-viable mungkin.

12
Pasien sindrom HELLP harus dirujuk ke pusat pelayanan kesehatan tersier
dan pada penanganan awal harus diterapi sama seperti pasien preeklampsi. Prioritas
pertama adalah menilai dan menstabilkan kondisi ibu, khususnya kelainan
pembekuan darah.

Terapi Medikamentosa
Mengikuti terapi medikamentosa preeklampsia-eklampsia dengan
melakukan monitoring kadar trombosit tiap 12 jam. Bila trombosit <50.000/ml atau
adanya tanda koagulopati konsumtif, maka harus diperiksa waktu protrombin,
waktu tromboplastin parsial, dan fibrinogen.
Pemberian dexamethasone rescue, pada antepartum diberikan dalam bentuk double
strength dexamethasone (double dose).7
Jika didapatkan kadar trombosit <100.000/ml atau trombosit 100.000-
150.000/ml dengan disertai tanda-tanda eklampsia, hipertensi berat, nyeri
epigastrium, maka diberikan dexamethasone 10 mg IV tiap 12 jam. Pada post
partum dexamethasone diberikan 10 mg IV tiap 12 jam 2 kali, kemudian diikuti 5
mg IV tiap 12 jam 2 kali. Terapi dexamethasone dihentikan, bila terjadi perbaikan
laboratorium, yaitu trombosit >100.000/ml dan penurunan LDH serta perbaikan
tanda dan gejala-gejala klinik preeklampsia-eklampsia. Dapat dipertimbangkan
pemberian transfusi trombosit dan antioksidan, bila kada trombosit <50.000/ml.7

13
1) Menilai dan menstabilkan kondisi ibu
o Jika ada DIC, atasi koagulopati
o Profilaksis anti kejang dengan MgSO4
o Terapi hipertensi berat
o Rujuk ke pusat ksehatan tersier
o Computerized tomography (CT scan) atau ultrasonografi (USG)
abdomen bila diduga hematoma subkapsular hati
2) Evaluasi kesejahteraan janin
o Non stress test/tes tanpa kontraksi (NST)
o Profil biofisik
o USG
3) Evaluasi kematangan paru janin jika umur kehamilan <35 minggu
o Jika matur, segera akhiri kehamilan
o Jika immatur, beri kortikosteroid, lalu akhiri kehamilan

Tabel 2.4 Penatalaksanaan sindrom HELLP pada umur kehamilan < 35 minggu

14
Pemberian obat antikejang MgSO4
Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada
rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular. Transmisi
neuromuskular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian magnesium
sulfat, magnesium akan menggeser kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak
terjadi (terjadi kompetitif inhibisi antara ion kalsium dan ion magnesium). Kadar
kalsium yang tinggi dalam darah dapat menghambat kerja magnesium sulfat.
Magnesium sulfat sampai saat ini tetap menjadi pilihan pertama untuk antikejang
pada preeklampsia atau eklampsia.7
Cara pemberian MgSO4
- Loading dose: 4 gram MgSO4: intravena, (40 % dalam 10 cc) selama 15 menit
- Maintenance dose : 6 gram dalam larutan ringer laktat dalam 6 jam; atau
diberikan 4 atau 5 gram i.m. Selanjutnya maintenance dose diberikan 4 gram
im tiap 4-6 jam
Syarat-syarat pemberian MgSO4
- Harus tersedia antidotum MgSO4 untuk mengatasi intoksikasi yaitu kalsium
glukonas 10% = 1 gram (10% dalam 10 cc) diberikan iv 3 menit
- Refleks patella (+) kuat
- Frekuensi pernafasan > 16x/menit, tidak ada tanda tanda distress nafas
Dosis terapeutik dan toksis MgSO4
- Dosis terapeutik: 4-7 mEq/liter atau 4,8-8,4 mg/dl
- Hilangnya reflex tendon: 10 mEq/liter atau 12 mg/dl
- Terhentinya pernafasan: 15 mEq/liter atau 18 mg/dl
- Terhentinya jantung: >30 mEq/liter atau > 36 mg/dl
Magnesium sulfat dihentikan bila ada tanda tanda intoksikasi atau setelah 24
jam pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir. Pemberian magnesium
sulfat dapat menurunkan resiko kematian ibu dan didapatkan 50 % dari
pemberiannya menimbulkan efek flushes (rasa panas) .7

Diuretikum
Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru-paru,
payah jantung kongestif atau anasarka. Diuretikum yang dipakai ialah furosemida.

15
Pemberian diuretikum dapat merugikan, yaitu memperberat hipovolemia,
memperburuk perfusi uteroplasenta, meningkatkan hemokonsentrasi,
menimbulkan dehidrasi pada janin, dan menurunkan berat janin.7

Antihipertensi
Masih banyak pendapat dari beberapa negara tentang penentuan batas (cut
off) tekanan darah untuk mulai memberikan antihipertensi. Misalnya Belfort
mengusulkan cut off yang dipakai adalah ≥ 160/110 mmhg dan MAP ≥ 126 mmHg.7
Di RSU Dr. Soetomo Surabaya batas tekanan darah pemberian antihipertensi
ialah apabila tekanan sistolik ≥180 mmHg dan/atau tekanan diastolik ≥ 110 mmHg.
Tekanan darah diturunkan secara bertahap, yaitu penurunan awal 25% dari tekanan
sistolik dan tekanan darah diturunkan mencapai < 160/105 atau MAP < 125. Jenis
antihipertensi yang diberikan sangat bervariasi. Obat antihipertensi yang harus
dihindari secara mutlak yakni pemberian diazokside, ketanserin, dan nimodipin.
Jenis obat antihipertensi yang diberikan di Amerika adalah hidralazin
(apresoline) injeksi (di Indonesia tidak ada), suatu vasodilator langsung pada
arteriola yang menimbulkan refleks takikardia dan peningkatan cardiac output
sehingga memperbaiki perfusi uteroplasenta. Obat antihipertensi lain adalah
labetalol injeksi, suatu alfa 1 bocker, non selektif beta bloker. Obat-obat
antihipertensi yang tersedia dalam bentuk suntikan di Indonesia ialah clonidin
(catapres). Satu ampul mengandung 0,15 mg/cc. Klonidin 1 ampul dilarutkan dalam
10 cc larutan garam faal atau larutan air untuk suntikan.

Antihipertensi lini pertama


- Nifedipin. Dosis 10-20 mg/oral, diulangi setelah 30 menit, maksimum 120 mg
dalam 24 jam
Antihipertensi lini kedua
- Sodium nitroprussida : 0,25µg iv/kg/menit, infuse ditingkatkan 0,25µg iv/kg/5
menit.
- Diazokside : 30-60 mg iv/5 menit; atau iv infuse 10 mg/menit/dititrasi.7

Sikap terhadap kehamilannya

16
Berdasar William obstetrics, ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan
gejala-gejala preeclampsia berat selama perawatan, maka sikap terhadap
kehamilannya dibagi menjadi:
1. Aktif : berarti kehamilan segera diakhiri/diterminasi bersamaan dengan
pemberian medikamentosa.
2. Konservatif (ekspektatif): berarti kehamilan tetap dipertahankan bersamaan
dengan pemberian medikamentosa.7

2.11 Komplikasi

Angka kematian ibu dengan sindrom HELLP mencapai 1,1%; 1-25%


berkomplikasi serius seperti DIC, solusio plasenta, adult respiratory distress
syndrome, kegagalan hepatorenal, oedem paru, hematom subkapsular, dan ruptur
hepar. Komplikasi yang dapat terjadi pada janin yaitu kematian janin dalam rahim,
kematian neonatus, lahir prematur, dan nilai apgar yang rendah. Risiko untuk
terjadinya sindrom HELLP pada kehamilan berikutnya ± 14-27 % sedangkan risiko
untuk penderita PEB pada kehamilan berikutnya ± 43%.9
Angka kematian bayi berkisar 10-60%, disebabkan oleh solusio plasenta,
hipoksi intrauterin, dan prematur. Pengaruh sindrom HELLP pada janin berupa
pertumbuhan janin terhambat (IUGR) dan sindrom gangguan pernapasan (RDS).
Kematian ibu bersalin cukup tinggi yaitu 24 %. Penyebab kematian dapat berupa
kegagalan kardiopulmuner, gangguan pembuluh darah, perdarahan otak, rupture
hepar, kegagalan organ multiple. Kematian perinatal cukup tinggi, terutama
disebabkan oleh persalinan preterm.7,9
Angka kejadian DIC pada sindrom HELLP sekitar 15%. Hellegren, dkk.
menggunakan sistem skoring untuk mendiagnosis DIC:
1. Jumlah trombosit < 100 000

17
2. Pemanjangan waktu protrombin ( 14 det) dan tromboplastin parsial ( 40
det)
3. Kadar fibrinogen  300 mg/dl
4. Fibrin split product + (>40 mg/L) atau D-Dimer ( 40 mg/L)
5. Aktivitas anti-trombin III < 80 %
Bila didapat 3 kelainan tersebut adalah merupakan diagnosis DIC manifest
dan jika ditemukan 2 kelainan dicurigai suatu dugaan DIC. Menurut Sibai
diagnosis DIC jika didapatkan trombositopeni, fibrinogen < 300, FDP > 40 ug/dl.
(Peningkatan trombin time) .10

2.12 Prognosis

Perempuan yang mengalami preeklampsia dengan komplikasi sindrom


HELLP memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan mereka yang tidak
mengalami komplikasi ini. Dalam ulasan mereka terhadap 693 perempuan dengan
sindrom HELLP, Keisser dkk (2009), melaporkan 10 persen diantaranya
mengalami eklampsia. Sep dkk,(2009) juga mengambarkan risiko komplikasi yang
meningkat secara bermakna pada perempuan dengan sindrom HELLP
dibandingkan dengan perempuan yang mengalami preeclampsia saja. Komplikasi-
komplikasi yang mereka laporkan melliputi eklampsia, persalinan kurang bulan,
dan angka kematian perinatal.7

18
BAB III
KESIMPULAN

1. Preeklampsia merupakan penyulit kehamilan yang ditandai dengan hipertensi,


edema dan proteinuria. Pada penderita preeklampsia, Sindroma HELLP
merupakan salah satu komplikasi dengan gambaran Hemolisis (H),
Peningkatan enzim hati (Elevated Liver Enzym-EL), dan trombositopeni (Low
Platelets-LP). Sindroma HELLP dapat timbul pada pertengahan kehamilan
trimester dua sampai beberapa hari setelah melahirkan. Keadaan ini memiliki
risiko partus preterm, hambatan pertumbuhan janin, serta partus per
abdominam.
2. Faktor resiko terjadinya preeklampsia antara lain: Usia, Paritas, Ras atau
golongan etnik, faktor keturunan, faktor gen, diet atau gizi, iklim atau musim,
tingkah laku, sosioekonomi, dan hiperplasentosis.

19
3. Diagnosis Sindrom HELLP lebih berdasarkan parameter laboratorium, dan
parameter yang digunakan selama ini lebih mengarah pada keadaan sindrom
HELLP lanjut, dimana morbiditas dan mortalitas ibu dan janin cukup tinggi.
4. Prioritas pertama penangan sindrom adalah menilai dan menstabilkan kondisi
ibu, khususnya kelainan pembekuan darah. Pasien sindrom HELLP harus
diterapi profilaksis MgSO4 untuk mencegah kejang, baik dengan atau tanpa
hipertensi. Langkah selanjutnya ialah mengevaluasi kesejahteraan bayi dengan
menggunakan tes tanpa tekanan, atau profil biofisik, biometri USG untuk
menilai pertumbuhan janin terhambat. Terakhir, harus diputuskan apakah perlu
segera mengakhiri kehamilan.

20
BAB IV
LAPORAN KASUS

4.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. IR
No. RM : 191655
Jenis Kelamin : Perempuan
Tgl lahir/ Umur : 01-07-1970/ 47 tahun
Status Nikah : Menikah
Agama : Islam
Suku/Bangsa : Madura/ Indonesia
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga (IRT)
Pendidikan : SD
Alamat : Situbondo
MRS : 27 November 2017

4.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Perdarahan
Riwayat Penyakit Sekarang : pasien datang via ponek dengan post partum
H-1 rujukan dari RS Abdoer Rahem
Situbondo. Pasien melahirkan anak kedua di
RS jam 17.00 (26/10/17) melahirkan bayi
perempuan. Setelah melahirkan jam 21.00
pasien mengatakan gusinya berdarah tidak
berhenti disertai muntah-muntahdiperiksa
di RS didiagnosis dengan PEB dan HELLP
Syndrome  karena tidak ada FFP rujuk
RSD dr. Soebandi
HPHT :-
HPL :-

21
Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien menyangkal memiliki penyakit
saluran reproduksi (infeksi/ keganasan).
HT (-) DM (-) Asma (+)
Pasien tidak pernah dirawat inap di rumah
sakit dan tidak pernah dioperasi.
Riwayat Alergi : Riwayat alergi obat/ makanan (-)
Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada pada keluarganya mengalami
keluhan yang serupa.
Riwayat Sosial : Pasien adalah seorang ibu rumah tangga.
Pola makan pasien sehari-hari baik dan
teratur. Pasien mengaku tidak memiliki
kecenderungan mengonsumsi jenis makanan
tertentu. Pasien tidak memiliki kebiasaan
minum alkohol dan merokok. Hubungan
pasien dengan keluarga serta lingkungan
sekitar baik (riwayat sosial ekonomi: sedang)
Riwayat Menstruasi : Menarche usia 12 tahun, siklus haid teratur
setiap 28 hari, durasi selama 7 hari, dan tidak
ada keluhan pasien saat haid (dismenore -).
Riwayat Marital : 2x, usia 18 tahun dan usia 34 tahun
Riwayat Obstetri : 1) perempuan/ 26 tahun/ dukun/ persalinan
Normal
2) perempuan/ 1 hari/ RS/ persalinan
normal
Riwayat Kontrasepsi : suntik 3 bulan dan implan 15 thn yll
Riwayat ANC : Pasien rutin memeriksakan kehamilannya di
bidan sejak usia kehamilan 4 bulan
Triwulan 2: 1x (UK 20 mg)
Triwulan 3: 3x (UK 28-29 mg, UK 32, UK
33, UK 34, UK 35, UK 36,
UK 37, UK 38 mg)

22
Skor Poedji Rochyati : 4 (kehamilan resiko rtinggi)

4.3 Pemeriksaan Fisik dan Umum


Keadaan umum : cukup
Kesadaran : compos mentis
Vital sign :
TD : 140/90 mmHg
Nadi : 104 kali/menit
Suhu : 36,5o C
RR : 20 kali/menit
TB/BB : 150 cm / 65 kg
• Pemeriksaan Umum
Mammae
Inspeksi : Hiperpigmentasi aerola mammae
Kepala/Leher : anemis/icterus/cyanosis/dipsneu (-/+/-/-),tampak
perdarahan di gusi
Thorax :
Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V mcl s
Perkusi : redup
Auskultasi : S1S2 tunggal, reguler, e/g/m : -/-/-
Pulmo
Inspeksi : simetris, retraksi -/-
Palpasi : fremitus raba +/+
Perkusi : sonor +/+
Auskultasi : Ves +/+, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen :
Inspeksi : cembung, distensi -/-, gambaran pembuluh darah
kolateral -/-

23
Palpasi : pembesaran organ -/-, nyeri tekan -/-
teraba massa abnormal -/-
Perkusi : timpani
Auskultasi : suara bising usus +/+, metallic sound -/-
Ekstremitas : odem +/-, tak tambak ekimosis di ekstremitas

Status Obstetri
Abdomen
Inspeksi : cembung, disertai adanya striae gravidarum (striae
livide), tidak tampak bekas luka sayatan operasi,
bekas secar (-)
Palpasi : Tinggi Fundus Uteri 2 jari bawah pusat, kontraksi
uterus baik
Auskultasi : BU +
Genitalia
VT Ø 1cm, tidak teraba jaringan, perineum utuh, perineum utuh, fluksus
(+) sedikit

4.4 Pemeriksaan Penunjang Rs. Abdur Rahem


Laboratorium Hasil Nilai Normal
(27/11/2017)
DL
Hb 13,56 12.0-16.0
Leukosit 17,500 4.5-11.0
Hematocrit 36,5 36-46
Trombosit 55 150-450
Faal Ginjal
Kreatinin Serum 0,89 0.7-1.4
BUN 11 10-20
GDA 94 <200

24
Faal Hati
Albumin 2,0 3.3-3.7
SGOT 914 <3.5
SGPT 346 <40
Serologi
Dengue Blood IgG = Non Reaktif Negatif
IgM = Non Reaktif
Imunologi
NS 1 Non Reaktif Negatif
Hbs-Ag Non Reaktif Negatif
Urine Lengkap
Warna urine Kuning muda Kuning muda
kejernihan Jernih Jernih
Berat jenis 1.010 1.003-1.030
ph 7.0 5-8.5
Glukosa Negatif Negatif
Protein +3 Negatif
Urobilinogen 0.2 Negatif
Bilirubin Negatif Negatif

4.5 Diagnosis
Diagnosis : P2002 Post partum spontan B h-1 dengan PEB + HELLP
Syndrome +Hipoalbumin+
Trombositopeni+Hiperbilirubinemia+gross hematuria

4.6 Penatalaksanaan
Planning :
• Tx :
IVFD RL 20 tpm

25
tranfusi FFP 4 kolf/ hari s/d Trombosit >100.000
tranfusi Alb. 20 % 100cc/hari s/d Alb>3
Injeksi Dexamethasone 10mg-10mg-5mg-5mg (selang 12 jam)
p/o cefadroxil 2x1
p/o asam mefenamat 3x500mg
p/o vit e 3x1
Pemeriksaan laboratorium berkala DL, Faal Ginjal, Faal Hepar
• Observasi Tanda tanda vital, perdarahan, kejang
• Konsul sejawat Sp.PD
• KIE: Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang kondisi dan rencana
tindakan

26
4.7 Lembar Follow Up
Pemeriksaan Penunjang Rs. Soebandi
Laboratorium Hasil Nilai Normal
(27/11/2017)
DL
Hb 14.5 12.0-16.0
Leukosit 18.100 4.5-11.0
Hematocrit 40.4 36-46
Trombosit 24 150-450
Faal Ginjal
Kreatinin Serum 0,9 0.7-1.4
BUN 23 10-20
GDA 101 <200
Faal Hati
Albumin 2,9 3.4-4.8
SGOT 394 10-31
SGPT 234 9-36
Bil Direk 5.98 0.2-0.4
Bilirrubin total 8.11 <1.2
Serologi
Dengue Blood IgG = Non Reaktif Negatif
IgM = Non Reaktif
Imunologi
NS 1 Non Reaktif Negatif
Hbs-Ag Non Reaktif Negatif
Urine Lengkap
Warna urine Kuning agak keruh Kuning jernih
Berat jenis 1.010 1.003-1.030
ph 6.0 4.8-7.5
Glukosa Normal Negatif

27
Protein +3 Negatif
Urobilinogen 0.2 Negatif
Urobilin Normal Negatif
Bilirubin Normal Negatif
Nitrit Normal Negatif
Keton Normal Negatif
Blood Makros Positif 3 Negatif

28
Nama pasien : Ny. IR
Ruang kelas : Dahlia
Dignosis : P2002 Post partum spontan B h-1 dengan PEB + HELLP
Syndrome +Hipoalbumin+ Trombositopeni+Hiperbilirubinemia+gross hematuria

Tanggal/jam Catatan Observasi


28 November 2017 S : BAK merah (-), perdarahan gusi (-)
07.00 O : anemis/icterus/cyanosis/dipsneu (-/+/-/- ),
tak tampak perdarahan di gusi
Laboratorium 07.20
T :120/70, N:84x/menit, RR:20x/menit,
DL
Hb 13.8 S : 36,7°C
Abd : tfu 2 jari bawah pusat, UC baik
Leu 17.900 Gen : fluksus + sedikit
HCT 37.8 A : P2002 Post partum spontan B h-1 dengan
Trombosit 29 PEB + HELLP Syndrome +Hipoalbumin+
Faal Hepar Trombositopeni+Hiperbilirubinemia
Alb 2.0
Px : - Perawatan di ROI
Laboratorium 14.20
DL - IVFD NS 10 tpm
Hb 11.1 - tranfusi FFP 4 kolf/ hari s/d Trombosit
Leu 17.000 >100.000
HCT 31.5 - tranfusi Alb. 20 % 100cc/hari s/d Alb>3
Trombosit 49 - Injeksi Dexamethasone 10mg-10mg-5mg-
PPT 5mg (selang 12 jam)
Ppt 9.0
- Injeksi Asam Tranexamat 3x 500mg
penderita
Ppt kontrol 9.5 - p/o cefadroxil 2x1
APTT - p/o asam mefenamat 3x500mg
Appt 27.8
penderita
Appt 26.5 Konsul IPD:
kontrol - Inj SNMC 2x1
- Transfusi TC 5kolf/hr
- Raber Interna
- Cek ptt, aptt

29
29 November 2017 S : tidak ada keluhan
07.00 O : anemis/icterus/cyanosis/dipsneu (-/-/-/-), tak
tampak perdarahan di gusi
Laboratorium 07.02
T :160/90, N:74x/menit, RR:20x/menit,
DL
Hb 12.2 S : 36,9°C
Abd : tfu 2 jari bawah pusat, UC baik
Leu 15.300 Gen : fluksus + sedikit
HCT 34.6
Trombosit 93 A : P2002 Post partum spontan B h-1 dengan PEB

Faal Hepar + HELLP Syndrome +Hipoalbumin+ Trombositopeni


Alb 3.1
Px : - Perawatan di R.Nifas
- IVFD NS 10 tpm
- tranfusi FFP 4 kolf/ hari s/d Trombosit
>100.000
- tranfusi Alb. 20 % 100cc/hari s/d Alb>3
- Injeksi Dexamethasone 3x1
- Injeksi Asam Tranexamat 3x 500mg
- p/o cefadroxil 2x1
- p/o asam mefenamat 3x500mg
- p/o nifedipin 3x10mg
- p/o metil dopa 3x500mg

Tterapi IPD:
- Tx lanjut
- Transfusi TC stop

30
30 November 2017 S : tidak ada keluhan
07.00 O : T :130/80, N:74x/menit, RR:20x/menit,
S : 36,9°C
Laboratorium 07.02 Abd : tfu 2 jari bawah pusat, UC baik
DL Gen : fluksus + sedikit
Hb 13.6
Leu 13.700 A : P2002 Post partum spontan B h-1 dengan PEB

HCT 35.8 + post HELLP Syndrome

Trombosit 101
Px :
Faal Hepar
Alb 3.3 - IVFD NS 10 tpm
- p/o cefadroxil 2x1
- p/o asam mefenamat 3x500mg
- p/o nifedipin 3x10mg
- p/o metil dopa 3x500mg
- KRS

Konsul IPD:
- Tx P/o SNMC 3x1
- KRS

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Saifuddin, A.B., Rachimhadhi, T., Winknjosastro, G.H., editors. Ilmu


Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi ke-4. Jakarta : PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. Hal. 532-535.
2. Habli, M., Sibai, B.M. 2008. Hypertensive Disorders of Pregnancy. In:
Danforth’s obstetrics and gynecology. 10th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins, 2008: 258-266
3. T. Gupta, Gupta N, dkk. 2013.Maternal And Perinatal Outcome In Patients
With Severe Preeclampsia/ Eclampsia With And Without Hellp Syndrome.
Journal of Universal College of Medical Sciences Vol.1 No.04
4. Cunningham, Leveno,Bloom, Hauth, Hipertensi dalam kehamilan. Dalam
Obstetri Williams. Volume 2. Penerbit Buku Kedokteran.2013 : 754-756.
5. Sibai, Baha. A practical plan to detect and manage HELLP syndrome. Journal
Obg Management.
6. Sibai. Diagnosis, Controversies, and Management of the Syndrome of
Hemolysis, Elevated Liver Enzymes, and Low Platelet Count. The American
College of Obstetricians and Gynecologists. Journal. Vol. 103, No. 5, Part 1,
May 2004
7. Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu Kebidanan. Edisi 4. Jakarta ; PT Bina Pustaka;
2009. Hal. 530-50.
8. Roberts, J.M., Hubel, C.A. 2004. Oxidative Stress in Preeclampsia.
American Journal of Obstetrics and Gynecology, 190:1177– 8.
9. Hemant S , Chabi S, Frey D. Hellp syndrome. J Obstet Gynecol India Vol. 59,
No. 1 : Januari 2009 pg 30-40.
10. Pre-eclampsie en het HELLP-syndroom – Engels Pre-eclampsia and HELLP-
syndrome. www.isala.nl

32

Anda mungkin juga menyukai