Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Hipertensi dalam kehamilan merupakan salah satu kondisi yang paling umum terjadi
dalam kehamilan.1 Berdasarkan data dari World Health Organization pada tahun 2019,
hipertensi dalam kehamilan merupakan salah satu penyebab terbanyak dari morbiditas dan
mortalitas ibu dan perinatal di seluruh dunia, terutama di negara-negara berkembang.2 Di
United States, hipertensi dalam kehamilan terjadi pada 10% dari seluruh kehamilan.3
Hipertensi dalam kehamilan diklasifikasikan menjadi 4, yaitu hipertensi gestasional,
hipertensi kronik, preeklampsia dan eklampsia, dan preeklampsia superimposed.4
Sindrom HELLP merupakan salah satu komplikasi dari preeklampsia. Sindrom
HELLP merupakan preeklampsia yang disertai dengan tanda-tanda nekrosis dari sel hepar.1,4
Prevalensi dari sindrom HELLP bervariasi, yaitu sebesar 0,5-0,9% dari jumlah seluruh
kehamilan, dan sebesar 10-20% terjadi sebagai lanjutan/komplikasi kasus preeklampsia
berat.5 Masih belum terdapat definisi definitif terkait sindrom HELLP. Sindrom HELLP
dikarakteristikkan dengan adanya hemolisis, peningkatan enzim liver, dan trombositopenia. 1,4
Wanita hamil dengan sindrom HELLP mungkin memiliki gejala yang tidak spesifik,
seperti malaise dan flu-like syndrome, sehingga sindrom HELLP masih memerlukan
perhatian khusus terkait komplikasi yang mungkin terjadi. 5 Tenaga kesehatan harus
mempertimbangkan sindrom HELLP pada pasien yang tidak memiliki gejala preeklampssia
klasik karena sebanyak 12% hingga 18% wanita dengan kondisi normotensi dan sebanyak
13% tidak memiliki proteinuria. Meskipun sindrom HELLP dapat dianggap sebagai subtipe
preeklampsia, diagnosis sindrom HELLP atipikal dapat ditegakkan tanpa memenuhi kriteria
tekanan darah untuk diagnosis preeklampsia.3
Wanita hamil dengan sindrom HELLP memiliki prognosis hasil kehamilan yang lebih
buruk dan terkadang dapat berkembang menjadi keadaan gawat darurat yang mengancam
nyawa. 6
Komplikasi dari sindrom HELLP yang dapat terjadi, antara lain berupa eklampsia,
solusio plasenta, persalinan prematur, koagulopati, stillbirth, BBLR, IUGR, gagal ginjal akut,
perdarahan intraserebral, edema pulmonal, ARDS, sepsis, stroke, dan kematian perinatal.4,7,8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1
2.1 Hipertensi dalam Kehamilan
Hipertensi dalam kehamilan umumnya merupakan kelompok spektrum luas dari wanita
hamil yang mengalami peningkatan tekanan darah. Hipertensi dalam kehamilan
dikarakteristikan dengan peningkatan tekanan darah sistolik 140 mmHg atau peningkatan
tekanan darah diastolik 90 mmHg dalam minimal dua kali pemeriksaan dimana antara satu
pemeriksaan dan pemeriksaan selanjutnya memiliki berjarak 4-6 jam pada wanita hamil yang
sebelumnya memiliki tekanan darah yang normal / normotensi.1,4,9
Hipertensi dalam kehamilan terbagi menjadi 4, yaitu: hipertensi gestasional,
hipertensi kronik, preeklampsia dan eklampsia, dan preeklampsia superimposed. 1,4,9
 Hipertensi gestasional
Merupakan hipertensi dalam kehamilan yang muncul pada usia kehamilan >20
minggu dan tanpa disertai proteinuria. pada wanita yang sebelumnya tidak memiliki
riwayat hipertensi.
 Hipertensi kronik merupakan hipertensi dalam kehamilan yang muncul pada usia
kehamilan <20 minggu dan tanpa disertai proteinuria atau merupakan hipertensi yang
telah terjadi sebelum kehamilan. Hipertensi kronik dapat menetap sampai 12 minggu
pasca persalinan.
 Preeklampsia dan eklampsia merupakan hipertensi hipertensi gestasional yang disertai
dengan proteinuria. Eklampsia merupakan hipertensi dalam kehamilan yang disertai
dengan kejang umum dan/atau koma. Perlu diingat bahwa pada eklampsia, kejang
tidak disebabkan oleh kondisi lain. Klasifikasi terbaru menyebutkan bahwa
berdasarkan waktu terjadinya, preeklampsia terbagi menjadi preeklampsia onset dini
dan onset lambat. Preeklampsia berdasarkan manifestasi klinis yang diamati, terbagi
menjadi preeklampsia dan preeklampsia berat atau preeklampsia dengan gejala berat.
 Preeklampsia superimposed merupakan hipertensi hipertensi kronik yang disertai
dengan proteinuria.

2
Tabel 1. Perbedaan Preeklampsia dan Preeklampsia Berat4

2.2 Sindrom HELLP


2.2.1 Definisi
Sindrom HELLP merupakan salah satu komplikasi dari preeklampsia. Sindrom HELLP
merupakan preeklampsia yang disertai dengan tanda-tanda nekrosis dari sel hepar. 1,4 Masih
belum terdapat definisi definitif untuk mendefinisikan sindrom HELLP. 1,4
Sindrom HELLP dikarakteristikkan dengan 3 komponen, yaitu: 1,4
1. Hemolisis
2. Peningkatan enzim liver
3. Trombositopenia.

2.2.2 Epidemiologi
Prevalensi dari sindrom HELLP bervariasi, yaitu sebesar 0,5-0,9% dari jumlah seluruh
kehamilan, dan sebesar 10-20% terjadi sebagai lanjutan/komplikasi kasus preeklampsia
berat.5 Sindrom HELLP dapat muncul dalam berbagai tahap kehamilan, yaitu pada kehamilan
cukup bulan (18%), prematur (53%, termasuk 11% sebelum usia kehamilan mencapai 27
minggu), atau pascapartum (30%).3
Tenaga kesehatan harus mempertimbangkan sindrom HELLP pada pasien yang tidak
memiliki gejala preeklampssia klasik karena sebanyak 12% hingga 18% wanita dengan

3
kondisi normotensi dan sebanyak 13% tidak memiliki proteinuria. Meskipun sindrom HELLP
dapat dianggap sebagai subtipe preeklampsia, diagnosis sindrom HELLP atipikal dapat
ditegakkan tanpa memenuhi kriteria tekanan darah untuk diagnosis preeklampsia.3

2.2.3 Faktor Resiko


Faktor risiko dari sindrom HELLP termasuk: 5,8,10
 Wanita berusia >35 tahun
 Nullipara
 Riwayat Hipertensi kronis
 Penyakit ginjal
 Obesitas dan resistensi insulin
 Diabetes mellitus
 Riwayat trombofilia
 Riwayat merokok.
 Kehamilan dengan pasangan yang berbeda
 Riwayat hipertensi dalam kehamilan sebelumnya
 Riwayat abortus sebelumnya
 Kehamilan ganda
 Riwayat keluarga dengan preeklampsia

2.2.4 Etiopatogenesis
Preeklampsia dan sindrom HELLP memiliki gambaran utama berupa remodeling
vaskular fisiologis yang tidak sempurna pada alas plasenta dan angiogenesis yang
menyimpang. Telah disetujui bahwa kadar protein angiogenik dan antiangiogenik yang
bersirkulasi berkorelasi baik dengan tingkat keparahan penyakit.11
Mekanisme penting yang terlibat dalam patogenesis preeklampsia adalah kerusakan
plasentasi dalam, yang ditandai dengan persistensi dari endotel pada arteri spiralis plasenta.
Pathogenesis dari preeklampsia terbagi menjadi 3 tahap, yaitu: 11

1. Tahap 1: defek remodeling arteri spiralis dan retensi endotel


Penelitian-penelitian yang telah ada sebelumnya menunjukkan bahwa perubahan
fisiologis pada preeklampsia cenderung terbatas pada segmen desidua arteri spiralis.
Ketidaksempurnaan dari proses remodeling di bagian zona junctional arteri spiralis

4
disebut sebagai defek dari plasentasi dalam. Patogenesis dari defek dari plasentasi
dalam diduga disebabkan oleh gangguan invasi trophoblas, interaksi kombinasi
spesifik antara reseptor killer imunoglobulin-like poligenik ibu dan antigen leukosit
manusia janin, kurangnya prekondisi uterus dan gangguan desidualisasi, dan
penyakit metabolik dan kardiovaskular ibu yang sudah ada sebelumnya.
Preeklampsia juga dikaitkan dengan proses nekrotik di arteri spiralis uteroplasenta
karena hipertensi akut.
Persistensi dari sel endotel yang teraktivasi yang melepaskan agen vasokonstriksi
kemungkinan besar bertanggung jawab untuk mempercepat penyakit selama
trimester kedua kehamilan.
2. Tahap 2: stres oksidatif plasenta
Kondisi ini menunjukkan bahwa kegagalan aliran darah uteroplasenta menyebabkan
hipoksia relatif di jaringan trofoblas, dan akan menimbulkan respon stres oksidatif
di seluruh plasenta. Hasil akhir dari proses ini adalah pembuluh darah fetoplasenta
yang reaktif dan tidak normal. Peningkatan stres oksidatif berdampak negatif pada
reaktivitas vaskular, aliran darah, dan pengiriman oksigen dan nutrisi ke janin.
Faktor-faktor yang diduga dapat memicu jalur stres oksidatif di dalam plasenta
adalah peningkatan faktor endotelin-1 di sirkulasi, dan peningkatan produksi
reseptor tirosin kinase Fms-like terlarut (sFlt-1) oleh plasenta, dimana bertentangan
dengan faktor-faktor proangogenik seperti faktor pertumbuhan endotel vaskular dan
faktor pertumbuhan plasenta.
3. Tahap 3: manifestasi biokimia dan klinis dari preeklampsia
Penelitian-penelitian yang ada menunjukkan bahwa proses endoteliosis dalam
sirkulasi sistemik akan mengganggu keseimbangan antara agen vasodilator yang
berasal dari endotel (oksida nitrat, prostasiklin, dan faktor hiperpolarisasi) dan agen
vasokonstriktor (endotelin-1 dan tromboksan-A2), yang akan menyebabkan
peningkatan vasokonstriksi, hipertensi, dan manifestasi klinis lainnya dari
preeklampsia.
Sejumlah faktor risiko genetik, demografis, dan lingkungan merupakan faktor-
faktor yang dapat berkontribusi terhadap disfungsi endotel melalui berbagai
mekanisme, termasuk penyimpangan integrin utero-plasenta, sitokin, dan
metaloproteinase mitreks (MMPs).
Peningkatan ekspresi MMP-2 dan MMP-9 sebagai respon terhadap sinyal estrogen
dan progesteron dalam ehamilan berkaitan dengan terjadinya vasodilatasi,
5
plasentasi, dan ekspansi uterus. Pada kehamilan patologis, terjadi penurunan kadar
MMP-2 dan MMP-9 vaskular dimana proses ini akan mengganggu remodeling
arteri spiralis. Pada akhirnya, terjadi ketidakseimbangan antara faktor
antiangiogenik (sFlt-1 dan endoglin terlarut) dan proangiogenik (faktor
pertumbuhan endotel vaskular dan faktor pertumbuhan plasenta) yang memicu
terjadinya peningkatan mediator inflamasi, spesies oksigen reaktif, dan autoantibodi
agonistik terhadap reseptor angiotensin-II tipe 1. Faktor-faktor yang bersirkulasi ini
menargetkan sel-sel otot polos endotel dan vaskular, menyebabkan disfungsi
vaskular, peningkatan vasokonstriksi, dan hipertensi pada kehamilan.

Kerusakan pada sel endotelial vaskular oleh faktor anti-angiogenik dan paparan TNFa
disertai dengan aktivasi dari VWF akan menyebabkan terjadinya mikroangiopati trombotik
pada sindrom HELLP. 10
Sel-sel darah merah akan terfragmentasi saat melewati pembuluh darah dengan
endotelium dan fibrin yang rusak, yang akan menyebabkan kondisi anemia hemolitik
mikroangiopati (MAHA). Hemolisis dapat menyebabkan anemia dan meningkatkan kadar
laktat dehidrogenase (LDH). Hemoglobin bebas akan berikatan dengan bilirubin tak
terkonjugasi di dalam limpa, atau haptoglobin di dalam plasma darah. Produk dari hemolisis
intravaskular ini nantinya akan mengaktivasi proses koagulasi dan meningkatkan risiko
DIC.10
Cedera hepatosit akan terjadi dan disebabkan oleh FasL yang berasal dari plasenta
(CD95L) dan merupakan komponen toksik bagi sel hepatosit. FasL memicu produksi TNFa
yang dapat menginduksi apoptosis dan nekrosis hepatosit. Kerusakan sel hepatosit akan
semakin diperberat oleh mikroangiopati yang menghambat aliran darah dari pembuluh darah
portal.10,12
Disfungsi ginjal pada sindrom HELLP disebabkan oleh proses endoteleliosis dari
glomerulus. 10,12

Gambar 1.Patogenenis Sindrom HELLP10

6
2.2.5 Gejala Klinis
Sindrom HELLP biasanya memberikan gejala klinis pada saat usia kehamilan
memasuki trimester kedua (bentuk onset dini) atau trimester ketiga (bentuk onset lambat),
yaitu pada saat usia gestasi lebih dari 20 minggu.5
Gejala klinis dari sindrom HELLP adalah terdapat nyeri kolik di abdomen kuadran
perut kanan atas atau nyeri kolik di abdomen di kuadran epigastrium, mual, dan muntah,
edema. Hingga 30-60% memperlihatkan gejala berupa nyeri kepala dan sekitar 20%
memperlihatkan gejala visual.5,7,2
Gejala klinis dari sindrom HELLP bervariasi. Wanita hamil dengan sindrom HELLP
mungkin memiliki gejala yang tidak spesifik, seperti malaise dan flu-like syndrome, sehingga
sering kali di diagnosis menjadi penyakit yang lain.5,12

2.2.6 Diagnosis dan Klasifikasi Diagnosis


Untuk menegakkan diagnosis terkait sindrom HELLP, kriteria diagnosis hipertensi dalam
kehamilan pertama-tama harus terpenuhi7, yaitu dimana terjadi peningkatan tekanan darah
sistolik 140 mmHg atau peningkatan tekanan darah diastolik 90 mmHg dalam minimal dua
kali pemeriksaan dimana antara satu pemeriksaan dan pemeriksaan selanjutnya memiliki
berjarak 4-6 jam pada wanita hamil yang sebelumnya memiliki tekanan darah yang normal /
normotensi.1,4,9. Namun perlu diperhatikan bahwa tanda-tanda lain pada preeklampsia, seperti
proteinuria merupakan tanda yang tidak spesifik, dan terkadang tidak ditemukan pada

7
sindrom HELLP.7,10 Hipertensi dalam kehamilan didefinisikan peningkatan tekanan darah
>140/90 mmHg selama kehamilan, dan akan kembali normal pasca partum.1,4,10
Sindrom HELLP memiliki dua klasifikasi, yaitu menurut Mississippi dan Tennessee.
Klasifikasi berdasarkan Mississippi membagi sindrom HELLP menjadi 3, yaitu ringan,
sedang, dan berat. Klasifikasi berdasarkan Tennessee membagi sindrom HELLP menjadi 2,
yaitu sindrom HELLP komplit dan parsial. 10

 Klasifikasi Sindrom HELLP menurut Mississippi:7,10


Parameter Ringan Sedang Berat
Trombosit 100.000 – 150.000 /µL 50.000 – 100.000 /µL < 50.000 /µL
AST atau
> 40 IU/L > 70 IU/L > 70 IU/L
ALT
LDH > 600 IU/L > 600 IU/L > 600 IU/L
Perdarahan - 8% 13%
7,10
Tabel 3. Klasifikasi Sindrom HELLP (Mississippi)

 Klasifikasi Sindrom HELLP menurut Tennessee:10


1. Sindrom HELLP komplit
a. Trombosit < 100.000/ µL
b. AST atau ALT > 70 IU/L
c. LDH > 600 IU/L atau bilirubin >0,2 mg/dL
2. Sindrom HELLP parsial
Tidak memenuhi ketiga kriteria sindrom HELLP pada sindrom HELLP komplit.
a. ELLP:
o Tidak terdapat hemolisis
o Terdapat peningkatan enzim liver
o Terdapat trombositopenia,
b. EL:
o Tidak terdapat hemolisis
o Terdapat peningkatan enzim liver
o Tidak terdapat trombositopenia
c. LP:
o Tidak terdapat hemolisis
o Tidak terdapat peningkatan enzim liver
o Terdapat trombositopenia,

8
d. HEL:
o Terdapat hemolisis
o Terdapat peningkatan enzim liver
o Tidak terdapat trombositopenia,

2.2.7 Tatalaksana
Tatalaksana awal terhadap wanita yang didiagnosa dengan sindrom HELLP harus
dimulai dengan tatalaksana umum terkait hipertensi dalam kehamilan.1,4,6
 Tatalaksana umum hipertensi dalam kehamilan9
o Pencegahan dan tatalaksana kejang
 Bila terjadi kejang, perhatikan jalan napas, pernapasan (oksigen), dan sirkulasi
(cairan intravena).
 MgSO4 diberikan secara intravena kepada ibu dengan eclampsia (sebagai
tatalaksana kejang) dan preeklampsia berat (sebagai pencegahan kejang).
 Pada kondisi dimana MgSO4 tidak dapat diberikan seluruhnya, berikan dosis
awal (loading dose) lalu rujuk ibu segera ke fasilitas kesehatan yang memadai.
 Lakukan intubasi jika terjadi kejang berulang dan segera kirim ibu ke ruang
ICU (bila tersedia) yang sudah siap dengan fasilitas ventilator tekanan positif.

Gambar 2.Cara Pemberian MgSO49

9
o Obat Antihipertensi
 Ibu dengan hipertensi berat selama kehamilan perlu mendapat terapi
antihipertensi.
 Pilihan antihipertensi didasarkan terutama pada pengalaman dokter dan
ketersediaan obat. Beberapa jenis antihipertensi yang dapat digunakan
misalnya: nifedipine, nikardipin, metildopa. Antihipertensi golongan ACE
inhibitor (misalnya kaptopril), ARB (misalnya valsartan), dan klorotiazid
dikontraindikasikan pada ibu hamil.

10
Tabel 4.Obat Antihipertensi9

 Ibu yang mendapat terapi antihipertensi di masa antenatal dianjurkan untuk


melanjutkan terapi antihipertensi hingga persalinan

o Pertimbangan persalinan/terminasi kehamilan

 Pada ibu dengan eklampsia, bayi harus segera dilahirkan dalam 12 jam sejak
terjadinya kejang.

 Induksi persalinan dianjurkan bagi ibu dengan preeklampsia berat dengan


janin yang belum viable atau tidak akan viable dalam 1-2 minggu.

 Pada ibu dengan preeklampsia berat, di mana janin sudah viable namun usia
kehamilan belum mencapai 34 minggu, manajemen ekspektan dianjurkan,
asalkan tidak terdapat kontraindikasi. Lakukan pengawasan ketat.

 Pada ibu dengan preeklampsia berat, di mana usia kehamilan antara 34 dan 37
minggu, manajemen ekspektan boleh dianjurkan, asalkan tidak terdapat
hipertensi yang tidak terkontrol, disfungsi organ ibu, dan gawat janin. Lakukan
pengawasan ketat.

 Pada ibu dengan preeklampsia berat yang kehamilannya sudah aterm,


persalinan dini dianjurkan.

 Pada ibu dengan preeklampsia ringan atau hipertensi gestasional ringan yang
sudah aterm, induksi persalinan dianjurkan.

11
Gambar 3.Algoritma Manajemen Ekspektatif9

 Tatalaksana khusus sindrom HELLP9


o Terminasi kehamilan sebaiknya dilakukan dalam 24-48 jam setelah diagnosis
ditegakkan.4
o Evaluasi mencakup hitung darah lengkap dan pengujian transaminase hati.
Pemeriksaan koagulasi intravaskular diseminata (fibrinogen, waktu protrombin,

12
waktu tromboplastin parsial) pada wanita dengan perdarahan abnormal atau jumlah
trombosit kurang dari 50 × 103 per µL (50 × 109 per L). 3
o Wanita dengan sindrom HELLP harus menerima MgSO4 sejak masuk rumah sakit
hingga 24 hingga 48 jam pascapartum..3
o Trombosit diindikasikan untuk mereka dengan jumlah kurang dari 20 × 103 per µL
(20 × 109 per L) sebelum persalinan pervaginam atau kurang dari 50 × 103 per µL
sebelum persalinan sesar atau pada wanita dengan perdarahan abnormal.3
o Anestesi regional dapat digunakan bila jumlah trombosit lebih besar dari 100 × 103
per µL, tetapi harus dihindari jika jumlahnya kurang dari 50 × 103 per µL.3
o Kortikosteroid meningkatkan jumlah trombosit pada wanita dengan sindrom
HELLP, tetapi belum terbukti meningkatkan hasil akhir janin atau ibu kecuali untuk
manfaat yang terbukti pada pematangan paru janin sebelum usia kehamilan 34
minggu.3

2.2.8 Komplikasi
Meskipun jarang, pasien-pasien dengan sindrom HELLP mengalami komplikasi berupa
keadaan gawat darurat berupa infark hepar, ruptur hepar dengan perdarahan yang mengancam
jiwa atau komplikasi lainnya.6
Komplikasi lain dari sindrom HELLP yang dapat terjadi, antara lain berupa eclampsia,
solusio plasenta, persalinan premature, koagulopati, stillbirth, BBLR, IUGR, gagal ginjal
akut, perdarahan intraserebral, edema pulmonal, ARDS, sepsis, stroke, dan kematian
perinatal.4,7,8

2.2.9 Prognosis
Pasien dengan sindrom HELLP memiliki kemungkinan untuk mengalami sindrom
HELLP kembali, yaitu sebesar 2-27% pada kehamilan berikutnya. Menurut penelitian oleh
Malmstrom, et al. yang dilakukan di Norway, kemungkinan berulangnya sindrom HELLP
pada kehamilan selanjutnya adalah sebesar 3,6%.8
Pemantauan dan pengawasan hemodinamik pasca partum terhadap pasien dengan
sindrom HELLP sebaiknya dilakukan terakit komplikasi-komplikasi yang mungkin muncul.4,8

BAB III
13
KESIMPULAN

Hipertensi dalam kehamilan umumnya merupakan kelompok spektrum luas dari


wanita hamil yang mengalami peningkatan tekanan darah. Hipertensi dalam kehamilan
dikarakteristikan dengan peningkatan tekanan darah sistolik 140 mmHg atau peningkatan
tekanan darah diastolik 90 mmHg dalam minimal dua kali pemeriksaan dimana antara satu
pemeriksaan dan pemeriksaan selanjutnya memiliki berjarak 4-6 jam pada wanita hamil yang
sebelumnya memiliki tekanan darah yang normal / normotensi. Berdasarkan data dari World
Health Organization pada tahun 2019, hipertensi dalam kehamilan merupakan salah satu
penyebab terbanyak dari morbiditas dan mortalitas ibu dan perinatal di seluruh dunia,
terutama di negara-negara berkembang. Di United States, hipertensi dalam kehamilan terjadi
pada 10% dari seluruh kehamilan.
Hipertensi dalam kehamilan terbagi menjadi 4, yaitu: hipertensi gestasional,
hipertensi kronik, preeklampsia dan eklampsia, dan preeklampsia superimposed
Sindrom HELLP merupakan salah satu komplikasi dari preeklampsia. Sindrom HELLP
ditandai dengan preeklampsia yang disertai dengan terjadi nekrosis dari sel hepar. Sindrom
HELLP dikarakteristikkan dengan terdapat hemolysis, peningkatan enzim liver,
trombositopenia. Wanita hamil dengan sindrom HELLP mungkin memiliki gejala yang tidak
spesifik, sehingga sindrom HELLP masih memerlukan perhatian khusus terkait komplikasi
yang mungkin terjadi. Tatalaksana dari sindrom HELLP berupa tatalaksana umum terkait
hipertensi dalam kehamilan dan terminasi kehamilan sebaiknya dilakukan dalam 24-48 jam
setelah diagnosis ditegakkan.
Wanita hamil dengan sindrom HELLP memiliki prognosis hasil kehamilan yang lebih
buruk. Komplikasi-komplikasi yang mungkin timbul adalah eklampsia, kelahiran prematur,
peningkatan angka mortalitas perinatal, abrupsio plasenta, gagal ginjal akut, stroke,
koagulopati, ARDS, dan sepsis.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Gabbe SJ, Niebyl JR, Simson JL, Landon MB, Galan HL, Jauniaux ER, et al. Obstetrics:
Normal and Problem Pregnancies. 7th ed.. New York: Elsevier; 2017
2. WHO | World Health Statistics 2019: Monitoring health for the SDGs [Internet]. [cited
2020 Okt 2]. Available from:
https://www.who.int/gho/publications/world_health_statistics/2019/en/
3. Leeman L, Dresang LT, Fontaine P. Hypertensive Disorders of Pregnancy. AFP.
2016;93(2):121–7.
4. Cunningham FG, MacDonald PC, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC. Williams
Obstetrics. 24th ed. New York : McGraw-Hill; 2014.
5. Haram K, Mortensen JH, Nagy B. Genetic aspects of preeclampsia and the hellp
syndrome. Journal of Pregnancy. 2014; 910751
6. Wilson SG, White AD, Young AL, Pollard SG. The management of the surgical
complications of HELLP syndrome. Ann R Coll Surg Engl. 2014; 96: 512–6
7. Rimaitis K, Grauslyte L, Zavackiene A, Baliuliene V, Nadisauskiene R, Macas A.
Diagnosis of HELLP syndrome: a 10-year survey in a perinatology centre. Int. J.
Environ. Res. Public Health. 2019 ;16: 109;
8. Malmstrom O, Morken NH. HELLP syndrome, risk factors in first and second
pregnancy: a population-based cohort study. Acta Obstetricia et Gynecologica
Scandinavica. 2018;97: 709-16
9. Kementerian Kesehatan, R. I. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu Di Fasilitas
Kesehatan Dasar Dan Rujukan: Pedoman Bagi Tenaga Kesehatan.1st Ed. 2013.
10. Abildgaard U, Heimdal K. Pathogenesis of the syndrome of hemolysis, elevated liver
enzymes, and low platelet count (HELLP): a review. European Journal of Obstetrics &
Gynecology and Reproductive Biology . 2013 ;166: 117123
11. Brosens I, Brosens JJ, Muter J, Puttemans P, Benagiano G. Preeclampsia: the role of
persistent endothelial cells in uteroplacental arteries. American Journal of Obstetrics and
Gynecology. 2019 ;221(3):219–26.
12. Kota LN, Garikapati K, Kodey PD, Gayathri KB. Study on HELLP syndrome - maternal
and perinatal outcome. Int J Reprod Contracept Obstet Gynecol. 2017;6(2):714-9

15

Anda mungkin juga menyukai