Anda di halaman 1dari 44

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Tingginya angka kematian yang disebabkan hipertensi dalam kehamilan
merupakan masalah di bidang obstetri. Angka Kematian Maternal (AKM) dan
Angka Kematian Perinatal (AKP) merupakan parameter keberhasilan dalam
 pelayanan obstetri. Di samping perdarahan dan infeksi, preeklampsia, impending
eklampsia serta eklampsia merupakan penyebab kematian maternal dan kematian
 perinatal yang tinggi terutama di negara berkembang.1
Keadaan ini tentunya menjadi tantangan bagi kita untuk senantiasa
waspada agar dapat mendeteksi dini secara dini kasus-kasus preeklampsia. Oleh

karena itu, diagnosa dini dari preeklampsia maupun impending eklampsia yang
merupakan tingkat pendahuluan eklampsia serta penanganannya perlu segera
dilaksanakan untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak.1
Eklampsia dan sindroma HELLP merupakan bagian dari klasifikasi
hipertensi dalam kehamilan. Sampai saat ini penyebab eklampsia belum diketahui
secara pasti dan belum dapat menjawab semua pertanyaan memuaskan. Penyebab
utamanya adalah disfungsi vaskuler pada ibu dan dapat menyebabkan penurunan
 perfusi utero plasenta. Tindakan satu-satunya yang dapat memperbaiki sindroma
ini adalah terminasi kehamilan.1

Terminologi HELLP diperkenalkan pertama sekali oleh Weinstein (1982)


yang merupakan singkatan dari hemolisis, elevated liver enzim dan low platelets
counts. Sindrome ini merupakan kumpulan dari gejala multi sustem pada PE berat
dan eklamsi dengan karakteristik trombositopenia, hemolisis (anemia hemolisis
mikro angiopatik) dan system hepar abnormal.1,2
Sibai (1986), melaporkan 4-14 % penderita PE berat mengalami Sindroma
HELLP . Sindroma ini juga dapat muncul pada PE ringan . Sindroma HELLP
selalu dianggap sebagai varian dari PE tetapi sindroma ini juga dapat berdiri
sendiri.1,2

1
1.2. Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan dan manfaat dari laporan kasus ini adalah:
1. Mengetahui bagaimana mendiagnosa kasus-kasus eklampsia dan

 penanganannya
2. Mengetahui komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi pada penderita
eklampsia
3. Mengetahui tentang sindroma HELLP dan penanganannya
BAB 2
EKLAMPSIA

2.1. Definisi
Preeklampsia merupakan gejala yang timbul pada ibu hamil di atas usia 20
minggu, bersalin dan dalam masa nifas yang ditandai dengan adanya: hipertensi
dan proteinuria. Sedangkan seorang wanita dikatakan eklampsia bila memenuhi
kriteria preeclampsia dan disertai dengan kejang-kejang (yang bukan disebabkan
oleh penyakit neurologis seperti epilepsy) dan atau koma. Ibu tersebut
tidak menunjukkan tanda-tanda atau hipertensi sebelumnya. 1,3,4
Istilah eklampsia berasal dari bahasa Yunani dan berarti "halilintar". Kata
tersebut dipakai karena seolah-olah gejala-gejala eklampsia timbul dengan tiba-tiba

tanpa didahului oleh tanda-tanda lain. Secara defenisi eklampsia adalah preeklampsia yang
disertai dengan kejang tonik klonik disusul dengan koma. Eklampsia
merupakan
kasus akut dari penderita preeklampsia yang disertai kejang menyeluruh dan koma.
Pada umumnya kejang didahului oleh makin memburuknya preeklampsia dan
terjadinya gejala-gejala nyeri kepala di daerah frontal, gangguan penglihatan, mual
yang hebat, nyeri epigastrium dan hiperreflexia. Preeklampsia yang diikuti dengan
tanda-tanda ini disebut dengan impending eklampsia.3
Preeklampsia berat adalah preeklampsia dengan salah satu atau lebih
gejala dan tanda di bawah ini:2

1. Tekanan darah dalam keadaan istirahat sistolik ≥ 160mmHg dan diastolik 


≥ 110 mmHg
2. Proteinuria ≥5 gr/ jumlah urine selama 24 jam atau dipstick +4
3. Oliguria: produksi urine 400-500cc/24jam
4. Kenaikan kreatinin serum
5. Edema paru dan sianosis
6. Nyeri epigastrium dan nyeri kuadran kanan atas abdomen
7. Gangguan otak dan visus: perubahan kesadaran, nyeri kepala, scotomata,
dan pandangan kabur 

8. Gangguan fungsi hepar: peningkatan alanin dan aspartat amino


transferase
9. Hemolisis mikroangiopati
10. Trombositopenia < 100.000/mm3

11. Sindroma HELLP

Menurut saat timbulnya, eklampsia dibagi atas:4


1. Eklampsia antepartum (eklampsia gravidarum) yaitu eklampsia yang
terjadi sebelum masa persalinan.
2. Eklampsia intrapartum (eklampsia parturientum) yaitu eklampsia yang
terjadi pada saat persalinan.
3. Eklampsia post partum (eklampsia puerperium) yaitu eklampsia yang
terjadi setelah persalinan, umumnya hanya terjadi dalam waktu 24 jam

 pertama setelah persalinan.

2.2. Frekuensi
Preeklampsia terjadi pada primigravida sebanyak 5,8% dan 0,4% gravida
kedua. Eklampsia adalah komplikasi yang jarang namun serius dari
 preeklampsia serta merupakan penyulit. Menurut WHO pada tahun 1987
insiden preeklampsia dan eklampsia berkisar antara 0,5%-38,4%. Di Amerika
Serikat sekitar 3-5% dari seluruh kehamilan. Satu dari 2000 kehamilan di
Eropa, dan antara 1:100 sampai 1:1700 kehamilan di negara berkembang. Di

Inggris penyakit hipertensi dalam kehamilan menyebabkan 18,6% kematian


ibu, dimana eklampsia menyebabkan 10% kematian tersebut. Insidensi dari
 preeklampsia dan eklampsia lebih tinggi di negara-negara berkembang,
dengan angka kejadian preeklampsia tertinggi di Zimbabwe yaitu 7,1% dari
seluruh kelahiran dan eklampsia di Colombia sebesar 0,81% dari kelahiran. Di
RSUD Pirngadi Medan, insidens preeklampsia dan eklampsia tahun 1990
adalah 6,94% dan tahun 1991 adalah 6,35%. Di RSCM pada tahun 1993-1994
adalah 14,3%.3,4
Frekuensi eklampsia bervariasi antara satu negara dengan negara yang lain.

Frekuensi rendah pada umumnya merupakan petunjuk tentang adanya


 pengawasan antenatal yang baik, penyediaan tempat tidur antenatal yang cukup
dan penanganan preeklampsia yang sempurna. Di negara-negara sedang berkembang
frekuensi dilaporkan berkisar antara 0,3% - 0,7%, sedang di negara-negara

3,4
maju angka tersebut lebih kecil, yaitu 0,05% - 0,1%.

2.3. Etiologi
Sampai saat ini penyebab eklampsia belum diketahui secara pasti dan belum dapat
menjawab semua pertanyaan memuaskan. Zweifel (1916) menyebutkan bahwa
 preeklampsia adalah ”The disease of theories”.3
Teori yang dapat diterima harus dapat menerangkan hal-hal tersebut: 3
1. Sebab bertambahnya frekuensi pada primigravida, kehamilan ganda,
hidramnion dan mola hidatidosa

2. Sebab bertambahnya frekuensi pada bertambahnya usia kehamilan


3. Sebab dapat terjadinya perbaikan keadaan penderita dengan kematian
 janin dalam uterus
4. Sebab jarangnya kejadian-kejadian preeklampsia pada kehamilan-
kehamilan berikutnya
5. Sebab timbulnya hipertensi, edema, proteinuria, kejang dan koma

Saat ini ada 4 hipotesis utama yang paling banyak diteliti :


1.  Iskemik Plasenta

Menurut kelompok Oxford, PE merupakan penyakit plasenta yang terdiri


atas 2 tahap. Pada tahap pertama iskemik mempengaruhi arteri spiralis
sehingga terjadi defisiensi aliran darah utero plasenta. Tahap kedua adalah
merupakan kelanjutan iskemik plasenta baik pada ibu maupun janin.

2. VLDL versus aktivitas anti toksin


Pada PE, asam lemak bebas sudah meningkat 15-20 minggu sebelum onset
 penyakit. Diantara asam lemak bebas ini, asam oleat, asam linoleat dan
asam plamitat meningkat sebesar berturut-turut 37%, 25% dan 25%.

Inkubasi asam linoelat menurunkan kadar monofosfat guanosin siklik pada


endotel sampai 70% sehingga kemampuannya untuk menginhibisi
agregasi platelet sebesar 40%. Plasma albumin merupakan zat isoelektrik dengan
kadar isoelektrik ISO (isoelectric point) pl 4,8 – 5,6. Semakin

 banyak asam lemak bebas terikat ke albumin maka pH 5,6 akan menurun
menjadi 4,8 yang akan mengakibatkan toksisitas VLDL tidak tercegah dan
terjadi PE.

3.  Maladaptasi Imun
Pada manusia, transplantasi organ akan ditolak bila terdapat perbedaan
HLA donor resipien. Pada kehamilan normal tampak bahwa sel-sel
trofoblas yang berhubungan dengan darah ibu tidak mengandung MHC
kelas I dan kelas II alloantigen, sedang yang berhubungan dengan darah

ibu mengandung adalah MHC kelas I positif. Sel-sel desidua


banyak mengandung CD45 yang berasal dari sumsum tulang. Pada endometrium

fase sekresi lanjut akan ditemukan CD56 yang tidak umum dijumpai,

suatu marker leukosit granul besar pada pembuluh darah perifer yang
 bersifat dominan. Leukosit ini sangat mirip dengan ”natural killer – NK”
(penghancur alamiah) sel-sel walaupun tidak sekuat sel-sel NK pada
 pembuluh darah perifer.

4. Genetic Imprinting 
Cooper dan Liston meneliti bahwa penyakit PE dan E diwariskan melalui
suatu gen tunggal. Hipotesa ini baru hanya sampai pada lambat
 berkembang mungkin disebabkan besarnya dana yang dibutuhkan serta
teknologi dan peralatan yang sangat kompleks dan mahal yang dibutuhkan
untuk membuktikan hipotesa ini. Namun menarik untuk diperhatikan
 bahwa salah satu predisposisi PE dan E yang kita kenal bukanlah lagi
 primigravida tetapi ”primi paternal”. Walaupun seorang ibu multigravida,
tetapi bila ia hamil dengan suami yang baru maka ia mempunyai
kemungkinan yang sama besarnya untuk menderita PE/E dibanding
dengan primigravida. Demikian juga kehamilan secara inseminasi buatan
atau bayi tabung dengan menggunakan sperma donor.
2.4. Patofisiologi
Etiologi dan preecl pemicu timbulnya eklampsia masih belum diketahui secara

 pasti. Teori timbulnya preeclampsia harus dapat menjelaskan beberapa hal, yaitu
sebab meningkatnya frekuensi pada primigravida, bertambahnya frekuensi dengan
 bertambahnya usia kehamilan, terjadinya perbaikan dengan kematian janin
intrauterine, sebab timbulnya tanda-tanda preeklampsia.3
Teori-teori yang sekarang banyak dianut adalah:
1. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Pada kehamilan normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi infasi tropoblast
ke dalam lapisan otot arteri spiralis yang menimbulkan degenerasi lapisan otot
sehingga terjadi dilatasi arteri spiralis. Infasi tropoblast juga memasuki jaringan

sekitar arteri spiralis sehingga jaringan matriks menjadi gembur dan memudahkan
umen arteri spiralis mengalami distensi dan dilatasi. Distensi dan vasodilatasi
lumen arteri spiralis ini memberi dampak penurunan tekanan darah, penurunan
resistensi preeklampsia, dan peningkatan aliran darah pada daerah uteroplasenta.
Akibatnya aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga
meningkat, sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin dengan baik. Proses ini
dinamakan “preeclamps arteri spiralis”. Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi
invasi sel-sel trofoblast pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan
matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap kaku dan deras

sehingga lumen arteri spriralis tidak memungkinkan mengalami distensi dan


vasodilatasi. Akibatnya, arteri spiralis preeclam mengalami vasokonstriksi dan
terjadi kegagalan “remodeling arteri spiralis” sehingga aliran darah uteroplasenta
menurun dan terjadilah hipoksia dan iskemik plasenta. Dampak iskemik plasenta
akan menimbulkan perubahan-perubahan yang dapat menjelaskan preeclampsia
hipertensi dalam kehamilan sebelumnya.

2. Iskemik plasenta, radikal bebas dan disfungsi endotel

Sebagaimana dijelaskan pada teori invasi trofoblast, pada hipertensi dalam


kehamilan terjadi kegagalan “remodeling arteri spiralis” dengan akibat plasenta
mengalami iskemia. Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan
menghasilkan oksidan (radikal bebas). Salah satu oksidan penting yang dihasilkan

 plasenta iskemia adalah radikal hidroksil yang sangat toksik, khususnya terhadao
 preeclam sel endotel pembuluh darah. Radikal hidroksil akan merusak preeclam
se yang mengandung banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak.
Peroksida lemak akan merusak preeclam sel juga akan merusak preecla dari
 protein sel endotel. Peroksida lemak sebagai oksidan yang sangat toksis akan
 beredar di seluruh tubuh dalam aliran darah yang akan merusak preeclam sel
endotel. Kerusakan preeclam sel endotel mengakibatkan terganggunya fungsi
endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur sel endotel yang disebut dengan
“disfungsi endotel”, yang akan mengakibatkan terjadinya: gangguan preeclamps

 prostaglandin, agregasi trombosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan,


 perubahan khas pada sel endotel kapiler glomerulus, peningkatan permeabilitas
kapiler, peningkatan produksi bahan-bahan vasopressor dan peningkatan preecl
koagulasi.

3. Teori Intoleransi imunologik antara ibu dan janin


Pada perempuan hamil normal, respon imunologik tidak menolak adanya hasil
konsepsi yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya human leukocyte antigen
 protein G (HLA-G) yang berperan penting dalam modulasi respon imun sehingga

ibu tidak menolak hasil konsepsi. Adanya HLA-G pada plasenta dapat melindungi
trofoblast janin dari lisi oleh sel natural killer ibu. Selain itu adanya HLA-G akan
mempermudah infasi sel trofoblast ke dalam jaringan desidua ibu. Pada hipertensi
dalam kehamilan, terjadi penurunan ekspresi HLA-G. Berkurangnya HLA-G di
desidua daerah plasenta akan menghambat invasi trofoblast ke dalam desidua.

4. Teori adaptasi kardiovaskular preecla


Pada hamil normal, pembuluh darah refrakter terhadap bahan-bahan vasopressor.
Refrakter berarti, pembuluh darah tidak peka terhadap rangsangan bahan

vasopressor atau dibutuhkan kadar vasopressor yang lebih tinggi. Pada hipertensi
dalam kehamilan, kehilangan daya refrakter terhadap bahan vasokonstriktor dan
ternyata kepekaan terhadap bahan vasopressor. Fakta ini dapat dipakai sebagai
 prediksi akan terjadinya hipertensi dalam kehamilan.

5. Teori defisiensi gizi


Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kekurangan gizi berperan dalam
terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Penelitian terakhir membuktikan bahwa
konsumsi minyak ikan dapat mengurangi risiko preeclampsia. Minyak ikan
 banyak mengandung asam lemak tidak jenuh yang dapat menghambat
tromboksan, menghambat aktivasi trombosit dan mencegah vasokonstriksi
 pembuluh darah.

6. Teori inflamasi
Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam sirkulasi
darah merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Pada kehamilan
normal plasenta juga melepaskan debris trofoblast sebagai sisa-sisa proses
apoptosis dan nekrotik trofoblast, akibat reaksi stress oksidatif dimana jumlahnya
masih dalam batas wajar sehingga reaksi inflamasi juga masih dalam batas
normal. Berbeda dengan proses apoptosis pada preeclampsia dimana terjadi
 peningkatan stress oksidatif, sehingga produksi debris apoptosis dan nekrotik juga
meningkat. Hal ini menyebabkan reaksi inflamasi yang jauh lebih besar 

dibandingkan dengan pada hamil normal. Respon inflamasi ini akan mengaktifasi
sel endotel dan sel-sel makrofag, yang lebih besar pula, sehingga terjadi reaksi
sistemik inflamasi yang menimbulkan gejala-gejala preeclampsia.

2.5. Faktor Predisposisi


Seorang gravida cenderung dan mudah mengalami hipertensi dalam kehamilan
 bila mempunyai faktor predisposisi sebagai berikut:1,2,3
1. Primigravida atau nullipara, terutama pada umur reproduksi yang ekstrem,
yaitu umur remaja muda (teenager) atau umur 35 tahun keatas (primitua).

2. Multigravida dengan kondisi klinis:


a. Kehamilan ganda dan hidrops fetalis
 b. Penyakit vaskuler termasuk hipertensi essensial kronik 
c. Penyakit-penyakit ginjal

d. Hidrops fetalis
3. Riwayat keluarga preeklampsia-eklampsia
4. Riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya
5. Faktor nutrisi, genetika, ras dan golongan etnik 

2.6. Gejala dan Tanda


Dua gejala yang sangat penting pada preeklampsia yaitu hipertensi dan
 proteinuria, merupakan kelaninan yang biasanya tidak disadari oleh wanita hamil.
Pada waktu keluhan seperti sakit kepala, gangguan penglihatan atau nyeri

1,3
epigastrium mulai timbul, kelainan tersebut biasanya sudah berat.

Tekanan darah
Kelainan dasar pada preeklampsia adalah vasospasme arteriol, sehingga
tidak mengherankan bila tanda peringatan awal yang paling bisa diandalkan adalah
 peningkatan tekanan darah. Tekanan diastolik mungkin merupakan tanda
 prognostik yang lebih andal dibandingkan tekanan sistolik, dan tekanan diastolik sebesar
90 mmHg atau lebih menetap menunjukkan keadaan abnormal. 1,3

Kenaikan Berat badan


Peningkatan berat badan yang terjadi secara tiba-tiba dapat mendahului serangan
 preeklampsia, dan bahkan kenaikan berat badan yang berlebihan merupakan
tanda pertama preeklampsia pada wanita. Peningkatan berat badan sekitar 0,45
kg per minggu adalah normal tetapi bila melebihi dari 1 kilo dalam seminggu
atau 3 kilo dalam sebulan maka kemungkinan terjadinya preeklampsia harus
dicurigai. Peningkatan berat badan yang mendadak serta berlebihan terutama
disebabkan oleh retensi cairan dan selalu dapat ditemukan sebelum timbul gejala
edema nondependen yang terlihat jelas, seperti kelopak mata yang membengkak,

kedua tangan atau kaki yang membesar. 1,3

10
Proteinuria
Derajat proteinuria sangat bervariasi menunjukkan adanya suatu penyebab

fungsional (vasospasme) dan bukannya organik. Pada preeklampsia awal,


 proteinuria mungkin hanya minimal atau tidak ditemukan sama sekali. Pada
kasus yang paling berat, proteinuria biasanya dapat ditemukan dan mencapai 10
gr/l. Proteinuria hampir selalu timbul kemudia dibandingkan dengan hipertensi
dan biasanya lebih belakangan daripada kenaikan berat badan yang berlebihan. 1,3

 Nyeri kepala
Jarang ditemukan pada kasus ringan, tetapi akan semakin sering terjadi pada
kasus-kasus yang lebih berat. Nyeri kepala sering terasa pada daerah frontalis dan

oksipitalis dan tidak sembuh dengan pemberian analgesik biasa. Pada wanita
hamil yang mengalami serangan eklampsia, nyeri kepala hebat hampir dipastikan
mendahului serangan kejang pertama. 1,3

 Nyeri epigastrium
 Nyeri epigastrium atau nyeri kuadran kanan atas merupaan keluhan yang seting
ditemukan pada preeklampsia berat dan dapat menunjukkan serangan kejang
yang dapat terjadi. Keluhan ini mungkin disebabkan oleh regangan kapsula
hepar akibat edema atau perdarahan. 1,3

Gangguan Penglihatan
Seperti pandangan yang sedikit kabur, skotoma hingga kebutaan sebagian atau
total. Disebabkan oleh vasospasme, iskemia dan perdarahan petekie pada korteks
oksipital. 1,3

Pada umumnya kejang didahului oleh makin memburuknya preeklampsia

dan terjadinya gejala-gejala nyeri kepala di daerah frontal, gangguan penglihatan,

11
mual yang hebat, nyeri epigastrium dan hiperrefleksia. Bila keadaan ini tidak dikenal
dan tidak segera diobati, akan timbul kejang; terutama pada persalinan bahaya ini besar.
Konvulsi eklampsia dibagi dalam 4 tingkat, yakni:3

1. Stadium Invasi (tingkat awal atau aura)


Mula-mula gerakan kejang dimulai pada daerah sekitar mulut dan
gerakan-gerakan kecil pada wajah. Mata penderita terbuka tanpa

melihat, kelopak -mata dan tangan bergetar. Setelah beberapa detik seluruh


tubuh menegang dan kepala berputar ke kanan dan ke kiri. Hal ini berlangsung
selama sekitar 30 detik.

2. Stadium kejang tonik 


Seluruh otot badan menjadi kaku, wajah kaku, tangan menggenggam
dan kaki membengkok ke dalam, pernafasan berhenti, muka mulai
kelihatan sianosis, lidah dapat tergigit. Stadium ini berlangsung kira-kira
20 - 30 detik.

3. Stadium kejang klonik 


Spasmus tonik menghilang. Semua otot berkontraksi dan berulangulang
dalam tempo yang cepat. Mulut terbuka dan menutup, keluar ludah
 berbusa dan lidah dapat tergigit. Mata melotot, muka kelihatan kongesti
dan sianotik. Kejang klonik ini dapat demikian hebatnya sehingga

 penderita dapat terjatuh dari tempat tidurnya. Setelah berlangsung


selama 1 - 2 menit, kejang klonik berhenti dan penderita tidak sadar,
menarik nafas seperti mendengkur.
4. Stadium koma
Lamanya koma ini beberapa menit sampai berjam jam. Secara
 perlahan-lahan penderita mulai sadar kembali. Kadang-kadang antara
kesadaran timbul serangan baru dan akhirnya penderita tetap dalam
keadaan koma

Setelah terjadi koma, penderita tidak akan mengingat serangan kejang


tersebut atau, pada umumnya kejadian sesaat sebelum dan sesudahnya. Seiring
dengan waktu, ingatan ini akan pulih.
Kejang pertama biasanya menjadi pendahulu kejang-kejang berikutnya

yang jumlahnya dapat bervariasi dari satu atau dua pada kasus ringan sampai
 bahkan 100 atau lebih pada kasus berat yang tidak diobati. Pada kasus yang
 jarang, kejang terjadi berurutan sedemikian cepatnya sehingga wanita yang
 bersangkutan tampak mengalami kejang yang berkepanjangan dan hampir kontinu.
Durasi koma setelah kejang bervariasi. Apabila kejangnya jarang, wanita
yang bersangkutan biasanya pulih sebagian kesadarannya setelah setiap serangan.
Sewaktu sadar, dapat timbul keadaan setengah sadar dengan usaha perlawanan.
Pada kasus yang sangat berat, koma menetap dari satu kejang ke kejang lainnya
dan
 pasien dapat meninggal sebelum ia sadar. Meski jarang, satu kali kejang dapat

diikuti oleh koma yang berkepanjangan walaupun, umumnya kematian tidak terjadi


sampai setelah kejang berulang-ulang.
Laju pernafasan setelah kejang eklampsia biasanya meningkat dan dapat
mencapai 50 kali permenit, mungkin sebagai respons terhadap hiperkarbia akibat
asidemia laktat serta akibat hipoksia dengan derajat bervariasi. Sianosis dapat

dijumpai pada kasus yang parah. Demam 39°C atau lebih adalah tanda yang
buruk karena dapat merupakan akibat perdarahan susunan saraf pusat.
Proteinuria hampir selalu ada dan sering parah. Pengeluaran urin
kemungkinan besar berkurang secara bermakna dan kadang-kadang terjadi anuria.
Setelah melahirkan, peningkatan pengeluaran urin biasanya merupakan tanda
awal perbaikan. Proteinuria dan edema biasanya hilang dalam seminggu.
Pada sebagian besar kasus, tekanan darah kembali ke normal dalam beberapa
hari sampai 2 minggu setelah melahirkan. Pada eklampsia antepartum, tanda-
tanda persalinan dapat mulai segera setelah kejang dan berkembang cepat.
Apabila kejang terjadi saat persalinan, frekuensi dan intensitas his dapat
meningkat dan durasi persalinan dapat memendek. Karena ibu mengalami
hipoksemia dan asidemia laktat akibat kejang, tidak jarang janin mengalami
 bradikardia setelah serangan kejang. Keadaan ini biasanya pulih dalam 3 sampai 5

menit; apabila menetap lebih dari 10 menit, kausa lain perlu dipertimbangkan,
misalnya solusio plasenta atau bayi akan segera lahir.1,3,8
Edema paru dapat terjadi setelah kejang eklampsia. Paling tidak terdapat
dua mekanisme penyebab:

1. Pneumonitis aspirasi dapat terjadi setelah inhalasi isi lambung apabila


kejang disertai oleh muntah.
2. Gagal jantung yang dapat disebabkan oleh kombinasi hipertensi berat dan
 pemberian cairan intravena yang berlebihan.
Pada sebagian wanita dengan eklampsia, kematian mendadak terjadi
 bersamaan dengan kejang atau segera sesudahnya akibat perdarahan otak masif.
Perdarahan subletal dapat menyebabkan hemiplegia. Perdarahan otak lebih
besar kemungkinannya pada wanita yang lebih tua dengan hipertensi kronik. Walaupun
 jarang, perdarahan tersebut mungkin disebabkan oleh ruptur aneurisma beri (berry

aneurysm) atau malformasi arteriovena. Pada sekitar 10 persen wanita, sedikit


 banyak terjadi kebutaan setelah serangan kejang. Kebutaan juga dapat timbul
spontan pada preeklampsia paling tidak terdapat dua kausa:
1. Ablasio retina dengan derajat bervariasi
2. Iskemia, infark atau edema lobus oksipitalis
Baik akibat patologi otak atau retina, prognosis untuk pulihnya penglihatan baik dan
biasanya tuntas dalam seminggu.1,3,4

2.7. Diagnosis

Diagnosis eklampsia umumnya tidak mengalami kesukaran. Dengan adanya


tanda dan gejala preeklampsia yang disusul oleh serangan kejang seperti telah
diuraikan, maka diagnosis eklampsia sudah tidak diragukan. Walaupun demikian,
eklampsia harus dibedakan dari:9
1. Epilepsi ; dalam anamnesis diketahui adanya serangan sebelum hamil atau
 pada hamil muda dan tanda preeklampsia tidak ada.
2. Kejang karena obat anestesi; apabila obat anestesi lokal tersuntikkan ke
dalam vena, dapat timbul kejang.
3. Koma karena sebab lain, seperti diabetes, perdarahan otak, meningitis,

ensefalitis dan lain-lain.


2.8. Komplikasi
Komplikasi yang terberat ialah kematian ibu dan janin. Usaha utama ialah

melahirkan bayi hidup dari ibu yang menderita preeklampsia atau eklampsia.
Komplikasi yang tersebut di bawah ini biasanya terjadi pada preeklampsia berat dan
eklampsia3,10
1. Solusio plasenta
Komplikasi ini biasanya terjadi pada ibu yang menderita hipertensi akut
atau lebih sering terjadi pada preeklampsia. Di RS dr. Cipto
Mangunkusumo 15,5% solusio plasenta disertai preeklampsia.
2. Hipofibrinogenemia
Pada preeklampsia berat Zuspan (1978) menemukan 23%

hipofibrinogenemia, maka dari itu penulis menganjurkan


 pemeriksaan kadar fibrinogen secara berkala.
3. Hemolisis
Penderita dengan preeklampsia berat kadang-kadang menunjukkan gejala
klinis hemolisis yang dikenal karena ikterus. Belum diketahui dengan
 pasti apakah ini merupakan kerusakan sel-sel hati atau destruksi sel
darah merah. Nekrosis periportal hati yang sering ditemukan pada
autopsi penderita eklampsia dapat menerangkan ikterus tersebut.
4. Perdarahan otak 

Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal penderita


eklampsia.
5. Kelainan mata
Kehilangan penglihatan untuk sementara, yang berlangsung sampai
seminggu, dapat terjadi. Perdarahan kadang-kadang terjadi pada
retina; hal ini merupakan tanda gawat akan terjadinya apopleksia
serebri.
6. Edema paru
Zuspan (1978) menemukan hanya satu penderita dan 69 kasus eklampsia,

hal ini disebabkan karena payah jantung.


7. Nekrosis hati
 Nekrosis periportal hati pada preeklampsia - eklampsia merupakan akibat
vasospasmus arteriol umum. Kelainan ini diduga khas untuk eklampsia,

tetapi ternyata juga ditemukan pada penyakit lain. Kerusakan sel-sel


hati dapat diketahui dengan pemeriksaan faal hati, terutama penentuan
enzim-enzimnya.
8. Sindroma HELLP, yaitu hemolisis, elevated liver enzymes dan low
 platelet.
9. Kelainan ginjal
Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembengkakan
sitoplasma sel endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya.
Kelainan lain yang dapat timbul ialah anuria sampai gagal ginjal.

10. Komplikasi lain. Lidah tergigit, trauma dan fraktura karena jatuh akibat
kejang-kejang pneumonia aspirasi dan DIC (Disseminated Intravascular 
Coagulation).
11. Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intra uterin.

2.9.  Prognosis
Eklampsia di Indonesia masih merupakan penyakit pada kehamilan dengan
meminta korban besar dari ibu dan bayi. Diketahui kematian ibu berkisar 9,8%
- 25,5% sedangkan kematian bayi lebih tinggi lagi, yakni 42,2% - 48,9%.

Sebaliknya kematian ibu dan janin di negara maju lebih kecil. Kematian ibu
 biasanya disebabkan oleh perdarahan otak, dekompensasio kordis dengan edema
 paru-paru, _ payah ginjal dan masuknya isi lambung ke dalam jalan pernafasan
sewaktu kejang. Sebab kematian bayi terutama oleh hipoksia intrauterine
dan
 prematuritas.3,11

Kriteria Eden
Adalah kriteria untuk menentukan prognosis eklampsia :
1. Koma yang lama (prolonged coma)

2. Nadi diatas 120


3. Suhu 103°F atau 39,4°C atau lebih
4. Tekanan darah di atas 200 mmHg
5. Konvulsi lebih dari 10 kali
6. Proteinuria 10 gr atau lebih
7. Tidak ada edema, edema menghilang
Bila tidak ada atau hanya satu kriteria di atas eklampsia masuk kelas
ringan; bila dijumpai 2 atau lebih masuk kelas berat dan prognosis akan lebih
 jelek. Tingginya kematian ibu dan bayi di negara-negara berkembang disebabkan
oleh kurang sempurnanya pengawasan antenatal dan natal; penderita eklampsia
sering datang terlambat; karenanya terlambat memperoleh pengobatan yang tepat
dan cepat. Biasanya preeklampsia dan eklampsia murni, tidak menyebabkan
hipertensi menahun.3,4

2.10. Pencegahan
Mencegah timbulnya eklampsia jauh lebih penting dari mengobatinya, karena
sekali ibu hamil mendapat serangan, prognosa akan jauh lebih jelek. Pada
umumnya timbulnya eklampsia dapat dicegah, atau frekuensinya dikurangi. 3
Usaha-usaha untuk menurunkan frekuensi eklampsia terdiri dari :
1. Memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat, bahwa eklampsia
 bukanlah penyakit kemasukan (magis), seperti banyak disangka
masyarakat awam.
2. Meningkatkan jumlah poliklinik (balai) pemeriksaan ibu hamil serta
mengusahakan agar semua wanita hamil memeriksakan kehamilannya
sejak hamil muda.
3. Pelayanan kebidanan yang bermutu, yaitu mencari pada tiap-tiap
 pemeriksaan tanda-tanda preeklampsia dan mengobatinya sedini mungkin
 bila dijumpai
4. Mengakhiri kehamilan sedapat-dapatnya pada kehamilan 37 minggu ke
atas, apabila setelah dirawat mondok; tanda-tanda tidak dapat menghilang.

2.11. Penanganan2,4,12
Prinsip penatalaksanaan eklampsia sama dengan preeklampsia berat. Dengan
tujuan utama menghentikan berulangnya serangan konvulsi dan mengakhiri
kehamilan secepatnya dengan cara yang aman setelah keadaan ibu

mengizinkan. Pengobatan hanya dapat dilakukan secara simptomatis karena


 penyebab eklampsia belum diketahui dengan pasti.
Pada dasarnya pengobatan eklampsia terdiri pengobatan medikamentosa
dan obstetrik. Prinsip penanganan eklampsia adalah:
1. Menghentikan dan mencegah kejang
2. Mengatasi hipertensi dan penyulit
3. Mengatasi oksigenasi jaringan/mencegah asidosis
4. Terminasi kehamilan

Dasar-dasar pengelolaan eklampsia menurut Pedoman Pengelolaan Hipertensi di


Batam 2005 :
1. Terapi supotif untuk stabilisasi pada ibu
a. Selalu diingat ABC (Airway, Breathing, Circulation)
 b. Pastikan jalan nafas atas tetap tebruka
c. Mengatasi dan mencegah kejang
d. Koreksi hipoksemia dan academia
e. Mengatasi dan mencegah penyulit, khususnya hipertensi krisis
f. Melahirkan janin pada saat yang tepat dengan cara persalinan yang

tepat.
2. Perawatan kejang:
a. Tempatkan pendenta di ruang isolasi atau ruang khusus dengan lampu
terang
 b. Tempat tidur penderita harus cukup lebar, dapat diubah dalam posisi
trendelenburg dan posisi kepala lebih tinggi
c. Rendahkan kepala ke bawah : diaspirasi lendir dalam orofaring guna
mencegah aspirasi pneumonia
d. Sisipkan spatel lidah antara lidah dan gigi rahang atas

e. Fiksasi badan harus kendor agar waktu kejang tidak terjadi fraktur 
f. Rail tempat tidur harus terpasang dan terkunci dengan kuat.
3. Perawatan koma
a. Derajat kedalaman koma diukur dengan "Glasgow-Coma Scale"

 b. Usahakan jalan nafas atas tetap terbuka


c. Hindari decubitus
d. Perhatikan nutrisi
4. Pengobatan Medisinal
a. MgSO4

1)  Loading dose
- MgSO4 20% (4gr) dalam larutan 10 cc IV/bolus selama 5-10 menit
- MgSO4 40% (4gr) dalam larutan 10 cc IV/bolus selama 5-10 menit
2)  Maintenance dose
- IVFD RL + MgSO4 40% (12gr) 30 cc  14 gtt/i
3)Bila kejang berulang diberikan MgSO4 20% 2 gram IV

Diberikan sekurang-kurangnya 20 menit setelah pemberian terakhir.


Bila setelah diberikan dosis tambahan masih tetap kejang dapat
diberikan Phenobarbital 3-5 mg/kgBb IV perlahan-lahan
 b. Infus Ringer Laktat sebanyak 1000 cc kemudian disambung dengan
Dextrose 5% 500 cc. Jumlah cairan selama 24 jam sekitar 2000 cc.
c. Antibiotika dengan dosis yang cukup
d. Perawatan pada serangan kejang
- Dirawat di kamar isolasi yang cukup tenang
- Masukkan tongue spatel ke mulut penderita
- Kepala direndahkan dan lendir dihisap dari daerah nasofaring
- Fiksasi badan pada tempat tidur harus cukup kendor guna
menghindari fraktur 
- Pemberian oksigen
- Pasang kateter menetap
e. Perawatan pada penderita koma :
- Monitoring kesadaran dan dalamnya koma memakai ”Glasgow
 Pittsburg Coma Scale” Skor Tanda Vital (STV)
- Perlu diperhatikan pencegahan terhadap dekubitus
- Pada koma yang lama (> 24 jam) diberikan makanan melalui naso

gastric tube (NGT) – sonde feeding


f. Diuretikum tidak diberikan kecuali jika terdapat edem paru, gagal
 jantung dan edema anasarka. Anti hipertensi bila setelah pemberian

MgSO4 TD sistole ≥ 180 mmHg atau diastole ≥ 120 mmHg

g. Kardiotonikum (cedilanid) jika ada indikasi


h. Tidak ada respon terhadap penanganan konservatif pertimbangan
seksio sesarea

2.12. Tindakan Obstetrik2 


Pengelolaan eklampsia berdasarkan Pedoman Pengelolaan Hipertensi di Batam
2005 :
1. Semua kehamilan dengan eklampsia harus diakhiri tanpa memandang
umur kehamilan dan keadaan janin
2. Terminasi kehamilan
Sikap dasar: bila sudah terjadi stabilisasi dalam 4-8 jam, yaitu setelah salah
satu atau keadaan dibawah ini :
a. Setelah pemberian obat anti kejang terakhir 
 b. Setelah kejang terakhir 
c. Setelah pemberian obat anti hipertensi terakhir 
d. Penderita mulai sadar 
e. Pada penderita koma dipakai Skor Tanda Vital (STV)
STV = 10 : boleh terminasi
STV = 9 : tunda 6 jam, bila tidak ada perubahan lakukan terminasi
3. Persalinan
Persalinan harus diusahakan segera setelah keadaan pasien stabil.

Cara persalinan :
Bila sudah diputuskan untuk melakukan tindakan aktif terhadap kehamilannya,

20
maka dipilih cara persalinan yang memenuhi syarat pada saat tersebut.
1. Kalau belum inpartu, maka induksi partus dilakukan setelah 4 jam bebas
kejang dengan atau tanpa amniotomi

2. Kala II harus dipersingkat dengan ekstraksi vakum atau ekstraksi forseps.


Bila janin mati embriotomi.
3. Bila serviks masih tertutup dan lancip (pada primi), kepala janin masih
tinggi; atau ada kesan disproporsi sefalopelvik; _ atau ada indikasi obstetrik lainnya;
sebaiknya dilakukan seksio sesaria (bila janin hidup).

BAB 3
SINDROMA HELLP

3.1. Definisi
Definisi dari sindroma HELLP masih kontroversi. Menurut Godlin (1982)
Sindroma HELLP merupakan bentuk awal dari PE berat. Weinstein (1982)
melaporkan Sindroma HELLP merupakan varian yang unik dari PE , tetapi
Mackenna dkk  (1983) melaporkan bahwa sindroma ini tidak berhubungan
dengan PE. Di lain pihak banyak penulis melaporkan bahwa sindroma HELLP

merupakan bentuk lain dari Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) yang

21
terlewatkan karena proses pemeriksaan laboratorium yang tidak adekuat.2,3

3.2. Insidens

Sampai saat ini insidens Sindroma HELLP belum diketahui dengan pasti. Hal ini
disebabkan sindroma ini sulit diduga serta gambaran klinisnya mirip dengan
 penyakit non obstetri.
Menurut Sibai (1964) angka kejadian Sindroma HELLP berkisar antara 4
s/d 14% dari seluruh penderita PE berat, sedangkan angka kejadian Sindroma
HELLP pada seluruh kehamilan adalah 0,2 – 0,6%. Sindroma ini secara bermakna
lebih tinggi pada wanita kulit putih dan multigravida.

3.3. Etiologi dan Patofisiologi1,7,11

Etiologi dan patogenesis dari Sindroma HELLP ini selalu dihubungkan dengan PE,
walaupun etiologi dan patogenesis dari PE sampai saat ini belum dapat
diketahui dengan pasti.
Banyak teori yang dikembangkan dari dulu hingga sekarang
untuk mengungkapkan patogenesis dari PE , namun dalam dekade terakhir ini
perhatian terfokus pada aktivasi atau disfungsi dari sel endotel. Tetapi apa
penyebab
 perubahan sel endotel ini belum diketahui dengan pasti. Saat ini ada 4 hipotesis
yang sedang diteliti untuk mengungkapkan etiologi dari PE, yaitu : iskhemia
 plasenta, Very Low Density Lipoprotein versus aktivitas pertahanan toksisitas,

maladaptasi imun dan penyakit genetic.


Sindroma HELLP ini merupakan manifestasi akhir dari hasil kerusakan
endotel mikrovaskuler dan aktivasi dari trombosit intravaskuler.
Adanya kegagalan invasi dari trofoblas dari trimester kedua dalam
menginvasi tunika muskularis arteri spiralis, menyebabkan vasokonstriksi arterial
 pada bagian uteroplasenta. Kegagalan ini disebabkan oleh gagalnya sel-sel
trofoblas dalam mengekspresikan integrin yang merupakan “ molekul perekat “
(adhesion molecules) atau kegagalan vasculae Endothelial Growth Factor (
VEGF) dalam mengekspresikan integrin.

Keadaan ini menyebabkan penurunan aliran darah intervilus, hipoksia dan


akhirnya terjadi kerusakan sel endotel ibu dan janin. Selanjutnyan mengakibatkan
efek terhambatnya pertumbuhan janin intrauterine (PJT) . Akibat kerusakan dari

endotel ini terjadi pelepasan zat-zat vasoaktif dimana tromboksan (TXA 2)

meningkat dibandingkan dengan prostasiklin (PgI2).

Adanya perubahan respon imun ibu terhadap trofoblas akibat dari


 perubahan “polymorphism” HLA-G (human leucocyte antigens-G) terhadap
trofoblas, menyebabkan terjadinya proses imunologis . Hal ini mengakibatkan
terjadinya gangguan pertumbuhan dan invasi dari trofoblas. Proses imunologis
akibat perubahan respon imun ibu juga mempengaruhi terjadinya kerusakan sel
endotel.
Pada akhirnya terjadilah gangguan sirkulasi sistemik dan gangguan
organ-organ tubuh. Pada Sindroma HELLP , hepar mengalami perubahan berupa
nekrosis parenkhim periportal yang disertai dengan deposit hialin yang besar dari
 bahan seperti fibrin yang terdapat pada sinusoid. Pada penelitian dengan
imunofluorescen dijumpai mikrotrombi fibrin dan deposit fibrinogen pada
sinusoid dan daerah hepatoselluler yang nekrosis. Adanya mikrotrombi dan
deposit fibrin pada sinusoid tersebut menyebabkan obstruksi aliran darah di
hepar yang merupakan dasar terjadinya peningkatan enzim hepar dan nyeri perut
kanan atas. Pada kasus yang berat dijumpai adanya perdarahan intrahepatik,
hematoma subkapsuler atau rupture hepar.
Pada Sindroma HELLP sel darah merah mengalami perubahan
komposisi pada membran sel sehingga lebih fragil. Passase sel darah merah ini
 pada pembuluh darah yang spasme dan mengalami kerusakan endotel serta
agregasi trombosit menyebabkan sel darah merah berubah bentuk dan mudah
menjadi lisis. Jadi hemolisis pada Sindroma HELLP terjadi karena proses
mikroangiaopati.

3.4. Gejala dan Tanda Klinis


Gejala yang paling sering dijumpai adalah nyeri pada daerah epigastrium
atau kuadran kanan atas (90%) , nyeri kepala ,malaise sampai beberapa hari
sebelum dibawa ke rumah sakit (90%), serta mual dan muntah (45 – 86%).1,4
Penambahan berat badan dan edema (60%), hipertensi tidak dijumpai
sekitar 20% kasus , hipertensi ringan (30%) dan hipertensi berat (50%).

Pada beberapa kasus dijumpai hepatomegali , kejang-kejang, jaundice,


 perdarahan gastrointestinal dan perdarahan gusi. Sangat jarang dijumpai
hipoglikemi, koma, hiponatremia, gangguan mental, buta kortikal, dan diabetes
insipidus yang nefrogenik. Edema pulmonum dan gagal ginjal akut biasa
dijumpai pada kasus Sindroma HELLP yang onsetnya postpartum atau
antepartum yang ditangani secara konservatif .1,4
Pemeriksaan laboratorium pada Sindroma HELLP sangat diperlukan ,
karena diagnosa ditegakkan berdasarkan hasil laboratorium. Walaupun saat ini
 belum ada batasan yang tegas mengenai nilai batas untuk masing-masing

 parameter. Hal ini terlihat dari banyaknya penelitian terhadap Sindroma HELLP
yang bertujuan untuk membuat suatu keputusan nilai batas dari masing-masing
 parameter.1,4

3.5. Klasifikasi1,2,7
Ada 2 klasifikasi yang digunakan pada Sindroma HELLP, yaitu
1. Berdasarkan jumlah keabnormalan yang dijumpai.
Audibert dkk (1996 ) melaporkan pembagian Sindroma HELLP
 berdasarkan jumlah keabnormalan parameter yang didapati , yaitu :

Sindroma HELLP murni , bila didapati ketiga parameter berikut :


hemolisis, peningkatan enzim hepar, dan penurunan jumlah trombosit
dengan karakteristik : gambaran darah tepi dijumpainya burr cell ,
schistocyte atau spherocytes: LDH > 600 IU/L ; SGOT > 70 IU/ L ;

 bilirubin > 1,2 ml/dl , dan jumlah trombosit < 100.000/mm 3. Sedangkan
sindroma HELLP parsial yaitu bila dijumpai satu atau lebih tetapi tidak ketiga
parameter Sindroma HELLP.
2. Berdasarkan jumlah trombosit.
Martin (1991) mengelompokkan penderita Sindroma HELLP dalam tiga
kelas ;
Kelas I : jumlah trombosit ≤ 50.000/mm3

Kelas II : jumlah trombosit > 50.000 - ≤ 100.000/mm3

> ≤ 3
Kelas III : jumlah trombosit 100.000 - 150.0 /mm

3.6. Penatalaksanaan1,2,8,9
Bagian obstetri dan ginekologi FK USU/ RS HAM – RSPM membentuk satgas
manajemen Sindroma HELLP dan telah menghasilkan Protokol Manajemen
Sindroma HELLP.

Prinsip penatalaksanaan :
Penanganan dimulai sebagaimana penanganan pada PE berat.

Adanya Sindroma HELLP bukan merupakan indikasi untuk segera melakukan


seksio sesaria. Stabilisasi ibu adalah prioritas utama

Pengobatan Medisinal :
- Tirah baring
- Oksigen
- Kateter menetap
- IVFD : Ringer Asetat , Ringer laktat , Kolloid
- Jumlah input cairan 2000ml/24 jam , berpedoman pada diuresis, insensible

waterloss dan CVP .


- Sulfas Magnesikus
Initial dose:
Loading dose : 4 gr SM 20% IV (4-5 menit)
8 gr SM 40% IM, 4 gr bokong kanan, 4gr bokong kiri
Maintenance dose : 4 gr SM 40% IM setiap 4 jam

- Anti hiperrtensi diberikan jika tekanan darah diastole > 110 mmHg. Dapat
diberikan nifedipine sublingual 10 mg. Setelah 1 jam, jika TD masih tinggi

dapat diberikan nifedifine ulangan 5 – 10 mg sublingual atau oral dengan


intgerval 1 jam, 2 jam atau 3 jam sesuai kebutuhan. Penurunan TD tidak 
 boleh terlalu agresif. TD diastole jangan kurang dari 90 mmHg, penurunan
TD maksimal 30%.

- Diuretikum tidak diberikan kecuali jika ada : Edema paru, gagal jantung
kongestif, edema anasarka.
- Deksametason 10 mg IV dengan interval 12 jam 2 kali pemberian saja.
- N-Acetyl Cystein 3 x 600 mg.

- Jika terjadi penurunn trombosit < 50.000 /mm3 → beri trombosit 10 unit.
- Atasi anemia dengan Fresh Whole Blood
- Antibiotik 
- Jika pasien koma, diberikan perawatan koma di ICU
- Konsul ke bagian interna, hematologi, mata, neurologi
- Jajaki kemungkinan terjadinya DIC. Jika trombosit < 50.000 periksa
kadar fibrinogen, protombine time, partial tromboplastin time, D-Dimer 

Penanganan Obstetrik 
Pada keadaan ibu sudah stabil, tetapkan suatu keputusan apakah dilakukan
terminasi kehamilan atau tindakan konservatif.
Penanganan konservatif dilakukan pada keadaan :
- TD terkontrol < 160/110 mmHg
- Oliguria respon dengan cairan
- Tidak dijumpai nyeri epigatrik 
- Usia kehamilan < 34 minggu
- Jika diputuskan untuk terminasi kehamilan, persalinan diharapkan selesai
dalam 48 jam penanganan.
- Jika servik sudah matang dan tidak ada kontra indikasi obstetri, dilakukan
induksi persalinan dengan oksitosin drips dan amniotomi. Kala II
dipercepat dengan EV/EF.
- Seksio sesarea dilakukan pada :

• Skor pelvic < 5


• Dengan drips oksitosin, setelah 12 jam belum ada tanda-tanda
anak akan lahir pervaginam.

• Indikasi obstetric.

Manajemen SC
- Insisi midline
- Plika vesika uterine dibiarkan terbuka
- Sebaiknya pasang drain abdominal
- Pasien pasca SC dirawat di ICU
- Analgesia dan anastesia
Baik anastesia epidural maupun general dapat diberikan pada pasien
sindroma HELLP, tergantung kondisi ibu. Dengan anestesia epidural
fungsi hemodinamik ibu lebih stabil, namun pada jumlah trombosit <

50.000/mm3 dikhawatirkan terjadi komplikasi epidural hematom sehingga


dapat dipertimbangkan untuk melakukan anestesi general. Pada pasien
yang mengalami edema laring, gemuk dan leher pendek, meskipun jumlah

trombosit < 50.000/ mm3 dilakukan anestesi epidural.

- Bayi ditangani oleh bagian pediatri dan dirawat di Neonatal Intensive Care
Unit.

3.7. Prognosa1,11,12
Angka kematian dan kesakitan ibu dan anak meningkat pada Sindroma HELLP.
Dilaporkan angka kematian ibu pada Sindroma HELLP adalah 1-24%, sedangkan
angka kematian perinatal lebih tinggi lagi yaitu 7,7-60%.
Perubahan nilai laboratorium menunjukkan apakah penyakit ini bertambah
 parah atau membaik.Puncak kemunduran parameter HELLP terjadi dalam 24 s/d
48 jam setelah melahirkan. Berapa lama terjadi pemulihan Sindroma HELLP

tergantung pada beberapa factor antara lain waktu terminasi kehamilan, beratnya
gangguan multi sistemik, pengobatan yang adekuat dan lain-lain. Umumnya nilai
laboratorium parameter Sindroma HELLP kembali normal dalam 3 –5 hari setelah
melahirkan. 

Sibai dkk  (1995) melaporkan penderita dengan normotensif sebelum


menderita Sindroma HELLP mempunyai kemungkinan 19% untuk terjadinya PE,
27% terjadi kelainan hipertensi lainnya dan 3% terjadi Sindroma HELLP pada
kehamilan berikutnya. Tetapi bila penderita Sindroma HELLP dengan riwayat
hipertensi kronik sebelumnya, maka 75% akan terjadi PE dan 5% kemungkinan
terjadi Sindroma HELLP pada kehamilan berikutnya. 

DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham F. Bary; Williams Obstetrics ; 21st edition; McGraw Hill, USA,


2001 in Hypertensive Disorders in Pregnancy ; 567 - 609.
2. Himpunan Kedokteran Feto Maternal POGI; Pedoman Pengelolaan
Hipertensi dalam Kehamilan di Indonesia; edisi kedua; 2005.
3. Winknjosastro H; Ilmu Kebidanan, Edisi Ketiga; Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo Jakarta, 1994 dalam Preeklampsia dan Eklampsia; hal
281 – 301.
4. Mochtar Rustam; Sinopsis Obstetri; Obstetri Fisiologi Obstetri Patologi; Edisi
5; 1995; Penerbit Buku Kedokteran EGC; halaman 218 - 230 .
5. Foley R Michael; Strong Thomas; Obstetric Intensive Care; A

Practical Manual; WB Saunders Company; 1997; page 63 - 75.


6. Miller Alistrair WF; Callander Robin; Obstetrics Illustrated; Fourth edition;
Churchill Livingstone; Hypertension in Pregnancy ; 169 - 175.
7. Cohen Wayne R; Complications of Pregnancy ; Fifth Edition; Lippincott
Williams & Wilkins 2000; Preeklampsia and Hypertensive Disorders ; 207 -
233.
8. Alarm International; a Program to Reduce Maternal Mortality and Morbidity;
Second edition; Pregnancy Induced Hypertension; 85 - 91.
9. Ratnam SS; Arulkumaran S; Problem Oriented Approach to Obstetrics and

Gynaecology ; Oxford University Press; 1997; Hypertension in Pregnancy ;


75 - 79.
10. Saifuddin AB; Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan
 Neonatal; Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; Jakarta 2002.
11. De Cherney AH, Phernol ML. Current Obstetric and Gynecologyic. Diagnosis

and Treatment, 8th ed, Appleton ang Lange, Norwalk 1994 : 380-8

12. Arias Fernando. Preeklampsia and Eklampsia: Practical Guide To High

Pregnancy and Delivery, 2nd ed, Mosby Year Book, 1993: 183-210

LAPORAN KASUS

Tanggal 3 – 4 – 2011 Pukul 23.09 Wib


 Ny. R. 39 thn, G6P5A0, Kristen, SMA, Petani, i/d Tn. B, 42 thn, Batak, Kristen,

SD, Petani. Datang ke IGD RSUP HAM dengan :


KU : Penurunan Kesadaran
T : Hal ini dialami os setelah kejang sebanyak 3 kali, kejang I pada tanggal 2-4-

2011 pukul 19.00 wib dirumah, kejang ke II pada tanggal 2-4-2011 jam 23.00
dirumah, kejang ke III pada tanggal 3-4-2011 jam 06.00 wib dirumah. Kemudian
 pasien dibawa ke RS. Swasta di Brastagi. Riwayat tekanan darah tinggi selama
kehamilan (-), riwayat tekanan darah tinggi selama kehamilan diketahui pada saat

setelah pasien kejang. Riwayat nyeri kepala (+), riwayat mual muntah (+), riwayat
 pandangan kabur (+), pasien merupakan kiriman dari Sp.OG luar dengan diagnosa
 penurunan kesadaran + eklampsia + GMG + KDR (30-32 minggu) + AH +
B.Inpartu.
RPT : Hipertensi (-), DM (-), asma (-)
RPO : IVFD R L + gSO 40% 15cc 28gtt/i
4
M HPHT : ?-9-2010
TTP : ? -6-2011
ANC : 4x b idan

Riwayat Persalinan :
1.♂, aterm, PSP, Bidan, Klinik, 4000 gr, 2 thn, meninggal 2.
♂, aterm, PSP, Bidan, Klinik, 3500 gr, 8 bln, meninggal 3.
♂, aterm, PSP, Bidan, Klinik, 4000 gr, 8 bln, meninggal 4.
♂, aterm, PSP, Bidan, Klinik, 3500 gr, 5,5 thn, meninggal 5.
♂, aterm, PSP, Bidan, Klinik, 3500 gr, 9 thn, sehat
6.Hamil ini

Pemeriksaan Umum
Status Presens :
Sensorium : A patis Anemia : ( -)
TD : 1 50 / 1 10 m mHg Ikterus : ( -)
HR : 9 2 x /menit Sianosis : (- )
RR : 2 4 x /menit Dispnu : (- )
Temperatur : 36,8 0C Edem : (-)
Starus Lokalisata
- Suara pernafasan : Vesikuler - Suara Tambahan : Ronchi (-)

Status Obstetrikus
Abdomen : membesar asimetris
TFU : 3 jari a tas p usat
Teregang : Kanan
Terbawah : Kepala
Gerak : (+)
His : (- )
DJJ : 1 30/i

EBW : 1 600-1800 g ram

VT : Cx tertutup, eff 0%
ST : Lendir darah (-)
Urine:

Hasil Laboratorium (3-4-2011) :


- D arah r utin : - H b : 1 4,5 g r/dl (N : 1 2-16)
-Ht : 41 ,1 % (N : 3 6 -48)

- L eucocyte : 1 7.530 / mm3 (N : 4 -11.103)


- Thrombocyte : 101.000 /mm3 (N:150-400 103)

-F aal H ati : S GOT : 5 3 U /L (N : 0 -40)


SGPT : 45 U /L (N :0 -40)
Bilirubin t otal : 0 .39 g/dl (N : 0 ,00-1,2)
m
g/dl (N : 0 ,05-0,3)
Bilirubin d irek : 0 ,18
m

- F aal G injal : U reum : 3 7 m g/dl


(N : 1 0-50)
Creatinin : 1 ,12 g/dl (N : 0 ,6-1,2)
m
g/dl (N : 3 ,5-7)
Urid acid : 1 0,3
m

- L DH : 9 75 U (N : 1 01-480)
I
-KGD Adrandom : 136 m g/dl (N : < 140)
- M asa P erdarahan :3` (N : < 6 m
enit)
-Masa P embekuan :7 `
(N : < 1 5
m enit)

- A GDA :- P : 7 ,443 (N : 7 ,31-


H 7,45)
- PCO2 : 2 4,6 mmHg (N : 3 5-41)

- P02 : 1 87,9 mmHg (N : 8 0-105)

-B E :-7, (N : ( -)2-(+3))
6
- SaO2 : 9 9,4% (N : 9 5-98)

- TCO2 : 1 7,2 mmol/l (N : 2 3-29)

- HCO3 : 1 6,5 mmol/l (N : 2 2-28)

- Urin Rutin : - Warna : Kuning (N : Kuning)


- Kekeruhan : K eruh (N : J ernih)
- Protein : (+) 3 (N : Negatif)

- R eduksi :- (N : N
-PH :6 egatif) (N : 4
, 6-80)
- Berat jenis : 1,025 (N : 1.001-1.035)

Diagnosa : Eklampsia + Sindrom HELLP + GMG + KDR (30-32mggu) + PK +


AH + Belum Inpartu
Terapi :

O2 4-6 L/i
kateter terpasang
MgSO4 40 % 10 cc (loading dose)

IVFD RL + MgSO4 40 % 30 cc → 14 gtt/i

(maintenance) Inj. Dexamethasone 10mg/ iv


Awasi VS, HIS, DJJ, Volume urin

Rencana :
Stabilisasi 4-8 jam
SC Sito

Darah rutin, HST, LFT, RFT, elektrolit, KGD ad random, LDH, D-


dimer Cross match

Laporan Operasi SC midline a/I Eklamsi

Ibu dibaringkan dimeja operasi dengan infus dan keteter terpasang dengan
baik Dilakukan tindakan aseptik dengan larutan betadine dan alkohol 70 %
pada dinding abdomen lalu ditutup dengan doek steril kecuali lapangan operasi
Dibawah general anastesi dilakukan insisi midline mulai dari kutis, subkutis
sampai facia sepanjang 10 cm
Dengan menyisipkan pinset anatomis dibawahnya, facia digunting keatas dan
 bawah, otot disisihkan kekiri dan kanan, peritoneum di klem di dua tempat lalu di
gunting diantaranya kemudian dilebarkan keatas dan bawah. Tampak kavum
abdomen, identifikasi uterus gravidarum sesuai usia kehamilan 30-32 mggu.
Lalu plika digunting kekiri dan kekanan dan dipisahkan ke arah kaudal, dilakukan
insisi pada daerah SBR secara konkaf sampai subendometrium dan ditembus
secara tumpul, kemudian dilebarkan ke kiri dan kanan. Selaput ketuban
dipecahkan, dengan kepala lahir bayi ♂, BB 1600 gr, PB 38 cm, A/S 4/7, Anus (+)
Tali pusat diklem pada 2 tempat dan digunting diantaranya
Dengan peregangan tali pusat terkendali dilahirkan plasenta, kesan: lengkap,
tampak gambaran gambaran pada creter 1 lobus pecah, kesan solusio plasenta

kavum uteri dibersihkan dari sisa-sisa selaput ketuban dengan kasa steril terbuka
sampai tidak ada sisa selaput/ plasenta yang tertinggal. Kesan : Bersih
Uterus dijahit dengan vicryl no 2 secara kontinuous interblocking, lalu dilakukan
 penjahitan hemostasis, kemudian dilakukan reperitonealisasi dengan cromic no
2/0
Evaluasi perdarahan tuba , tidak ada apa-apa, kavum abdomen dibersihkan dari
sisa otot secara simple
Lalu peritoneum dijahit dengan plain cat gut no. 2.0 secara kontinuous, fascia
dijahit dengan vicyl no1 secara kontinuous, sub kutis dijahit secara simple dengan

cat gut no 2.0, sub cutis dijahit dengan vicryl no 2/0 secara sub kutikuler.
Evaluasi perdarahan, kesan: tidak ada apa-apa
KU ibu post operasi : mulai sadar 

Pengawasan pasca operasi


 NPO sampai peristaltik (+)
Awasi vital sign, kontraksi, balance cairan dan tanda-tanda perdarahan
Cek HB 2 jam post SC, jika < 8 gr% transfusi WB 500 CC

Terapi
Rawat
O2 2-4 l/i

IVFD RL + MgSO4 40 % 30 cc → 14 gtt/i

IVFD RL + Oksitosin 10 IU → 20 gtt/i


Inj. Cefotaxim 1 gr/ 12 jam/IV
Inj. Gentamicin 80 mg/8 jam
Inj. Dexametason 10-10-5-5/12 jam
Inj. Transamin 500 mg/ 8 jam/ IV (24jam)
Inj. ketorolac amp / 8 jam/IV
 Nipedifin 10 mg jika TD ≥ 160/110 mmHg (maximal 120 mg)  Maintanance
3X10 mg

Kateter terpasang menetap

Follow Up Tanggal 4-4-2011


KU : - Kesadaran Menurun (-)
- Kejang (-)

Status Presens :
Sensorium :CM Anemia : (- )
TD : 1 60 / 1 10 m mHg Ikterus : ( -)

HR : 9 4 x /menit Sianosis : (- )
RR : 1 6 x /menit Dispnu : (- )
Temperatur : 36,0 0C Edem : (-)

Status Lokalisata
Abdomen : Soepel; luka operasi ditutupi verband, nyeri tekan (-)
Peristaltik : (+) N
TFU : 2 jari dibawah pusat
Kontraksi : (+) Baik
Perdarahan/V : (+)
Lochia : ( +) r
ubra
Flatus : ( -)
BAB : (- )
BAK : terpasang cateter, UOP= 100 cc/ jam warna
kemerahan Proteinuria : (+) 3

Diagnosa : Post SC a/i Eklampsia + HELLP Syndrome + NH0


Terapi :
O2 2-4 L/i

IVFD RL + MgSO4 40% 30 cc → 14

gtt/i IFVD RL + Oksitosin 10 IU → 20


gtt/i Inj. Cefotaxim 1 gr/ 12 jam/ IV
Inj Gentamicin 80mg / 8 jam/ IV
Inj. ketorolac 1 Ampul / 8 jam/ IV
Inj. Dexamethasone 10-10-5-5 IU / 12 jam
 Nipedifin 10 mg jika TD ≥ 160/110 mmHg (maximal 120 mg)  Maintenance
3X10 mg

Rencana :
- cek darah lengkap
- Pemeriksaan Panel HELLP Syndrome, D-dimer, dan LDH
- Konsul kardiologi, EKG
- konsul interna
- konsul mata
- konsul neurologi

Follow Up Tanggal 5-4-2011


KU : - Kesadaran Menurun (-)
- Kejang (-)

Status Presens :
Sensorium :CM Anemia : (- )
TD : 1 50 / 1 00 m mHg Ikterus : ( -)
HR : 1 00 x /menit Sianosis : ( -)
RR : 1 6 x /menit Dispnu : (- )
Temperatur : 36,5 0C Edem : (-)

Status Lokalisata
Abdomen : Soepel; luka operasi ditutupi verband
TFU : 2 jari dibawah pusat
Kontraksi : (+) Baik  
P/V : (- )
Lochia : ( +) r ubra
Flatus : ( -)
BAB : (- )
BAK : terpasang kateter  
Proteinuria : (+) 3

Diagnosa : Post SC a/i Eklampsia + HELLP Syndrome +

NH1 Terapi :

O2 2-4 L/i

IVFD RL 20 gtt/i
Inj. Cefotaxim 1 gr/ 12 jam/ IV
Inj Gentamicin 80mg / 8 jam/ IV
Inj. ketorolac 1 Ampul / 8 jam/ IV
Inj. Dexamethasone 10-10-5-5 IU / 12 jam
 Nipedifin 10 mg jika TD ≥ 160/110 mmHg (maximal 120 mg)  Maintenance
3X10 mg

Follow Up Tanggal 6-4-2011


KU : - Kesadaran Menurun (-)
- Kejang (-)

Status Presens :
Sensorium :CM Anemia : (- )
TD : 1 40 / 9 0 m mHg Ikterus : ( -)
HR : 9 8 x /menit Sianosis : (- )

RR : 1 8 x /menit Dispnu : (- )
Temperatur : 36,9 0C Edem : (-)

Status Lokalisata
Abdomen : Soepel; luka operasi ditutupi verband
TFU : 2 jari dibawah pusat
Kontraksi : (+) Baik
Perdarahan/V : (-)
Lochia : ( +) r
ubra
Flatus : ( +)
BAB : (- )
BAK : (+ )
Proteinuria : (+) 1

Diagnosa : Post SC a/i Eklampsia + HELLP Syndrome +

NH2 Terapi :

O2 2-4 L/i

IFVD RL 20 gtt/i
Inj. Cefotaxim 1 gr/ 12 jam/ IV
Inj Gentamicin 80mg / 8 jam/ IV
Inj. ketorolac 1 Ampul / 8 jam/ IV
Inj. Lovenox 0,4 cc/ 12 jam/ SC
 Nipedifin 10 mg jika TD ≥ 160/110 mmHg (maximal 120 mg),
Maintenance 3X10 mg

Follow Up Tanggal 7-4-2011


KU : - Kesadaran Menurun (-)
- Kejang (-)

Status Presens :
Sensorium :CM Anemia : (- )
TD : 1 40 / 8 0 m mHg Ikterus : ( -)
HR : 8 0 x /menit Sianosis : (- )
RR : 2 0 x /menit Dispnu : (- )
Temperatur : 36,8 0C Edem : (-)

Status Lokalisata
Abdomen : Soepel; luka operasi ditutupi verband
TFU : 3 jari dibawah pusat
Kontraksi : (+) Baik
Perdarahan/V : (-)
Lochia : ( +) r
ubra
Flatus : ( +)
BAB : (+ )
BAK : (+ )
Proteinuria : (+) 1

Diagnosa : Post SC a/i Eklampsia + HELLP Syndrome + NH3

Terapi :
O2 2-4 L/i

Inj. Lovenox 0,4 cc/ 12 jam /SC


Cefadroxil tab 500mg 2 x 1
Metronidazole 500mg tab 3 x 1
Asam mefenamat 500mg tab 3 x 1
 Nifedipin 10mg tab 3 x 1
Vitamin B-Comp tab 2 x 1

Follow Up Tanggal 8-4-2011


KU : - Kesadaran Menurun (-)
- Kejang (-)

Status Presens :
Sensorium :CM Anemia : (- )
TD : 1 30 / 8 0 m mHg Ikterus : ( -)
HR : 8 4 x /menit Sianosis : (- )
RR : 2 2 x /menit Dispnu : (- )

Temperatur : 36,3 0C Edem : (-)

Status Lokalisata
Abdomen : Soepel; luka operasi ditutupi verband
TFU : 3 jari dibawah pusat
Kontraksi : (+) Baik
Perdarahan/V : (-)
Lochia : ( +) r
ubra
Flatus : ( +)
BAB : (+ )
BAK : (+ )
Proteinuria : (-)

Diagnosa : Post SC a/i Eklampsia + HELLP Syndrome + NH4

Terapi :
O2 2-4 L/i
Cefadroxil tab 500mg 2x1
Metronidazole tab 500mg 3x1
Asam mefenamat tab 500mg
3x1

 Nifedipin tab 10mg


3x1 Aspirin tab 80mg
3x1
Antasida syr 3xC1
Vitamin B-comp tab
2x1 GV

ANALISA KASUS
Ny. R, 39 tahun, G6P5A0, datang ke IGD RSUP HAM dengan keluhan utama

penurunan kesadaran. Hal ini dialami os setelah kejang sebanyak 3 kali, kejang

I pada tanggal 2-4-2011 pukul 19.00 wib dirumah, kejang ke II pada tanggal 2-

4- 2011 jam 23.00 dirumah, kejang ke III pada tanggal 3-4-2011 jam 06.00

wib dirumah. Kemudian pasien dibawa ke RS. Swasta di Brastagi. Pasien

merupakan kiriman dari SpOG luar dengan diagnosa penurunan kesadaran +

eklampsia + GMG + KDR (30-32 minggu) + AH + B.Inpartu setelah

mengalami kejang sebanyak 3 kali, lalu dirujuk ke RS HAM. Tekanan darah

tinggi selama kehamilan diketahui setelah pasien kejang. Kemudian tidak

dijumpai tanda-tanda inpartu selama pemeriksaan.

Pada pemeriksaan fisik dijumpai penurunan kesadaran, tanda-tanda preeklampsia


berat ( TD 150/110 mmHg, proteinuria +3) dan riwayat kejang. Tidak dijumpai

kelainan edema paru. Dijumpai tanda-tanda síndroma HELLP. Kemudian

dilakukan pemeriksaan kesejahteraan janin dengan menggunakan Daphtone

dimana DJJ didapati 130x/i. Pada pemeriksaan dalam (setelah pemberian MgSO

4 , serviks tertutup tubuler sehingga didiagnosis eklampsia + sindrom HELLP +

GMG + KDR (30-32 minggu) + AH + B.Inpartu. Setelah dilakukan stabilisasi

selama 4 jam, maka terjadi perbaikan, kemudian dilakukan terminasi kehamilan

dengan SCLC a/i Eklampsia.

Setelah operasi, lahir bayi ♂, BB 1600 gr, PB 38 cm, A/S 4/7, Anus

(+), kemudian pasien dirawat di ICU untuk perawatan selanjutnya. Dua hari


kemudian, pasien dipindahkan ke ruangan. Di ruangan, pasien mendapat obat
dari bagian interna. Setelah dirawat selama 5 hari pasca operasi dan konsul ke
bagian mata, neurologi, dan kardiologi maka tidak dijumpai adanya kelainan
pada bagian-bagian tersebut. Kemudian pasien dipulangkan untuk kontrol ke
bagian poli PIH RSHAM 3 hari kemudian.
Penatalaksanaan pada pasien ini adalah:

1. Penatalaksanaan Preeklampsia berat

Dengan pemberian MgSO4 loading dose 40% (4gr) 10 cc  bolus 10

menit dan maintenance dose IVFD RL + MgSO4 (12gr) 30 cc  14 gtt/i

dan nifedipine 10 mg/30 menint bila TD > 160/110 mmHg dengan

dosis maksimal 12 mg/ 24 jam dan dosis maintenance 3x10mg

2. Evaluasi keadaan janin

Dengan Daphtone didapati DJJ dalam batas normal

3. Terminasi kehamilan

Setelah operasi lahir bayi ♂, BB 1600 gr, PB 38 cm, A/S 4/7, Anus
(+), kemudian pasien dirawat di ICU untuk perawatan selanjutnya. Dua
hari

kemudian, pasien dipindahkan ke ruangan. Selama dirawat di ruangan

keadaan pasien stabil dengan TD di bawah 160/100 mmHg dan

didapati proteinuria negative setelah nifas hari ketiga. Dari

pemeriksaan laboratorium didapati tanda-tanda sindrom HELLP.

Setelah dirawat selama 5 hari pasca operasi, maka pasien dipulangkan

dan dianjurkan untuk kontrol ke poli PIH RSHAM 3 hari kemudian.

Permasalahan:
1. Kapan diberikan lovenox pada pasien ini? Dan apakah penggantian
lovenox ke aspirin sudah tepat?
2. Mengapa pada pasien ini, walaupun sudah dilakukan terminasi
kehamilan, tetapi tekanan darah masih tinggi?

Anda mungkin juga menyukai