PENDAHULUAN
karena itu, diagnosa dini dari preeklampsia maupun impending eklampsia yang
merupakan tingkat pendahuluan eklampsia serta penanganannya perlu segera
dilaksanakan untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak.1
Eklampsia dan sindroma HELLP merupakan bagian dari klasifikasi
hipertensi dalam kehamilan. Sampai saat ini penyebab eklampsia belum diketahui
secara pasti dan belum dapat menjawab semua pertanyaan memuaskan. Penyebab
utamanya adalah disfungsi vaskuler pada ibu dan dapat menyebabkan penurunan
perfusi utero plasenta. Tindakan satu-satunya yang dapat memperbaiki sindroma
ini adalah terminasi kehamilan.1
1
1.2. Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan dan manfaat dari laporan kasus ini adalah:
1. Mengetahui bagaimana mendiagnosa kasus-kasus eklampsia dan
penanganannya
2. Mengetahui komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi pada penderita
eklampsia
3. Mengetahui tentang sindroma HELLP dan penanganannya
BAB 2
EKLAMPSIA
2.1. Definisi
Preeklampsia merupakan gejala yang timbul pada ibu hamil di atas usia 20
minggu, bersalin dan dalam masa nifas yang ditandai dengan adanya: hipertensi
dan proteinuria. Sedangkan seorang wanita dikatakan eklampsia bila memenuhi
kriteria preeclampsia dan disertai dengan kejang-kejang (yang bukan disebabkan
oleh penyakit neurologis seperti epilepsy) dan atau koma. Ibu tersebut
tidak menunjukkan tanda-tanda atau hipertensi sebelumnya. 1,3,4
Istilah eklampsia berasal dari bahasa Yunani dan berarti "halilintar". Kata
tersebut dipakai karena seolah-olah gejala-gejala eklampsia timbul dengan tiba-tiba
tanpa didahului oleh tanda-tanda lain. Secara defenisi eklampsia adalah preeklampsia yang
disertai dengan kejang tonik klonik disusul dengan koma. Eklampsia
merupakan
kasus akut dari penderita preeklampsia yang disertai kejang menyeluruh dan koma.
Pada umumnya kejang didahului oleh makin memburuknya preeklampsia dan
terjadinya gejala-gejala nyeri kepala di daerah frontal, gangguan penglihatan, mual
yang hebat, nyeri epigastrium dan hiperreflexia. Preeklampsia yang diikuti dengan
tanda-tanda ini disebut dengan impending eklampsia.3
Preeklampsia berat adalah preeklampsia dengan salah satu atau lebih
gejala dan tanda di bawah ini:2
2.2. Frekuensi
Preeklampsia terjadi pada primigravida sebanyak 5,8% dan 0,4% gravida
kedua. Eklampsia adalah komplikasi yang jarang namun serius dari
preeklampsia serta merupakan penyulit. Menurut WHO pada tahun 1987
insiden preeklampsia dan eklampsia berkisar antara 0,5%-38,4%. Di Amerika
Serikat sekitar 3-5% dari seluruh kehamilan. Satu dari 2000 kehamilan di
Eropa, dan antara 1:100 sampai 1:1700 kehamilan di negara berkembang. Di
3,4
maju angka tersebut lebih kecil, yaitu 0,05% - 0,1%.
2.3. Etiologi
Sampai saat ini penyebab eklampsia belum diketahui secara pasti dan belum dapat
menjawab semua pertanyaan memuaskan. Zweifel (1916) menyebutkan bahwa
preeklampsia adalah ”The disease of theories”.3
Teori yang dapat diterima harus dapat menerangkan hal-hal tersebut: 3
1. Sebab bertambahnya frekuensi pada primigravida, kehamilan ganda,
hidramnion dan mola hidatidosa
banyak asam lemak bebas terikat ke albumin maka pH 5,6 akan menurun
menjadi 4,8 yang akan mengakibatkan toksisitas VLDL tidak tercegah dan
terjadi PE.
3. Maladaptasi Imun
Pada manusia, transplantasi organ akan ditolak bila terdapat perbedaan
HLA donor resipien. Pada kehamilan normal tampak bahwa sel-sel
trofoblas yang berhubungan dengan darah ibu tidak mengandung MHC
kelas I dan kelas II alloantigen, sedang yang berhubungan dengan darah
fase sekresi lanjut akan ditemukan CD56 yang tidak umum dijumpai,
suatu marker leukosit granul besar pada pembuluh darah perifer yang
bersifat dominan. Leukosit ini sangat mirip dengan ”natural killer – NK”
(penghancur alamiah) sel-sel walaupun tidak sekuat sel-sel NK pada
pembuluh darah perifer.
4. Genetic Imprinting
Cooper dan Liston meneliti bahwa penyakit PE dan E diwariskan melalui
suatu gen tunggal. Hipotesa ini baru hanya sampai pada lambat
berkembang mungkin disebabkan besarnya dana yang dibutuhkan serta
teknologi dan peralatan yang sangat kompleks dan mahal yang dibutuhkan
untuk membuktikan hipotesa ini. Namun menarik untuk diperhatikan
bahwa salah satu predisposisi PE dan E yang kita kenal bukanlah lagi
primigravida tetapi ”primi paternal”. Walaupun seorang ibu multigravida,
tetapi bila ia hamil dengan suami yang baru maka ia mempunyai
kemungkinan yang sama besarnya untuk menderita PE/E dibanding
dengan primigravida. Demikian juga kehamilan secara inseminasi buatan
atau bayi tabung dengan menggunakan sperma donor.
2.4. Patofisiologi
Etiologi dan preecl pemicu timbulnya eklampsia masih belum diketahui secara
pasti. Teori timbulnya preeclampsia harus dapat menjelaskan beberapa hal, yaitu
sebab meningkatnya frekuensi pada primigravida, bertambahnya frekuensi dengan
bertambahnya usia kehamilan, terjadinya perbaikan dengan kematian janin
intrauterine, sebab timbulnya tanda-tanda preeklampsia.3
Teori-teori yang sekarang banyak dianut adalah:
1. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Pada kehamilan normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi infasi tropoblast
ke dalam lapisan otot arteri spiralis yang menimbulkan degenerasi lapisan otot
sehingga terjadi dilatasi arteri spiralis. Infasi tropoblast juga memasuki jaringan
sekitar arteri spiralis sehingga jaringan matriks menjadi gembur dan memudahkan
umen arteri spiralis mengalami distensi dan dilatasi. Distensi dan vasodilatasi
lumen arteri spiralis ini memberi dampak penurunan tekanan darah, penurunan
resistensi preeklampsia, dan peningkatan aliran darah pada daerah uteroplasenta.
Akibatnya aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga
meningkat, sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin dengan baik. Proses ini
dinamakan “preeclamps arteri spiralis”. Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi
invasi sel-sel trofoblast pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan
matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap kaku dan deras
plasenta iskemia adalah radikal hidroksil yang sangat toksik, khususnya terhadao
preeclam sel endotel pembuluh darah. Radikal hidroksil akan merusak preeclam
se yang mengandung banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak.
Peroksida lemak akan merusak preeclam sel juga akan merusak preecla dari
protein sel endotel. Peroksida lemak sebagai oksidan yang sangat toksis akan
beredar di seluruh tubuh dalam aliran darah yang akan merusak preeclam sel
endotel. Kerusakan preeclam sel endotel mengakibatkan terganggunya fungsi
endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur sel endotel yang disebut dengan
“disfungsi endotel”, yang akan mengakibatkan terjadinya: gangguan preeclamps
ibu tidak menolak hasil konsepsi. Adanya HLA-G pada plasenta dapat melindungi
trofoblast janin dari lisi oleh sel natural killer ibu. Selain itu adanya HLA-G akan
mempermudah infasi sel trofoblast ke dalam jaringan desidua ibu. Pada hipertensi
dalam kehamilan, terjadi penurunan ekspresi HLA-G. Berkurangnya HLA-G di
desidua daerah plasenta akan menghambat invasi trofoblast ke dalam desidua.
vasopressor atau dibutuhkan kadar vasopressor yang lebih tinggi. Pada hipertensi
dalam kehamilan, kehilangan daya refrakter terhadap bahan vasokonstriktor dan
ternyata kepekaan terhadap bahan vasopressor. Fakta ini dapat dipakai sebagai
prediksi akan terjadinya hipertensi dalam kehamilan.
6. Teori inflamasi
Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam sirkulasi
darah merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Pada kehamilan
normal plasenta juga melepaskan debris trofoblast sebagai sisa-sisa proses
apoptosis dan nekrotik trofoblast, akibat reaksi stress oksidatif dimana jumlahnya
masih dalam batas wajar sehingga reaksi inflamasi juga masih dalam batas
normal. Berbeda dengan proses apoptosis pada preeclampsia dimana terjadi
peningkatan stress oksidatif, sehingga produksi debris apoptosis dan nekrotik juga
meningkat. Hal ini menyebabkan reaksi inflamasi yang jauh lebih besar
dibandingkan dengan pada hamil normal. Respon inflamasi ini akan mengaktifasi
sel endotel dan sel-sel makrofag, yang lebih besar pula, sehingga terjadi reaksi
sistemik inflamasi yang menimbulkan gejala-gejala preeclampsia.
d. Hidrops fetalis
3. Riwayat keluarga preeklampsia-eklampsia
4. Riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya
5. Faktor nutrisi, genetika, ras dan golongan etnik
1,3
epigastrium mulai timbul, kelainan tersebut biasanya sudah berat.
Tekanan darah
Kelainan dasar pada preeklampsia adalah vasospasme arteriol, sehingga
tidak mengherankan bila tanda peringatan awal yang paling bisa diandalkan adalah
peningkatan tekanan darah. Tekanan diastolik mungkin merupakan tanda
prognostik yang lebih andal dibandingkan tekanan sistolik, dan tekanan diastolik sebesar
90 mmHg atau lebih menetap menunjukkan keadaan abnormal. 1,3
10
Proteinuria
Derajat proteinuria sangat bervariasi menunjukkan adanya suatu penyebab
Nyeri kepala
Jarang ditemukan pada kasus ringan, tetapi akan semakin sering terjadi pada
kasus-kasus yang lebih berat. Nyeri kepala sering terasa pada daerah frontalis dan
oksipitalis dan tidak sembuh dengan pemberian analgesik biasa. Pada wanita
hamil yang mengalami serangan eklampsia, nyeri kepala hebat hampir dipastikan
mendahului serangan kejang pertama. 1,3
Nyeri epigastrium
Nyeri epigastrium atau nyeri kuadran kanan atas merupaan keluhan yang seting
ditemukan pada preeklampsia berat dan dapat menunjukkan serangan kejang
yang dapat terjadi. Keluhan ini mungkin disebabkan oleh regangan kapsula
hepar akibat edema atau perdarahan. 1,3
Gangguan Penglihatan
Seperti pandangan yang sedikit kabur, skotoma hingga kebutaan sebagian atau
total. Disebabkan oleh vasospasme, iskemia dan perdarahan petekie pada korteks
oksipital. 1,3
11
mual yang hebat, nyeri epigastrium dan hiperrefleksia. Bila keadaan ini tidak dikenal
dan tidak segera diobati, akan timbul kejang; terutama pada persalinan bahaya ini besar.
Konvulsi eklampsia dibagi dalam 4 tingkat, yakni:3
yang jumlahnya dapat bervariasi dari satu atau dua pada kasus ringan sampai
bahkan 100 atau lebih pada kasus berat yang tidak diobati. Pada kasus yang
jarang, kejang terjadi berurutan sedemikian cepatnya sehingga wanita yang
bersangkutan tampak mengalami kejang yang berkepanjangan dan hampir kontinu.
Durasi koma setelah kejang bervariasi. Apabila kejangnya jarang, wanita
yang bersangkutan biasanya pulih sebagian kesadarannya setelah setiap serangan.
Sewaktu sadar, dapat timbul keadaan setengah sadar dengan usaha perlawanan.
Pada kasus yang sangat berat, koma menetap dari satu kejang ke kejang lainnya
dan
pasien dapat meninggal sebelum ia sadar. Meski jarang, satu kali kejang dapat
dijumpai pada kasus yang parah. Demam 39°C atau lebih adalah tanda yang
buruk karena dapat merupakan akibat perdarahan susunan saraf pusat.
Proteinuria hampir selalu ada dan sering parah. Pengeluaran urin
kemungkinan besar berkurang secara bermakna dan kadang-kadang terjadi anuria.
Setelah melahirkan, peningkatan pengeluaran urin biasanya merupakan tanda
awal perbaikan. Proteinuria dan edema biasanya hilang dalam seminggu.
Pada sebagian besar kasus, tekanan darah kembali ke normal dalam beberapa
hari sampai 2 minggu setelah melahirkan. Pada eklampsia antepartum, tanda-
tanda persalinan dapat mulai segera setelah kejang dan berkembang cepat.
Apabila kejang terjadi saat persalinan, frekuensi dan intensitas his dapat
meningkat dan durasi persalinan dapat memendek. Karena ibu mengalami
hipoksemia dan asidemia laktat akibat kejang, tidak jarang janin mengalami
bradikardia setelah serangan kejang. Keadaan ini biasanya pulih dalam 3 sampai 5
menit; apabila menetap lebih dari 10 menit, kausa lain perlu dipertimbangkan,
misalnya solusio plasenta atau bayi akan segera lahir.1,3,8
Edema paru dapat terjadi setelah kejang eklampsia. Paling tidak terdapat
dua mekanisme penyebab:
2.7. Diagnosis
melahirkan bayi hidup dari ibu yang menderita preeklampsia atau eklampsia.
Komplikasi yang tersebut di bawah ini biasanya terjadi pada preeklampsia berat dan
eklampsia3,10
1. Solusio plasenta
Komplikasi ini biasanya terjadi pada ibu yang menderita hipertensi akut
atau lebih sering terjadi pada preeklampsia. Di RS dr. Cipto
Mangunkusumo 15,5% solusio plasenta disertai preeklampsia.
2. Hipofibrinogenemia
Pada preeklampsia berat Zuspan (1978) menemukan 23%
10. Komplikasi lain. Lidah tergigit, trauma dan fraktura karena jatuh akibat
kejang-kejang pneumonia aspirasi dan DIC (Disseminated Intravascular
Coagulation).
11. Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intra uterin.
2.9. Prognosis
Eklampsia di Indonesia masih merupakan penyakit pada kehamilan dengan
meminta korban besar dari ibu dan bayi. Diketahui kematian ibu berkisar 9,8%
- 25,5% sedangkan kematian bayi lebih tinggi lagi, yakni 42,2% - 48,9%.
Sebaliknya kematian ibu dan janin di negara maju lebih kecil. Kematian ibu
biasanya disebabkan oleh perdarahan otak, dekompensasio kordis dengan edema
paru-paru, _ payah ginjal dan masuknya isi lambung ke dalam jalan pernafasan
sewaktu kejang. Sebab kematian bayi terutama oleh hipoksia intrauterine
dan
prematuritas.3,11
Kriteria Eden
Adalah kriteria untuk menentukan prognosis eklampsia :
1. Koma yang lama (prolonged coma)
2.10. Pencegahan
Mencegah timbulnya eklampsia jauh lebih penting dari mengobatinya, karena
sekali ibu hamil mendapat serangan, prognosa akan jauh lebih jelek. Pada
umumnya timbulnya eklampsia dapat dicegah, atau frekuensinya dikurangi. 3
Usaha-usaha untuk menurunkan frekuensi eklampsia terdiri dari :
1. Memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat, bahwa eklampsia
bukanlah penyakit kemasukan (magis), seperti banyak disangka
masyarakat awam.
2. Meningkatkan jumlah poliklinik (balai) pemeriksaan ibu hamil serta
mengusahakan agar semua wanita hamil memeriksakan kehamilannya
sejak hamil muda.
3. Pelayanan kebidanan yang bermutu, yaitu mencari pada tiap-tiap
pemeriksaan tanda-tanda preeklampsia dan mengobatinya sedini mungkin
bila dijumpai
4. Mengakhiri kehamilan sedapat-dapatnya pada kehamilan 37 minggu ke
atas, apabila setelah dirawat mondok; tanda-tanda tidak dapat menghilang.
2.11. Penanganan2,4,12
Prinsip penatalaksanaan eklampsia sama dengan preeklampsia berat. Dengan
tujuan utama menghentikan berulangnya serangan konvulsi dan mengakhiri
kehamilan secepatnya dengan cara yang aman setelah keadaan ibu
tepat.
2. Perawatan kejang:
a. Tempatkan pendenta di ruang isolasi atau ruang khusus dengan lampu
terang
b. Tempat tidur penderita harus cukup lebar, dapat diubah dalam posisi
trendelenburg dan posisi kepala lebih tinggi
c. Rendahkan kepala ke bawah : diaspirasi lendir dalam orofaring guna
mencegah aspirasi pneumonia
d. Sisipkan spatel lidah antara lidah dan gigi rahang atas
e. Fiksasi badan harus kendor agar waktu kejang tidak terjadi fraktur
f. Rail tempat tidur harus terpasang dan terkunci dengan kuat.
3. Perawatan koma
a. Derajat kedalaman koma diukur dengan "Glasgow-Coma Scale"
1) Loading dose
- MgSO4 20% (4gr) dalam larutan 10 cc IV/bolus selama 5-10 menit
- MgSO4 40% (4gr) dalam larutan 10 cc IV/bolus selama 5-10 menit
2) Maintenance dose
- IVFD RL + MgSO4 40% (12gr) 30 cc 14 gtt/i
3)Bila kejang berulang diberikan MgSO4 20% 2 gram IV
Cara persalinan :
Bila sudah diputuskan untuk melakukan tindakan aktif terhadap kehamilannya,
20
maka dipilih cara persalinan yang memenuhi syarat pada saat tersebut.
1. Kalau belum inpartu, maka induksi partus dilakukan setelah 4 jam bebas
kejang dengan atau tanpa amniotomi
BAB 3
SINDROMA HELLP
3.1. Definisi
Definisi dari sindroma HELLP masih kontroversi. Menurut Godlin (1982)
Sindroma HELLP merupakan bentuk awal dari PE berat. Weinstein (1982)
melaporkan Sindroma HELLP merupakan varian yang unik dari PE , tetapi
Mackenna dkk (1983) melaporkan bahwa sindroma ini tidak berhubungan
dengan PE. Di lain pihak banyak penulis melaporkan bahwa sindroma HELLP
21
terlewatkan karena proses pemeriksaan laboratorium yang tidak adekuat.2,3
3.2. Insidens
Sampai saat ini insidens Sindroma HELLP belum diketahui dengan pasti. Hal ini
disebabkan sindroma ini sulit diduga serta gambaran klinisnya mirip dengan
penyakit non obstetri.
Menurut Sibai (1964) angka kejadian Sindroma HELLP berkisar antara 4
s/d 14% dari seluruh penderita PE berat, sedangkan angka kejadian Sindroma
HELLP pada seluruh kehamilan adalah 0,2 – 0,6%. Sindroma ini secara bermakna
lebih tinggi pada wanita kulit putih dan multigravida.
Etiologi dan patogenesis dari Sindroma HELLP ini selalu dihubungkan dengan PE,
walaupun etiologi dan patogenesis dari PE sampai saat ini belum dapat
diketahui dengan pasti.
Banyak teori yang dikembangkan dari dulu hingga sekarang
untuk mengungkapkan patogenesis dari PE , namun dalam dekade terakhir ini
perhatian terfokus pada aktivasi atau disfungsi dari sel endotel. Tetapi apa
penyebab
perubahan sel endotel ini belum diketahui dengan pasti. Saat ini ada 4 hipotesis
yang sedang diteliti untuk mengungkapkan etiologi dari PE, yaitu : iskhemia
plasenta, Very Low Density Lipoprotein versus aktivitas pertahanan toksisitas,
parameter. Hal ini terlihat dari banyaknya penelitian terhadap Sindroma HELLP
yang bertujuan untuk membuat suatu keputusan nilai batas dari masing-masing
parameter.1,4
3.5. Klasifikasi1,2,7
Ada 2 klasifikasi yang digunakan pada Sindroma HELLP, yaitu
1. Berdasarkan jumlah keabnormalan yang dijumpai.
Audibert dkk (1996 ) melaporkan pembagian Sindroma HELLP
berdasarkan jumlah keabnormalan parameter yang didapati , yaitu :
bilirubin > 1,2 ml/dl , dan jumlah trombosit < 100.000/mm 3. Sedangkan
sindroma HELLP parsial yaitu bila dijumpai satu atau lebih tetapi tidak ketiga
parameter Sindroma HELLP.
2. Berdasarkan jumlah trombosit.
Martin (1991) mengelompokkan penderita Sindroma HELLP dalam tiga
kelas ;
Kelas I : jumlah trombosit ≤ 50.000/mm3
> ≤ 3
Kelas III : jumlah trombosit 100.000 - 150.0 /mm
3.6. Penatalaksanaan1,2,8,9
Bagian obstetri dan ginekologi FK USU/ RS HAM – RSPM membentuk satgas
manajemen Sindroma HELLP dan telah menghasilkan Protokol Manajemen
Sindroma HELLP.
Prinsip penatalaksanaan :
Penanganan dimulai sebagaimana penanganan pada PE berat.
Pengobatan Medisinal :
- Tirah baring
- Oksigen
- Kateter menetap
- IVFD : Ringer Asetat , Ringer laktat , Kolloid
- Jumlah input cairan 2000ml/24 jam , berpedoman pada diuresis, insensible
- Anti hiperrtensi diberikan jika tekanan darah diastole > 110 mmHg. Dapat
diberikan nifedipine sublingual 10 mg. Setelah 1 jam, jika TD masih tinggi
- Diuretikum tidak diberikan kecuali jika ada : Edema paru, gagal jantung
kongestif, edema anasarka.
- Deksametason 10 mg IV dengan interval 12 jam 2 kali pemberian saja.
- N-Acetyl Cystein 3 x 600 mg.
- Jika terjadi penurunn trombosit < 50.000 /mm3 → beri trombosit 10 unit.
- Atasi anemia dengan Fresh Whole Blood
- Antibiotik
- Jika pasien koma, diberikan perawatan koma di ICU
- Konsul ke bagian interna, hematologi, mata, neurologi
- Jajaki kemungkinan terjadinya DIC. Jika trombosit < 50.000 periksa
kadar fibrinogen, protombine time, partial tromboplastin time, D-Dimer
Penanganan Obstetrik
Pada keadaan ibu sudah stabil, tetapkan suatu keputusan apakah dilakukan
terminasi kehamilan atau tindakan konservatif.
Penanganan konservatif dilakukan pada keadaan :
- TD terkontrol < 160/110 mmHg
- Oliguria respon dengan cairan
- Tidak dijumpai nyeri epigatrik
- Usia kehamilan < 34 minggu
- Jika diputuskan untuk terminasi kehamilan, persalinan diharapkan selesai
dalam 48 jam penanganan.
- Jika servik sudah matang dan tidak ada kontra indikasi obstetri, dilakukan
induksi persalinan dengan oksitosin drips dan amniotomi. Kala II
dipercepat dengan EV/EF.
- Seksio sesarea dilakukan pada :
• Indikasi obstetric.
Manajemen SC
- Insisi midline
- Plika vesika uterine dibiarkan terbuka
- Sebaiknya pasang drain abdominal
- Pasien pasca SC dirawat di ICU
- Analgesia dan anastesia
Baik anastesia epidural maupun general dapat diberikan pada pasien
sindroma HELLP, tergantung kondisi ibu. Dengan anestesia epidural
fungsi hemodinamik ibu lebih stabil, namun pada jumlah trombosit <
- Bayi ditangani oleh bagian pediatri dan dirawat di Neonatal Intensive Care
Unit.
3.7. Prognosa1,11,12
Angka kematian dan kesakitan ibu dan anak meningkat pada Sindroma HELLP.
Dilaporkan angka kematian ibu pada Sindroma HELLP adalah 1-24%, sedangkan
angka kematian perinatal lebih tinggi lagi yaitu 7,7-60%.
Perubahan nilai laboratorium menunjukkan apakah penyakit ini bertambah
parah atau membaik.Puncak kemunduran parameter HELLP terjadi dalam 24 s/d
48 jam setelah melahirkan. Berapa lama terjadi pemulihan Sindroma HELLP
tergantung pada beberapa factor antara lain waktu terminasi kehamilan, beratnya
gangguan multi sistemik, pengobatan yang adekuat dan lain-lain. Umumnya nilai
laboratorium parameter Sindroma HELLP kembali normal dalam 3 –5 hari setelah
melahirkan.
DAFTAR PUSTAKA
and Treatment, 8th ed, Appleton ang Lange, Norwalk 1994 : 380-8
Pregnancy and Delivery, 2nd ed, Mosby Year Book, 1993: 183-210
LAPORAN KASUS
2011 pukul 19.00 wib dirumah, kejang ke II pada tanggal 2-4-2011 jam 23.00
dirumah, kejang ke III pada tanggal 3-4-2011 jam 06.00 wib dirumah. Kemudian
pasien dibawa ke RS. Swasta di Brastagi. Riwayat tekanan darah tinggi selama
kehamilan (-), riwayat tekanan darah tinggi selama kehamilan diketahui pada saat
setelah pasien kejang. Riwayat nyeri kepala (+), riwayat mual muntah (+), riwayat
pandangan kabur (+), pasien merupakan kiriman dari Sp.OG luar dengan diagnosa
penurunan kesadaran + eklampsia + GMG + KDR (30-32 minggu) + AH +
B.Inpartu.
RPT : Hipertensi (-), DM (-), asma (-)
RPO : IVFD R L + gSO 40% 15cc 28gtt/i
4
M HPHT : ?-9-2010
TTP : ? -6-2011
ANC : 4x b idan
Riwayat Persalinan :
1.♂, aterm, PSP, Bidan, Klinik, 4000 gr, 2 thn, meninggal 2.
♂, aterm, PSP, Bidan, Klinik, 3500 gr, 8 bln, meninggal 3.
♂, aterm, PSP, Bidan, Klinik, 4000 gr, 8 bln, meninggal 4.
♂, aterm, PSP, Bidan, Klinik, 3500 gr, 5,5 thn, meninggal 5.
♂, aterm, PSP, Bidan, Klinik, 3500 gr, 9 thn, sehat
6.Hamil ini
Pemeriksaan Umum
Status Presens :
Sensorium : A patis Anemia : ( -)
TD : 1 50 / 1 10 m mHg Ikterus : ( -)
HR : 9 2 x /menit Sianosis : (- )
RR : 2 4 x /menit Dispnu : (- )
Temperatur : 36,8 0C Edem : (-)
Starus Lokalisata
- Suara pernafasan : Vesikuler - Suara Tambahan : Ronchi (-)
Status Obstetrikus
Abdomen : membesar asimetris
TFU : 3 jari a tas p usat
Teregang : Kanan
Terbawah : Kepala
Gerak : (+)
His : (- )
DJJ : 1 30/i
VT : Cx tertutup, eff 0%
ST : Lendir darah (-)
Urine:
- L DH : 9 75 U (N : 1 01-480)
I
-KGD Adrandom : 136 m g/dl (N : < 140)
- M asa P erdarahan :3` (N : < 6 m
enit)
-Masa P embekuan :7 `
(N : < 1 5
m enit)
-B E :-7, (N : ( -)2-(+3))
6
- SaO2 : 9 9,4% (N : 9 5-98)
- R eduksi :- (N : N
-PH :6 egatif) (N : 4
, 6-80)
- Berat jenis : 1,025 (N : 1.001-1.035)
O2 4-6 L/i
kateter terpasang
MgSO4 40 % 10 cc (loading dose)
Rencana :
Stabilisasi 4-8 jam
SC Sito
Ibu dibaringkan dimeja operasi dengan infus dan keteter terpasang dengan
baik Dilakukan tindakan aseptik dengan larutan betadine dan alkohol 70 %
pada dinding abdomen lalu ditutup dengan doek steril kecuali lapangan operasi
Dibawah general anastesi dilakukan insisi midline mulai dari kutis, subkutis
sampai facia sepanjang 10 cm
Dengan menyisipkan pinset anatomis dibawahnya, facia digunting keatas dan
bawah, otot disisihkan kekiri dan kanan, peritoneum di klem di dua tempat lalu di
gunting diantaranya kemudian dilebarkan keatas dan bawah. Tampak kavum
abdomen, identifikasi uterus gravidarum sesuai usia kehamilan 30-32 mggu.
Lalu plika digunting kekiri dan kekanan dan dipisahkan ke arah kaudal, dilakukan
insisi pada daerah SBR secara konkaf sampai subendometrium dan ditembus
secara tumpul, kemudian dilebarkan ke kiri dan kanan. Selaput ketuban
dipecahkan, dengan kepala lahir bayi ♂, BB 1600 gr, PB 38 cm, A/S 4/7, Anus (+)
Tali pusat diklem pada 2 tempat dan digunting diantaranya
Dengan peregangan tali pusat terkendali dilahirkan plasenta, kesan: lengkap,
tampak gambaran gambaran pada creter 1 lobus pecah, kesan solusio plasenta
kavum uteri dibersihkan dari sisa-sisa selaput ketuban dengan kasa steril terbuka
sampai tidak ada sisa selaput/ plasenta yang tertinggal. Kesan : Bersih
Uterus dijahit dengan vicryl no 2 secara kontinuous interblocking, lalu dilakukan
penjahitan hemostasis, kemudian dilakukan reperitonealisasi dengan cromic no
2/0
Evaluasi perdarahan tuba , tidak ada apa-apa, kavum abdomen dibersihkan dari
sisa otot secara simple
Lalu peritoneum dijahit dengan plain cat gut no. 2.0 secara kontinuous, fascia
dijahit dengan vicyl no1 secara kontinuous, sub kutis dijahit secara simple dengan
cat gut no 2.0, sub cutis dijahit dengan vicryl no 2/0 secara sub kutikuler.
Evaluasi perdarahan, kesan: tidak ada apa-apa
KU ibu post operasi : mulai sadar
Terapi
Rawat
O2 2-4 l/i
Status Presens :
Sensorium :CM Anemia : (- )
TD : 1 60 / 1 10 m mHg Ikterus : ( -)
HR : 9 4 x /menit Sianosis : (- )
RR : 1 6 x /menit Dispnu : (- )
Temperatur : 36,0 0C Edem : (-)
Status Lokalisata
Abdomen : Soepel; luka operasi ditutupi verband, nyeri tekan (-)
Peristaltik : (+) N
TFU : 2 jari dibawah pusat
Kontraksi : (+) Baik
Perdarahan/V : (+)
Lochia : ( +) r
ubra
Flatus : ( -)
BAB : (- )
BAK : terpasang cateter, UOP= 100 cc/ jam warna
kemerahan Proteinuria : (+) 3
Rencana :
- cek darah lengkap
- Pemeriksaan Panel HELLP Syndrome, D-dimer, dan LDH
- Konsul kardiologi, EKG
- konsul interna
- konsul mata
- konsul neurologi
Status Presens :
Sensorium :CM Anemia : (- )
TD : 1 50 / 1 00 m mHg Ikterus : ( -)
HR : 1 00 x /menit Sianosis : ( -)
RR : 1 6 x /menit Dispnu : (- )
Temperatur : 36,5 0C Edem : (-)
Status Lokalisata
Abdomen : Soepel; luka operasi ditutupi verband
TFU : 2 jari dibawah pusat
Kontraksi : (+) Baik
P/V : (- )
Lochia : ( +) r ubra
Flatus : ( -)
BAB : (- )
BAK : terpasang kateter
Proteinuria : (+) 3
NH1 Terapi :
O2 2-4 L/i
IVFD RL 20 gtt/i
Inj. Cefotaxim 1 gr/ 12 jam/ IV
Inj Gentamicin 80mg / 8 jam/ IV
Inj. ketorolac 1 Ampul / 8 jam/ IV
Inj. Dexamethasone 10-10-5-5 IU / 12 jam
Nipedifin 10 mg jika TD ≥ 160/110 mmHg (maximal 120 mg) Maintenance
3X10 mg
Status Presens :
Sensorium :CM Anemia : (- )
TD : 1 40 / 9 0 m mHg Ikterus : ( -)
HR : 9 8 x /menit Sianosis : (- )
RR : 1 8 x /menit Dispnu : (- )
Temperatur : 36,9 0C Edem : (-)
Status Lokalisata
Abdomen : Soepel; luka operasi ditutupi verband
TFU : 2 jari dibawah pusat
Kontraksi : (+) Baik
Perdarahan/V : (-)
Lochia : ( +) r
ubra
Flatus : ( +)
BAB : (- )
BAK : (+ )
Proteinuria : (+) 1
NH2 Terapi :
O2 2-4 L/i
IFVD RL 20 gtt/i
Inj. Cefotaxim 1 gr/ 12 jam/ IV
Inj Gentamicin 80mg / 8 jam/ IV
Inj. ketorolac 1 Ampul / 8 jam/ IV
Inj. Lovenox 0,4 cc/ 12 jam/ SC
Nipedifin 10 mg jika TD ≥ 160/110 mmHg (maximal 120 mg),
Maintenance 3X10 mg
Status Presens :
Sensorium :CM Anemia : (- )
TD : 1 40 / 8 0 m mHg Ikterus : ( -)
HR : 8 0 x /menit Sianosis : (- )
RR : 2 0 x /menit Dispnu : (- )
Temperatur : 36,8 0C Edem : (-)
Status Lokalisata
Abdomen : Soepel; luka operasi ditutupi verband
TFU : 3 jari dibawah pusat
Kontraksi : (+) Baik
Perdarahan/V : (-)
Lochia : ( +) r
ubra
Flatus : ( +)
BAB : (+ )
BAK : (+ )
Proteinuria : (+) 1
Terapi :
O2 2-4 L/i
Status Presens :
Sensorium :CM Anemia : (- )
TD : 1 30 / 8 0 m mHg Ikterus : ( -)
HR : 8 4 x /menit Sianosis : (- )
RR : 2 2 x /menit Dispnu : (- )
Status Lokalisata
Abdomen : Soepel; luka operasi ditutupi verband
TFU : 3 jari dibawah pusat
Kontraksi : (+) Baik
Perdarahan/V : (-)
Lochia : ( +) r
ubra
Flatus : ( +)
BAB : (+ )
BAK : (+ )
Proteinuria : (-)
Terapi :
O2 2-4 L/i
Cefadroxil tab 500mg 2x1
Metronidazole tab 500mg 3x1
Asam mefenamat tab 500mg
3x1
ANALISA KASUS
Ny. R, 39 tahun, G6P5A0, datang ke IGD RSUP HAM dengan keluhan utama
penurunan kesadaran. Hal ini dialami os setelah kejang sebanyak 3 kali, kejang
I pada tanggal 2-4-2011 pukul 19.00 wib dirumah, kejang ke II pada tanggal 2-
4- 2011 jam 23.00 dirumah, kejang ke III pada tanggal 3-4-2011 jam 06.00
dimana DJJ didapati 130x/i. Pada pemeriksaan dalam (setelah pemberian MgSO
Setelah operasi, lahir bayi ♂, BB 1600 gr, PB 38 cm, A/S 4/7, Anus
3. Terminasi kehamilan
Setelah operasi lahir bayi ♂, BB 1600 gr, PB 38 cm, A/S 4/7, Anus
(+), kemudian pasien dirawat di ICU untuk perawatan selanjutnya. Dua
hari
Permasalahan:
1. Kapan diberikan lovenox pada pasien ini? Dan apakah penggantian
lovenox ke aspirin sudah tepat?
2. Mengapa pada pasien ini, walaupun sudah dilakukan terminasi
kehamilan, tetapi tekanan darah masih tinggi?