Anda di halaman 1dari 15

REFERAT

KOMPLIKASI RHINOSINUSITIS KRONIK

Oleh

NOVA ULYANA OKTAVIANI


H1A015052

Pembimbing
dr. M. Alfian Sulaksana, Sp.THT-KL

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROK
RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2019

0
Anatomi Hidung dan Sinus Paranasalis
Hidung merupakan bagian traktus respiratori superior yang memiliki beberapa
fungsi, sebagai indra penghidu, penghangat dan pembersih udara, menyiapkan udara
inhalasi dengan penyaringan dan pelembapan udara agar dapat digunakan paru-paru, dan
memodifikasi suara1,2. Struktur hidung luar berbentuk pyramid dengan bagian-bagiannya
dari atas ke bawah, yaitu: pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak
hidung (tip/apex), ala nasi, kolumela, dan lubang hidung (nares anterior/nostril). Struktur
hidung dimulai dari anterior luar ialah nostril/nares hingga koana (aperture nasal
posterior)3,4. Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
kulit, jaringan ikat, dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan dan
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasal),
prosesus frontalis os maksila, dan prosesus nasalis os frontal. Sedangkan kerangka tulang
rawan terdiri dari sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis
lateralis inferior (kartilago ala mayor), dan tepi anterior kartilago septum5.
Bagian dalam dari hidung disebut sebagai kavum nasi atau rongga hidung yang
terbagi menjadi 2 sisi yang disebut fossa nasal1. Kavum nasi berbentuk terowongan dari
depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya, membagi kavum
nasi kanan dan kiri. Lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan
lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi
dengan nasofaring5. Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat
di belakang nares anterior disebut vestibulum, tersusun atas epithelium pipih berlapis.
Vestibulum dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-
rambut panjang yang disebut vibrise. Vibrise ini berfungsi untuk menghalangi debris
yang masuk ke dalam hidung5.
Tiap kavum nasi memiliki 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, superior
dan inferior. Dinding medial kavun nasi adalah septum nasi, sementara pada dinding
lateral terdapat 3 buah konka. Dinding superior/atap kavum nasi disusun oleh os ethmoid
dan sphenoid serta lamina kribriformis, sedangkan dinding inferior/dasarnya dibentuk
oleh palatum durum dan os maksila1,5. Palatum durum berfungsi memisahkan kavum oral
dengan kavum nasi sehingga kita dapat bernafas saat mengunyah makanan3.

2
Septum nasi dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina
perpendikularis os etmoid, os vomer, krista nasalis os maksila, dan krista nasalis os
palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan
kolumela. Septum nasi dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan
periosteum pada bagian tulang dan diluarnya dilapisi oleh mukosa hidung. Inferior
septum nasi disokong oleh os vomer5.
Bagian posterior dari vestibulum terdapat jaringan yang berlipat-lipat yang
disebut konka (turbinatum). Terdapat 3 konka yaitu konka inferior, medial, dan superior
yang berada di dinding lateral hingga ke septum. Konka inferior ukurannya paling besar,
kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil lagi adalah konka superior.
Dibelakang dari konka terdapat saluran udara sempit yang disebut meatus. Konka
inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid,
sedangkan konka media dan superior merupakan bagian dari labirin etmoid5.
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada 3 meatus yaitu meatus inferior, media
dan superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan
dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus
nasolakrimalis. Meatus media terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga
hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksilaris, dan sinus
etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior
dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid3,4.

Vaskularisasi Hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a oftalmika dari a. karotis interna. Bagian bawah
mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna. Bagian depan mendapat
perdarahan dari cabang-cabang a. fasialis. Pada bagian depan septum terdapat pleksus
Kiesselbach yang merupakan anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a. etmoid
anterior, a. labialis superior, dan a. palatina mayor. Pleksus Kiesselbach letaknya
superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis
terutama pada anak. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan

3
berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara
ke v. oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak
memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya peyebaran
infeksi sampai ke intrakranial1,5.

Persarafan Hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.
etmoidalis anterior yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris yang berasal dari n.
oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lainnya sebagian besar mendapat persarafan sensoris
dari n. maksila melalui ganglion sfenopalatina. Gangglion sfenopalatina, selain
memberikan persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom
untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut saraf sensoris dari n. maksila (N.
V-2), serabut parasimpatis dari n. petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis
dari n. petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas
ujung posterior konka media1,5.
Fungsi penghidu berasal dari n. olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina
kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel
reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. Epitelium
olfaktori berada di atap fossa nasal dan di sekitar konka superior. Epitel yang berada di
olfaktori adalah epitel pseudostratifikatum kolumnar bersilia (epitel respirasi). Silia
berfungsi untuk menangkap molekul bau yang masuk. Mukosa hidung memiliki kelenjar
mucus yang terletak di lamina propria yang membantuk produksi mucus oleh sel goblet.
Mucus berperan dalam menangkap debu, serbuk, bakteri, dan benda asing yang masuk ke
kavum nasi5.

4
Gambar 1. Anatomi Hidung3

Gambar 2. Anatomi Hidung Luar1

5
Sinus Paranasalis
Terdapat 4 pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus ethmoid, sinus
frontal dan sinus sphenoid. Keempat sinus paranasal tersebut bermuara ke hidung melalui
meatus. Sinus maksila merupakan sinus paranasal terbesar yang berbentuk pyramid.
Dinding anterior sinus maksila merupakan permukaan fasial os maksila (fosa kanina).
Dinding posteriornya adalah infra-temporal maksila, dinding medialnya adalah lateral
kavum nasi, dinding superiornya adalah dasar orbita, dan dinding inferiornya adalah
palatum dan prosesus alveolaris. Ostium sinus maksila terletak di superior dinding
medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum ethmoid3,4.
Anatomi dari sinus maksila sangat penting terhadap masalah klinis yang terjadi
pada sinus maksila. Sisi bawah sinus maksila berdekatan dengan akar gigi premolar (P1
dan P2), molar (M1-M2). Terkadang akar gigi tersebut dapat masuk ke dalam sinus yang
menyebabkan infeksi gigi dapat naik ke sinus maksila yang dapat menyebabkan sinusitis.
Letak dari ostium maksila yang tinggi mengakibatkan drainase dari sinus maksila sangat
dipengaruhi oleh gerakan dari silia, selain itu drainasai sinus maksila harus melewati
hiatus semilunar dan infundibulum yang seringkali dapat mengalami inflamasi sehingga
terjadi pembengkakan yang dapat menutup aliran drainase dari sinus maksilaris sehingga
nantinya akan menyebabkan sinusitis4.

Gambar 3. Anatomi Sinus Paranasal4

6
Sinus frontalis terletak di os frontal yang terbentuk dari resesus frontalis atau sel-
sel infundibulum ethmoid. Sinus frontal kiri dan kanan umumnya tidak simetris. Sinus
frontal memiliki struktur yang bersekat-sekat dengan tepi sinus yang berlekuk-lekuk.
Sinus frontalis akan berdrainase ke infundibulum melalui resesus frontalis3.
Sinus ethmoid atau juga disebut sebagai labirin merupakan sinus paranasal yang
penting karena banyak infeksi yang berasal dari struktur-struktur pada sinus ini. Sinus
ethmoid dipisahkan oleh lamina basalis menjadi ehmoid anterior dan ethmoid posterior.
Sinus ethmoid anterior berasal dari region yang sama dengan sinus frontal dan maksilaris
sehingga akan bermuara ke meatus nasi media. Sinus ethmoid posterior akan bermuara
ke meatus nasi superior. Prosesus uncinatum merupakan struktur dari sinus ethmoid yang
membentuk dinding medial infundibulum ethmoid3.
Sinus sphenoid terletak di os sphenoid di belakang ethmoid posterior. Batas-batas
dari sinus sphenoid merupakan struktur vital :
 Lateral : arteri karotis, n. optikus, sinus cavernosus, dan nervus kranial 3,4,5,dan 6
 Posterior dan superior : sela turcica dan sinus intercavernosus superior

Gambar 4. Skema Sinus Paranasal 3

7
Gambar 5.Sinus Paranasalis3

8
Komplikasi Rhinosinusitis Kronis
Komplikasi rhinosinusitis terjadi oleh karena penyebaran bakteri dari sinus ke
struktur sekitarnya. Terdapat dua rute utama penyebaran infeksi, yang paling sering
adalah penyebaran langsung pada daerah atau jaringan yang berdampingan. Penyebaran
infeksi melalui foramen neurovaskuler, defek pada dinding sinus karena trauma atau
kelainan kongenital. Penyebaran infeksi pada dinding tulang dapat menimbulkan erosi
yang menjadi jalan masuk infeksi. Rute hematogen merupakan jalur lain penyebaran
infeksi. Vena-vena sinus juga ada yang mengalir ke intracranial sehingga berpotensi
untuk penyebaran bakteri ke otak. Pada sinus frontal, dimana drainase vena hampir
seluruhnya ke intracranial, merupakan sumber infeksi utama yang dapat menyebabkan
komplikasi intracranial. Karena vena-vena ini tidak memiliki katup sehingga dapat
mengalir antegrade atau retrograde, sehingga bakteri dapat berawal dari sinus frontal,
bermuara ke sinus dura dan mengalir retrograde ke otak menyebabkan timbulnya abses.
Komplikasi intracranial yang bisa terjadi yaitu empiema epidural atau subdural6.7.

Komplikasi Lokal
1. Osteomielitis
Infeksi sinus dapat menyebar pada sekeliling struktur tulang dan akhirnya
menjadi osteomielitis pada dinding anterior atau posterior sinus. Penyebaran infeksi
dapat juga terjadi karena vena-vena sinus yang tidak memiliki katup. Paling sering
ditemukan pada daerah sinus frontal. Saat tulang terkena infeksi, dapat terjadi erosi yang
memudahkan infeksi menyebar ke periosteum sehingga dapat terjadi pembentukan abses
subperiosteum. Jika abses berada pada daerah anterior dari tulang frontal disebut sebagai
tumor Pott puffy. Penderita tumor ini biasanya terjadi pada usia lebih dari 6 tahun sesuai
pneumatisasi sinus frontal. Paling sering ditemukan pada sinus frontal dan pasien anak-
anak. Bila osteomielitis terjadi pada sinus maksila dapat timbul fistula oroantal6.

2. Mucocele
Mucocele adalah lesi kistik, kronik dari sinus paranasal. Lesi yang tumbuh
lambat, butuh bertahun-tahun untuk menimbulkan gejala yang berkaitan dengan
peningkatan ukuran mucocele. Dengan pertambahan ukuran lesi dapat menekan dinding

9
sinus yang berakibat erosi tulang. Mucocele terbanyak melibatkan sinus frontal, diikuti
oleh ethmoid dan maksila6,7.

Komplikasi Orbita
Infeksi ke orbita sebagian besar disebabkan oleh penyebaran bakteri dari sinus
yang terinfeksi atau dapat juga karena penetrasi orbita selama pembedahan atau trauma.
Regio orbita berbatasan dengan sinus frontal, ethmoid, dan maksila, sehingga infeksi
sinus menyebar ke orbita. Berhubungan juga dengan ketebalan dinding sinus yang
melapisi orbita, semakin tipis dindingnya semakin mudah penyebaran infeksi. Sinus
ethmoid memiliki dinding yang paling tipis yaitu lamina papiracea yang melapisi dinding
lateral sinus dan dinding medial orbita. Jika terbentuk abses antara dinding dan
periosteum disebut abses subperiosteal. Bila periosteum rusak maka abses akan mudah
terbentuk6,7.
Penyebaran infeksi orbita diklasifikasikan ke dalam 5 kelompok :
1. Selulitis preseptal
Selulitis di daerah kelopak mata dengan manifestasi pembengkakan kelopak mata.
Infeksi terbatas pada kulit di depan septum orbita.
2. Selulitis orbita
Tampak sebagai edema difus pada lapisan orbita. Manifestasi dengan pembengkakan
kelopak mata dan nyeri pada pergerakan otot ekstraokular.
3. Abses subperiosteum
Ditandai dengan edema dari lapisan orbita dengan pengumpulan cairan di bawah
periosteum, biasanya melibatkan dinding medial dari orbita. Secara klinis kondisi
pasien hampir sama dengan grup 2 tetapi dapat ditemukan adanya proptosis.
4. Abses orbita
Ditandai dengan true abses di ruang orbita. Dapat bermanifestasi dengan proptosis,
gerakan bola mata yang tidak simetris, dan pada kasus yang berat dapat timbul
kebutaan.
5. Kavernosus sinus thrombosis
Kemosis bilateral yang progresif, oftalmopegia, kerusakan retina, buta, terdapat
tanda-tanda meningen dan demam tinggi.

10
Septum orbita adalah sebuah struktur membran yang berada mulai daerah depan
orbita ke tarsus superior dan tarsus inferior, melekat pada tendon levator palpebra
superior dan tarsus inferior pada palpebra superior dan melekat pada tarsus inferior di
bagian palpebra bawah. Septum orbita memisahkan palpebra superficial dari struktur
orbita yang lebih dalam dan membentuk lapisan yang mencegah infeksi dari palpebra
meluas ke orbita. Septum orbita menipis ke daerah medial, melekat pada os lakrimal
tepat di belakang sakus lakrimal tanpa perlekatan pada ligament palpebra medial6.
Terdapat klasifikasi lain pada pembagian selulitis periorbita (preseptal selulitis)
dan orbital selulitis (post septal selulitis) yang memiliki dua bentuk yang berbeda secara
klinis maupun anatomi dan harus bisa dibedakan. Selulitis preseptal merupakan selulitis
superfisial periokular yang belum merusak septum orbita. Sementara selulitis orbita
adalah infeksi orbita yang berada di dalam septum orbita, ini merupakan infeksi serius
dari ocular yang dapat mengancam jiwa. Septum orbita (ligamentum palpebra) adalah
lapisan membranosa yang berperan sebagai batas anterior dari orbita, yang meluas mulai
dari rima orbita sampai kelopak mata6.

Preceptal Cellulitis Postseptal Cellulitis


(Periorbital cellulitis) (Orbital cellulitis)
Gambaran Klinis Kelopak mata edema, Kelopak mata edema,
hangat, dan kemerahan. eritema, lunak, demam,
Tidak ada keterlibatan proptosis, dan diplopia
mata, tidak ada perubahan akibat optalmoplegia.
pada ketajaman dan reaksi Gejala lanjut dapat berupa
pupil, serta motilitas ocular penurunan ketajaman
tetap baik. Konjungtiva penglihatan dan defek
tidak kemerahan. afferent pupil (marcus gunn
pupil).Komplikasi berat
termasuk thrombosis sinus
kavernosu, kejang, dan
kebutaan.

11
Mekanisme Sebagian besar disebabkan Perluasan orbita dari infeksi
inoklusi sekunder dari sinus paranasal (khususnya
infeksi kulit atau trauma. sinus ethmoid) merupakan
Penyebaran secara penyebab tersering, atau
hematogen dan sinusitis. karena trauma dan
penyebaran hematogen.
Mikrobiologi Terbanyak karena Patogen tersering adalah
Staphylococcus aureus S.aureus tetapi H.influenza
dengan penurunan angka dapat dipertimbangkan pada
penyebab oleh H.infuenzae. kasus anak, penderita
diabetes, dan gangguan
imun. Lebih sering juga
karena polimikrobial.
Pemeriksaan CT-scan Inflamasi pada daerah Penebalan dan edema dari
posterior ke septum orbita jaringan lunak orbita.
Penting untuk mencari
adanya sinusitis dan
menyingkirkan thrombosis
sinus cavernosus.
Terapi Antibiotic oral, jika tidak Rawat inap,antibiotic
ada kecurigaan terhadap intravena, CT-scan orbita
selulitis post septal. dan sinus.

Gambaran klinis dari infeksi orbita dapat menyerupai infeksi preseptal. Infeksi
orbita menyebabkan tekanan pada otot-otot okuler dan dapat mengakibatkan nyeri bila
bola mata bergerak. Jika terbentuk abses subperosteal dapat timbl tekanan di bawah
orbita yang menyebabkan terjadinya ptoptosis. Jika inflamasi mendesak nervus optikus
maka dapat terjadi kebutaan. Pada penemuan awal. Infeksi orbita dapat minimal tetapi
akan semakain memberat apabila infeksi dibiarkan berlanjut6.
Penegakan diagnosis pada pasien dengan pembengkakan daerah mata adalah
menentukan apakah proses preseptal atau orbita. Melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,

12
dan pemeriksaan penunjang radiologi dapat membantu menentukan. Selulitis preseptal
lebih banyak disebabkan oleh trauma local. Bisa ada riwayat gigitan serangga atau
trauma lain pada kulit sekiar mata, kemudian mengalami infeksi sekunder. Infeksi ini
biasanya terselubung7.
Pada selulitis preseptal dapat ditemukan massa hangat,kemerahan, indurasi, dan
nyeri pada palpasi. Sementara orbita sulit untuk diidentifikasikan dan onsetnya lebih
terselubung. Pasien biasanya menunjukkan riwayat drainase hidung, nyeri kepala, atau
rasa tertekan dan demam. Jika infeksi terjadi di orbita maka visus dapat hilang7.
Untuk pemeriksaan penunjang biasanya digunakan CT-scan dengan atau tanpa
kontras. Pada potongan axial maupun coronal pasien dengan selulitis preseptal
menunjukkan adanya pembengkakan kelopak mata tanpa keterlibatan orbita.
Pemeriksaan MRI merupakan pemeriksaan yang terbai, tetapi hal ini menjadi suit karena
sebagian besar infeksi orbita terjadi pada pasien anak yang memerlukan sedasi untuk
prosedur ini. MRI sebaiknya dilakukan bila terjadi komplikasi infeksi dengan perluasan
ke intracranial, seperti thrombosis sinus kavernosus atau abses epidural. Untuk
mendiagnosa infeksi orbita tidak bisa dilakukan hanya dengan foto polos sinus6,7.

Penatalaksanaan Komplikasi Orbita


Memperbaiki drainase dengan pembedahan merupakan tindakan yang secepatnya
harus dilakukan pada infeksi orbita. Namun saat ini, penatalaksanaan medikamentosa
adalah terapi pilihan pada kebanyakan pasien. Agar terapi berhasil, pasien terlebih
dahulu dikelompokkan menjadi kelompok risiko rendah dan risiko tinggi berdasarkan
komplikasinya. Pada 90% pasien dengan risiko rendah berhasil diterapi dengan antibiotik
saja. Kelompok komplikasi resiko rendah adalah umur di bawah 9 tahun, tidak ada
gangguan penglihatan, abses ukuran sedang pada sisi medial orbita, tidak ada komplikasi
intrakranial, dapat mengikuti rangkaian tes oftalmoplegia, tidak ada gangguan status
imun6.
Antibiotik yang diberikan sesuai untuk bakteri yang menginfeksi. Secara umum,
terapi diberikan secara parenteral selama sau minggu, kemudian diikuti dengan
pemberian antibiotic oral selama 2-3 minggu, seperti asam klavulanat/ampicilin dosis
tinggi (90mg/kgBB/hari untuk anak-anak, dan 4gr/hari untuk orang dewasa). Sebagai

13
tambahan dapat diberikan dekongestan. Jika kondisi pasien memburuk maka dapat
dilakukan drainase sinus. Indikasinya adalah terjadi gangguan penglihatan, defek afferent
pupil, demam >36 jam setelah terapi antibiotic, dan tidak ada perbaikan klinis setelah
terapi selama 72 jam6.

Komplikasi Intrakranial
Sekitar 0,5-24% penderita rawat inap karena rhinosinusitis mengalami komplikasi
intracranial. Ada beberapa jalur penyebaran ke ruang intracranial, dapat menyebar
langsung melalui osteomielitis, ruang perineura, dan nervus olfactori, atau melalui
dinding sinus karena trauma. Komplikasi yang biasanya terjadi yaitu meningitis (34%),
abses otak (27%), abses epidural atau subdural (24%), thrombosis sinus dura (sinus
sagital superior atau kavernosus) yang biasa didahului dengan penyakit saluran napas
(8%), serta dapat terjadi lebih dari satu komplikasi intracranial (28%)6.
Gejala dan tanda infeksi intracranial yang berasal dari rhinosinusitis kronik
adalah nyeri kepala (frontal atau retro orbita), demam, penurunan kesadaran, mual dan
muntah, gangguan nervus kranialis, kejang, tanda fokal neurologic, seperti
hemiparese/hemiplegia, afasia, ataksia, deficit motorik/sensorik), serta kekakuan6.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Moore KL, Dalley AF and Agur AMR. Clinically Oriented Anatomi. 6th Edition.

Wolters Kluwer Health: Lippincott Williams & Wilkins, 2010.

2. Adams, G., L., Boies, L., R. Higler, P., A. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. 2016.
3. Lee, KJ., et al.,Paranasal Sinuses : embryology, anatomy, endoscopic diagnosis and
treatment. Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery. McGraw Hill : Chicago.
2012
4. Lee, KJ., et al.,The Nose, Acute and Chronic Sinusitis. Essential Otolaryngology Head
and Neck Surgery. McGraw Hill : Chicago. 2012
5. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, and Restuti RD. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi Ketujuh. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012.

6. Punagi, Q.A., Complication of Rhinosinusitis. Departemen Ilmu Kesehatan Telinga


Hidung dan Tenggorokan Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanudin, 2013.
7. Fokkens W.J., Lund V.J., Mullo J.,Bachert C., et al. Rhinosinusitis and Nasal Polips.
Rhinology: Journal of the European and International Societies.2012

15

Anda mungkin juga menyukai